Selasa, 20 Oktober 2015

Reinkarnasi Masalalu #1

Halo.
Aku sudah cukup lama tahu kamu sebenarnya. Hanya baru malam ini aku memutuskan mulai menyebutmu dalam doa lalu menyempatkan waktu menuliskan ini. Awalnya aku tak pernah berpikir bakal bisa masuk dalam beberapa skenario bersama kamu. Kamu tahu, beberapa tatapan awal takkan menunjukkan sesuatu yang istimewa. Tapi, waktu selalu menyimpan banyak rencana dan rahasia. Dan semua mengalir begitu saja.
Sungguh, tadinya aku berusaha tak mau tahu. Berusaha biasa saja karena ada banyak manusia yang lewat lorong depan kelasku untuk menuju kantin atau lapangan basket atau laboratorium. Tapi aku ragu semuanya tetap bisa disebut biasa ketika aku asyik menulis, mataku cuma terpaku pada buku dan papan tulis, tiba-tiba refleks aku menoleh ke arah lorong. Dan mataku menangkap kamu disana. Hei, aku mulai merasa kamu berbeda.
Wajahmu mulai mengusik, entah mengapa bisa begitu. Kamu mulai manis dipandang, dan menyenangkan untuk diperhatikan. Postur tubuh tinggi dengan kacamata dan wajah arab. Familiar sekali. Astaga, bagaimana bisa aku baru sadar aku satu sekolah dengan manusia setampan kamu?
Jujur, aku merasa bodoh seketika.
Andai aku diijinkan bercerita sedikit mengenai wajahmu, ada bersitan rasa masalalu yang kamu bawa serta di tiap kelebatan bayangmu. Entahlah mungkin cuma aku yang menyadarinya. Aku punya seseorang yang kusimpan dalam lembaran masalaluku. Seseorang yang kusyukuri benar kehadiran nyatanya selama empat tahun silam. Wajahnya benar-benar mirip kamu. Jadi mungkin itu alasan  mengapa aku tak mampu menoleh ke arah lain kala mata ini menemukan kamu.
Seseorang itu satu-satunya manusia yang masih sering kuingat-ingat sekalipun aku tidak berpisah baik-baik dengan dia. Kamu mungkin tahu, melupakan manusia yang memberi banyak kenangan tak semudah yang direncanakan. Sering aku merasa dia telah mati (dalam kiasan), mengatasnamakan kecewa luar biasa yang membuat hati tak mampu lagi disatukan.
Bersama perasaan yang mengatakan bahwa dia telah mati, otakku berjalan menyusuri memori. Sebuah kata muncul, lalu aku tahu, sesuatu terjadi.
Reinkarnasi.
Dapat dijelaskan secara singkat, reinkarnasi adalah keadaan dimana seseorang yang telah mati dapat hidup kembali sebagai kesempatan untuk memperbaiki hidup yang sebelumnya, hanya saja, dalam wujud yang berbeda. Maafkan apabila aku tak mampu mengartikannya dengan tepat, karena mungkin otakku sedang berada dalam keadaan yang salah ketika aku mencari informasi tentang kata tersebut. Mungkin aku terlalu membawa perasaan, entahlah.
Kamu percaya reinkarnasi?
Aku ingin bilang aku percaya sekalipun kamu tidak bertanya.
Aku percaya, karena aku tahu aku suka kamu, dan kamu nyata.

Cerita selanjutnya: Reinkarnasi Masalalu #2

Sabtu, 17 Oktober 2015

Seorang Puteri tanpa Hati..

Untuk seorang wanita yang kucintai dengan lebih dari segenap hati.
Aku tak paham apa yang terjadi sampai aku menyadari: lambat laun kasihmu mulai pergi. Tadinya aku memilih tidak merasakan semua ini. Aku memilih kamu, dan otakku penuh dengan banyak ide bagaimana membuat senyummu tetap ada. Bagaimana membuat hati ini tetap untuk kamu, satu-satunya. Dan bagaimana rasa ini terus menerus mengisi, aku, kamu, kita. Harusnya aku sadar, sekalipun kamu adalah manusia kesayangku, tak menutup kemungkinan kamu akan menutup hati untuk perjuanganku selama ini, dan memilih pergi. Entah untuk mengejar bahagiamu dalam suatu rutinitas baru, atau kamu telah bertemu yang lebih dari aku.
Sebelum semua sakit ini menjalar ke kapiler, aku berusaha tetap tenang dan menuruti hatimu, selalu. Karena buatku tak ada yang selain kamu. Tak ada orang lain yang perlu kukejar lagi. Entah kamu. Harusnya aku tahu.
Aku tidak ingin bermain perhitungan tentang kamu. Tentang sekian banyak peluh, airmata, kalau perlu darah nadiku sendiri kucurahkan demi kamu. Tak lagi kuteteskan satu per satu, karena kurasa, tetes demi tetes itu tak bisa membuatmu terus menyayangiku. Jadi, kucurahkan semua. Semuanya. Berapapun. Demi kamu. Dan hal yang paling menusuk adalah ketika aku tahu, untuk menyisihkan waktu dan menghargai akupun kamu tak sempat, juga tak mau.
Waktuku habis untuk terus memperjuangkan kamu. Tapi, kamu anggap semua itu tak berarti. Kamu anggap aku punya banyak jam dalam satu hari, sebegitu banyak sisa jam luangku hingga aku bisa melakukan semua ini. Demikian murahnyakah aku di matamu? Demikian biasanyakah perjuanganku? Demikian tak bermaknakah rasa dan hati ini?
Ah sayang, harusnya kamu bilang dari awal sebelum rasa percaya ini membunuhku sendiri.
Aku tak ingin lagi mengemis. Aku tak mau bersujud untukmu. Aku tak mau menangis entah berapa gelontor demi kamu. Kamu, yang tak pernah menganggap aku. Tapi aku punya hati yang harus kujaga sendiri (karena aku tahu kamu tak bisa lagi menjaganya tetap utuh dan tak tersakiti). Ya Tuhan, sepahit inikah memperjuangkan kamu?
Dan bila aku jadi kamu dan kamu jadi aku, apa yang bakal kamu lakukan? Apa yang bakal kamu perjuangkan? Apa yang bakal kamu ikhlaskan demi aku bahagia, bersama kamu? Aku mati-matian menjaganya. Tolong, jangan buat aku menyesal telah melakukan ini semua, karena rasa ini terpatri untukmu.
Iya, aku paham di sudut pikirmu kamu ingin bilang bahwa aku lelaki terbodoh dan tertolol. Aku tahu. Akupun tahu, aku telah hancur lebih dari berkeping-keping. Dan tak adakah rasa di hatimu?
Sekarang aku merasa kamu telah pergi sebelum tangan ini mampu menggapai.
Katakan, sayang, kalau saja kamu masih sedia berbicara.
Apakah ada hal yang sangat kurang buat hatimu sampai kamu menginjak-injak aku demi kepuasanmu sendiri?

Dari seorang lelaki bodoh yang demikian takut kehilangan kamu, dan rasamu.

Senin, 05 Oktober 2015

Kita, abadi. Bisa?

Sejauh apapun kaki pelangkah pergi, hanya rumahlah tempat kembali.

“Nanti jadi, kan?” tanyamu harap-harap cemas di ujung telepon. Aku merasa harus tertawa sebelum menjawabnya.
“Jadi. Jangan khawatir.”
“Aku takut kamu tiba-tiba punya keinginan untuk membatalkan.”
“Hahaha,” lagi, aku harus tertawa dan kali ini lebih keras. “Aku tidak sejahat itu. Sebegitunyakah kamu takut?”
Kamu menggeleng. Aku tahu.
“Baiklah, sampai jumpa nanti.” Senyumku mengembang. Aku tidak yakin apakah kamu perlu tahu betapa bahagianya aku.

Kuakui, ini konyol. Aku bahkan tak mampu mempercayai diriku sendiri tentang hal ini. Bagaimana mungkin selama tiga tahun aku mengenalmu, kita belum pernah menghabiskan waktu dengan menonton bersama? Dan sekarang aku sebahagia ini. Andai kamu tiba-tiba muncul dari lubang speaker telepon lalu berdiri tepat di depanku, kupastikan aku telah menghambur untuk memelukmu erat, mungkin tak kulepaskan sampai aku sadar kita telah sama-sama kehabisan napas.

Sungguh, aku sebahagia itu.

Waktu kini mulai tarik ulur denganku. Aku paham benar ia relatif. Selalu mampu memanjang dan memendek, menjadi begitu lama atau terlalu singkat sesuai dengan keadaan. Ia hanya tak mampu kembali, mengulang apa yang telah dilalui. Dan dalam situasi macam ini ia akan memanjang seolah aku masih perlu menunggu lama untuk bisa melihatmu secara nyata.

***

Kakiku sudah berdiri di atas karpet sepanjang ruang ini. Hati sudah meloncat-loncat sejak tadi. Aku tahu seluruh sel tubuhku tak sabar menunggu saat kamu tiba dan bayangmu tertangkap mata.

Dan disanalah kamu. Berjalan mantap menapaki aspal menuju gedung ini. Kacamata cokelat. Kemeja putih kotak-kotak rapi. Celana jeans cokelat. Rambut klimis rapi. Dan tatapan itu. Mata itu. Tak mampu lebih lama aku menatap. Teriakan ini bersarang dan mencekik kerongkongan. Tak menyangka melihatmu dengan gaya seperti itu. Aku seketika membayangkan adegan slow-motion seperti film-film Hollywood, dan bagaimana segala efek itu membuatmu seperti malaikat. Malaikat Hujanku, satu-satunya.

Kamu benar-benar setampan itu. Gila, aku bahkan baru tahu.

Kamu mendekat, aroma parfum menyeruak. Dingin ruang ini seolah tak terasa, dan bodohnya, aku merasa hidup tinggal sejenak hingga aku perlu memelukmu sampai napas terakhir. Astaga, kamu memang penghipnotis handal.
“Ini,” katamu lirih sambil memberikan selembar uang limapuluh ribu.
Tatapanmu sepertinya membuat uang itu bertransformasi jadi tiket masuk bioskop. Sempurna!
Kutarik tanganmu, tak sabar ingin segera masuk ruang dan mewujudkan semua ini. Mimpiku bakal jadi nyata! Astaga, padahal aku cuma ingin bisa menonton film bersamamu.

***

“Filmnya sudah mulai, entah berapa menit. Dan kamu masih tak tenang?” tanyaku, mulai risih dengan gerakan-gerakan kecilnya. Seperti seorang bocah terjebak dalam ketidaknyamanan. Aku tak mau bocah kesayanganku mengalaminya, itu menganggu.
“Ya. Bisa kamu antar aku ke toilet?”
Hah? Aku?
“Astaga, kamu tidak berani ke toilet sendirian?” aku nyaris tertawa.
“Sudah, ayo,” dia menarik tanganku, dan mau tak mau aku mengikutinya.

Jalannya cepat sekali. Aku tak tahu apa itu karena dia menahan ingin ke toilet atau ada sesuatu yang lain. Aku cuma bisa diam menunduk dan ikut jalan cepat, karena aku tahu, bioskop bukan tempat yang tepat untuk menanyakan ‘kamu kenapa, sih?’. Aku sudah merasa cukup konyol jadi tak perlu kulakukan itu atau aku bakal dipecat dan dicoret dengan spidol permanen dari daftar manusia yang dikenalnya. Hahaha.

Tirai pembatas antara ruang film dan jalan keluar tersibak. Dia sudah ada di balik tirai itu. Sebenarnya aku balik arah sejenak untuk memastikan tirai itu sudah tertutup sempurna, atau bakal ada mata yang tertanggu akibat cahaya di balik tirai menyeruak masuk ke ruang film.

Lalu aku kembali menghadap dia.

Sesuatu yang dingin dan lembab tiba-tiba menempel di jidatku sebelum kesadaranku pulih untuk tahu apa yang terjadi.

“Aku rindu kamu. Aku rindu pulang ke rumah buat hatiku. Bisakah kita tetap baik-baik seperti ini?”