Antara almond dan asia. Belum pernah kulihat rambutnya
benar-benar pergi dari wajah, jadi aku tak tahu dia punya tipikal mata yang
mana. Sekalipun kantor kami bersebelahan, bukan berarti aku punya cukup waktu
untuk memperhatikan dia, matanya, garis wajahnya. Dan halte ini adalah
satu-satunya pilihan terdekat untuk menunggu jemputan. Meski besi-besi
penyangga sudah tua, cat mengelupas dan berkarat, ditambah gerimis tipis menemani
detik-detik yang hening ini, aku akan bertahan. Tepat disini. Demi menunggu dia
pulang.
Aku bisa saja langsung tancap gas, kembali ke rumah.
Menemukan tempat tidurku dan berselimut ditemani secangkir cokelat panas.
Alunan musik klasik dan rintik hujan adalah perpaduan yang dahsyat untuk
menenangkan hati. Tapi kurelakan semua itu. Ada yang lebih penting buatku
daripada langsung pulang. Sekalipun itu berarti menghemat waktu dan tenaga, aku
perlu menemukan jawaban atas keingintahuanku.
Aku lupa sejak kapan aku mulai tertarik memperhatikan dia.
Bukan mata yang pertama memikat, karena sudah kusebut tadi rambutnya terlalu
lebat hingga menutup setengah dari masing-masing matanya. Aku tertarik dengan
parfumnya, tubuhnya yang kecil dan tinggi itu. Entah mengapa bisa begitu. Orang
bisa saja menyimpulkan aku tertarik dari fisik, bukan hati. Tapi perkara rasa
ini, bukankah sudah ada yang mengatur? Tak peduli dari segi mana saja kita
mulai penasaran.
Gerimis membuat banyak orang menjatuhkan pilihan mereka di
halte ini. Aku jadi sibuk memperhatikan dan memberi tempat bagi penghuni
dadakan yang datang dan pergi silih berganti. Aku lupa sudah menggeser duduk
berapa kali hingga jarakku dan dia mendekat. Seketika aku senang dan sedih.
Senang karena aku akan tahu tipikal matanya. Sedih bila nanti aku jadi
terpikat. Karena kata orang cinta adalah rasa yang dari mata turun ke hati.
“Dre?”
Suara tak asing mengganggu irama hujan yang melintasi
kuping, memanggil namaku, aku pun mendongak. Lelaki berperawakan tinggi besar
dengan kulit sawo matang dan kacamata tebal tengah menunjukku dalam jarak
kurang dari satu meter. Teman dekatku dari SMP tiba-tiba muncul di depanku
tanpa perlu bim salabim. Aku spontan berteriak. Dan suasana hangat memenuhi
benak. Senang betul ia mengenaliku sekalipun kacamatanya dipenuhi butiran air
hujan. Aku tenggelam dalam cerita bersama sahabatku. Bagaimana masa SMA nya di
luar kota, kuliahnya demi mendapat gelar magister,
dan kisah cintanya.
Entah sudah berapa menit berlalu dan sahabatku tiba-tiba
saja mendapat telepon untuk segera pulang. Jadi dia pamit. Kini aku ingat lagi
untuk memperhatikan sekelilingku.
Hujan telah reda.
Dan wanita itu sudah pergi.
***
Pagi ini aku bangun dan hal yang kuingat pertama adalah
hujan. Manusia yang kuingat pertama adalah wanita dengan mata misterius itu.
Rasa yang kuingat pertama adalah kecewa. Dan inti dari semuanya adalah: ada
rasa sakit yang mulai mengusik kala waktuku mulai habis demi penantian yang
sia-sia bersamaan dengan datang perginya hujan yang seakan satu paket dengan
wanita itu.
Aku bahkan merasa lelah.
Kalau saja semua benda di sekelilingku bisa kutiupi serbuk
ajaib Tinkerbell atau salah satu peri dalam serial Barbie, mungkin aku takkan
serapuh ini. Sayang, aku hidup dalam dunia yang terlalu nyata. Dan mungkin satu-satunya
hal yang paling tidak masuk akal adalah yang berbau mistis. Seperti hantu yang
menyamar jadi manusia, atau manusia yang berharap jadi hantu untuk misi
tertentu. Sering aku berharap punya hari yang menyenangkan, dan dalam kamusku,
berarti gabungan antara dunia nyata dan imajinasi, tanpa perlu hal yang mistis.
Tapi itu sungguh mustahil. Dan aku tak pernah lagi menceritakan khayalanku itu.
Aku hanya tidak ingin lagi dianggap bukan lelaki sejati. Apa yang salah dari
khayalan tentang peri dari seorang laki-laki?
Lalu hal kedua yang kuingat adalah aku mulai meracau.
Sedangkan hal yang paling tak bisa kupercayai adalah ketika
aku merasa gelisah karena seorang wanita yang bahkan, melihat wajahnya secara
utuh pun aku belum pernah. Tapi rambutnya yang selalu tergerai kadang tertiup
angin, badannya yang kurus tinggi, mungil namun panjang yang terlihat begitu
rapuh itu dan aroma parfum yang tak bisa kulupakan telah menghangatkan hatiku.
Membuat es yang beku bertahun-tahun ini pelan-pelan mencair. Adakah hal yang
lebih tak bisa kupercayai selain perasaanku sendiri? Adakah rasa yang lebih tak
bisa kupercayai selain kekaguman dan ketertarikan macam ini? Bagaimana mungkin
hati yang telah dipatahkan dan dibiarkan beku sekian lama bisa menghangat
sesedehana ini? Bahkan wanita lain yang sudah lebih dulu kukenal sebelum
keanehan ini tak bisa menghangatkan hatiku. Padahal aku paham benar kemana
hatinya berlabuh. Mendadak aku tahu, aku terjebak dalam cinta sebatas siluet.
Dan rasa ini sulit hilang seperti serangan permen karet.
Aku membuang napas dan mengelus selimut tebalku dengan
punggung tangan.
Dan hal yang selanjutnya kusadari: aku belum turun dari
tempat tidur; waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan; jam kerjaku
adalah pukul delapan, tepat.
***
“Hari ini saya lihat kamu sedikit kacau. Ada apa?”
Aku sontak melongo. Tak menyangka akan ditanya seperti itu.
Maka segera kujelaskan bahwa aku baik-baik saja setelah kukuasai diriku lagi.
Dan berusaha kuyakinkan atasanku itu bahwa tak ada hal buruk yang terjadi.
Mungkin aku hanya kelelahan.
“Saya harap itu tidak menganggu pekerjaanmu. Ingat, deadline
tidak bisa toleransi dengan alasan kelelahan.”
Cepat kuanggungkan kepala dan cepat pula ia melangkah pergi.
Kendati kujalani hari ini dengan banyak kekacauan: datang
terlambat, bersikap kurang ramah kepada klien sampai dimaki olehnya,
menumpahkan kopi di kantin, nyaris menabrak karyawan lainnya, dan berbagai
macam hal bodoh, aku masih sadar, kejadian tolol di hari ini tak pernah
membicarakan kesepakatan denganku dan aku pun merasa tak pernah tanda tangan
pada surat kontraknya, tapi kutahu, ia sudah datang dan semoga cepat pulang
sebelum aku kalap. Aku juga masih tetap sadar bahwa hatiku sedang berlayar, dan
dimana ia akan berhenti.
Dengan sedikit perjuangan dan kesabaran, aku berhasil
membuat waktu bertoleransi atas hari sialku ini. Terburu-buru kuturuni tangga,
dan keluar lewat pintu depan.
Gerimis tipis dan aroma petrichor menyambut. Hatiku nyaman seperti
sedang berselimut.
Kulihat kelebatannya di halte. Semangatku terpacu dan jarak
harus mau menyempit atau rasa ini bakal pilu. Namun keinginanku menyusulnya
gagal tatakala kudengar seseorang memanggil namaku. Seperti hari yang telah
berlalu, aku terpaksa menengok. Seorang dengan ciri sama persis atasanku tengah
berdiri sekita tiga atau empat meter di belakangku, dan berkas-berkas di tangan
kanannya membuat hatiku tak enak. Sungguh aku berharap mataku telah salah
lihat.
Aku berbalik dan mendekatinya. Semoga urusan ini tak menyita
waktu terlalu banyak.
“Ada apa, pak?”
Senyumnya melebar, tangan kirinya merangkulku, memaksa tubuh
ini berbalik. Ia mulai berbicara panjang lebar, entah tentang apa. Karena
pikiranku masih bertahan bersama wanita itu. Dan sebelum gerimis tipis ini
pergi, hatiku terhempas dan aku tahu, aku belum bisa menggapai wanitaku.
***
Hari ini aku mati-matian berkonsentrasi pada pekerjaan.
Menyibukkan diri dengan bidang-bidang yang selama ini kukuasai. Berusaha tak
bersikap sebodoh kemarin. Bayangan wanita itu sempat berkelebat, namun segera
kutepis sebelum fokusku menipis.
Jam kantor berdentang empat kali. Pukul empat sore. Tak
kusangka waktu sedemikian baik padaku hari ini. Segera kubereskan berkas yang
telah kukerjakan. Dengan semangat membara, kuturuni tangga, menuju pintu depan,
mengulang kejadian yang sama. Semoga, kesempatanku masih tersisa.
“Dre? Bisa tunggu sebentar?”
Langkahku terhenti. Rasa dongkol segera menyelimuti.
Haruskah kutunggu esok hari?
“Saya mau mengucapkan selamat, hari ini kerjamu baik
sekali.” Ia mengulurkan tangan, menyalamiku. Aku tersenyum kecut. Berusaha
telepati, bicara lewat mata atau hati. Tolong, waktuku tidaklah banyak.
“Mau langsung pulang?” tanyanya. Aku menggeleng.
“Saya mau menunggu hujan sebentar.”
“Oke,” ia sedikit tertawa. “Saya duluan ya, sekali lagi
terimakasih.”
“Bukan apa-apa pak,” kulambaikan tanganku seadanya. Dan
cepat-cepat menuju halte itu.
Dia ada disana.
Andai bisa, hatiku mungkin sudah keluar dan menari-nari di
aspal yang basah. Bahagia ini tak bisa disembunyikan. Dan ternyata, bahagia
adalah sesederhana ini. Ketika mata bertemu dengannya, ketika tubuh bisa
mendekat, ketika jiwa seakan mulai rapat.
Halte punya langganan baru sekarang, dan aku tak habis pikir
mengapa tempat duduk yang tersisa adalah di samping kanannya. Sungguh, aku
ingin waktu sejenak menjelma jadi manusia, dan akan kukatakan padanya bahwa tak
perlu ia melakukan ini. Hidup mengharuskan kita mengantisipasi kemungkinan
terburuk, bukan? Dan aku perlu mengantisipasi hatiku agar tak terbakar hingga
hangus dilalap api cinta.
“Nunggu jemputan, ya?” tanyaku basa-basi setelah jarak ini
membuat lengan kami bersinggungan.
Wanita itu mengangguk, senyumnya mengembang, “Iya. Mas?”
“Eh, saya cuma nunggu hujannya reda.” Kikuk aku menjawab,
entah mengapa aku kaget saja dia memanggilku ‘mas’. Sejujurnya aku lebih
berharap wanita itu memilih kata ‘kamu’. Bukankah itu kelihatan lebih nyaman
diucapkan juga didengar?
Ia mengangguk lagi lalu menunduk serius seperti menekuni
aspal, dan gerimis yang mulai deras ini merenggut semua kemampuanku
berkata-kata. Aku ingin bersuara layaknya dialog apa adanya, namun aku sadar kami
dipisahkan oleh lapisan tanya. Atau mungkin hanya aku. Karena aku ragu hatinya
juga ingin tahu.
Aku menjetik-jentikkan jari, dan sudah melakukan apapun demi
memunculkan ide tentang apa yang bisa kubicarakan dengannya. Tapi tak kutemukan
apapun. Waktu terus saja berlalu. Aku seperti ingin meneriakkan permohonanku.
Tolong, berikan sedikit kesempatan untuk bisa menatap matanya lebih lama.
Mendadak aku punya topik. Mendadak aku ingat apa yang
harusnya kutanyakan.
Mulutku baru saja membuka, seperangkat kalimat lengkap ini
siap meluncur dan bersatu dengan udara kala kulihat sebuah sedan hitam metalik
berhenti tepat di seberang jalan.
“Maaf,” ia menatapku, kata maafnya seakan mengandung makna
ingin mengobati kecewa ini. Tapi kecewaku tak perlu diobati. Karena yang
berlalu takkan kembali lagi.
“Yang menjemput udah datang, saya duluan ya.”
Ia berdiri, berlari, dan terhenti pada sebuah kecupan yang
mendarat di pipi. Menunggu untuk melesat, pergi. Dan hujan pun berhenti.
Hatinya sudah ada yang punya. Tapi kini kutahu, matanya mata
asia. Itu sudah lebih dari cukup.