Sabtu, 10 Agustus 2013

Jadi, apa? Kamu merasa hebat?

Saya sudah memperjuangkan pria itu sejak lama. Sejak sepuluh bulan yang lalu. Bukan hanya sehari dua hari atau seminggu dua minggu. Tapi sepuluh bulan. Tolong catat ini. Tolong ingat baik-baik dan sadari bahwa itu bukan waktu yang singkat. Saya sudah merelakan lebih dari separuh hati saya, ratusan tetes peluh dan airmata untuk dia. Segalanya mulai membaik ketika pria itu merespon saya. Kami dekat (lagi) dan ada satu janji yang diucapkan pria itu yang saya jaga dan pegang baik-baik. Perjuangan saya nyaris sempurna kala saya menyadari hal yang menjadi tujuan saya akan segera terwujud. Namun, tiba-tiba, kamu datang tanpa permisi dan tanpa disangka, seperti pencuri pada malam hari, lalu merusak segalanya.

Sudah, begitu saja.

Kamu datang, merusak, lalu ikut-ikutan memperjuangkan dia.

Menyembulnya kamu entah dari dunia macam mana sudah cukup membuat tiap tetes darah saya di semua pembuluh memanas. Kamu menciptakan tornado di hati saya, membuatnya berputar jauh lebih cepat dan kuat. Kamu membuat tangan saya serasa ingin menonjok wajahmu dan menciptakan luka sebanyak mungkin di tubuhmu, hatimu juga, kalau perlu. Kamu pantas dibenci. Sungguh! Apa yang terlihat baik dari seorang perebut kebahagiaan orang lain?!

Saya berusaha menahan diri, mengingat, kamu (mungkin) belum tahu kalau sebelum kamu sudah ada orang yang memperjuangkan pria itu. Saya berusaha memendam segala amarah, berusaha bersabar dengan semua mention kalian. Tapi, saya juga manusia yang punya titik jenuh. Saya tak bisa dipaksa bertahan dalam senyuman ketika orang yang saya perjuangkan dengan begitu keras didekati wanita lain yang juga suka dengannya.

Entahlah, dalam kasus ini saya yang terlalu sensitif atau kamu yang tidak tahu diri.

Kamu tidak berasal dari sini, saya tahu itu. Tapi saya tidak paham apa motivasimu memilih sekolah di kota ini dan mengapa kamu pilih masuk sekolah Kristen padahal kamu Katholik. Maaf, bukannya saya melarang, bukannya saya mengatasnamakan agama dalam kasus ini. Tapi, apakah di kotamu tidak ada Sekolah Menengah Atas, hingga kamu harus jauh-jauh datang kemari?

Baiklah, saya sadar kalau jatuh cinta itu hak tiap makhluk hidup. Bukan hanya manusia, hewan juga, tumbuhan juga. Saya juga tidak mempermasalahkan jatuh cintamu, tapi, pada siapa kamu menaruh hati, lalu entah dengan tujuan apa, memperjuangkan dia, dan secara tidak langsung terdaftar resmi menjadi saingan saya.
Saya heran, apa kamu tidak berusaha mencari informasi terlebih dahulu tentang dia sebelum kamu memutuskan untuk memperjuangkan dia? Apa kamu tidak punya cukup waktu untuk merenungkan tindakanmu? Apa kamu tidak berhati-hati, mengingat bisa saja ada manusia selain kamu yang juga punya hak untuk memperjuangkan dia, menjadikan dia mood booster, menempatkan dia pada urutan nomor satu di hati. Kamu tidak punya bersitan rasa seperti itu?

Bodoh!

Lalu sekarang, atas nama kalian satu sekolah, atas nama kamu adalah adik kelasnya, atas nama dia pernah menghubungi kamu, kamu merasa bangga? Kamu merasa pantas memperjuangkan dia? Kamu merasa berhak memenangkan dia? Hah, jangan mimpi, nona. Tidak semudah yang kamu bayangkan.

Dia lelaki langka. Dalam artian, dia tidak sama dengan kebanyakan lelaki. Entahlah, bagaimana saya bisa memilih kalimat ini untuk mewakili semua ciri hati yang dia punya. Dia istimewa. Maaf, saya menulis ini dari hasil survey, dari banyak sumber, dari pendapat-pendapat manusia yang kenal dengan dia, bukan hanya karena saya suka dia. Dia selalu sulit dipahami, tak tertebak, penuh kejutan. Dan, kamu tahu, nona? Ia adalah pria tersulit untuk dimiliki. Pria teristimewa yang pantas diperjuangkan. Pria langka, yang untuk mendapatkannya butuh lebih dari sekadar peluh, darah, atau tetesan airmata.

Jadi tolong, pikirkan juga manusia di luar kamu yang sama-sama punya hak untuk memperjuangkan dia. jangan egois. Manusia lain juga punya hati yang perlu dijaga dari rasa sakit.

Jumat, 09 Agustus 2013

Firasat

Bulu kudukku meremang. Entah ada apa di balik semua ini, yang jelas, perasaan tak enak mengiringi dan aku jadi punya pikiran negatif setelah itu.

Kamu sendiri tahu, aku terpaksa punya profesi baru, sebagai seorang stalker setelah seseorang datang ke hidupmu, lalu jadi bagian dari hari-harimu. Dia adalah satu dari sedikit wanita yang setiap hari kamu mention. Dia adalah satu dari sekian banyak akun yang kamu ikuti kicauannya, yang kamu balas tweetnya. Yang kalian bicarakan selalu berganti, bahkan dalam hitungan detik. Tapi kutahu, ada yang takkan berubah dari kalian: hati. Entah bagaimana pastinya, bagaimana tepatnya, aku tidak tahu, karena aku sendiri hanya mengandalkan firasat, aku tak punya indra keenam.

Setelah percakapan panjang kalian resmi dimulai, setelah beberapa kicauan kalian resmi terpampang di profil dan tertera di timeline, dia, wanita itu, selalu menyempatkan diri untuk menuliskan kata atau kalimat yang berbau perasaan. Sungguh. Aku hapal akan itu karena aku jadi seorang stalker sekarang. Aku selalu berharap semua yang dia tulis, tentang perasaannya padamu, tentang hatinya, hanya bercanda. Tapi kenyataan seolah berkata lain. Seperti ada yang mengatakan padaku, dia serius. Entah kamu.

Aku merinding lagi.

Aku masih ingat, waktu kamu datang ke rumahku pada hari Sabtu siang. Setelah kamu terduduk cukup lama, setelah kita terlibat percakapan penting cukup lama, kamu hening sejenak, lalu berkata, “Iya ya. Jangan-jangan yang kamu tulis dulu itu beneran..”

Seketika aku merinding dan darahku berdesir meski aku belum paham sepenuhnya maksud dari kalimatmu itu. Aku minta penjelasan. Dan, tahukah kamu? Saat penjelasanmu masuk ke telinga, aku merasa ada sesuatu yang cukup kuat sedang menohok jantungku dan berusaha meremukkannya. Aku jadi kepikiran setelah itu. Kalender duduk...daun berbentuk hati...dan inisialmu dari kawat emas... Mendadak aku ingat waktu aku mengambil sesuatu di dekat kalender itu, aku tak sengaja menjatuhkannya. Kuambil kalender itu, kulihat inisialmu jatuh. Secara logika, apa pentingnya inisial yang jatuh? Bukankah semua benda yang terpasang di kalender itu bisa jatuh juga? Namun, entah mengapa, desauan angin berhenti satu detik, lalu aku sadar akan sesuatu yang selama ini jadi ketakutanku.

Kamu, dia. Ah, rasanya sembilan karakter itu cukup untuk menjelaskan semuanya.

Aku sudah (sangat) sering membaca kicauan kalian. Sampai lelah aku dibuatnya. Sampai lebih dari galau rasanya. Kamu sungguh baik padanya di sosial media. Dan kurasa, tak mungkin kamu tidak baik padanya secara pribadi. Dari tulisan-tulisannya, dari tulisan-tulisanmu, seakan aku diberi kode oleh Sang Waktu untuk mulai menyiapkan hati. Seolah aku diberi kesempatan untuk menarik napas sedalam dan sepanjang mungkin, menghembuskannya sekali sentak, dan berkata “aku siap”.

