Seharusnya aku sekarang sedang
berkutat dengan tugas autobiografi dan melanjutkan resume antropologi.
Tapi aku gerah.
Jadi kuputuskan menutup halaman
dan iseng menuliskan namamu di Google. Ingin kudapati sesuatu yang membuatku
merasa lebih baik, apapun itu. Karena aku percaya, semua tentang kamu bisa
membuatku tertawa, sekalipun itu hal yang tak pantas jadi dasar bahagia.
Entahlah. Aku kadang merasa payah. Apa yang pantas dilontari senyum bahagia
saat kamu mengajukan fakta yang membuat hati terbelah?
Jangan tanya padaku mengenai
jawabannya karena aku sendiri terjebak tanya tanpa tahu mana jalan
penyelesaiannya.
Aku tahu hatiku akan terus patah
kalau tahu kabar soal kamu. Tidak semua, memang. Tapi seringkali demikian.
Meski begitu aku tetap tidak bisa menahan diri untuk diam dan melupakanmu
pelan-pelan. Selalu tidak bisa. Tidak pernah bisa. Tidak tahu apakah akunya
yang memang tahu itu salah dan masih saja tak paham-paham, atau keadaan
mengharuskan aku melewati ini.
Aku menemukan tulisan-tulisan
lamamu. Dan berhasil tertawa terbahak-bahak sampai kelu. Astaga, aku rindu
kamu. Pantaskah aku mengatakannya?
Aku tahu kamu pasti bakal bilang
pantas karena kamu lelaki bermulut manis yang terbiasa membuai wanita-wanita
agar jatuh ke pelukanmu. Sementara mereka terbuai, kamu akan melancarkan aksimu
selanjutnya. Membuat hidupmu lebih berarti dengan memuaskan nafsu padanya.
Entah sekadar memeluk dan mengelus rambut, atau sampai berkelakuan kurang ajar
seperti mencium bibirnya atau mengajaknya bercinta (dalam arti sungguhan).
Selanjutnya, aku jadi salah
tingkah sendiri karena tidak tahu bagaimana cara mengatasi rindu yang seketika
membuncah, memenuhi tiap ruang kosong hati meski beberapa pintu telah
kupastikan terkunci. Aku tidak mau kelihatan panik. Aku tidak mau orang tahu
aku mulai dijangkiti asmara; salah satu alasan mengapa banyak orang jadi gila.
Tapi, sarafku tampaknya sengaja mengacaukan diri, ia mengulang segala kenangan
soal kamu, aku seperti sedang mengalami de
javu. Oh bukan, ini namanya flashback.
Takut kelepasan lalu bakal dibawa
ke rumah sakit jiwa karena gejala ini, aku memberanikan diri menghubungimu
melalui aplikasi chatting di ponsel
pintarku. Berharap ini bisa cepat menghilangkan gejala gilaku seketika. Karena
kutahu tak mungkin besok aku ke kampus dengan penampilan seperti habis nyemplung di rawa sebelah rumah.
Aku mulai merasa tenang setelah
beberapa menit berlalu. Sekadar mengirimimu pesan singkat ternyata berefek
cukup baik untuk kesehatan jiwa. Asal tak sering tentu saja. Kalau keterusan
nanti aku bisa gila stadium lanjut karena ujung-ujungnya kamu pasti memberi
harapan palsu.
Lalu, tanpa kuharap, ponsel
pintarku berdering. Bukan SMS. Bukan balasan chatting.
Sebuah telepon.
Aku harus menarik napas sedalam
kira-kira 10 hatimeter untuk mengangkatnya
setelah membaca nama yang tertera.
“Kamu, tumben belum tidur.”
Katamu di ujung telepon, mungkin merasa asing dengan keadaan ini, tak biasa
buatmu kuhubungi selarut ini.
Aku mengangguk, meski jelas kamu
tidak tahu.
“Belum ngantuk? Atau kamu lagi sibuk
sama tugas?”
Aku menggeleng, kini.
“Kamu capek yaaaa...” Huruf ‘a’
di akhir kata itu jelas kamu panjangkan bunyinya, aku tahu. Tapi aku tetap tak
tahu mengapa cuma demi membela rindu aku rela terjaga sampai kini jam
menunjukkan pukul 2 malam. Tak pernah aku begini, percayalah. Kamu bisa
merasakan canggung ini.
“Enggak tahu,” aku akhirnya
bersuara. “Mungkin aku lagi pengin begadang.”
“Oh...gitu. Kamu enggak
kenapa-kenapa kan? Aku kok kerasa ada yang aneh sama ka...”
“Enggak kok.” Potongku cepat.
“Kamu lagi di kelab ya? Itu rame banget.”
“Iya.” Jawabmu singkat.
Berdua, kita terdiam.
“Em, aku mau lanjut ini, kalau
nanti aku hubungin kamu udah tidur, aku ucapin selamat malam. Eh, sekarang
sudah pagi. Iya. Selamat pagi. Cepat pulang ke Jogja, ya.” Kamu akhirnya
menutup pembicaraan yang entah, jelas tidak sampai sepuluh kalimat. Aku tahu
kamu mulai bosan.
Aku mengangguk lalu kututup saja
telepon. Aku sedang tak berminat bicara banyak meski hatiku membeludak dengan
kata-kata. Kubisiki hatimu mengenai rindu, tapi kamu tentu tak tahu.
Hari-harimu dipenuhi segala yang vulgar dan demikian transparan. Rinduku yang
membuncah tak karuan tapi tersimpan rapat dalam diam jelas tak masuk hitungan.
Apa kamu tak tahu aku tak mungkin main-main dengan rindu?
Aku jelas tidak sama dengan
wanita-wanita yang biasa kamu sapa di kelab malam. Mereka yang jemarinya kuat
menjepit rokok, yang mulutnya memuntahkan aroma khas alkohol, yang perut
ratanya terpampang jelas, yang pahanya putih mulus dan siap kamu sentuh. Aku
jelas tidak sama.
Aku kadang merasa perih sendiri,
merasa sakit dengan kebodohanku sendiri.
Mengapa hatiku memilih lelaki
berengsek macam kamu sedang di luar sana populasi lelaki baik-baik masih
melimpah?
Bahkan rumput pun diam mendengar
kalimat tanyaku. Tak ada yang tahu. Hatiku tak tahu. Semesta tak tahu. Hanya
waktu yang masih merajut misteri, mengumpulkan potongan-potongan cerita antara
kamu, aku, dan kelab malam yang penuh wanita itu. Aku makin tak tahan. Lelaki
kesukaanku terbuai dalam banyak pelukan. Sedang aku yang awam betul soal
kehidupan malam terjebak dalam-dalam di cairan rindu yang mematikan.
Tanpa sadar, sekarang sudah pukul
lima.
Aku mengantuk luar biasa tapi
hati tak mau berhenti terjaga.
Huh.
Rindu ternyata punya kekuatan
sehebat dewa.