Aku
mengenalnya sejak lama. Sejak aku bisa mengenal orang lain, orang selain orang tuaku.
Dan disanalah dia mulai merasuki otakku. Mulai menjadi manusia yang kurasa
lebih dari penting, hingga aku tahu tentang dia seperti aku tahu tentang
diriku. Dia tidak terlalu tinggi, sekitar 150 cm, hampir sama denganku. Dulu,
dia punya lumayan daging dan lemak di balik kulitnya. Kini semua itu lenyap.
Badannya menyusut, bahkan lengan bawahnya seperti hanya terdiri dari tulang dan
kulit pembungkus. Matanya cokelat tua, mata asli Asia Tenggara; terlihat tanpa
kelopak dengan bulu mata yang pendek, mirip mata dari daratan Cina. Hidungnya
tidak terlalu mancung. Dagunya panjang dan runcing, membuat orang mengira dia
keturunan bangsawan Mesir. Rambutnya hitam dan fleksibel. Kubilang fleksibel
karena tidak selalu bisa dikata ikal, atau lurus, atau keriting. Rambutnya
selalu bisa diatur semaunya. Bibirnya tidak mungil, juga tidak lebar, terlalu
tebal juga tidak. Dan selalu terlihat berwarna merah tedas. Bila kugambarkan
bibirnya adalah apel, maka tiap orang yang melihat apel itu pasti ingin
menggigit dan menikmatinya.
Dulu,
kuingat dia suka bercerita tentang kehidupannya. Tentang keluarganya. Tentang
lukisan-lukisan ayahnya. Tentang sulaman dan rajutan ibunya. Tentang ribuan hal
yang dia sukai, juga dia benci. Dia selalu mudah tertawa. Pembawaannya ceria
dan menyenangkan. Dari matanya selalu terpancar bahagia. Kini aku sadar semua
itu sudah hilang. Kisah terakhir yang dia ceritakan adalah tentang mantan
kekasih yang begitu dicintainya. Dan setelah itu, tak ada lagi susunan kalimat
yang bisa kudengar darinya. Dia kini sudah berbeda. Lebih banyak diam. Suka
menyendiri, sibuk berbicara dengan hatinya yang sering tercabik. Aku tak bisa
lagi menemukan bahagia dari sorot matanya. Bahkan saat bibirnya menggores tawa.
Aku
ingat, tak ada yang berubah dari tawanya. Tetap renyah lepas dan akan
dilakukannya sampai dia puas. Tapi mata tidak bisa berbohong. Aku bisa melihat
dengan jelas, ada guratan kesedihan di antara lensa dan irisnya. Alisnya pun
sedikit terangkat. Kini, kutahu dia menyimpan sesuatu di dalam hatinya. Rasa
sakit yang pedih dia biarkan menumpuk dan memenuhi tiap ruang, bahkan ruang tempat
dia meletakkan bahagia. Dari sinilah aku tahu mengapa dia begitu menghindari
mataku. Dia tidak ingin orang lain mengetahui bebannya. Aku justru takut, takut
kalau suatu saat nanti dia akan sampai pada satu titik yang membuat dia tidak
bisa bertahan lebih lama.
Dia
adalah seorang playgirl. Sungguh. Aku
tidak berbohong karena aku menulis ini atas ijinnya. Dia mengakuinya kok. Dan kurasa orang yang dekat
dengannya juga tahu hal ini. Dia biasa punya satu pacar dan banyak gebetan. “Ah
cakep banget dia!” , “Masnya yang itu kece ya?” , “Eh, ganteng banget. Kenapa
dia nggak jadi pacarku aja?” adalah beberapa kalimat yang biasa kudengar dari
dia. Dan sekali lagi, kusadari semua itu sudah berlalu.
Aku
mulai merasa jiwa playgirl-nya mundur
teratur setelah dia mengenal seorang lelaki yang sekitar 3 tahun lebih tua
darinya. Nama lelaki itu unik dan terkesan elite. Selebihnya, dia sama seperti
pria pada umumnya. Tapi kurasa, dia sudah jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta
pada pria itu. Entah apanya yang istimewa, sampai dia tampak menggilainya. Aku
yakin, dia pasti akan tetap memilih pria itu meski ada pria-pria lain yang
terlihat jauh lebih lebih dan lebih. Kurasa dia sudah menemukan hatinya. Dia
sudah menemukan tujuannya. Sesuatu yang selama ini dicarinya. Sebuah cinta. Dia
sungguh-sungguh. Dan sepertinya, dari kesungguhannya pada pria itulah dia mulai
merasakan sakit luar biasa, sakit yang membuatnya berubah.
Dia
sempat terikat suatu hubungan dengan pria itu. Mereka saling cinta, saling
berbagi, saling mengerti. Sayang, bahagia mereka terhenti pada hari ke 404.
Hubungan mereka terputus, tapi tidak dengan cinta mereka. Aku tahu, dia masih
sering mengingat momen bersama pria itu. Dia masih sering memimpikannya,
bermain dengan bayangannya yang mungkin tidak akan jadi kenyataan. Sampai pada
suatu hari, ketika sepupunya datang, dia punya kesempatan untuk bertemu dengan
manusia yang sungguh dicintainya itu.
Aku
tahu, bukan main girangnya dia ketika matanya benar menangkap pria itu secara
nyata. Saking girangnya, mulutnya yang biasa cerewet, kini jadi bungkam. Tak
satupun cerita atau pertanyaan berarti yang bisa diungkapnya. Semua yang
ditanyakannya sungguh kedengaran konyol dan bodoh. Tapi kurasa dia tidak
benar-benar mempedulikannya. Dia terlalu senang. Dia mendapatkan bahagianya
lagi.
Hari
itu berakhir dan datanglah hari baru. Kesedihannya (seolah) berakhir dan
datanglah senyum baru. Pria itu menawarkan diri untuk menjemputnya. Raut
wajahnya mendadak berubah. Mulutnya sedikit terbuka dan sorot matanya minta
bantuan. Aku langsung panik.
“Ini gimana?” tanyanya dengan
nada yang sulit kujabarkan.
“Ini sulit.” Jawabku
serampangan.
Dia
menghela napas dan mulai menghentak-hentakkan kakinya. Aku tahu, itu berarti
dia sedang bingung. Manakah jalan yang harus dipilihnya? Di satu sisi dia
sungguh cinta, dia ingin bahagia bisa melihat pria itu lagi, secara nyata. Dia
tidak ingin mengecewakan pria itu karena dia tahu, manusia kesayangannya punya
rasa yang masih sama. Tapi dia tidak siap dengan semuanya. Dia tidak ingin
mengecewakan orang tuanya dengan melanggar aturan mereka. Haruskah dia menolak
ajakan si pria? Atau dia nekat mengabaikan aturan orang tuanya?
Dia
terdiam. Cukup lama. Matanya menekuni ubin tempat pijakan kakinya. Aku
menunggunya. Aku menunggu keputusannya.
“Aku dijemput papah aja ya.”
Mendadak,
semua jadi hening. Angin pun menahan napas mereka. Aku seperti tidak memercayai
telingaku. Aku merasa ada yang salah dengan sistem pendengaranku. Tapi itulah
keputusannya. Itulah jalan yang dipilihnya. Dia merelakan hatinya remuk redam
demi orang tuanya. Dia rela perasaannya tertusuk dan bahagianya tertunda demi
aturan keluarganya. Dia memaksa hatinya tega menolak cintanya demi ayahnya,
demi ibunya. Padahal, dia sendiri tahu, dia harus kembali ke penantian jika dia
mengikhlaskan kesempatan ini.
Aku
tahu, luka hatinya cukup parah. Bila aku bisa, aku ingin terjun dalam danau
airmatanya. Aku ingin ikut meleburkan diri, asal bisa menyelamatkannya dari
semua itu.
Suatu
hari, aku melihatnya sibuk dengan urusan dapur. Aku terkejut. Karena kuingat,
dia sungguh benci memasak. Dia benci berurusan dengan sayuran. Dia benci
berurusan dengan bumbu-bumbu, minyak, dan kecap. Dia benci berurusan dengan
gula dan garam.
“Aku lagi belajar masak.”
Ucapnya polos ketika dia melihat tanda tanya besar dibalik tatapanku.
Aku
menaikkan alis, masih belum terima dengan penjelasannya.
“Biar besok kalau aku punya
suami, aku bisa masakin dia.”
Oooh,
itu alasannya. Aku diam saja. Kutahu, suami yang dia maksud adalah pria itu.
Tangannya mulai terampil, meski kadang terlihat kaku. Aku masih terlalu bingung
dengan laporan mataku, jadi aku tidak bisa berkata banyak. Aku hanya
menatapnya. Memperhatikan gerakan tangannya. Mengamati raut wajah polosnya.
Seakan kuingin menyelami hatinya, menemukan kitab cintanya, membaca tentang
manusia yang ada di lembar pertama otaknya.
Ah,
semakin hari, kurasa semakin berat beban yang ada di bahunya. Tapi kutahu, dia
berusaha tampil tegar. Dia berusaha menutupi segala macam dan bentuk derita,
sengsara, juga airmata. Di satu sisi, dari diriku sendiri, aku tidak tahan
dengan semua itu. Aku tidak tahan melihat dia memikul bebannya sendirian. Aku
ingin menolongnya. Aku ingin menyelamatkannya. Aku ingin membawanya pada satu
lorong pelepasan yang ujungnya bertemu dengan cahaya Sang Surya. Aku ingin,
tapi aku tak bisa. Entah mengapa, aku tak punya cukup kata-kata untuk
menjabarkannya.
Dan,
inilah dia. Inilah wanita dengan hati penuh pilu sendu. Inilah wanita dengan
beban sebesar Gunung Merbabu. Inilah wanita itu, sisi lain dari...aku.
Cerita selanjutnya :
Tentang 'dia' #2