Statusmu bersamanya membuktikan
sesuatu: kamu ternyata semurah itu.
Kemarin aku sedang terseret arus sosial
media dan tangan seperti ada yang mengarahkan untuk membuka profilmu. Lalu, aku
bertemu sesuatu. Mata menangkap deretan huruf dan dari sana aku tahu, tak lagi
berselimut sendiri hatimu. Detik selanjutnya tak ada rasa patah yang menyambar.
Aku tak paham mengapa. Tapi seakan dunia tahu, berita yang demikian bisa membuat
aku heboh tak karuan. Bukan karena sakit hati, bukan karena kecewa parah. Tapi aku
menemukan titik terang kesimpulan dimana segala pesona borjuis dan selera
mewahmu luruh di satu waktu. Kini aku tahu, kamu semurah itu.
Otak lantas memutar kenangan
lalu. Ia sibuk menggeledah loker lama soal kamu. Semua rekaman, dokumen, berkas
dipaksa keluar. Aku perlu menyatukan potongan-potongannya untuk kembali
menekuni urat hati dan mencoba mencari tahu soal kamu. Sunggingan senyum tak
mampu kuhindari dan aku tak paham mengapa. Biasanya aku akan merasa patah tepat
di dada. Lalu ponselku akan dipenuhi curhatan tentangmu. Foto-fotomu dengan
wanita lain. Riwayat halaman dunia maya mengenai kamu. Sebangsa itu. Tapi fakta
yang ada, aku cuma bertahan menatap layar ponsel dan sibuk mencari tahu soal
kabar terbarumu, sedang hatiku? Mati.
Aku tak tahu harus bersyukur atau
justru menangis pedih. Bukan soal kamu, tapi soal hati yang lupa punya rasa. Teman-temanku
lelah berkata dan mencaci maki soal kupunya hati, tapi tanpa rasa. Akupun lelah
dengan kalimat-kalimat mereka. Bukan mauku begini. Tapi begini lebih baik
buatku sekarang. Aku pasti lebih konyol kalau masih saja berkutat soal
kebiasaan menangisi kamu. Kamu. Yang bahkan mengingat namaku saja mungkin
tidak. Sudahlah. Berita baru tentangmu jauh lebih menarik daripada membicarakan
hatiku yang mulai mati dicekik panas terik.
Selanjutnya, potongan-potongan
puzzle mulai tersusun. Fakta itu terpampang jelas. Dan bila aku jadi
reportermu, aku tahu, kamu tak mampu mengelak.
Aku bukan hakim apalagi Tuhan. Aku
tak punya hak menyimpulkan sesuatu bahkan mengetok palu keputusan. Tapi bagaimanapun
juga, sebagai calon psikopat, oh maksudku psikolog yang baik, aku berusaha
belajar menyatukan pengetahuan demi satu kalimat temu: kamu semurah itu. Sungguh!
Oh bukannya aku jahat. Tapi segala
kicauan di sosial mediamu dan kekasihmu sekarang cukup membuktikan bagaimana
wataknya dan apa yang kamu rindukan hingga keputusanmu jatuh pada dia. Dia tidak
cantik. Meski cantik itu relatif, semua orang tahu mana saja yang bisa digunakan
sebagai tolok ukur kecantikan seseorang. Kalau kamu mau bersikeras, aku berani
jamin hatinya juga tak cantik. Jadi outter
beauty dan inner beauty tak ada
padanya. Lantas, apa yang kamu cari?
Tahap selanjutnya aku sampai pada
suatu peryataan yang aku tahu kamu pasti setuju meski bibirmu membisu. Kamu tidak
mencintai dia, kamu cuma butuh badannya demi puas nafsu. Tak usah menghindar,
kamu tak perlu ingkar. Semua yang kenal kamu bisa tahu apa yang kamu buru dan
cumbu. Oh aku benci mengatakan ini. Wanita itu punya sikap macam kamu. Semua manusia
yang dia bisa sayang tentu disayang. Sesama wanita tak masalah. Tapi,
laki-laki? Baiklah. Laki-laki tak luput dari perhatiannya. Kamu berusaha
cemburu meski aku tahu, hatimu tak punya waktu untuk itu. Aku sampai kehabisan
kalimat dalam kasus ini. Segalanya telah jelas! Tinggal tunggu waktu agar orang
tahu, seberapa gila dan murahnya kamu.
Badannya bagus. Dia mencapai body
goals dengan ukuran tertentu yang buat kamu puas. Ditambah rambutnya badai tak
main-main, kulitnya putih bersih. Cocok dengan seleramu. Lagi aku senang. Kamu terdakwa
main perasaan.
Selamat, Arjuna.
Kamu demikian pandai dalam
membuat wanitamu bahagia dalam tanda kutip. Pandai pula menunjukkan ke orang lain
seberapa buruk sesungguhnya seleramu.
Semoga kamu masih punya cukup
otak untuk tak berbuat yang “sungguhan iya-iya” sebelum waktunya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar