Cerita sebelumnya AKU atau DIA? #1
Halo?
Dir, Dir! Gawat Dir!
Tika?
Lo ngapa sih?
Gawat Dir! Gawat!
Apanya
yang gawat? Lo kalo ngomog yang bener dong, gue bingung ini
Arvi Dir! Gue liat dia!
Lo liat
dia? Di mana Tik?
Pizza Hut Amplaz! Dia sama Tasya Dir!
Deg.
Tasya?
Lo serius Tik?
Tut..tut..tut..
Halo
Tik? Tik! Tika!
***
“Hei,
sayang,” tiba-tiba Arvi muncul di balik pintu kamarku. Melihatnya, aku seperti
ingin menampar atau melemparinya. Tas, sepatu, buku-buku, bantal, guling,
apapun juga. Tapi kutahan semua itu. Aku tahu, belum saatnya mengungkapkan
amarah. Aku belum melihat dengan mata kepalaku sendiri tentang kelakuannya di
luar sana.
Aku mencoba tersenyum. Dan kalian tahu? Tersenyum setelah
kalian mendengar betapa liarnya pacar kalian di luar sana itu sungguh sulit.
“Hai,” kataku akhirnya.
“Boleh
aku masuk?” tanyanya lembut. Atau mungkin lebih tepat bila kusebut pura-pura lembut.
Aku mengangguk.
Dia melangkah masuk. Wajahnya masih seperti biasa. Masih
terlihat lembut dan tenang. Hanya saja, matanya menyiratkan kegelisahan. Entah
tentang apa. Tapi aku bisa merasakannya.
“Gimana
kegiatannya sayang? Banyak tugas ya?” ditanyainya aku sembari tangannya
mengelus kepalaku. Dahiku sempat dikecupnya. Pikiranku sempat berkecamuk kala
benar sarafku tersentuh tekstur bibirnya. Bukan kebahagiaan yang menguasaiku.
Yang ada malah rasa sakit. Sakit karena aku merasa ditipu, dibohongi. Dengan
rangkulan ia menusukku, dengan pelukan ia berusaha melukaiku, dengan ciuman ia
berusaha menghancurkanku. Sejujurnya aku pilih dia memutuskanku dan mengatakan
bahwa dia lebih mencintai Tasya atau wanita lain. Aku pilih itu. Aku pilih dia
dengan terus terang berkata demikian padaku.
“Maaf
ya, aku sempet enggak ada kabar, aku sibuk,” katanya lagi meski aku belum
menjawab pertanyaannya tadi.
Aku tersenyum kecut. Bukan
begitu caranya Vi, kataku dalam hati. Kau
menonaktifkan ponselmu tanpa memberitahuku terlebih dulu. Lebih dari empat hari
sudah kau tak ada kabar. Apa kau tak tahu betapa paniknya aku mengenai semua
itu? Aku memikirkanmu Vi. Aku memikirkanmu setiap hari. Setiap waktu. Aku
berusaha menghadirkanmu selalu dalam detak nadiku, dalam hembusan napasku. Apa
kau tak tahu betapa hancurnya aku saat Tika memberitahuku, dia melihatmu dengan
Tasya di Pizza Hut Amplaz? Apa kau tak tahu betapa sakitnya aku mendengar semua
itu? Aku yang setiap hari merapal namamu dalam doa, kau sakiti di balik layar?
Memang ada kemungkinan Tika berbohong. Tapi mengingat nada-nada paniknya,
sangat kecil kemungkinan untuk bohong. Dan sekarang, ketika aku mulai menetapkan
hati untuk menjauh darimu, kau hadir kembali. Kau berkata selama ini kau sibuk
sehingga untuk mengabariku pun kau tak sempat. Apa maumu Arvi? Kalau kau tak
lagi mencintaiku, kau bisa memutuskanku dengan alasan yang jelas dan terang.
Bukan seperti ini! Ini semua akan membunuhku!
“Kok
diem aja sayang? Ada apa? Sakit ya?” tanyanya lagi. Tangannya menyentuh dahiku.
“Enggak
kok,” kutepis tangannya. “aku nggak sakit,” senyumku. “oh, ya, aku membuat ini
untukmu,” ujarku mengalihkan pembicaraan. Aku mengambil sehelai kertas HVS yang
kuselipkan di buku National Geographic.
“Taraaa!!” kubalik kertas HVS itu. Terlihat di sana, Arvi sedang tersenyum
dengan sebatang rokok di tangan kanannya dalam goresan pensil.
Matanya membelalak. Mulutnya menganga dan wajahnya terlihat
kagum. “Bagus banget!” katanya. Tangannya terulur seolah ingin mendekap gambar
itu dan tak melepasnya. Aku memberikan itu padanya. Ia mengamati gambar itu
dengan saksama, seperti sedang mengamati gerak-gerik pencuri.
Aku tersenyum melihat tingkahnya. Berusaha terlihat gembira
seperti dia yang gembira saat matanya menatap lukisanku. Meski kutahu, cepat
atau lambat, aku akan kehilangan semua itu. Cepat atau lambat aku takkan bisa
melihat senyumnya, airmatanya, tawanya, amarahnya. Tidak lagi. Aku sadar akan
itu. Karenanya, sebelum aku benar kehilangan, kucoba menghabiskan keindahan
yang selama ini terpancar dari dirinya.
“Oh,
sayang,” desahnya penuh cinta. Diletakkannya gambar itu hati-hati. Tangannya
menarik tanganku, memelukku. “aku takkan pernah bisa menemukanmu dalam sosok
lain,” dia mengambil napas. “hanya kau yang ada di hatiku hingga akhir
hayatku.”
Airmataku meleleh di bahunya. Kau bohong Vi. Kau tak mencintaiku. Hatimu bukan untukku.
***
bersambung ke AKU atau DIA #3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar