Minggu, 06 Desember 2015

Abjad Terakhir

Tadi malam aku meringkuk di sudut kamar. Mengingat kamu yang tak mungkin melekat. Kamu sibuk, sedemikian sibuk, aku tahu. Kamu takkan punya cukup waktu untuk diam di kamar dengan bantal-guling lalu terjaga semalaman, memikirkan sesuatu yang selalu rumit diterjemahkan: perasaan.

Tadinya aku cuma bersandar santai di dinding. Tapi sesuatu melonjak dari dalam tubuh hingga aku refleks memeluk guling, erat-erat. Kutenggelamkan wajahku pada sintetis kapas itu. Berusaha merasa sedang memeluk lenganmu yang kokoh dan mendengarkan jantungmu. Jantung yang detaknya takkan mungkin bersatu dengan detakku. Kita tak sejalan. Dari awal jumpa hingga pisah nanti, kita tak sejalan. Seluruh khalikah raya takkan mau toleransi dengan rasaku (mungkin juga rasamu). Fiersa Besari pernah bilang kalau rasa tak pernah salah, waktulah yang punya kemungkinan bermasalah. Tapi soal kita, kupikir tak cuma waktu yang bermasalah. Tak tahu apa.

Ada banyak manusia di luar sana. Yang demikian baik, bisa membalas chat dengan cepat, punya pemikiran, lagi tampan, juga seagama. Tapi mengapa hati memilih kamu? Aku tak tahu. Barangkali kita tak pernah diijinkan tahu karena ada hal yang memang ditakdirkan untuk tetap jadi rahasia Sang Khalik.

Akhir-akhir ini, setiap bulan timbul setelah mentari terbenam, aku sering menangis. Aku ingat hari-hari yang berlalu, aku ingat kamu dan semua kejadian kecil kita yang demikian berharga buatku. Aku ingat, semakin banyak hari pergi, semakin cepat rasa harus diganti. Kamu akan sibuk menamatkan kewajibanmu sebagai wakil ketua organisasi, setelah itu kamu akan jadi anak kelas dua belas yang sibuk siap-siap menghadapi sepaket ujian. Aku akan sibuk mencari kampus, menyiapkan ini itu sebagai mahasiswa baru, melepaskan seragam sekolah yang kupakai tiap pagi selama enam hari dalam seminggu. Meninggalkan kewajiban memakai topi setiap upacara, dasi abu-abu, kaus kaki putih dan sepatu hitam dari Senin sampai Kamis, baju batik sekolah setiap Jumat dan Sabtu. Aku akan selesai dengan segala urusan sekolah dan mulai serius kuliah.

Aku lalu menangis, tersengguk-sengguk. Seolah tak sanggup lagi. Bagaimana mungkin aku ikhlas berpisah dengan kamu?

Kamu bukan proyeksi diri, aku tahu. Aku sadar diri tak mungkin punya proyeksi seindah kamu. Dan meski memilikimu pun aku tidak, aku sudah merasa gila. Hatiku kadung berlabuh di tempat yang tak seharusnya. Orang yang paham betul takkan membiarkan hal ini terjadi. Entah mengapa aku jadi tak mampu berkutik hingga segala rasa tentang kamu sampai pada fase keterlanjuran.

Kelebatanmu datang meresahkan, lalu pergi dan membuat rindu. Aku benci. Aku benci tenggelam disini. Megap-megap tak mampu mencari oksigen karena yang kumiliki adalah paru-paru dan bukan insang. Aku tidak suka mencari kamu setiap hari di sekolah. Aku tidak suka gelisah bila sehari kulewati tanpa melihat kamu. Aku tidak suka berkeliling tempat parkir dan mencari dimana motormu ada. Aku tidak suka lalu lalang di depan kelasmu cuma demi menatap dari balik pintu. Pintunya tidak bening. Pintunya bukan plastik atau kaca. Aku tidak bisa melihat kamu. Tapi aku tahu kamu ada di balik pintu itu dan cukuplah buatku. Memandangmu dari jauh demikian menenangkan. Makin dekat aku makin jadi kepingan. Terbakar. Meringkuk konyol dalam lelehan. Ah, aku benci, aku tak suka. Tapi apa daya raga kala hati dan jiwa berucap beda?

Aku kini duduk di bangku gereja, hampir di belakang. Nanti aku akan memperhatikan manusia-manusia yang sibuk menggandeng lengan kekasih mereka. Lengan yang detaknya sejajar dengan rasa. Lagi, aku merasa benci. Mereka tampak bahagia. Duduk berjajar dengan yang dicinta dalam satu tempat ibadah. Menyembah Pemilik Hidup dengan cara yang sama. Aku benci. Mengapa kita tak bisa seperti itu?

Sebentar lagi aku akan berdiri dan menyanyikan lagu pujian. Mungkin sebentar lagi kalau matahari telah terbit, kamu akan siap-siap salat Duha. Kamu akan bilang banyak hal pada Allah, entah apa itu. Hanya kamu dan Allah yang tahu. Setelah itu mungkin kamu akan belajar, atau membersihkan pondok, atau berdiskusi dengan tim organisasimu.

Dari dalam gereja, aku mengingat kamu dan kita. Aku rindu. Meski bertemu kamu belum pernah lebih dari lima belas detik. Aku rindu, sungguhan.

Selamat Hari Minggu. Jangan lupa salat tepat waktu.


Dari yang mendoakanmu dengan cara berbeda.

Senin, 30 November 2015

Reinkarnasi Masalalu #2

Cerita sebelumnya: Reinkarnasi Masalalu #1

Kata orang, cinta itu dari mata turun ke hati. Kalau Tuhan mengijinkan bakal bisa mengakar ke jiwa lalu jadi bagian dari hidup yang nyata. Jadi mungkin keindahan yang bisa didapatkan dari paduan hidung mancung, bibir merah, bulu mata lentik, dan alis tebal yang jadi wajah berbumbu Arab adalah cinta fase mata. Bisa saja. Dan semoga memang bisa.

Banyak manusia yang setuju soal wajahnya yang menarik dan anggapan kalau dia memang tampan. Apa yang kurang dari tatanan fisiknya? Dia nyaris sempurna. Tubuh tinggi tegap dan langkah mantap (sekalipun tak semantap angkatan bersenjata) serta mata indah yang sembunyi dibalik kacamata. Sosok sedikit polos dan lugu. Lucu saja.

Mengenalnya mungkin bisa membuat gila. Atau mungkin hanya aku yang merasa. Aku tidak tahu. Aku juga tak mau tahu. Aku sedang ingin mencukupkan diri dengan apa yang sanggup kumiliki saat ini. Punggungnya yang berjalan beberapa meter di depanku. Suaranya yang mengiringi langkahku. Bayangannya yang membekukan alam sadarku. Senyumnya seakan menyejukkan dan membuat mata betah menatap lama. Aku merasa gila. Kata teman-teman aku memang sudah gila soal dia. Dan aku tak protes untuk hal satu itu. Aku bisa merasakan kesadaranku luruh perlahan kala mata ini menangkap kelebatannya. Astaga. Sungguh dia sedemikian indah.

Tadinya aku berpikir aku bisa mengaguminya segila yang aku bisa. Tapi pada satu titik, hujan kemarau panjang dan petir siang bolong itu menyambarku, membuatku sadar bahwa dia tak sesederhana yang terlihat juga terbayangkan. Aku seketika patah hati, jelas. Merasa konyol dengan rasa ini yang mungkin saja terlanjur terpatri entah berapa banyak.

Banyak manusia sekolah mengenal dia, dia juga mengenal mereka. Buatku itu tiba-tiba menyakitkan. Aku sering membaca celetukkannya yang memenuhi sosial media. Fotonya tersebar di banyak situs. Senyumnya memenuhi ruang rasaku. Dia benar-benar ramah dan terlampau baik pada semua orang. Itu menusuk, sekali lagi, andai aku boleh mengungkapkan. Tapi aku tahu aku bukan siapanya, jelas. Aku juga cuma salah satu dari (entah berapa) banyak wanita yang mengagumi dia. Aku bersyukur orang lain cuma tahu kalau aku sekadar mengagumi dia. Kadang, anggapan itu mengamankanku. Tapi kadang juga menusuk.

Baiklah, aku sekarang hilang arah.

Apa cinta itu serba salah? Tidak ketika kamu jatuh cinta pada orang yang tepat, katanya. Tentu saja! Tapi orang yang tepat belum tentu dipertemukan dengan cepat. Lantas apa? Aku tak tahu. Dia tak tahu. Kalian mungkin juga tak tahu. Aku tak berharap cintaku terbalas karena dia memang tidak peka. Atau mungkin dia peka hanya masih berhati-hati. Dia kan tak sebodoh aku yang bisa jatuh cinta begitu saja. Mungkin mengaguminya dari jauh dan menyebutnya diam-diam dalam doa adalah cara mencintai paling tulus dan mungkin bagianku cukuplah sampai batas itu.

Selasa, 24 November 2015

L(ove) D(ifferent) R(eligion)

A : Tuhan memang satu, bukan? Manusia saja yang berbeda. Jadi kalau ada cinta beda agama, kan tinggal disatukan, atau pilih saja salah satu agama dari keduanya untuk diimani bersama.
B : Cinta beda agama adalah ujian buat manusia. Dia bakal setia dengan apa yang dia percayai sebagai iman, atau menukar itu semua demi dapat bersanding dengan sesosok ciptaan. Tidak semudah itu. Kamu pikir agama atau cinta bisa dimainkan?
A : Oh, jadi kamu bicara soal setia pada Sang Pencipta atau menukar Sang Pencipta untuk mendapatkan ciptaan-Nya?
B : Bukan begitu. Aku setuju soal katamu kalau Tuhan memang satu, kita saja yang berbeda.
A : Lantas apa?
B : Lantas, bukan berarti dengan menyatukan agama semua masalah selesai. Agama tak mungkin disatukan. Itu masalah dasar yang begitu sensitif. Kamu tak bisa memaksa orang dan dengan persepsi semudah itu.
A : Loh, agama kan masalah manusia?
B : Agama memang masalah manusia, tapi tak bisa diartikan dengan seenteng itu. Sulit benarkah buatmu memahaminya? Agama menunjukkan bagaimana kamu menghormati dan mengagungkan Tuhan, bagaimana cara kamu bersyukur dan beribadah kepada-Nya. Beragama itu perlu, dibilang wajib juga bisa.
A : Baiklah. Jadi soal kita, bagaimana pendapatmu? Aku tak mungkin pergi kala aku tahu hatiku mulai nyaman. Mengapa kamu tidak ikut aku saja? Aku sudah belajar jadi imam keluarga yang baik, sesuai agamaku.
B : Kita tak mungkin bersatu. Aku tak mau mengorbankan agamaku, dan aku tak suka pula memaksamu ikut aku.
A : Oh, jadi kamu adalah Tuhan hingga bisa berkata seyakin itu?
B : Aku bukan Tuhan, kamu tahu.
A : Maka, jangan membulankan matahari! Semua bisa diperjuangkan bukan? Katamu orang yang paling kuat adalah yang berjuang sekalipun tak ada lagi hal yang pantas diperjuangkan.
B : Astaga, sejak kapan kamu jadi seperti ini? Kurasa awalnya kita baik-baik saja, bukan?
A : Perbedaan agama ini mencekikku. Mungkin kamu belum merasakan sakitnya.
B : Dengar, aku bukannya membulankan matahari atau memandang kapas sekeras batu. Tapi kadang ada hal yang tak bisa diperjuangkan, apalagi disatukan. Hal itu diijinkan ada untuk tetap seperti itu. Kamu mau mengubahnya? Bicaralah dengan Tuhan. Aku tahu agama adalah masalah manusia karena Tuhan itu satu. Tapi bukan berarti kamu boleh memandang agama sesepele itu. Agama…
A : …adalah hubungan kita dengan Tuhan dan itu tak bisa main-main.
B : Nah, kamu tahu!
A : Aku lelah mendengar kalimat itu darimu. Jadi kusahut sebelum telinga ini panas. Yah, sudah panas memang.
B : Baiklah.
A : Jadi?
B : Jadi?
A : Kamu tahu. Soal kita.
B : Oh! Kita tak mungkin dipersatukan. Lantas mengapa kita tak berjalan sendiri-sendiri lagi? Akan banyak kemungkinan bertemu yang lebih dari aku buatmu, demikian sebaliknya.
A : Ah, aku benci mendengarnya.
B : Sudahlah, aku paham kamu tak ada ide untuk semua ini. Jangan bersedih, tolong. Kita tetap bisa berteman baik-baik bukan?
A : Ya.
B : Ya.
A : Ya.
B : Dan mengapa kamu masih saja murung?
A : Kamu sadar sesuatu?
B : Mungkin tidak. Apa itu?
A : Seharusnya dari awal tidak begini. Mengapa kita mau saja jatuh cinta dengan yang beda agama?

Kamis, 19 November 2015

Selamat, bahagia!

Halo, yang pernah kusayang sesaat. Hahaha.

Aku tiba-tiba ingin menulis ini. Kemarin seorang teman memberitahuku kalau kamu sudah punya kekasih. Sebenarnya aku tak paham mengapa ia mengabarkan itu padaku. Tak penting bukan buatku? Kecuali ada yang lebih besar dari itu. Misalnya saja kamu menikah atau apalah. Hahaha. Maafkan, aku cuma bercanda. Entah mengapa selera humorku sedang rendah-rendahnya. Oh, aku tak peduli. Mungkin aku terlampau lelah berkencan dengan soal-soal ujian.

Baiklah. Aku ikut bahagia kamu sudah punya yang lebih dari aku. Jadi, move on tak seburuk itu, bukan? Kamu tak perlu waktu lama untuk berpindah ke lain hati. Maka jangan menilainya seburuk itu kala kamu belum mengalami. Kudengar wanitamu sangat sayang padamu, bukan? Tak seperti aku yang ternyata hanya bawa perasaan sesaat. Itu salah satu kekonyolanku dan akupun heran bagaimana bisa aku mengartikan pesonamu seberlebih itu. Ternyata aku pernah bodoh juga. Jadi bersyukurlah aku minta lepas. Aku telah menyelamatkanmu dari cintaku yang tak seberapa itu. Kamu pantas dapat yang jauh lebih baik, dan bukan aku tentunya. Simpanan rasamu sejak SD yang telah kutolak mentah-mentah adalah bukti bhawa aku memang bukan buatmu. Sempurna! Oh aku terlalu bahagia.

Aku benar-benar bersyukur kamu dulu mau saja kuajak jalan sendiri-sendiri lagi. Kalau memang takdir labirin kita berbeda, sekuat apapun kamu kepingin pasti tidak akan bisa. Dan aku berterimakasih untuk itu. Terimakasih untuk kesediaanmu melepasku dan membiarkanku terbang bebas ke dunia petualanganku. Dengan teman-teman yang membuatku merasa jauh bahagia. Aku tahu kamu sempat patah. Tapi kini ada kekasihmu yang bisa menjadi penyembuh. Aku senang.

Oh, ya. Awalnya aku sempat ingin marah kala kutahu, kamu penah mencium kekasihmu saat kita masih bernaung dalam status yang sama. Bukan marah karena cemburu, tapi karena kecolongan! Seharusnya aku tahu itu  dari awal jadi aku punya alasan kuat untuk minta dilepas. Sudahlah, ya. Itu masalalu.

Intinya kita sama-sama munafik, bukan? Setiap manusia punya sisi kemunafikan masing-masing. Sudah rahasia umum. Jadi buatku (seharusnya waktu itu) sebelum kamu melimpahkan sumpah serapah dan amarah karena aku setega itu, kamu cek bagaimana kelakuanmu. Baik, aku memang menyia-nyiakan kamu, kuakui. Tapi kamu juga berbuat ‘yang iya-iya’ dibelakangku. Impas bukan? Jadi, jangan dendam, ya.

Kalau aku boleh cerita, aku bahagia benar kamu lepas, sungguh. Aku tak tahu harus berkata apalagi, aku kehilangan banyak kalimat saking senangnya. Aku merasa duniaku kembali dan hati ini jadi berwarna lagi. Aku sekarang punya manusia kesayangan, kalau kamu mau tahu. Dia baik, sungguh. Terimakasih sudah memberiku jalan untuk bisa mendekatinya. Semuanya takkan terjadi andai kita tak lagi sama-sama sendiri.

Sudah, ya. Aku memang cuma berniat mampir. Aku mau terbang lagi.

Selamat menghabiskan malam-malam bahagia bersama kekasih barumu!

Jangan berbuat ‘yang iya-iya’ sebelum waktunya, ya! Hahaha.

Salam hangat dari masalalumu,
yang merasa sangat bodoh pernah bawa perasaan buatmu.

Rabu, 11 November 2015

Pangeran Katak

Wangimu menyembul entah darimana. Tiba-tiba saja aku sadar aku menghirup udara bercampur aroma yang memaksa kepala menoleh ke sebuah arah. Dan disanalah kamu. Seragam OSIS lengkap dengan sweater aroma khasmu. Aku benci merasa ini suatu hal yang istimewa, karena harusnya tak ada yang aneh dari menemukanmu di suatu sudut. Semua orang bisa saja ada di sudut itu, dan bisa saja aku tanpa sengaja melihatnya. Aku benci merasa ada rasa yang ikut datang ketika melihatmu. Aku benci penasaran soal kamu. Tapi, aku tak punya cukup kemampuan untuk menekan hatiku dan berusaha berkata bahwa semua berhenti pada kesimpulan ‘hanya kebetulan’. Oh, Allah. Tolong yakinkan aku semua cuma rasa gilaku belaka.

***

Sudah hampir dua tahun lalu, Pangeran Katak (akan kujelaskan alasan memanggilmu seperti ini kala hatiku sudah terasa lebih baik). Sudah selama itu aku mengagumimu. Orang bisa saja berkata dengan wajah sombong mereka, mengungkapkan bahwa kagum dua tahun adalah waktu yang demikian singkat. Aku tahu dan paham diluar sana banyak wanita yang menyimpan rasa mereka bertahun-tahun. Belasan, puluhan. Mungkin sampai mereka resmi bersuami, bisa saja hati melirik masalalu. Dan dibuat rindu. Ah, aku tak peduli.

Dua tahun buatku sebuah perjuangan karena kita berada dalam satu kelas yang sama. Bertemu tiap hari. Melihat kamu tiap bel ganti pelajaran berbunyi. Itu siksa, andai kamu tahu. Apa rasanya berada dalam keadaan terentang antara mengagumi dan benci?

Maka, ijinkan aku mengungkapkan rasa ini dalam susunan kalimat yang entah mudah atau tidak untuk dimengerti. Maafkan apabila aku tak mengikuti cara bercerita yang baik dan benar. Maafkan apabila aku terlampau suka menyebar arah bicara. Kalau aku jadi kamu dan kamu jadi aku, mungkin kamu bakal paham. Menceritakanmu adalah sesulit menyatukan bintang-bintang dalam ruang agar cahaya berpusat pada satu tempat. Dan kalau aku boleh mengungkapkan, kamu benar-benar serumit itu. Sungguh. Jangan tanya mengapa. Aku takut hatiku berceloteh sepanjang hari dan kamu tak mampu tidur hingga pagi.

Baiklah. Aku harus bicara apalagi?

Oh!
Sebentar lagi kamu ulang tahun!

Aku baru ingat.

Sempat aku panik bakal kuberi kado apa kamu nanti. Dan aku baru saja sadar kadomu sudah tergeletak di atas tempat tidurku. Akan kubumbui doa supaya kamu selalu sehat dan bahagia, karena kata orang bahagia adalah level tertinggi sukses. Aku tak berminat mendoakan agar kamu selalu punya banyak uang, tidak. Uang kadang membuatmu lupa diri. Lagipula selama ini kamu telah memakan banyak uang. Jadi akan lebih baik jika aku mendoakan untuk kebahagiaanmu, lalu menyiapkan hati membungkus kado itu.

Tolong jangan lihat barang apa itu, berapa harganya, dan mengapa kamu. Sudah kujelaskan tadi kalau menjabarkan rasa padamu sulitnya bukan main. Maka terima saja, karena itu sudah lebih dari cukup.
Oh, ya. Awalnya aku ragu menjatuhkan pilihan pada kedua kado itu. Bagaimana mungkin kaos kaki dan boneka bola bisa membuat senyummu ada? Aku paham benar aku bukan siapamu. Aku cuma wanita bodoh yang jatuh hati dengan segala tingkahmu. Kamu yang usil dengan hidung bulat mancung, rambut jambul, dan postur tubuh tentara. Kamu yang merenggut hati dan mengembalikannya lengkap dengan banyak rasa. Sekarang aku paham artinya satu paket cinta.