Aku harus siap. Untuk apa? Untuk satu hari di depan sana. Satu hari yang masih samar, tidak jelas. Tapi aku yakin, hanya ada dua kemungkinan tentang hari itu: menyakitkan atau menyenangkan. Menyakitkan, jelas sudah. Aku harus siap dan dipaksa untuk tegar bila pada akhirnya kamu memilih pergi dengan dia. Menyenangkan, yaah kalau kamu memilihku, dan kita kembali menyusun mimpi bersama seperti beberapa waktu yang lalu.

Merenungkan tentang kalian dan betapa baiknya kamu terhadap dia, aku jadi bertanya-tanya. Di sosial media kamu biasa saja terhadapku, tapi secara pribadi, kamu bersikap sama seperti dulu. Begitu baik, manis, dan romantis. Deretan kata-kata yang menenangkan sudah biasa kamu kirimkan, dan, secara tak langsung, kamu sedang memberi kode untukku. Kode apa? Mereka yang paham jelas sudah bisa menebak. Lalu pikiranku kembali dipenuhi tentang wanita itu, juga tentang kamu tehadapnya. Kalau di sosial media saja kalian bisa terlibat pembicaraan yang menarik nan asyik, bagaimana secara pribadi? Aku ragu kamu akan biasa saja.
Kamu bukan Pemberi Harapan Palsu. Aku akin akan itu. Tapi sekarang, imanku pada satu hal tersebut sedikit goyah gara-gara kedekatanmu dengannya. Kamu pernah bilang, kamu tidak suka dia, meski dia suka, eh cinta kamu. Kamu meyakinkan aku kalau kamu sayang sama aku, bukan orang lain. Tapi mengapa mataku sampai juga pada kicauannya yang berkata kalau kamu suka dia?

Hah, entahlah. Mungkin yang bodoh aku, atau kamu, atau dia, atau kita semua. Maaf, tulisanku ini terlalu amburadul, konyol, tak masuk akal, tak jelas, juga kekanak-kanakan. Tapi aku punya satu pesan yang penting di sini. Aku masih ingat kamu tak suka dengan kode-kode. Jadi baiknya, aku tulis saja secara terang, semoga kamu baca.

Aku takut kamu akan pergi, sayang. Aku takut kamu akan meninggalkan segalaku dan berlari menuju dia, menggapai tangannya, siap untuk menyusun mimpi bersama dia. Jujur, aku sudah banyak mengecap rasa pahit karena disakiti. Tapi ini spesies baru, sayang. Dan aku tak yakin aku siap meski sudah seharusnya aku siap. Aku mulai bertanya-tanya, apakah kata-kata sayangmu untukku itu memang benar, atau hanya bercanda? Mengingat status kita yang belum jelas mau dinamai dan disebut apa. Aku takut sayang. Tolong jangan seperti ini. Beri aku kejelasan dan penjelasan tentang perasaanmu yang sesungguhnya pada dia, juga padaku. Karena firasatku menyembul, menggebu, dan mulai mengganggu, sayang.  Aku tak suka. Firasat itu menyakitkan.


Regards,

-Litha-

Rabu, 07 Agustus 2013

Tentang 'dia' #1

Aku mengenalnya sejak lama. Sejak aku bisa mengenal orang lain, orang selain orang tuaku. Dan disanalah dia mulai merasuki otakku. Mulai menjadi manusia yang kurasa lebih dari penting, hingga aku tahu tentang dia seperti aku tahu tentang diriku. Dia tidak terlalu tinggi, sekitar 150 cm, hampir sama denganku. Dulu, dia punya lumayan daging dan lemak di balik kulitnya. Kini semua itu lenyap. Badannya menyusut, bahkan lengan bawahnya seperti hanya terdiri dari tulang dan kulit pembungkus. Matanya cokelat tua, mata asli Asia Tenggara; terlihat tanpa kelopak dengan bulu mata yang pendek, mirip mata dari daratan Cina. Hidungnya tidak terlalu mancung. Dagunya panjang dan runcing, membuat orang mengira dia keturunan bangsawan Mesir. Rambutnya hitam dan fleksibel. Kubilang fleksibel karena tidak selalu bisa dikata ikal, atau lurus, atau keriting. Rambutnya selalu bisa diatur semaunya. Bibirnya tidak mungil, juga tidak lebar, terlalu tebal juga tidak. Dan selalu terlihat berwarna merah tedas. Bila kugambarkan bibirnya adalah apel, maka tiap orang yang melihat apel itu pasti ingin menggigit dan menikmatinya.

