Cerita sebelumnya: Reinkarnasi Masalalu #1
Kata orang, cinta itu dari mata
turun ke hati. Kalau Tuhan mengijinkan bakal bisa mengakar ke jiwa lalu jadi
bagian dari hidup yang nyata. Jadi mungkin keindahan yang bisa didapatkan dari
paduan hidung mancung, bibir merah, bulu mata lentik, dan alis tebal yang jadi
wajah berbumbu Arab adalah cinta fase mata. Bisa saja. Dan semoga memang bisa.
Banyak manusia yang setuju soal
wajahnya yang menarik dan anggapan kalau dia memang tampan. Apa yang kurang
dari tatanan fisiknya? Dia nyaris sempurna. Tubuh tinggi tegap dan langkah
mantap (sekalipun tak semantap angkatan bersenjata) serta mata indah yang
sembunyi dibalik kacamata. Sosok sedikit polos dan lugu. Lucu saja.
Mengenalnya mungkin bisa membuat
gila. Atau mungkin hanya aku yang merasa. Aku tidak tahu. Aku juga tak mau
tahu. Aku sedang ingin mencukupkan diri dengan apa yang sanggup kumiliki saat
ini. Punggungnya yang berjalan beberapa meter di depanku. Suaranya yang
mengiringi langkahku. Bayangannya yang membekukan alam sadarku. Senyumnya
seakan menyejukkan dan membuat mata betah menatap lama. Aku merasa gila. Kata
teman-teman aku memang sudah gila soal dia. Dan aku tak protes untuk hal satu
itu. Aku bisa merasakan kesadaranku luruh perlahan kala mata ini menangkap
kelebatannya. Astaga. Sungguh dia sedemikian indah.
Tadinya aku berpikir aku bisa
mengaguminya segila yang aku bisa. Tapi pada satu titik, hujan kemarau panjang
dan petir siang bolong itu menyambarku, membuatku sadar bahwa dia tak
sesederhana yang terlihat juga terbayangkan. Aku seketika patah hati, jelas.
Merasa konyol dengan rasa ini yang mungkin saja terlanjur terpatri entah berapa
banyak.
Banyak manusia sekolah mengenal
dia, dia juga mengenal mereka. Buatku itu tiba-tiba menyakitkan. Aku sering
membaca celetukkannya yang memenuhi sosial media. Fotonya tersebar di banyak
situs. Senyumnya memenuhi ruang rasaku. Dia benar-benar ramah dan terlampau
baik pada semua orang. Itu menusuk, sekali lagi, andai aku boleh mengungkapkan.
Tapi aku tahu aku bukan siapanya, jelas. Aku juga cuma salah satu dari (entah
berapa) banyak wanita yang mengagumi dia. Aku bersyukur orang lain cuma tahu
kalau aku sekadar mengagumi dia. Kadang, anggapan itu mengamankanku. Tapi
kadang juga menusuk.
Baiklah, aku sekarang hilang
arah.
Apa cinta itu serba salah? Tidak
ketika kamu jatuh cinta pada orang yang tepat, katanya. Tentu saja! Tapi orang
yang tepat belum tentu dipertemukan dengan cepat. Lantas apa? Aku tak tahu. Dia
tak tahu. Kalian mungkin juga tak tahu. Aku tak berharap cintaku terbalas
karena dia memang tidak peka. Atau mungkin dia peka hanya masih berhati-hati.
Dia kan tak sebodoh aku yang bisa jatuh cinta begitu saja. Mungkin mengaguminya
dari jauh dan menyebutnya diam-diam dalam doa adalah cara mencintai paling
tulus dan mungkin bagianku cukuplah sampai batas itu.