Baik, kembali soal kado. Ketika tiba waktunya kamu menerima, aku berharap kamu suka. Aku cuma mampu memberi itu lengkap dengan banyak doa. Aku yakin Allah akan menyampaikannya padamu suatu saat nanti. Entah lewat angin, hujan, terik matahari, bahkan tatanan bintang malam. Pekalah, pangeran. Karena aku bakal selalu ada diantara nyata-mayanya kamu.

Suatu saat nanti kita akan berpisah. Tak lama lagi, mungkin. Kita akan fokus dengan cita-cita dan mimpi masing-masing. Aku harap kamu tetap baik-baik saja. Aku harap kamu tetap setia dengan sweater, aroma khas, rambut jambul, dan kegilaanmu. Aku harap kamu tetap setia seperti aku yang setia dengan rasa tanpa penjelasan logika ini.

Ah aku pasti bakal rindu kamu, tas ranselmu yang pernah jadi alas kepalaku, dan sweater aroma khasmu yang pernah berada dalam pelukanku. Aku pasti bakal rindu kita selama tiga tahun ini, kita yang bahagia dengan dunia putih abu-abu. Sekalipun kita tak mampu mewujudkan sebuah status sebagai judul antara aku dan kamu.

Sering aku tak mau semua perpisahan ini terjadi. Tapi waktu berjalan terus, bukan? Semoga kamu selalu bahagia dengan pilihanmu, apapun itu.

Tetap jadi kamu, ya. Supaya aku bisa mengagumi dan benci dengan segenap hati.

***

Menepati janjiku.
Menyebutmu Pangeran Katak adalah suatu pilihan konyol yang kadang aku merasa geli sendiri. Tapi itu satu-satunya panggilan yang lucu buatku dan cocok buatmu. Lagipula, aku punya alasan. Sudah kusebutkan bukan kamu seperti tebaran bintang? Jaraknya yang berjauhan membuat hatiku harus loncat-loncat untuk mewujudkan kamu dalam gambaran yang cuma aku bisa mengerti. Aku harus loncat! Menggapaimu dengan usaha yang semoga tak sia-sia.

Loncat!

Hap! Hap!

Selamat merangkai mimpi, Pangeran Katak!

Rabu, 04 November 2015

Sampai kusadari kita berbeda

Selamat malam.

Mungkin kamu sedang mengaji ketika aku berhadapan dengan monitor dan menghabiskan waktu untuk menulis ini. Atau kamu sedang belajar. Atau sibuk membersihkan pondok. Atau mungkin memikirkan bagaimana menyusun program kerja yang demikian baik dengan banyak ide baru agar manusia-manusia lain di sekolah mampu menerima, menikmati, bahkan mengapresiasi hasil usahamu, juga timmu, tentunya.

Andai kamu tahu, aku masih belum mampu keluar dari lautan bahagia ini. Bibirku sesekali masih tersenyum ketika otak memutar kejadian siang tadi. Lagi dan lagi. Astaga, aku baru sadar sekarang betapa konyolnya tingkahku tadi. Kalau aku jadi kamu dan kamu jadi aku, adakah bisa kamu memposisikan dan menguasai diri dengan baik? Ajari aku jika jawabmu adalah ya. Karena aku masih tenggelam terlalu dalam dan terbang terlalu tinggi. Semisal pesonamu adalah matahari, niscaya aku terbakar hangus jadi abu lalu menyebar tertiup angin kala berhadapan terlalu dekat dengan kamu. Sungguh, kamu tadi sedekat itu. Jadi bagaimana bisa aku tidak lebih dari sekadar senang?

Sempat ada bersitan rasa malu ketika  kita berhadapan dan kamu tahu tingkahku jadi serbasalah. Tapi benar-benar aku tak mampu. Masih suatu keuntungan aku tak berteriak histeris lalu menghambur memelukmu. Oh, jangan sampai. Dengan segenap kekuatan dan akal sehatku, kupastikan itu takkan terjadi karena aku tahu, kita berbeda. Kita cuma bisa saling tatap, hatiku mungkin ingin melekat, tapi kita terbatas sekat. Dogma agama.

Lalu apa sekarang?

Mungkin cuma aku yang tiap malam memikirkan hal ini. Kadang aku merasa bersalah sehingga ingin mundur teratur sampai akhirnya menghilang dari hidupmu (andai kamu menganggapku). Kadang aku ingin berjuang, menyamai sesuatu yang tak mungkin disatukan. Tuhan memang satu. Kita yang tak sama. Tahukah kamu betapa menusuk kalimat itu?

Tadinya aku menulis ini dan berharap aku dapat mengakhirinya dengan bahagia pula. Tapi tidak, ternyata. Perbedaan kita merenggut senyum dan tawaku. Otakku mulai mendingin, semoga tak membeku.

Hei, aku benar-benar suka.

Mungkin ada baiknya kamu berhenti punya pesona agar aku tak perlu repot-repot mengendalikan diri, rasa dan hati.


Salam dari kelancangan untuk mengagumi kamu.

Selasa, 20 Oktober 2015

Reinkarnasi Masalalu #1

Halo.
Aku sudah cukup lama tahu kamu sebenarnya. Hanya baru malam ini aku memutuskan mulai menyebutmu dalam doa lalu menyempatkan waktu menuliskan ini. Awalnya aku tak pernah berpikir bakal bisa masuk dalam beberapa skenario bersama kamu. Kamu tahu, beberapa tatapan awal takkan menunjukkan sesuatu yang istimewa. Tapi, waktu selalu menyimpan banyak rencana dan rahasia. Dan semua mengalir begitu saja.
Sungguh, tadinya aku berusaha tak mau tahu. Berusaha biasa saja karena ada banyak manusia yang lewat lorong depan kelasku untuk menuju kantin atau lapangan basket atau laboratorium. Tapi aku ragu semuanya tetap bisa disebut biasa ketika aku asyik menulis, mataku cuma terpaku pada buku dan papan tulis, tiba-tiba refleks aku menoleh ke arah lorong. Dan mataku menangkap kamu disana. Hei, aku mulai merasa kamu berbeda.
Wajahmu mulai mengusik, entah mengapa bisa begitu. Kamu mulai manis dipandang, dan menyenangkan untuk diperhatikan. Postur tubuh tinggi dengan kacamata dan wajah arab. Familiar sekali. Astaga, bagaimana bisa aku baru sadar aku satu sekolah dengan manusia setampan kamu?
Jujur, aku merasa bodoh seketika.
Andai aku diijinkan bercerita sedikit mengenai wajahmu, ada bersitan rasa masalalu yang kamu bawa serta di tiap kelebatan bayangmu. Entahlah mungkin cuma aku yang menyadarinya. Aku punya seseorang yang kusimpan dalam lembaran masalaluku. Seseorang yang kusyukuri benar kehadiran nyatanya selama empat tahun silam. Wajahnya benar-benar mirip kamu. Jadi mungkin itu alasan  mengapa aku tak mampu menoleh ke arah lain kala mata ini menemukan kamu.
Seseorang itu satu-satunya manusia yang masih sering kuingat-ingat sekalipun aku tidak berpisah baik-baik dengan dia. Kamu mungkin tahu, melupakan manusia yang memberi banyak kenangan tak semudah yang direncanakan. Sering aku merasa dia telah mati (dalam kiasan), mengatasnamakan kecewa luar biasa yang membuat hati tak mampu lagi disatukan.
Bersama perasaan yang mengatakan bahwa dia telah mati, otakku berjalan menyusuri memori. Sebuah kata muncul, lalu aku tahu, sesuatu terjadi.
Reinkarnasi.
Dapat dijelaskan secara singkat, reinkarnasi adalah keadaan dimana seseorang yang telah mati dapat hidup kembali sebagai kesempatan untuk memperbaiki hidup yang sebelumnya, hanya saja, dalam wujud yang berbeda. Maafkan apabila aku tak mampu mengartikannya dengan tepat, karena mungkin otakku sedang berada dalam keadaan yang salah ketika aku mencari informasi tentang kata tersebut. Mungkin aku terlalu membawa perasaan, entahlah.
Kamu percaya reinkarnasi?
Aku ingin bilang aku percaya sekalipun kamu tidak bertanya.
Aku percaya, karena aku tahu aku suka kamu, dan kamu nyata.

Cerita selanjutnya: Reinkarnasi Masalalu #2

Sabtu, 17 Oktober 2015

Seorang Puteri tanpa Hati..

Untuk seorang wanita yang kucintai dengan lebih dari segenap hati.
Aku tak paham apa yang terjadi sampai aku menyadari: lambat laun kasihmu mulai pergi. Tadinya aku memilih tidak merasakan semua ini. Aku memilih kamu, dan otakku penuh dengan banyak ide bagaimana membuat senyummu tetap ada. Bagaimana membuat hati ini tetap untuk kamu, satu-satunya. Dan bagaimana rasa ini terus menerus mengisi, aku, kamu, kita. Harusnya aku sadar, sekalipun kamu adalah manusia kesayangku, tak menutup kemungkinan kamu akan menutup hati untuk perjuanganku selama ini, dan memilih pergi. Entah untuk mengejar bahagiamu dalam suatu rutinitas baru, atau kamu telah bertemu yang lebih dari aku.
Sebelum semua sakit ini menjalar ke kapiler, aku berusaha tetap tenang dan menuruti hatimu, selalu. Karena buatku tak ada yang selain kamu. Tak ada orang lain yang perlu kukejar lagi. Entah kamu. Harusnya aku tahu.
Aku tidak ingin bermain perhitungan tentang kamu. Tentang sekian banyak peluh, airmata, kalau perlu darah nadiku sendiri kucurahkan demi kamu. Tak lagi kuteteskan satu per satu, karena kurasa, tetes demi tetes itu tak bisa membuatmu terus menyayangiku. Jadi, kucurahkan semua. Semuanya. Berapapun. Demi kamu. Dan hal yang paling menusuk adalah ketika aku tahu, untuk menyisihkan waktu dan menghargai akupun kamu tak sempat, juga tak mau.
Waktuku habis untuk terus memperjuangkan kamu. Tapi, kamu anggap semua itu tak berarti. Kamu anggap aku punya banyak jam dalam satu hari, sebegitu banyak sisa jam luangku hingga aku bisa melakukan semua ini. Demikian murahnyakah aku di matamu? Demikian biasanyakah perjuanganku? Demikian tak bermaknakah rasa dan hati ini?
Ah sayang, harusnya kamu bilang dari awal sebelum rasa percaya ini membunuhku sendiri.
Aku tak ingin lagi mengemis. Aku tak mau bersujud untukmu. Aku tak mau menangis entah berapa gelontor demi kamu. Kamu, yang tak pernah menganggap aku. Tapi aku punya hati yang harus kujaga sendiri (karena aku tahu kamu tak bisa lagi menjaganya tetap utuh dan tak tersakiti). Ya Tuhan, sepahit inikah memperjuangkan kamu?
Dan bila aku jadi kamu dan kamu jadi aku, apa yang bakal kamu lakukan? Apa yang bakal kamu perjuangkan? Apa yang bakal kamu ikhlaskan demi aku bahagia, bersama kamu? Aku mati-matian menjaganya. Tolong, jangan buat aku menyesal telah melakukan ini semua, karena rasa ini terpatri untukmu.
Iya, aku paham di sudut pikirmu kamu ingin bilang bahwa aku lelaki terbodoh dan tertolol. Aku tahu. Akupun tahu, aku telah hancur lebih dari berkeping-keping. Dan tak adakah rasa di hatimu?
Sekarang aku merasa kamu telah pergi sebelum tangan ini mampu menggapai.
Katakan, sayang, kalau saja kamu masih sedia berbicara.
Apakah ada hal yang sangat kurang buat hatimu sampai kamu menginjak-injak aku demi kepuasanmu sendiri?

Dari seorang lelaki bodoh yang demikian takut kehilangan kamu, dan rasamu.

Senin, 05 Oktober 2015

Kita, abadi. Bisa?

Sejauh apapun kaki pelangkah pergi, hanya rumahlah tempat kembali.

“Nanti jadi, kan?” tanyamu harap-harap cemas di ujung telepon. Aku merasa harus tertawa sebelum menjawabnya.
“Jadi. Jangan khawatir.”
“Aku takut kamu tiba-tiba punya keinginan untuk membatalkan.”
“Hahaha,” lagi, aku harus tertawa dan kali ini lebih keras. “Aku tidak sejahat itu. Sebegitunyakah kamu takut?”
Kamu menggeleng. Aku tahu.
“Baiklah, sampai jumpa nanti.” Senyumku mengembang. Aku tidak yakin apakah kamu perlu tahu betapa bahagianya aku.

Kuakui, ini konyol. Aku bahkan tak mampu mempercayai diriku sendiri tentang hal ini. Bagaimana mungkin selama tiga tahun aku mengenalmu, kita belum pernah menghabiskan waktu dengan menonton bersama? Dan sekarang aku sebahagia ini. Andai kamu tiba-tiba muncul dari lubang speaker telepon lalu berdiri tepat di depanku, kupastikan aku telah menghambur untuk memelukmu erat, mungkin tak kulepaskan sampai aku sadar kita telah sama-sama kehabisan napas.

Sungguh, aku sebahagia itu.

Waktu kini mulai tarik ulur denganku. Aku paham benar ia relatif. Selalu mampu memanjang dan memendek, menjadi begitu lama atau terlalu singkat sesuai dengan keadaan. Ia hanya tak mampu kembali, mengulang apa yang telah dilalui. Dan dalam situasi macam ini ia akan memanjang seolah aku masih perlu menunggu lama untuk bisa melihatmu secara nyata.

***

Kakiku sudah berdiri di atas karpet sepanjang ruang ini. Hati sudah meloncat-loncat sejak tadi. Aku tahu seluruh sel tubuhku tak sabar menunggu saat kamu tiba dan bayangmu tertangkap mata.

Dan disanalah kamu. Berjalan mantap menapaki aspal menuju gedung ini. Kacamata cokelat. Kemeja putih kotak-kotak rapi. Celana jeans cokelat. Rambut klimis rapi. Dan tatapan itu. Mata itu. Tak mampu lebih lama aku menatap. Teriakan ini bersarang dan mencekik kerongkongan. Tak menyangka melihatmu dengan gaya seperti itu. Aku seketika membayangkan adegan slow-motion seperti film-film Hollywood, dan bagaimana segala efek itu membuatmu seperti malaikat. Malaikat Hujanku, satu-satunya.

Kamu benar-benar setampan itu. Gila, aku bahkan baru tahu.

Kamu mendekat, aroma parfum menyeruak. Dingin ruang ini seolah tak terasa, dan bodohnya, aku merasa hidup tinggal sejenak hingga aku perlu memelukmu sampai napas terakhir. Astaga, kamu memang penghipnotis handal.
“Ini,” katamu lirih sambil memberikan selembar uang limapuluh ribu.
Tatapanmu sepertinya membuat uang itu bertransformasi jadi tiket masuk bioskop. Sempurna!
Kutarik tanganmu, tak sabar ingin segera masuk ruang dan mewujudkan semua ini. Mimpiku bakal jadi nyata! Astaga, padahal aku cuma ingin bisa menonton film bersamamu.

***

“Filmnya sudah mulai, entah berapa menit. Dan kamu masih tak tenang?” tanyaku, mulai risih dengan gerakan-gerakan kecilnya. Seperti seorang bocah terjebak dalam ketidaknyamanan. Aku tak mau bocah kesayanganku mengalaminya, itu menganggu.
“Ya. Bisa kamu antar aku ke toilet?”
Hah? Aku?
“Astaga, kamu tidak berani ke toilet sendirian?” aku nyaris tertawa.
“Sudah, ayo,” dia menarik tanganku, dan mau tak mau aku mengikutinya.

Jalannya cepat sekali. Aku tak tahu apa itu karena dia menahan ingin ke toilet atau ada sesuatu yang lain. Aku cuma bisa diam menunduk dan ikut jalan cepat, karena aku tahu, bioskop bukan tempat yang tepat untuk menanyakan ‘kamu kenapa, sih?’. Aku sudah merasa cukup konyol jadi tak perlu kulakukan itu atau aku bakal dipecat dan dicoret dengan spidol permanen dari daftar manusia yang dikenalnya. Hahaha.

Tirai pembatas antara ruang film dan jalan keluar tersibak. Dia sudah ada di balik tirai itu. Sebenarnya aku balik arah sejenak untuk memastikan tirai itu sudah tertutup sempurna, atau bakal ada mata yang tertanggu akibat cahaya di balik tirai menyeruak masuk ke ruang film.

Lalu aku kembali menghadap dia.

Sesuatu yang dingin dan lembab tiba-tiba menempel di jidatku sebelum kesadaranku pulih untuk tahu apa yang terjadi.

“Aku rindu kamu. Aku rindu pulang ke rumah buat hatiku. Bisakah kita tetap baik-baik seperti ini?”

Minggu, 16 Agustus 2015

Salam rindu, Arjuna

Halo Arjuna. Sudah lama aku tak menyapa. Kesibukan membentang luas di antara kita. Waktu mulai lupa dengan masalalu, aku dan kamu yang bisa terjun dalam cerita yang sama. Aku yang membawa hati dan rasa, entah kamu. Hahaha.
Jadi, apa kabar? Kudengar karirmu menanjak. Kudengar pula penggemarmu bertambah. Lalu hatimu bagaimana? Adakah ia masih seperti yang dulu? Arjuna yang kukenal benar-benar membuat kaum hawa jatuh dalam kiasan hati, lalu jatuh sungguhan. Hahaha. Jangan berubah ya. Karena tanpa manusia-manusia macam kamu, mungkin takkan ada hawa yang bisa bersyukur atas apa yang bisa dinikmatinya selama ini. Semoga saja persepsiku salah.
Hei, aku mulai sadar kalimatku berisi kata-kata tak bermakna dan tanpa aturan. Tapi sungguh aku semangat menulis ini. Aku merindukanmu. Serius. Sumpah. Swear. Entah kamu. Aku tak pernah berharap kamu bakal rindu aku karena aku tahu siapa kamu dan bagaimana hatimu. Hebat ya, baru ada dua wanita yang bisa menaklukkanmu. Bundamu, dan dia. Ah salut benar aku pada mereka. Mungkin suatu saat aku perlu bertemu mereka dan mewawancarai, supaya aku juga bisa menaklukkan kamu. Oh, hahaha. Tidak, tidak. Aku cuma bercanda.
Aku merindukamu, sungguh! Cuma itu yang ingin kukatakan sebenarnya. Aku masih sering menertawai masalaluku soal kamu. Waktu kita duduk berjajar, membicarakan keadaan sekitar, lalu aku, lalu kamu, mulai hidup kita, dan yang terakhir: hati. Aku takkan pernah bisa lupa. Kamu salah satu dari sekian banyak manusia yang kusyukuri benar karena sudah terjun ke kisah ini, mengisi hari, menandakan seolah kamu juga bawa hati. Tapi ternyata aku salah! Oh, pernah sebodoh itu ternyata aku.
Hmm, otakku mulai buntu. Kuakhiri saja tulisan ini.

Oh iya, jadi kapan kita bisa bertemu? Hahaha.

Kamis, 23 Juli 2015

Tentang 'dia' #3

Cerita sebelumnya: Tentang 'dia' #2
—One last time, I need to  be the one who takes you home.
“Jadi, apa salah ketika kamu suka dia, padahal kamu sudah ada yang punya?”
Aku cuma diam.
“Kurasa tidak,” jawabnya lirih setelah tujuh belas detik berlalu. “suka itu masalah hati—“
“Tidak selalu.” Potongku cepat. “Kalau kamu cuma bicara masalah suka atau tidak, itu campuran antara otak dan hati.”
“Apapun katamu saja,” ia menepiskan tangan. “yang jelas, itu masalah subjektif, kamu tidak bisa memaksa hati untuk suka dia, atau siapapun itu, dan soal hatimu sudah ada yang punya atau belum pun tak jadi masalah.”
“Lalu?” aku menaikkan alis. Masih belum paham soal apa yang dibicarakannya, siapa manusianya, dan apa tujuannya.
Dia menarik napas panjang, memandang langit-langit kamarku beberapa saat, dan mulai bercerita.
***
Aku bertemu dia pada suatu senja. Senja yang tidak istimewa, begitu pula sosoknya kala pertama. Aku cuma sempat mengerling sejenak, sekadar memastikan ada manusia di sampingku. Dan sudut mataku menemukan dia. Sosoknya kurus tinggi, wajah lonjong, hidung mancung, bibir tipis dengan warna kulit sawo matang, seperti kebanyakan pria. Sungguh, dia biasa saja. Tak pernah sekalipun aku berpikir bakal punya rasa bahkan mulai percaya untuk titip hati. Lagipula, aku sudah punya kekasih. Tapi sekali lagi, manusia takkan mampu mengendalikan apa yang disebut rasa, hati. Maka, aku membiarkan semua ini berlalu.
Entah bagaimana ceritanya, kurasa sudah jalannya kami dipertemukan lagi. Pikiranku mulai menyerempet hal-hal yang sedikit tidak masuk akal, dan aku mulai memperhatikan dia. Tingkahnya lucu, dia usil dan pembawaannya santai, juga menyenangkan. Aku mulai terpaku, senyum mulai tersungging tanpa kutahu. Aku merasa ada sesuatu yang bangkit, rasa yang lama mati, kini membuka mata dan siap terbangun, hidup lagi, mencari mangsa. Lantas kutepis bayangan itu cepat-cepat. Aku tak ingin satu detik membuatku terlambat.
Tapi Sang Waktu benar-benar hebat. Dibuatnya aku kalah, telak.
Kutatap langit-langit kamarku, sendu mataku menyapu, dan aku tahu, aku telah terjebak rindu. Tapi bagaimana bisa? Aku seketika merasa berdosa. Berdosa karena tak mampu mengendalikan hati ini, dan menghalangi rasa yang memang harusnya tak ada.
Airmataku meleleh pelan-pelan. Jantungku serasa tertohok, dan sesak menyerang. Aku memekik memanggil Tuhan. ‘Tuhan, Tuhan!’ Tolong aku. Rasaku tak lagi sama. Hatiku tertambat pada manusia yang bukan semestinya.
Aku mulai gila. Logikaku gagal bekerja. Tapi kutahu, hati sudah ambil kendali atas seluruh organ dan pancaindera. Mulai kucari segala sesuatu yang sekiranya bersangkutan dengan dia. Apapun itu. Aku mestinya sadar kalau bakal ada kemungkinan dia ada yang punya, karena akupun begitu. Namun, hasrat ini menggebu, tak mau tahu.
Dan halaman semu yang terpapar dari monitorku diutus, untuk membuatku sadar, aku dan dia tidak ditakdirkan bersama.
Hatinya sudah ada yang memiliki. Sungguh. Astaga, bagaimana mungkin aku bisa terima?!
Aku mematung beberapa saat sebelum akhirnya kemampuan menguasai diri bisa kuterapkan dengan benar. Airmata jatuh satu-satu. Tapi aku merasa bahagia. Aku merasa tenang dan lega, karena bisa menikmati apa yang menjadi bagianku. Apa yang harus kucukupkan buat diriku sendiri. Apa yang harus kusyukuri sudah kudapat dan kurasakan selama ini.
Aku membisikkan sesuatu padanya. Kukirim bersama hembusan angin dan karbondioksida yang keluar dari mulutku. ’Biarkan aku mengantarmu pulang untuk terakhir kalinya. Biarkan aku memastikan kamu aman dan baik-baik saja. Setelah itu, aku bakal kembali ke tempat harusnya aku berada. Aku berjanji. Bakal kutarik lembut hatiku, lalu pulang. Sekalipun aku telah kalah, senyumku mengembang, langkahku mantap dan lebar. Aku ikhlas, karena tak perlu aku tertatih dan berdarah-darah.’
‘Untuk kamu, jangan lupa bahagia, ya.’
***
And I know, and I know, and I know
She gives you everything
But, boy, I couldn’t give it to you
And I know, and I know, and I know
That you got everything
But, I got nothing here without you
So, one last time
I need to be the one who takes you home
One more time, I promises, after that I’ll let you go
***


Terimakasih untuk lagu yang mengispirasi, Ariana Grande!

Rabu, 17 Juni 2015

Pained. Disappointed.

Sebegitunyakah rasa sakit merenggut otakku? Aku tak tahu. Yang benar aku paham aku mulai benci dengan segalanya, diri sendiri, juga kamu. Sekelilingku seakan seperti harapan yang terlalu ditinggikan. Hal yang diam-diam kusebut dalam doa berbalik dan menusuk. Tak perlu kujelaskan bagaimana rasanya. Karena aku paham kamu tahu apa itu luka.
Aku benci menyalahkan kamu dan menempatkan namamu jadi penyebab semua ini. Tapi kalau nyatanya begitu, bisa apa aku?
Ingin rasanya aku menuntutmu mempertanggungjawabkan semua ini. Karena waktu telah mengambil hampir semua hartaku, manusia-manusia kesayanganku, sahabatku, bahagiaku. Lalu aku sadar kamu bukan Tuhan. Kamu manusia yang seperti lainnya, punya banyak salah dan dosa. Dan aku menyesal akan satu hal: mengapa kamu jatuh dalam salah yang satu itu?
Aku mau jujur. Sejak saat itu, aku semakin terbiasa dengan pedih, perih, duka, dan luka. Aku mulai terbiasa menikmati segalanya dalam porsi yang jauh lebih besar dari yang selama ini biasa kumakan pelan-pelan. Lihatlah, bahkan sahabat-sahabatku mulai memberi senyum sinis, acuh tak acuh denganku. Mereka mengataiku bodoh. Kamu tahu apa saran pertama mereka? Mereka bilang putus saja! Suatu kesalahan besar mempertahankanmu. Tapi aku masih memikirkan bagaimana perasaanmu. Aku terima mereka mengataiku, menjauhiku, karena aku masih memikirkan kesempatan kedua. Siapa tahu kamu bisa berubah. Tapi entahlah. Kadang aku berpikir mungkin seharusnya aku ikut saran mereka.
Aku terlalu kecewa. Dan aku tak bisa berpura-pura bersikap manis, karena hatiku tak mau berhenti menangis.
Aku benci airmata duka, sungguh benci.
Tapi berusaha kunikmati karena aku masih memikirkan hatimu. Entah kamu. Masih untung aku bisa jaga mulut, tak kulontarkan caci maki atau sumpah serapah ini. Pahamilah, aku sakit menyakitimu, tak cuma kamu. Berharap saja aku bisa bertahan, karena otakku memaksa lari lalu menyerah.

Dan di lembar ini, aku kehilangan segala kemampuanku berkata-kata.

Sabtu, 30 Mei 2015

Kopi Sabtu Malam

Aku sibuk mereka-reka suasana macam apa yang bakal kuhadapi nanti. Terlalu banyak bayangan berkecamuk, berputar-putar, dan otak belum dapat bantuan dari hati untuk bisa menyatukan segalanya tepat di satu titik. Halte itu belum dapat terwujud. Dan yang lebih menyebalkan, Waktu berjalan malas-malasan seperti manusia kurang tidur yang baru saja bangun tidur. Lalu sibuk mengingat-ingat mimpi. Melamun. Topang dagu. Tolonglah, Sang Waktu. Apa perlu kusiram air agar jarummu bergerak normal?
Setelah kurasa telah lama menunggu, manusia kesayanganku akhirnya datang. Senja, angin, dan sisa cahaya surya membawa hati untuk siap bertemu kesimpulan. Maka timbullah sebuah tanya: akankah ekspektasi kali ini berbanding lurus dengan realita?
Aku harus puas dengan berharap: semoga.
Dan, disinilah aku.
Pintu terbuka, semerbak harum kopi datang ke hidung, diterjemahkan dengan baik oleh otak, dan menjalar memenuhi benak. Entah mengapa, aku merasa senyaman berselimut saat hujan. Mataku bergerak horizontal, menangkap apapun yang memungkinkan untuk direkam dan disimpan otak. Tempat ini demikian kecil untuk manusia yang banyak tingkah seperti aku. Tapi percayalah, hati yang mulai mencintai kopi bakal puas bisa singgah disini. Dan kalau saja aku tak mampu menguasai diri, kupastikan kakiku bakal tetap diam di tempat, dan entah berapa menit lewat disitu. Bagaimana mungkin lantai kayu biasa bisa memberi kesan yang begitu istimewa? Seperti memelukmu, kaki ini tak rasanya tak mau beranjak.
Sebagai pemula untuk urusan kopi, aku masih belum pandai memilih mana yang sekiranya bisa bersahabat baik dengan lidah dan lambungku. Lalu, setelah menimbang dan sedikit memeras otak, hatiku mengarah pada espresso. Dan itu saja yang sanggup kupilih. Tolong jangan tanya aku minta jenis kopi aku yang kumau, atau aku bakal diam melongo, sungguhan tak mengerti. Apa sajalah, kataku. Yang penting jangan terlalu berat karena lambungku bisa saja meronta sampai sekarat.
Mataku masih belum puas melihat apapun yang kelihatan di ruang ini. Dan meja di pojok belakang dengan kursi yang masuk golongan tinggi untukku bisa jadi perpaduan yang manis. Kini, waktu jadi terlampau cepat berlalu.
Segalanya ada disini. Aroma, tulisan, perabot-perabot dan apapun yang belum pernah menjamah otakku sudah antre minta tiket masuk. Bisakah sabar? Aku sedang sibuk menata bahagia hati ini.
Seketika otakku macet dan aku megap-megap mencari udara. Yang kuhadapi kini sulit dilukiskan dengan kata-kata. Aku cuma bisa mengemut pelan-pelan, padahal yang harus masuk sebanyak ini. Sekarang aku paham, adakalanya senyuman dibalik bekapan, teriakan tertahan dan mata yang berkaca-kaca mampu bercerita jauh lebih baik dari deretan kata.
Kopiku datang. Kopi sungguhan kali pertamaku. Oh Tuhan, kalau saja di tanganku ada mesin laminating, kalau saja ada kamera jatuh dari langit dan menembus langit-langit, kalau saja ada serbuk Tinkerbell dengan bahan utama sari bunga edelweiss, pasti bakal kuabadikan semua ini.
Pelan-pelan, aku menikmati aromanya. Arabika. Tajam dan menggoda. Entah mungkin aku terlalu berlebihan, tapi aku merasa perlu melakukan semua ini, seperti ritual. Ah, memang aku terlalu.
Bibirku mendekat, aroma dan panasnya mulai bersahabat. Sampai lidah mencecap. Gila! Aku jatuh cinta pada detik pertama. Rasa asam dan pahitnya terlampau kuat, pekat, namun memikat. Jalarannya menyebar cepat seperti bisa. Lagi, otakku macet semua terlalu indah dan aku belum pernah merasa sebahagia ini.

Seketika pahamlah aku, kopi dan bahagia ternyata sudah lama berjalan pada satu jalur dengan arah yang sama. Seketika sadarlah aku, mengapa sekian banyak orang jatuh hati pada si biji istimewa. Seketika tahulah aku, senja, angin, dekapan, Sang Waktu, macam-macam aroma dan segala hipotesa yang tadi betulan memenuhi otak dan benak, berlari bersama menuju satu titik untuk akhirnya pecah, melebur, meluber, dan melebar bersama dengan datangnya satu simpul ini: kopi sabtu malam.
Terimakasih, Kopi Ketjil dan kamu!

Kamis, 14 Mei 2015

Rokok, kopi, dan cinta pahit

Aku cuma ingin bertanya; akankah semua jomblo semenyedihkan itu?

Dia masih terlihat baik-baik saja kala senja memberiku kesempatan bertemu dia lagi. Kaos polo merah, celana jeans coklat muda, tas selempang motif tentara, sepatu abu-abu, dan tentu saja, rambut lurus gondrong. Masih seperti yang kemarin, mungkin belum ada sebulan lalu. Tapi aku tahu, matanya tambah sayu. Rasanya ingin aku bertanya, masihkah karena wanita yang sama? Karena sedihnya tersirat jelas. Untung saja aku masih sadar diri, belum saatnya tanya itu merambat ke telinganya. Dukanya cukup menggambarkan, dan aku dibuat paham dengan kerlingannya.

                “Kalau dia ikut main, apa boleh?” tanya kekasihku. Aku mengangguk cepat, tentu saja. Dia baik, dan tak ada salahnya menemani orang galau. Ups, mungkin aku terlalu frontal.

Kami sampai di sebuah tempat makan, dan aku begitu bersemangat, kekasihku juga, tapi dia tidak. Pekikannya tertahan, lagu galau menyambut. Aku kaget mendengar suaranya jadi seberat itu. Sebegitunyakah rokok menenangkannya? Aku seperti ingin mencukupkan semua ini, tapi waktu masih membiarkan perasaannya berbalik menusuk hatinya sendiri. Ah, harusnya seperih itu?

Dia akhirnya duduk satu meja dengan kami, dan tangannya tak berhenti menari di atas layar sentuh besar itu. Aku tidak merasa perlu memperhatikan dia, dan mataku tak bertahan pada sosoknya, tapi entah mengapa hatiku bisa secepat ini menerjemahkan tiap ekspresinya. Lalu aku jadi sedih. Dia berulang kali menunjukkan obrolannya dengan wanita harapan itu, dan aku susah payah menahan kalimat nasehatku. Belum saatnya, belum saatnya. Waktu belum berkenan membuka mulutku.

Rokok pertamanya sudah habis. Rasa hatinya makin mengiris.

Jangan terlampau halus hati, dik. Atau kamu bakal cepat mati. Bisa juga sama saja bunuh diri. Adakah yang perlu kulakukan untuk membuatmu sadar bahwa sekarang tahun 2015? Kita sudah berjalan jauh, dan terlampau jauh dari jaman penciptaan. Wanita tak cuma satu. Cinta tak sepahit itu. Bagaimana mungkin hatimu cepat sembuh kala kamu terus memaksanya merasakan sakit? Semua orang paham segala sesuatu perlu diperjuangkan, apalagi cinta. Semua orang tahu cinta adalah bertahan dalam kesetiaan, dan cinta yang paling istimewa adalah cinta yang bertahan sekalipun tak ada hal yang bisa dipertahankan. Tapi bukan begitu caranya. Selalu ada kalanya hati perlu mundur dari semua perjuangan itu, menyendiri dan menata kembali puing-puing yang dihancurkan bom waktu. Kamu perlu diam sejenak, menarik napas, dan membuka mata. Ada banyak wanita baik diluar sana. Jangan memaksa, karena logika dalam cinta jelas perlu untuk ada bahagia.

Andai aku kenal dengan wanita harapanmu, kupastikan dia menangis kalau mendengar ceritaku soal kamu. Tak dapat lagi airmata terbendung kala retina menerima bayangmu malam ini. Adakah yang lebih menyedihkan dari melihat lelaki macam kamu menyimpan duka dibalik senyum paling lebar dan tawa paling lepas?

Baru ini aku lihat laki-laki galau. Dan itu benar-benar menguras rasa. Untung saja aku tidak bawa hati waktu memperhatikan tingkahmu. Kalau iya, entah bagaimana aku bisa menahan airmata. Ini terlalu sedih untuk dilihat, apalagi dinikmati.

Cepat dapat penyembuh, dik. Kopi pahit pasti punya rasa unik yang orang artikan nyaris sama dengan bahagia. Dan, cinta takkan pernah sepahit itu.

Kamis, 30 April 2015

Foto

Hari ini aku pusing. Aku bingung mau ngapain. Besok libur, dan belajar tidak perlu didasarkan pada “besok sekolah”, “ada tugas”, dan “ada ulangan”. Tapi sungguh aku beneran malas.

Aku lalu ingat, aku masih punya setumpuk rekaman momen yang belum kupindah dari memori kamera ke pc. Jadi kulakukan itu. Memindahkan foto-foto amatiran dan sok menyeleksi, siapa tahu aku ketemu yang lumayan bagus, lalu aku terinspirasi.

Aku nggak tahu mau ngapain lagi setelah itu, jadi aku iseng buka-buka folder, terus aku lihat foto-foto jaman dulu. Dulu, belum bahulak.

Aku ketemu banyak foto mama.

Aku lihat mama diabadikan dengan banyak pose dan ekspresi. Aku jadi mengingat-ingat. Kapan ya terakhir aku jalan sama mama?

Aku benci bilang, tapi hati kadang menunggu untuk diakui, dan rasa setia berharap agar diungkapkan. Aku sering iri kalau aku lihat teman-teman bisa jalan bareng keluarga mereka, kayak teman satu geng yang bisa fullteam. Kayaknya asyik. Kayaknya juga sudah bukan kayaknya. Ah aku jadi engga ngerti aku ngomong apa. Pokoknya aku iri. Aku tahu kok, iri itu dosa. Tuhan engga suka. Tapi aku cuma berusaha jujur. Kejujuran adalah segalanya, bukan? Aku harap persepsiku tidak salah sekalipun jaman sudah berubah.

Aku kangen bisa jalan sama mama. Kemana aja deh. Kangen bisa ke gereja sama mama. Aku harap bisikanku sampai ke Tuhan, karena aku engga cukup berani buat bilang keras-keras.

Mama cepat sembuh, ya?

Maaf tulisan ini memang agak beda. 
Aku nggak bermaksud puitis, cuman ngomongin fakta.
Aku juga engga tahu barusan sudah ngomong apa saja.
Kalo engga suka ya enggapapa. Hak semua manusia.


Hidup kan penuh pro dan kontra.

Jumat, 24 April 2015

(judul masih di tangan Tuhan)

Aku benci akan rasa ini, dan benci pula ketika aku tak sanggup memendamnya.

Jadi semenyenangkan ini buat kalian, bukan? Baiklah. Aku paham. Aku mencoba paham ketika diantara kita akulah yang paling ingin bisa ada bersama kalian dalam momen macam itu. Aku yang paling heboh cari banyak informasi untuk kita bisa setidaknya belajar membuat momen itu. Segalanya butuh proses tentu. Tak mungkin ada manusia lahir dan langsung jadi yang paling ahli dan professional. Setiap manusia harus mengalami suatu kondisi amatir, dan perlahan belajar dari semua kesalahan dan kesempatan, hingga ia berada dalam posisi lebih tahu dari yang lain. Setujui saja kalau ada pernyataan bahwa tak ada orang yang lebih pintar. Yang ada hanya orang yang lebih tahu. Karena untuk itulah hidup hanya diisi oleh pembelajaran. Kita akan mengalami roda yang tiap sisinya memiliki bahagia dan kesedihan masing-masing. Tentu mau tak mau, setiap hari kita belajar dari apa yang kita ketahui. Tentang rasa sakit karena dimanfaatkan, diabaikan, kemudian dikhianati. Bicara adalah sesederhana itu bukan? Membuat kalimat adalah semudah itu. Tapi hidup adalah realita, dan hari-hari adalah nyata. Terasa. Dan bukan bualan semata.

Aku berusaha mengakui hari ini otakku kacau dan aku merasa telah banyak meracau. Lalu mataku jadi serapuh lilin yang mudah patah dan meleleh. Aku tahu benar siapa penyebab airmata ini. Kalian yang tiap harinya pernah membuatku merasa aku adalah manusia paling bahagia di dunia. Kalian yang tiap waktu mencuri banyak rasa dalam hati. Kalian yang….. ah, jadi sesulit ini membicarakannya. Tapi, entah mengapa aku merasa tak perlu menyalahkan siapa-siapa. Adakah yang perlu dipermasalahkan lagi? Sang Waktu telah memberi kode untuk kita agar siap, hanya saja mungkin tak satupun dari kita mengubrisnya. Dan kesadaran datang ketika hati pilih menjauh. Lantas, adakah yang perlu disesali? Mestinya tidak. Tapi, lagi. Airmata adalah satu-satunya teriakan paling jelas tanpa perlu membuat polusi bagi telinga. Dan diam adalah satu-satunya ratapan paling tepat. Tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Tak ada yang perlu dipertanyakan. Kita semua sama-sama tahu bahwa menunggu adalah satu-satunya jalan paling baik untuk mencari kesembuhan.

Hidup adalah roda.

Kalimat itu lagi.

Dan orang yang pandai bersyukur adalah yang paling bahagia.

Lagi.

Senyum yang didominasi kepalsuan ini telah menguak. Tapi aku tahu, kalian mencoba tak peduli. Hahaha. Seindah ini rasa sakit hati karena manusia-manusia macam kalian pilih pergi—semoga sejenak. Pilih menjauh—semoga cepat pulang.

Maaf, semua huruf yang tersusun jadi kata, dan kata yang mau ambil bagian dalam kalimat ini mengalir begitu deras. Terlampau deras hingga jemari mulai kaku untuk mewujudkannya. Ah sudahlah, aku tak peduli. Aku hanya merasa perlu menghadap monitor dan membiarkan semua ini tercipta. Sungguh aku minta maaf karena aku sedang tak mampu menulis dengan baik. Aku benar-benar lelah.

Tapi,

Aku masih disini ketika kalian,

Butuh.

Jalan.

Kembali.

Pulang.



Semoga. Benar. Benar. Pulang.

Minggu, 19 April 2015

Waktu, mimpi, rasi

—Have you ever feel this before? Karena aku tahu, hatiku tak lagi sama.

Seingatku, bulan Februari itu kita masih biasa-biasa saja. Kamu mengirim pesan singkat, dan kita membahas banyak topik, layaknya teman lama yang akhirnya punya jembatan masing-masing untuk saling menghubungi. Sesederhana dan sebiasa itu. Aku berani saja jamin, tak satupun dari kita punya pikiran untuk bawa perasaan. Tapi, waktu selalu punya kejutan.

Seingatku, bulan Maret itu kita masih saling berbagi cerita soal calon pacar masing-masing. Kamu yang mulai tak nyaman dengan “wanita lima puluh ribu” itu, dan aku yang mulai tertekan karena masih saja ingin memiliki semua lelaki tampan dan borjuis. Sungguh, aku yang sebusuk itu, dan masalalumu yang sekelam itu. Siapa sangka hati justru saling mengikat kala misi utama jauh dari kata memikat?

Seingatku, awal April ini kita cuma saling ungkap rasa rindu. Wajar tentu, siapa tak rindu dengan manusia macam kamu setelah tiga puluh hari tak bertemu? Tapi aku merasa segalanya beranjak jadi aneh, bergeser perlahan seperti langit siang menjelang malam. Sadarkah kamu, sayang? Hati kita tak mau berhenti sampai sebatas nyaman sebagai teman, atau dalam kasus ini kakak-adik.

Kejanggalan ini tentu membuat bertanya-tanya. Aku nyaris saja berucap “Mengapa?” pada Sang Waktu kala kulihat ia mulai tak mampu menyembunyikan senyum jahilnya. Tapi, lidahku kelu, gigi menggertak dan rahang mengatup kuat. Tak lama, kudengar Sang Waktu berbisik, “Belum saatnya.”
Terpaksa, aku diam.

Seingatku, kita cuma berencana ibadah bersama, lalu menyempatkan diri untuk mampir, sebentar saja. Dan rasa-rasanya kita lupa, ‘sebentar’ adalah jalan utama menuju keberadaan yang ditolak dalam kategori masuk akal. Bahagia, singkatnya, dalam kasus ini. Semoga, dalam waktu yang lama.

Malam itu, asap rokokmu mengepul dan aroma kesayanganku bersatu dengan dinginnya udara. Aku benci mengakui ini, karena aku terlalu takut untuk kehilanganmu. Tapi aku tahu benar, hatiku mulai menemukan tempat tinggalnya. Adalah tak mungkin bukan kutarik ia untuk menjauh pergi?

Seingatku, semalam kita cuma cari waktu di hari ini untuk bisa bertemu. Seingatku, aku cuma sekadar menebak-nebak, apa jadinya ketika saling tatap muka kita terjadi saat rasa tak lagi sama? Seingatku, aku dan kamu cuma saling goda, tapi ternyata, rasa ikut terbawa.

Kini impian, harapan, angan yang simpang siur bak bintang-bintang langit malam itu mulai membentuk rasi. Siapa sangka, sayang? Setiap partikel yang keberadaannya dalam kesendirian tak berarti apa-apa, menjelma membuat nyata mimpi-mimpi. Aku, kamu, dan semoga, kita.

Bersamamu aku belajar begitu banyak hal, sayang. Ini membuatku mulai pakai hati. Dan aku tak sanggup menyimpan semua lebih lama lagi.

Jujur saja, sayang.

Kamu minta status apa?

Minggu, 01 Maret 2015

Dalam dua-tiga

Kalau boleh jujur, aku sempat punya rencana untuk menyayangimu setelah kita dekat kembali sekitar dua puluh tiga hari yang lalu. Akuanmu yang polos, berusaha meyakinkan aku kalau kita memang sudah kenal sejak masa sekolah dasar benar menarik. Lucu saja buatku. Belum pernah kutemukan pria yang kemampuan mengingatnya sehebat kamu. Caramu menyapa dan menyiapkan beragam topik untuk kita nikmati bersama setiap harinya nyaris saja membuatku membawa rasa. Kamu menyenangkan, dan aku mulai suka.

Medan magnet yang keberadaannya samar namun memikat telah berkolaborasi denganmu, hingga aku mau tak mau bermutasi jadi manusia yang punya unsur besi lebih banyak. Dan kamu tentu tahu apa yang terjadi selanjutnya. Ya. Aku tertarik. Perlahan namun pasti, sederhana namun tak meninggalkan makna. Dekat. Dekat. Dan nyaris saja mengetuk pintumu seperti wanita tak tahu diri. Mestinya aku lebih ingat, lelaki sepertimu selalu punya banyak peluang untuk bisa disebut berengsek, bahkan lebih dari itu.

Lalu tibalah saatnya, sayang. Kesempatan terbesarmu sudah menggoda di depan mata. Mestinya aku memperbanyak doa agar kamu tetap ada di jalan yang lurus. Tapi bisa apa aku ketika waktu berkata lain?

Kebodohanku adalah percaya semudah itu. Kelemahanku adalah memberimu peluang sebesar itu. Kepintaran sekaligus kecerobohanmu adalah memanfaatkan segalanya semaksimal yang kamu bisa, seakan hari tinggal hitung jari. Hei, tanpa sadar, kolaborasi kita jadi sekece ini.

Sayang, maafkan kata-kata yang berantakan ini. Maafkan kalimat yang tak seperti biasanya ini. Entah mengapa aku cepat merasa lelah menatap layar. Cepat pula merasa bosan dengan segalanya; aku, kamu, kita, dan kebodohan demi kebodohan yang sulit benar dibasmi. Lagipula, aku tak punya cukup waktu untuk memperbaikinya.

Aku suka. Suka. Padamu. Iya, kamu. Namun semudah itu kamu memporak-porandakan semuanya. Semudah itu kamu angkat kaki. Semudah itu kamu bilang kalau kamu sedang asyik menonton dengan teman wanitamu. Wanita. Yang lain. Sedang aku disini duduk sendirian menunggu kamu menjelma nyata disampingku. Kita ada di dalam satu gedung, sayang. Tapi kamu pilih dia sekalipun janjimu adalah bersamaku. Sesulit itukah mengakui aku ada?

Andai saja kamu tetaplah kamu yang berusaha kupahami pelan-pelan akhir-akhir ini, mungkin segalanya akan tetap sama. Andai kamu tetap kamu yang kukenal sebagai pria yang begitu baik dan sabar bukan main terhadapku, mungkin segalanya tetap sama. Aku sama sekali tak tahu apa motivasimu berubah hati, padahal aku mulai sayang. Sedikit menyesal, tentunya. Tapi kalau itu sudah menjadi keputusanmu, aku bisa apa? Lagipula, aku sangat mudah melupakan kalau begini caramu menyakiti.

Lalu, hipotesaku berlari pada arah yang benar. Kamu kalangkabut. Panik begitu hebat hingga aku bisa ikut merasakan sedihmu yang meruncing pada satu titik dan pecah dalam ledakan. Gelisah tak berarah ketika akupun ambil keputusan untuk meninggalkanmu. Mungkin selamanya.

Dan lihatlah, sayang. Cerminmu menyampaikan padaku berapa banyak rasa sakit yang mesti kamu terima akibat ulahmu sendiri. 

Senin, 16 Februari 2015

Satu Paket Hujan

Antara almond dan asia. Belum pernah kulihat rambutnya benar-benar pergi dari wajah, jadi aku tak tahu dia punya tipikal mata yang mana. Sekalipun kantor kami bersebelahan, bukan berarti aku punya cukup waktu untuk memperhatikan dia, matanya, garis wajahnya. Dan halte ini adalah satu-satunya pilihan terdekat untuk menunggu jemputan. Meski besi-besi penyangga sudah tua, cat mengelupas dan berkarat, ditambah gerimis tipis menemani detik-detik yang hening ini, aku akan bertahan. Tepat disini. Demi menunggu dia pulang.

Aku bisa saja langsung tancap gas, kembali ke rumah. Menemukan tempat tidurku dan berselimut ditemani secangkir cokelat panas. Alunan musik klasik dan rintik hujan adalah perpaduan yang dahsyat untuk menenangkan hati. Tapi kurelakan semua itu. Ada yang lebih penting buatku daripada langsung pulang. Sekalipun itu berarti menghemat waktu dan tenaga, aku perlu menemukan jawaban atas keingintahuanku.

Aku lupa sejak kapan aku mulai tertarik memperhatikan dia. Bukan mata yang pertama memikat, karena sudah kusebut tadi rambutnya terlalu lebat hingga menutup setengah dari masing-masing matanya. Aku tertarik dengan parfumnya, tubuhnya yang kecil dan tinggi itu. Entah mengapa bisa begitu. Orang bisa saja menyimpulkan aku tertarik dari fisik, bukan hati. Tapi perkara rasa ini, bukankah sudah ada yang mengatur? Tak peduli dari segi mana saja kita mulai penasaran.

Gerimis membuat banyak orang menjatuhkan pilihan mereka di halte ini. Aku jadi sibuk memperhatikan dan memberi tempat bagi penghuni dadakan yang datang dan pergi silih berganti. Aku lupa sudah menggeser duduk berapa kali hingga jarakku dan dia mendekat. Seketika aku senang dan sedih. Senang karena aku akan tahu tipikal matanya. Sedih bila nanti aku jadi terpikat. Karena kata orang cinta adalah rasa yang dari mata turun ke hati.
“Dre?”
Suara tak asing mengganggu irama hujan yang melintasi kuping, memanggil namaku, aku pun mendongak. Lelaki berperawakan tinggi besar dengan kulit sawo matang dan kacamata tebal tengah menunjukku dalam jarak kurang dari satu meter. Teman dekatku dari SMP tiba-tiba muncul di depanku tanpa perlu bim salabim. Aku spontan berteriak. Dan suasana hangat memenuhi benak. Senang betul ia mengenaliku sekalipun kacamatanya dipenuhi butiran air hujan. Aku tenggelam dalam cerita bersama sahabatku. Bagaimana masa SMA nya di luar kota, kuliahnya demi mendapat gelar magister, dan kisah cintanya.

Entah sudah berapa menit berlalu dan sahabatku tiba-tiba saja mendapat telepon untuk segera pulang. Jadi dia pamit. Kini aku ingat lagi untuk memperhatikan sekelilingku.

Hujan telah reda.

Dan wanita itu sudah pergi.

***

Pagi ini aku bangun dan hal yang kuingat pertama adalah hujan. Manusia yang kuingat pertama adalah wanita dengan mata misterius itu. Rasa yang kuingat pertama adalah kecewa. Dan inti dari semuanya adalah: ada rasa sakit yang mulai mengusik kala waktuku mulai habis demi penantian yang sia-sia bersamaan dengan datang perginya hujan yang seakan satu paket dengan wanita itu.

Aku bahkan merasa lelah.

Kalau saja semua benda di sekelilingku bisa kutiupi serbuk ajaib Tinkerbell atau salah satu peri dalam serial Barbie, mungkin aku takkan serapuh ini. Sayang, aku hidup dalam dunia yang terlalu nyata. Dan mungkin satu-satunya hal yang paling tidak masuk akal adalah yang berbau mistis. Seperti hantu yang menyamar jadi manusia, atau manusia yang berharap jadi hantu untuk misi tertentu. Sering aku berharap punya hari yang menyenangkan, dan dalam kamusku, berarti gabungan antara dunia nyata dan imajinasi, tanpa perlu hal yang mistis. Tapi itu sungguh mustahil. Dan aku tak pernah lagi menceritakan khayalanku itu. Aku hanya tidak ingin lagi dianggap bukan lelaki sejati. Apa yang salah dari khayalan tentang peri dari seorang laki-laki?

Lalu hal kedua yang kuingat adalah aku mulai meracau.

Sedangkan hal yang paling tak bisa kupercayai adalah ketika aku merasa gelisah karena seorang wanita yang bahkan, melihat wajahnya secara utuh pun aku belum pernah. Tapi rambutnya yang selalu tergerai kadang tertiup angin, badannya yang kurus tinggi, mungil namun panjang yang terlihat begitu rapuh itu dan aroma parfum yang tak bisa kulupakan telah menghangatkan hatiku. Membuat es yang beku bertahun-tahun ini pelan-pelan mencair. Adakah hal yang lebih tak bisa kupercayai selain perasaanku sendiri? Adakah rasa yang lebih tak bisa kupercayai selain kekaguman dan ketertarikan macam ini? Bagaimana mungkin hati yang telah dipatahkan dan dibiarkan beku sekian lama bisa menghangat sesedehana ini? Bahkan wanita lain yang sudah lebih dulu kukenal sebelum keanehan ini tak bisa menghangatkan hatiku. Padahal aku paham benar kemana hatinya berlabuh. Mendadak aku tahu, aku terjebak dalam cinta sebatas siluet. Dan rasa ini sulit hilang seperti serangan permen karet.

Aku membuang napas dan mengelus selimut tebalku dengan punggung tangan.

Dan hal yang selanjutnya kusadari: aku belum turun dari tempat tidur; waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan; jam kerjaku adalah pukul delapan, tepat.

***

“Hari ini saya lihat kamu sedikit kacau. Ada apa?”
Aku sontak melongo. Tak menyangka akan ditanya seperti itu. Maka segera kujelaskan bahwa aku baik-baik saja setelah kukuasai diriku lagi. Dan berusaha kuyakinkan atasanku itu bahwa tak ada hal buruk yang terjadi. Mungkin aku hanya kelelahan.

“Saya harap itu tidak menganggu pekerjaanmu. Ingat, deadline tidak bisa toleransi dengan alasan kelelahan.”
Cepat kuanggungkan kepala dan cepat pula ia melangkah pergi.

Kendati kujalani hari ini dengan banyak kekacauan: datang terlambat, bersikap kurang ramah kepada klien sampai dimaki olehnya, menumpahkan kopi di kantin, nyaris menabrak karyawan lainnya, dan berbagai macam hal bodoh, aku masih sadar, kejadian tolol di hari ini tak pernah membicarakan kesepakatan denganku dan aku pun merasa tak pernah tanda tangan pada surat kontraknya, tapi kutahu, ia sudah datang dan semoga cepat pulang sebelum aku kalap. Aku juga masih tetap sadar bahwa hatiku sedang berlayar, dan dimana ia akan berhenti.

Dengan sedikit perjuangan dan kesabaran, aku berhasil membuat waktu bertoleransi atas hari sialku ini. Terburu-buru kuturuni tangga, dan keluar lewat pintu depan.

Gerimis tipis dan aroma petrichor menyambut. Hatiku nyaman seperti sedang berselimut.

Kulihat kelebatannya di halte. Semangatku terpacu dan jarak harus mau menyempit atau rasa ini bakal pilu. Namun keinginanku menyusulnya gagal tatakala kudengar seseorang memanggil namaku. Seperti hari yang telah berlalu, aku terpaksa menengok. Seorang dengan ciri sama persis atasanku tengah berdiri sekita tiga atau empat meter di belakangku, dan berkas-berkas di tangan kanannya membuat hatiku tak enak. Sungguh aku berharap mataku telah salah lihat.

Aku berbalik dan mendekatinya. Semoga urusan ini tak menyita waktu terlalu banyak.
“Ada apa, pak?”
Senyumnya melebar, tangan kirinya merangkulku, memaksa tubuh ini berbalik. Ia mulai berbicara panjang lebar, entah tentang apa. Karena pikiranku masih bertahan bersama wanita itu. Dan sebelum gerimis tipis ini pergi, hatiku terhempas dan aku tahu, aku belum bisa menggapai wanitaku.

***

Hari ini aku mati-matian berkonsentrasi pada pekerjaan. Menyibukkan diri dengan bidang-bidang yang selama ini kukuasai. Berusaha tak bersikap sebodoh kemarin. Bayangan wanita itu sempat berkelebat, namun segera kutepis sebelum fokusku menipis.

Jam kantor berdentang empat kali. Pukul empat sore. Tak kusangka waktu sedemikian baik padaku hari ini. Segera kubereskan berkas yang telah kukerjakan. Dengan semangat membara, kuturuni tangga, menuju pintu depan, mengulang kejadian yang sama. Semoga, kesempatanku masih tersisa.
“Dre? Bisa tunggu sebentar?”
Langkahku terhenti. Rasa dongkol segera menyelimuti. Haruskah kutunggu esok hari?
“Saya mau mengucapkan selamat, hari ini kerjamu baik sekali.” Ia mengulurkan tangan, menyalamiku. Aku tersenyum kecut. Berusaha telepati, bicara lewat mata atau hati. Tolong, waktuku tidaklah banyak.
“Mau langsung pulang?” tanyanya. Aku menggeleng.
“Saya mau menunggu hujan sebentar.”
“Oke,” ia sedikit tertawa. “Saya duluan ya, sekali lagi terimakasih.”
“Bukan apa-apa pak,” kulambaikan tanganku seadanya. Dan cepat-cepat menuju halte itu.

Dia ada disana.

Andai bisa, hatiku mungkin sudah keluar dan menari-nari di aspal yang basah. Bahagia ini tak bisa disembunyikan. Dan ternyata, bahagia adalah sesederhana ini. Ketika mata bertemu dengannya, ketika tubuh bisa mendekat, ketika jiwa seakan mulai rapat.
Halte punya langganan baru sekarang, dan aku tak habis pikir mengapa tempat duduk yang tersisa adalah di samping kanannya. Sungguh, aku ingin waktu sejenak menjelma jadi manusia, dan akan kukatakan padanya bahwa tak perlu ia melakukan ini. Hidup mengharuskan kita mengantisipasi kemungkinan terburuk, bukan? Dan aku perlu mengantisipasi hatiku agar tak terbakar hingga hangus dilalap api cinta.

“Nunggu jemputan, ya?” tanyaku basa-basi setelah jarak ini membuat lengan kami bersinggungan.
Wanita itu mengangguk, senyumnya mengembang, “Iya. Mas?”
“Eh, saya cuma nunggu hujannya reda.” Kikuk aku menjawab, entah mengapa aku kaget saja dia memanggilku ‘mas’. Sejujurnya aku lebih berharap wanita itu memilih kata ‘kamu’. Bukankah itu kelihatan lebih nyaman diucapkan juga didengar?

Ia mengangguk lagi lalu menunduk serius seperti menekuni aspal, dan gerimis yang mulai deras ini merenggut semua kemampuanku berkata-kata. Aku ingin bersuara layaknya dialog apa adanya, namun aku sadar kami dipisahkan oleh lapisan tanya. Atau mungkin hanya aku. Karena aku ragu hatinya juga ingin tahu.

Aku menjetik-jentikkan jari, dan sudah melakukan apapun demi memunculkan ide tentang apa yang bisa kubicarakan dengannya. Tapi tak kutemukan apapun. Waktu terus saja berlalu. Aku seperti ingin meneriakkan permohonanku. Tolong, berikan sedikit kesempatan untuk bisa menatap matanya lebih lama.

Mendadak aku punya topik. Mendadak aku ingat apa yang harusnya kutanyakan.
Mulutku baru saja membuka, seperangkat kalimat lengkap ini siap meluncur dan bersatu dengan udara kala kulihat sebuah sedan hitam metalik berhenti tepat di seberang jalan.

“Maaf,” ia menatapku, kata maafnya seakan mengandung makna ingin mengobati kecewa ini. Tapi kecewaku tak perlu diobati. Karena yang berlalu takkan kembali lagi.
“Yang menjemput udah datang, saya duluan ya.”

Ia berdiri, berlari, dan terhenti pada sebuah kecupan yang mendarat di pipi. Menunggu untuk melesat, pergi. Dan hujan pun berhenti.

Hatinya sudah ada yang punya. Tapi kini kutahu, matanya mata asia. Itu sudah lebih dari cukup.