Dulu, kuingat dia suka bercerita tentang kehidupannya. Tentang keluarganya. Tentang lukisan-lukisan ayahnya. Tentang sulaman dan rajutan ibunya. Tentang ribuan hal yang dia sukai, juga dia benci. Dia selalu mudah tertawa. Pembawaannya ceria dan menyenangkan. Dari matanya selalu terpancar bahagia. Kini aku sadar semua itu sudah hilang. Kisah terakhir yang dia ceritakan adalah tentang mantan kekasih yang begitu dicintainya. Dan setelah itu, tak ada lagi susunan kalimat yang bisa kudengar darinya. Dia kini sudah berbeda. Lebih banyak diam. Suka menyendiri, sibuk berbicara dengan hatinya yang sering tercabik. Aku tak bisa lagi menemukan bahagia dari sorot matanya. Bahkan saat bibirnya menggores tawa.

Aku ingat, tak ada yang berubah dari tawanya. Tetap renyah lepas dan akan dilakukannya sampai dia puas. Tapi mata tidak bisa berbohong. Aku bisa melihat dengan jelas, ada guratan kesedihan di antara lensa dan irisnya. Alisnya pun sedikit terangkat. Kini, kutahu dia menyimpan sesuatu di dalam hatinya. Rasa sakit yang pedih dia biarkan menumpuk dan memenuhi tiap ruang, bahkan ruang tempat dia meletakkan bahagia. Dari sinilah aku tahu mengapa dia begitu menghindari mataku. Dia tidak ingin orang lain mengetahui bebannya. Aku justru takut, takut kalau suatu saat nanti dia akan sampai pada satu titik yang membuat dia tidak bisa bertahan lebih lama.

Dia adalah seorang playgirl. Sungguh. Aku tidak berbohong karena aku menulis ini atas ijinnya. Dia mengakuinya kok. Dan kurasa orang yang dekat dengannya juga tahu hal ini. Dia biasa punya satu pacar dan banyak gebetan. “Ah cakep banget dia!” , “Masnya yang itu kece ya?” , “Eh, ganteng banget. Kenapa dia nggak jadi pacarku aja?” adalah beberapa kalimat yang biasa kudengar dari dia. Dan sekali lagi, kusadari semua itu sudah berlalu.

Aku mulai merasa jiwa playgirl-nya mundur teratur setelah dia mengenal seorang lelaki yang sekitar 3 tahun lebih tua darinya. Nama lelaki itu unik dan terkesan elite. Selebihnya, dia sama seperti pria pada umumnya. Tapi kurasa, dia sudah jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta pada pria itu. Entah apanya yang istimewa, sampai dia tampak menggilainya. Aku yakin, dia pasti akan tetap memilih pria itu meski ada pria-pria lain yang terlihat jauh lebih lebih dan lebih. Kurasa dia sudah menemukan hatinya. Dia sudah menemukan tujuannya. Sesuatu yang selama ini dicarinya. Sebuah cinta. Dia sungguh-sungguh. Dan sepertinya, dari kesungguhannya pada pria itulah dia mulai merasakan sakit luar biasa, sakit yang membuatnya berubah.

Dia sempat terikat suatu hubungan dengan pria itu. Mereka saling cinta, saling berbagi, saling mengerti. Sayang, bahagia mereka terhenti pada hari ke 404. Hubungan mereka terputus, tapi tidak dengan cinta mereka. Aku tahu, dia masih sering mengingat momen bersama pria itu. Dia masih sering memimpikannya, bermain dengan bayangannya yang mungkin tidak akan jadi kenyataan. Sampai pada suatu hari, ketika sepupunya datang, dia punya kesempatan untuk bertemu dengan manusia yang sungguh dicintainya itu.

Aku tahu, bukan main girangnya dia ketika matanya benar menangkap pria itu secara nyata. Saking girangnya, mulutnya yang biasa cerewet, kini jadi bungkam. Tak satupun cerita atau pertanyaan berarti yang bisa diungkapnya. Semua yang ditanyakannya sungguh kedengaran konyol dan bodoh. Tapi kurasa dia tidak benar-benar mempedulikannya. Dia terlalu senang. Dia mendapatkan bahagianya lagi.

Hari itu berakhir dan datanglah hari baru. Kesedihannya (seolah) berakhir dan datanglah senyum baru. Pria itu menawarkan diri untuk menjemputnya. Raut wajahnya mendadak berubah. Mulutnya sedikit terbuka dan sorot matanya minta bantuan. Aku langsung panik.
                “Ini gimana?” tanyanya dengan nada yang sulit kujabarkan.
                “Ini sulit.” Jawabku serampangan.
Dia menghela napas dan mulai menghentak-hentakkan kakinya. Aku tahu, itu berarti dia sedang bingung. Manakah jalan yang harus dipilihnya? Di satu sisi dia sungguh cinta, dia ingin bahagia bisa melihat pria itu lagi, secara nyata. Dia tidak ingin mengecewakan pria itu karena dia tahu, manusia kesayangannya punya rasa yang masih sama. Tapi dia tidak siap dengan semuanya. Dia tidak ingin mengecewakan orang tuanya dengan melanggar aturan mereka. Haruskah dia menolak ajakan si pria? Atau dia nekat mengabaikan aturan orang tuanya?

Dia terdiam. Cukup lama. Matanya menekuni ubin tempat pijakan kakinya. Aku menunggunya. Aku menunggu keputusannya.
                “Aku dijemput papah aja ya.”

Mendadak, semua jadi hening. Angin pun menahan napas mereka. Aku seperti tidak memercayai telingaku. Aku merasa ada yang salah dengan sistem pendengaranku. Tapi itulah keputusannya. Itulah jalan yang dipilihnya. Dia merelakan hatinya remuk redam demi orang tuanya. Dia rela perasaannya tertusuk dan bahagianya tertunda demi aturan keluarganya. Dia memaksa hatinya tega menolak cintanya demi ayahnya, demi ibunya. Padahal, dia sendiri tahu, dia harus kembali ke penantian jika dia mengikhlaskan kesempatan ini.

Aku tahu, luka hatinya cukup parah. Bila aku bisa, aku ingin terjun dalam danau airmatanya. Aku ingin ikut meleburkan diri, asal bisa menyelamatkannya dari semua itu.

Suatu hari, aku melihatnya sibuk dengan urusan dapur. Aku terkejut. Karena kuingat, dia sungguh benci memasak. Dia benci berurusan dengan sayuran. Dia benci berurusan dengan bumbu-bumbu, minyak, dan kecap. Dia benci berurusan dengan gula dan garam.
                “Aku lagi belajar masak.” Ucapnya polos ketika dia melihat tanda tanya besar dibalik tatapanku.
Aku menaikkan alis, masih belum terima dengan penjelasannya.
                “Biar besok kalau aku punya suami, aku bisa masakin dia.”
Oooh, itu alasannya. Aku diam saja. Kutahu, suami yang dia maksud adalah pria itu. Tangannya mulai terampil, meski kadang terlihat kaku. Aku masih terlalu bingung dengan laporan mataku, jadi aku tidak bisa berkata banyak. Aku hanya menatapnya. Memperhatikan gerakan tangannya. Mengamati raut wajah polosnya. Seakan kuingin menyelami hatinya, menemukan kitab cintanya, membaca tentang manusia yang ada di lembar pertama otaknya.

Ah, semakin hari, kurasa semakin berat beban yang ada di bahunya. Tapi kutahu, dia berusaha tampil tegar. Dia berusaha menutupi segala macam dan bentuk derita, sengsara, juga airmata. Di satu sisi, dari diriku sendiri, aku tidak tahan dengan semua itu. Aku tidak tahan melihat dia memikul bebannya sendirian. Aku ingin menolongnya. Aku ingin menyelamatkannya. Aku ingin membawanya pada satu lorong pelepasan yang ujungnya bertemu dengan cahaya Sang Surya. Aku ingin, tapi aku tak bisa. Entah mengapa, aku tak punya cukup kata-kata untuk menjabarkannya.

Dan, inilah dia. Inilah wanita dengan hati penuh pilu sendu. Inilah wanita dengan beban sebesar Gunung Merbabu. Inilah wanita itu, sisi lain dari...aku.

Cerita selanjutnya : Tentang 'dia' #2

Minggu, 04 Agustus 2013

Aku takut, tentang kamu

Tanganku masih asyik menggenggam mouse, mataku masih serius merunut kicauan-kicauanmu, telingaku masih menikmati alunan nada yang berpadu dengan kata lalu jadi lagu, kepalaku masih mengangguk-angguk mengikuti irama drum dari speaker. Aku masih belum menemukan sesuatu yang kucari. Entahlah, aku tidak bisa menjabarkannya dengan logika. Aku pakai firasat, kali ini. Aku menuruti apa kata hati. Ia sepertinya punya sesuatu untuk kuketahui. Tanganku seperti ada yang menggerakkan. Mataku seperti ada yang mengarahkan. Aku tidak tahu apa yang perlu kuamati. Tapi aku merasa, hal itu penting, dan bodohlah aku jika aku menolak untuk mencari.

Detik demi detik masih setia berjalan sembari aku berperan jadi stalker, eh, detektif, eh, sekadar penerapan metode ilmiah. Ah, terserahlah, intinya itu. Lalu, tiba-tiba saja aku terhenti pada satu kicauanmu, yang entah mengapa, menggelitik untuk dikupas lebih jauh. Pointer-ku mengarah pada link expand. Mataku mencermati tiap abjad. Sedetik kemudian, aku nyaris tertawa terpingkal-pingkal. Tapi kutahan semua itu. Konyol rasanya jika tiba-tiba aku menertawai sesuatu yang lucunya hanya menurutku saat di dekatku ada manusia-manusia wajar, dan pasti tak sepaham dengan hatiku dalam kasus ini. Aku benar-benar menahan tawa itu hingga perutku tegang dan kaku. Mataku mulai berkaca-kaca dan sesegera mungkin aku berlari menuju toilet, menutup pintu, berjongkok memegangi perut sembari masih berjuang menahan tawa.



Dia lagi. Haha. Lagi-lagi dia. Lama aku mengatur napas, lalu tiba-tiba aku merasa aku harus salut dengan perjuangannya. Aku benci mengatakan ini. Namun faktanya dia adalah sainganku. Semua orang yang paham kasus cinta ini pasti berpendapat begitu. Aku berjuang. Dia juga. Aku berjalan, dia berderap. Aku berlari, dia melayang. Aku terbang, dia.. ah sudahlah. Aku dan dia sama-sama menguras tenaga meski takarannya tak sama. Demi apa? Sudah jelas jawabnya; kamu. Untuk satu kata itulah dua hawa melakukan ini itu, dari hal paling kece sampai yang paling konyol, untuk memenangkan hatimu. Memenangkan. Bukan memperebutkan. Kamu pantas untuk dimenangkan, terlalu istimewa untuk sekadar diperebutkan.

Suasana hatiku kerap berganti sejak dia datang. Keingintahuan, ketika melihat timeline-mu dipenuhi satu nama yang terasa asing. Kecemburuan, setelah membaca beberapa kicauan yang (mungkin) biasa bagi kamu, bagi orang lain. Tapi kuyakin, tidak biasa bagiku dan bagi dia. Kadang aku jadi ambisius, kadang aku jadi serius. Kadang pula panas, ketika kamu menanggapi dia dengan baik, sementara aku? Bisa kamu jawab sendiri.

Hmm, memang suasana hatiku kerap berganti. Tapi ada satu rasa yang bertahan dan selalu cocok dalam segala suasana; takut. Iya, aku takut. Apa kamu tahu?

Semenjak dia hadir (entah dengan misi apa), aku sudah merasa dihantui rasa itu. Aku takut, semua yang aku perjuangkan dalam waktu tak singkat ini bisa kalah hanya dengan satu atau dua jurus darinya. Aku takut kamu suka dia. Aku takut, kalau buatmu dia lebih jago, dewasa, indah, dan istimewa. Aku takut ketika kamu sampai pada pengujung bimbangmu, pada titik akhir dari permenunganmu diantara dua hati, kamu memilih dia. Meninggalkan segalaku, menyarankan aku untuk berhenti menguras hati, tenaga, dan pikiran, lalu kembali pada hal yang bisa membuatku bahagia, tapi, bahagia yang tanpa kamu. Sungguh, aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaanku kalau hal itu terjadi.

Bulu kudukku meremang. Otakku tak sanggup mencerna, hati tak mampu berkata. Tak terbayangkan dan tak bisa dibayangkan, menurut versimu.

Maka, aku akan sampai pada titik terendah. Dimana aku tak mampu menerka tentang rasa. Entah rasa dengan logika. Atau rasa dengan rasa.

Aku tidak tahu, akankah kamu bisa memahami semua ini atau tidak. Aku takkan memaksamu, sungguh. Bacalah saja. Terimalah saja. Kamu tak perlu memahami, tak perlu mencari, tak perlu mengerti. Hanya perlu membaca. Dan, ingatlah satu hal ini: aku takut. Aku takut kehilangan kamu. Cukup.

Jumat, 02 Agustus 2013

Aku lelah. Itu saja.

Aku menuliskan semua ini ketika hatiku beralih fungsi jadi tempat sampah dan kuburan. Tempat aku membuang dan mengubur semua rasa sakit karena dikhianati, diabaikan, dan disia-siakan. Tempat aku menyimpan semua rasa sedih, pedih, perih, juga kecewa. Sesungguhnya aku tidak ingin membebani orang lain dengan bebanku. Aku benci membuat otak mereka ikut memikirkan perasaanku, dan bagaimana aku harus bersikap pun bertindak. Aku tidak mau sepersekian waktu hidup mereka tersita demi melihat airmata dan guratan kesedihan di wajahku. Aku tidak suka. Tapi waktu tak kunjung menyerah. Ia masih bertahan dalam misi menghimpit harapanku, memporak-porandakan hatiku, mencegah rasa cinta di pembuluh-pembuluh darahku. Nyaliku mulai habis, padahal aku tidak tahu bagaimana cara mengisinya lagi.

Aku menuliskan semua ini ketika aku tidak tahu kemana aku harus bercerita. Diluar sana, orang-orang yang kulihat, baik yang kukenal maupun tidak, sudah jadi alasan dari airmataku. Aku tidak paham. Mereka seperti membuat suatu kesepakatan untuk menusukku secara bersama-sama. Mereka seperti sudah menetapkan waktu untuk mencampakkan aku dengan lebih keras. Melucuti semua bahagia lalu memaksaku menelan kapsul pahit tanpa setetes airpun.

Aku hanya ingin berkata: aku lelah. Itu saja. Tidak lebih. Tapi rasanya tenaga yang tersisa, rasa yang masih ada, tidak cukup kuat untuk membuat orang lain mendengar dan memahami. Atau mungkin, aku tidak perlu mengungkapkannya karena mereka sudah tahu meski berusaha mengabaikan dan acuh tak acuh.

Aku butuh pelepasan. Aku butuh udara. Aku butuh lorong yang membawaku kepada cahaya. Tapi aku tak kunjung menemukannya.

Hah, entahlah, semua terasa semakin berat. Dan tak seorangpun peduli terhadapku. Mereka hanya bisa menyalahkan aku. Memaki. Memojokkan. Menakuti. Menusuk. Mencabik. Melukai. Tanpa sadar, manusia yang mereka sakiti adalah orang yang sedang berada dalam kesakitan. Mereka pikir aku manusia tanpa masalah, karena selama ini aku diam dan tak pernah mengungkapkan atau menjabarkan rasa sakit macam apa yang ada di hati ini. Mereka kira aku manusia paling bahagia karena bibirku terus menggores senyum dan tawa. Tak ada airmata.

Dan, mereka salah besar. Aku adalah aku yang sama dengan banyak orang. Punya rasa sakit hati yang begitu dalam, begitu berat. Punya airmata kesedihan yang banyak, meski tak pernah kuperlihatkan. Tapi mereka tidak tahu. Mereka takkan pernah tahu.