Sabtu, 05 Januari 2013

AKU atau DIA? #2


Cerita sebelumnya AKU atau DIA? #1

Halo?
                Dir, Dir! Gawat Dir!
                Tika? Lo ngapa sih?
                Gawat Dir! Gawat!
                Apanya yang gawat? Lo kalo ngomog yang bener dong, gue bingung ini
                Arvi Dir! Gue liat dia!
                Lo liat dia? Di mana Tik?
                Pizza Hut Amplaz! Dia sama Tasya Dir!
Deg.
                Tasya? Lo serius Tik?
Tut..tut..tut..
                Halo Tik? Tik! Tika!

***

                “Hei, sayang,” tiba-tiba Arvi muncul di balik pintu kamarku. Melihatnya, aku seperti ingin menampar atau melemparinya. Tas, sepatu, buku-buku, bantal, guling, apapun juga. Tapi kutahan semua itu. Aku tahu, belum saatnya mengungkapkan amarah. Aku belum melihat dengan mata kepalaku sendiri tentang kelakuannya di luar sana.
Aku mencoba tersenyum. Dan kalian tahu? Tersenyum setelah kalian mendengar betapa liarnya pacar kalian di luar sana itu sungguh sulit. “Hai,” kataku akhirnya.
                “Boleh aku masuk?” tanyanya lembut. Atau mungkin lebih tepat bila kusebut pura-pura lembut.
Aku mengangguk.
Dia melangkah masuk. Wajahnya masih seperti biasa. Masih terlihat lembut dan tenang. Hanya saja, matanya menyiratkan kegelisahan. Entah tentang apa. Tapi aku bisa merasakannya.
                “Gimana kegiatannya sayang? Banyak tugas ya?” ditanyainya aku sembari tangannya mengelus kepalaku. Dahiku sempat dikecupnya. Pikiranku sempat berkecamuk kala benar sarafku tersentuh tekstur bibirnya. Bukan kebahagiaan yang menguasaiku. Yang ada malah rasa sakit. Sakit karena aku merasa ditipu, dibohongi. Dengan rangkulan ia menusukku, dengan pelukan ia berusaha melukaiku, dengan ciuman ia berusaha menghancurkanku. Sejujurnya aku pilih dia memutuskanku dan mengatakan bahwa dia lebih mencintai Tasya atau wanita lain. Aku pilih itu. Aku pilih dia dengan terus terang berkata demikian padaku.
                “Maaf ya, aku sempet enggak ada kabar, aku sibuk,” katanya lagi meski aku belum menjawab pertanyaannya tadi.
Aku tersenyum kecut. Bukan begitu caranya Vi, kataku dalam hati. Kau menonaktifkan ponselmu tanpa memberitahuku terlebih dulu. Lebih dari empat hari sudah kau tak ada kabar. Apa kau tak tahu betapa paniknya aku mengenai semua itu? Aku memikirkanmu Vi. Aku memikirkanmu setiap hari. Setiap waktu. Aku berusaha menghadirkanmu selalu dalam detak nadiku, dalam hembusan napasku. Apa kau tak tahu betapa hancurnya aku saat Tika memberitahuku, dia melihatmu dengan Tasya di Pizza Hut Amplaz? Apa kau tak tahu betapa sakitnya aku mendengar semua itu? Aku yang setiap hari merapal namamu dalam doa, kau sakiti di balik layar? Memang ada kemungkinan Tika berbohong. Tapi mengingat nada-nada paniknya, sangat kecil kemungkinan untuk bohong. Dan sekarang, ketika aku mulai menetapkan hati untuk menjauh darimu, kau hadir kembali. Kau berkata selama ini kau sibuk sehingga untuk mengabariku pun kau tak sempat. Apa maumu Arvi? Kalau kau tak lagi mencintaiku, kau bisa memutuskanku dengan alasan yang jelas dan terang. Bukan seperti ini! Ini semua akan membunuhku!
                “Kok diem aja sayang? Ada apa? Sakit ya?” tanyanya lagi. Tangannya menyentuh dahiku.
                “Enggak kok,” kutepis tangannya. “aku nggak sakit,” senyumku. “oh, ya, aku membuat ini untukmu,” ujarku mengalihkan pembicaraan. Aku mengambil sehelai kertas HVS yang kuselipkan di buku National Geographic. “Taraaa!!” kubalik kertas HVS itu. Terlihat di sana, Arvi sedang tersenyum dengan sebatang rokok di tangan kanannya dalam goresan pensil.
Matanya membelalak. Mulutnya menganga dan wajahnya terlihat kagum. “Bagus banget!” katanya. Tangannya terulur seolah ingin mendekap gambar itu dan tak melepasnya. Aku memberikan itu padanya. Ia mengamati gambar itu dengan saksama, seperti sedang mengamati gerak-gerik pencuri.
Aku tersenyum melihat tingkahnya. Berusaha terlihat gembira seperti dia yang gembira saat matanya menatap lukisanku. Meski kutahu, cepat atau lambat, aku akan kehilangan semua itu. Cepat atau lambat aku takkan bisa melihat senyumnya, airmatanya, tawanya, amarahnya. Tidak lagi. Aku sadar akan itu. Karenanya, sebelum aku benar kehilangan, kucoba menghabiskan keindahan yang selama ini terpancar dari dirinya.
                “Oh, sayang,” desahnya penuh cinta. Diletakkannya gambar itu hati-hati. Tangannya menarik tanganku, memelukku. “aku takkan pernah bisa menemukanmu dalam sosok lain,” dia mengambil napas. “hanya kau yang ada di hatiku hingga akhir hayatku.”
Airmataku meleleh di bahunya. Kau bohong Vi. Kau tak mencintaiku. Hatimu bukan untukku.

***

bersambung ke AKU atau DIA #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar