Rabu, 17 Juli 2013

MOPDB 2013

Ini tulisan yang saya buat khusus untuk MOPDB 2013. Saya akan sampai pada penghujung biru-putih dan akan segera bertemu dengan putih-abu-abu pada tahun ajaran baru ini. Selamat membaca, selamat memahami, selamat mengapresiasi:)


15 JULI 2013

Semangat Senin:)
Ini adalah hari pertama MOPDB pertama saya di SMA NEGERI 1 KASIHAN. Mulai hari ini, saya harus mengucapkan selamat tinggal pada libur panjang saya. Saya harus rela berpisah dari waktu bangun siang saya. Saya harus rela berjarak dari tidur larut malam saya, demi hari ini.
Saya datang dengan balutan jaket, perasaan was-was dan takut, juga badan sedikit demam. Sudah banyak ekspresi kakak kelas yang saya dapat hari ini. penasaran, tidak peduli, datar, dan masih banyak ekspresi yang singgah sejenak di kepala saya. Dari saya pribadi, saya yakin ekspresi wajah saya masih sama dengan Sabtu kemarin. Celingak-celinguk seperti anak hilang. Mata meliar kesana-kemari mencari teman seangkatan seperjuangan.
Sepertinya, saya kurang beruntung. Akhirnya saya putuskan utnuk  menapaki anak tangga demi anak tangga, sembari berharap, sudah ada manusia yang saya kenal di ruang X-A.
Dinginnya AC langsung menyerang tubuh saya yang lebih hangat dari biasanya ini. Tapi saya tidak begitu peduli akan semua itu setelah mata saya terkunci pada manusia yang saya kenal. Sebersit senyum saya gores dan kaku melangkah lebih cepat.
Sejenak, bel masuk berbunyi.
Hari penggemblengan sudah resmi dimulai.
***
                “Nametag-nya dibawa?” pekik saya setengah tidak percaya. Astaga, saya tidak suka pada tugas satu itu. Tugas yang mengharuskan kami berpose aneh-aneh. Namun, apa boleh buat? Saya harus mematuhi semua itu demi terhindar dari hukuman, yang saya yakin, pasti bakal lebih aneh-aneh.
Dan, sembari menahan wajah yang mulai memerah, saya, juga teman-teman berjalan menuju GOR Sasana Among Putra yang langsung membuat saya jatuh cinta. Ini bukan kali pertama saya memasuki sebuah GOR. Tapi ini adalah kali pertama saya memasuki GOR milik sekolah saya sendiri. Milik sekolah saya sendiri! Betapa bangganya!
Sungguh, sulit bagi saya menyembunyikan bahagia.
Sungguh terlalu mudah untuk jatuh cinta pada pandangan pertama.
***
                “Permisi, Pak,” suara halus merambat memasuki telinga saya. Spontan, kami menoleh. Seorang gadis dengan kulit putih, bibir merah dan berkerudung melongokkan kepala ke dalam kelas. Ketua MPK yang jelita itu datang. Wali kelas saya segera mempersilakannya masuk untuk membawa nametag kami lalu memeriksanya.
Jujur, saya tidak berharap banyak. Saya hanya berdoa, apapun yang akan terjadi setelah pengoreksian nametag itu, saya dapat melaluinya dengan baik. Itu saja. Tidak lebih.
Cukup lama kami menunggu dengan perasaan yang tidak bisa dijabarkan satu-persatu. Dan, sesegera setelah anggota MPK itu datang lagi, penghuni kelas saya (kecuali wali kelasnya, karena beliau sudah selesai mendampingi) seperti sudah diberi aba-aba untuk menahan napas secara bersama.
Percayakah kalian, hanya ada empat orang siswa di kelas saya yang nametag-nya sesuai dengan yang diinstruksikan. Dan salah satunya adalah saya! Ibarat balon, saya pasti sudah meledak dan udara di dalamnya langsung kabur entah ke sudut mana dan setinggi apa.
Saya bahagia.
Ternyata demam yang biasanya memberi pengaruh negatif, kini membawa dampak positif. Saya lolos, hari ini. saya berharap bisa lolos pada hari-hari berikutnya.
Saya rasa, cukup bagi saya untuk berkicau. Besok saya akan datang dengan celotehan beda kisah.
Selamat hari Senin:)
.LTA.


16 JULI 2013

Salam Selasa:)
Saya cukup kelelahan hari ini. entah mengapa MOPDB hari ke-2 begitu memeras tenaga saya. Kegiatan hari ini diawali dengan semacam “pendalaman iman” atau apalah itu namanya, sesuai dengan agama masing-masing. Masih dengan badan sedikit demam, saya dan ke-6 teman (kalau nggak salah) berjalan menuju ruangan yang sudah ditetapkan untuk acara ini.
Jujur, saya tidak begitu memperhatikan guru pendampingnya, atau petugasnya, atau acaranya. Saya terlalu sibuk memandangi hal-hal di sekitar saya. Kakak kelas, teman dari kelas lain, pemandangan luar, bahkan sampai jendela juga meja dan kursi tidak luput dari bidikan mata saya.
Acara selesai, padahal pikiran saya belum kembali pada hal yang mestinya saya perhatikan! Tapi, sudahlah. Setidaknya raga saya ada di ruangan itu. Orang lain percaya saya ada di situ, meski pikiran saya jalan-jalan sampai keluar ruangan.
***
                “Eh, dek, buat yang baru dateng, diary buat PRA MOPDB-nya dibikin, ya.” Salah satu kakak kelas tiba-tiba membuka mulut.
Saya langsung kaget. Dan saking paniknya, ide yang biasanya saya simpan, kosakata yang sudah saya hapalkan, lari semua tanpa seijin saya.
Belum sempat saya memutuskan kalimat seperti apa yang kira-kira cocok untuk dijadikan pembuka, kami sudah diminta turun dan menuju GOR, mengikuti acara selanjutnya.
Sesungguhnya, pada acara di GOR itu, saya bisa mengikutinya sembari memeras otak lalu menuangkannya dalam bentuk tulisan. Tapi entah mengapa, hal yang biasanya mudah kini berubah jadi begitu sulit.
Acara sudah berjalan lebih dari 60 menit dan saya masih terhenti pada kalimat, “Selamat pagi, Dear Diary:)”
Oke, tampaknya ini benar-benar sulit.
***
                “Dek, buat yang PRA MOPDB-nya belum selesai nggakpapa. Yang penting MOPDB hari pertamanya udah.”
Ah, syukurlah. Seketika kepala saya serasa dihembusi angin segar dan semua rasa panik saya mundur teratur. Berbarengan dengan itu, tenaga saya turun drastis, seperti handphone yang mengalami low battery. Konsenstrasi saya hilang dan saya merasa sangat lelah.
Waktu seakan mengejek saya. Ia seolah berjalan melambat seperti tanda tempo yang berubah secara bertahap (meski faktanya itu jelas tidak masuk akal). Dari Moderato, jadi Andante, lalu geser lagi jadi Andantino.
Saya berusaha bertahan, dan syukurlah, sekali lagi saya berhasil.
Saya pulang (dengan wajah ditekuk berlapis seperti orang kalah perang, haha).
Selamat hari Selasa Malam:)
.LTA.


17 JULI 2013

Hari terakhir MOPDB 2013.
Selamat pagi:)
Pagi ini saya datang tanpa demam yang sudah setia dengan saya selama empat hari. Haha. Acara pertama masih sama dengan kemarin. Dan lagi-lagi saya tidak memperhatikan sepenuhnya. Bukan karena pikiran saya kabur lagi, tapi karena saya terlambat masuk ruangan.
Setelah acara pertama sampai pada penghujungnya, kami kembali ke kelas. Mempersiapkan juga mengompakkan untuk pensi nanti.
Saya tidak begitu nyaman dengan mars-nya, juga dengan yel-yel-nya. Tapi ini sudah ditetapkan dan saya harus ikut berlatih.
Dan, begitu perwakilan mencoba berlatih, seketika bibir saya tertarik. ‘Ini akan membanggakan.’ Bisik saya dalam hati.
Sekarang, saya ada di aula, sedang memeras otak dan berjuang keras menyelesaikan diary ini, haha.
Sebentar lagi pensi akan dimulai. Bersamaan dengan itu, MOPDB 2013 akan sampai pada titik akhirnya.
Cukup sekian, ya.
Saya berharap semua pengalaman saya selama tiga hari ini bisa membantu saya menapaki anak tangga, menuju satu tahap yang disebut dewasa:)

.LTA.

Kamis, 11 Juli 2013

Kamu Tahu, Aku Ada


Hujan masih mengguyur dengan begitu semangatnya kala kudengar suara ketukan pintu yang kutahu, ada manusia yang tidak sabaran sedang berdiri di baliknya. Dengan malas, aku melangkah menuju ruang tamu. Berusaha menebak-nebak, siapa orang kurang kerjaan yang rela menyakiti tangannya demi terbukanya pintu itu. Satu hembusan napas kesal dan hati sedikit mendongkol, kusentuh gagang pintuku, membukanya. Dan aku melihat sesosok manusia yang cukup membuat jantungku berhenti.

Kamu.

Sedang berdiri tepat di depanku, dengan badan basah kuyup, dan menggigil, kedinginan. Tubuhmu yang biasanya tegak terlihat sedikit lemah. Kutahu, airmata langit dan hembusan angin terus meneruslah yang membuatmu seperti ini. Aku jadi panik. Jadi lupa semua ritual yang biasa kulakukan saat menyambutmu. Bahkan aku sudah tidak bisa berpikir untuk menggores senyum. Buatku saat itu, pasokan energi dan kehangatan jauh lebih penting.

***

                “Darimana kamu?” tanyaku setelah kamu meneguk susu cokelat panas yang kubuatkan.
                “Rumah temen.”
                “Hujan-hujan gini? Ada urusan penting?” alisku berkerut.
                “Nggak sih, main aja. Tadi nggak hujan, tapi waktu aku mau pulang malah hujan.”
                “Kenapa enggak nunggu hujannya berenti?”
               “Karena aku tahu, di sana enggak ada kehangatan. Sama aja kan kalau di dalam dingin, sekalian aja aku pamit terus kerumahmu.” Kamu rapatkan jaket hingga tak bisa ditarik kemana-mana lagi.
                “Dan nggak bawa jas hujan.” Dengusku.
                “Iya, aku tahu. Makanya aku ke sini, aku cari kehangatan.”
Aku masih belum paham dengan maksudmu, “Kehangatan? Nggak ada kehangatan di sini, sayang. Rumah ini sama dengan rumah-rumah yang lainnya. Jadi dingin kalau hujan. Jadi panas kalau kemarau panjang.”
                “Buatku ada.” Mukamu serius.
                “Apa itu?”
Kamu hening sejenak. Menatapku dengan sesuatu yang tidak biasa di bola matamu, membuatku sedikit tidak enak hati.
                “Kamu.”
Aku melongo. Satu kata darimu cukup membuat darahku berdesir dan jantungku berpacu lebih cepat. Kamu merenggut seluruh perbendaharaan kata di otakku lalu membungkam mulutku. Suasana jadi hening. Hanya hujan yang masih setia membasahi bumi dan sesekali gemuruh terdengar di sana-sini.
Aku jadi salah tingkah. Apalagi ketika kutahu kamu tetap diam di sana, masih memegang mug susu cokelat panas itu, dengan pandangan tertuju pada satu titik. Seperti di titik itu kamu sedang melihat sebuah film atau apalah namanya yang membuatmu betah.
                “Kamu jadi diam,” katamu tertahan setelah beberapa menit kita sibuk adu argumentasi dengan pikiran masing-masing.
                “Karena kamu juga diam.” Kataku polos. Kamu tertawa. “Masih dingin?”
Kamu tersenyum. “Baikan, tapi masih kurang.”
Bola mataku berputar-putar, “Aku buatin bubur ya.” Sesegera mungkin aku berdiri dan berbalik. Tapi kusadari, sesuatu menahan tanganku dan ia tidak mau melepaskannya. Aku mengarahkan pandangan padamu, minta penjelasan. “Ada apa?”
Kamu mengumpulkan tenaga sebanyak mungkin lalu berdiri. “Kamu nggak perlu repot-repot...cukup di sini aja..temani aku..” susah payah kamu menyusun kata. Aku masih dalam proses memahami kalimatmu ketika tanganmu mulai menarik tubuhku. Dekat, dekat, hingga tidak berjarak. Aku hanya bisa pasrah ketika lengan kokohmu menenggelamkan aku dalam pelukan. Begitu erat, hingga aku bisa mendengar detak jantungmu.
                “Jangan kemana-mana. Di sini aja, temani aku.” Sekali lagi kamu mengucapkan kalimat itu. Semua rasa seperti masuk ke dalam hatiku, hingga aku tak sanggup berkata-kata. Aku hanya bisa balas memelukmu. Mengalirkan panas dari tubuhku ke tubuhmu. Aku mengerti kini, jenis kehangatan yang mana yang kamu perlukan. Aku tahu, hari ini, kamu sudah mengambil keputusan yang tepat: mencariku. Karena aku yakin kamu paham, aku ada.


Maka, carilah aku, ketika kamu butuh teman.
Carilah aku, ketika kamu butuh kehangatan.
Carilah aku, ketika kamu butuh pasokan semangat.
Carilah aku, ketika kamu ingin berbagi kesedihan.
Carilah aku, carilah aku, ketika tidak ada yang mau peduli denganmu.
Karena aku yakin, kamu paham, aku ada.
Aku akan selalu ada di sini,
Menunggumu,
Menjagamu,
Bersamamu.
Dan, ketika sudah tiba saatnya,
Dimana kamu harus pergi,
Karena ada manusia yang lebih bisa membahagiakan kamu,
Aku akan siap untuk kamu tinggalkan.
Aku akan siap untuk kamu abaikan.
Aku akan siap untuk kamu lupakan.
Namun, jika satu waktu kamu ignin kembali,
Aku akan tetap diam di sini.
Selalu ada.
Untuk kamu.


11 Juli 2013, 10.31 PM

Rabu, 10 Juli 2013

Membawamu Pulang


Sebentuk buku. Selembar kertas HVS. Sebuah pensil. Secangkir cappuccino panas. Dan sepenggal kenangan tentang cinta...

Jemarimu mengetuk meja dengan mata meliar keluar jendela. Entah apa yang sedang kamu pikirkan. Entah apa yang sedang kamu risaukan. Aku masih terlalu sibuk dengan lonjakan jantungku hingga tak mampu menerka sesuatu di balik matamu, di balik lekukan-lekukan di jidatmu. Mestinya hari ini aku bahagia. Karena bayanganmu ada di retinaku, bukan hanya berputar-putar di anganku. Tapi kini aku gugup. Mungkinkah gugupku akibat terlalu bahagia?
Masih kuamati, kamu, di belakang tirai pemisah ruang tengah dan ruang tamuku. Kutangkap siluetmu, kumasukkan ke otak, dan kuabadikan di hatiku. Aku menarik napas dalam-dalam, melangkahkan kaki, menyibak tirai, dan berusaha siap menatap kamu dengan lebih jelas dan nyata.
                “Mau minum apa?” tanyaku. Berusaha mengeluarkan nada semanis mungkin. Kamu segera berhenti menatap luar jendela dan mengalihkan pandangan padaku. Tatapanmu masih seperti dulu. Tajam dan memikat. Sedikit menusuk, tapi juga membuat cinta menyala lebih kuat.
                “Koktail cinta, ada?”
Tak siap dengan jawabanmu, aku tersentak. Dan tawamu pun meledak.
                “Haha, bercanda. Apa aja deh, terserah kamu. Aku udah haus daritadi soalnya.” Katamu menjelaskan, masih dengan ekspresi geli.
Aku mengangguk, bergegas masuk, menyiapkan segelas sari leci untuk obat hausmu. Kalimat ‘setengah bercanda’mu masih mengganggu pikiranku. Sembari mengaduk, aku mencari-cari pesan tersiratmu, namun, selalu aku terhenti pada tanda tanya. Mengapa? Mengapa kamu masih sulit dipahami?
                “Ini,” kataku menyodorkan minuman. Mulutmu diam. Entah karena sibuk bermain dengan handphone-mu atau kamu sengaja mendiamkan bibir dan berbicara lewat hati. Aku tidak berani menatapmu. Detik itu kita nyaris tidak berjarak. Tapi aku belum mampu melakukan sesuatu yang berarti. Kakiku mundur tertur dan cepat-cepat berbalik, meletakkan nampan hitamku lalu menyiapkan hati, sekali lagi.

                Tik..tok..tik..tok..

Terdengar suara jam berdetak-detak. Aku dan kamu sma-sama bertahan dalam hening. Tak ada pembicaraan di menit-menit awal. Sesekali kamu berdehem dan cekikikan dengan handphone-mu. Handphone. Bukan aku. Kamu seperti mengabaikan aku. Tapi aku juga tidak bisa marah. bagiku, saling diam seperti ini bisa begitu menyenangkan karena kau akan puas menatapmu dari ujung rambut hingga ujung kaki tanpa harus diawasi tatapan matamu yang cukup tajam untuk memisahkan bagian-bagian jantungku.
Sekali lagi, kamu berdehem. Tapi kali ini tidak pada handphone-mu. Seketika aku tertangkap basah sedang mengamatimu. Aku sedikit salah tingkah. Kukira kamu akan marah. Dan, kulihat sebersit senyum melintas, tatapan melembut, ototku mengendur, hatiku melega.
Sejenak, pandanganmu menyapu sekeliling. Kamu masih memilih diam. Membuatku kembali menunggu.
                “Ini nomor apa?” tanyamu, setelah beberapa menit berlalu. Telunjukmu mengarah pada yang kamu pertanyakan.
Bibirku menganga. Tidak menyangka kamu lupa pada nomor, yang sebenarnya adalah tanggal itu.
                “Kamu...lupa?”
Dengan polosnya kamu mengangguk.
                “Itu bukan nomor,” kataku sedikit kesal. Kecewa kamu melupakan tanggal jadian kita.
                “Lalu? Tanggal?”
Aku mengangguk.
                “Tanggal apa?”
Aku mengerling.
Terpaksa, aku membuka kitab masalalu. Terpaksa aku menguraikannya. Terpaksa aku bercerita. Hatiku menggelegak. Mulutku mengelu saat kisah itu meluncur dari gerakan lidahku. Aku sendiri heran, mengapa aku bisa mengatakannya seruntut itu.
Kamu mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Seperti berusaha mencari data yang terabaikan di otakmu. Dan, aku berhasil mengantarkanmu pulang. Aku berhasil membuka peti kenanganmu dengan kunci yang aku punya; kunci yang kusebut cinta.
Air mukamu berubah. Senyummu merekah. Wajahmu jadi cerah. Kamu sudah kembali. Ya, kamu telah kembali.
                “Jadi selama ini, kamu mikirin aku?”
                “Iya.”
                “Astaga,”
                “Kenapa?”
                “Aku malah seneng-seneng,” tanganmu menggaruk kepala belakang, yang kutahu, itu tidak gatal.
Aku tertawa, “Nggakpapa. Kamu berhak untuk itu.”
Kamu tersenyum, “Kamu setia ya. Aku baru tahu ini, ada cewek yang setianya kayak kamu.”
Aku tertawa lagi. Buatku, kelimat itu sedikit berlebihan.
                “Apa menurutmu aku setia?”
Sontak, tawaku hilang. Mendadak, aku bingung bagaimana harus menjawab.
                “Apa menurutmu aku ini setia?” ulangmu. Kali ini dengan nada dan tatapan yang lebih tajam. “Ya, atau tidak?”
Kedua pilihan itu sama sulitnya. Aku hanya punya sedikit waktu untuk berpikir dan kuputuskan menjawab, “Ya.”
                “Kenapa?” tanyamu. Benar-benar ingin tahu.
Aku menghela napas, “Karena...karena kamu pernah bilang, di luar sana ada banyak cewek yang jauh lebih, lebih, lebih dari aku, dan...” aku menatapnya. “...dan kamu tetep milih aku.”
Kulihat, matamu membelalak dan seketika melembut. Entah kaget, atau justru puas dengan jawabanku. Dua detik kemudian, bibirmu melengkung ke atas. Aku ikut tersenyum.
Kamu berdiri. Aku juga berdiri. Tinggi kita terpaut jauh. Kurasa badanmu jadi menjulang. Atau...aku terlalu pendek?
Ah, aku tak peduli. Kembalinya kamu jauh lebih berarti ketimbang semua itu.
Kamu mulai mengerumusku. Tanganku melingkar di pinggangmu. Wajahku tenggelam di dadamu. Oksigen yang kuhirup bercampur dengan aroma tubuhmu.
                “Ayo ikut aku,” katamu, setengah berbisik.
                “Kemana?”
                “Ke dunia kita yang baru, menyusun kisah kita yang baru.”
Aku tersenyum.
Airmata meleleh atas nama bahagia.


...Yogyakarta, 09/07/2013

10.37 PM...