Kamis, 21 Juli 2016

Terhalang jarak, terjebak waktu

Aku tiba-tiba menangis. Tak cuma satu dua tetes sampai kepalaku pening dibuatnya. Aku tak tahu persis apa yang kutangisi. Hanya saja aku merasa rindu rumah.

Aku rindu ayahku. Meski kalau di rumah sedikit lama kami cuma ribut, masalah sepele. Misalkan mengapa aku tak menjawab ketika ditanya ibuku. Atau mengapa aku tidak mau menyapu. Atau mengapa aku tidak diperbolehkan sarapan dengan telur dan bawang bombay. Tapi kalau terpisah jarak begini, yang tiap hari bermusuhan berbalik dipenuhi kenangan. Ngomong-ngomong, ayahku sedang apa, ya?

Aku rindu ibuku. Meski kalau di rumah kami hanya berdua yang ada adalah bisu sekian lama. Aku akan sibuk di kamar bermain dengan seperangkat alat gambarku, dan ibukku akan tenang diam termangu di balik jendela, menatap keluar dimana mata bisa menangkap bayangan pohon kamboja. Atau ibukku akan tiduran sembari tangannya memegang dahi. Huh. Aku jadi kesal sendiri mengingat semua itu ketika jarak tak bisa ditoleransi.

Kalau saja jarak Yogyakarta-Jakarta cuma sejauh Yogyakarta-Solo, kupastikan aku menghambur kabur menuju rumah. Tak perlu kubawa baju ganti atau uang terlampau banyak. Dan tak perlu aku sampai tidur di angkutan umum. Tapi jarak membentang sekitar 600 kilometer dan aku terjebak rindu.

Sempat terbesit aku ingin menelpon, tapi kemudian aku takut. Aku sadar betul tidak mampu menahan airmata. Aku lebih mudah menahan tawa daripada turunnya airmata. Sesungguhnya pagi tadi beliau sudah telpon dan menanyakan sampai mana proses kuliahku. Tapi menjelang malam ini aku diganggu dengan hati yang tak tahu diri. Aku rindu ayahku. Aku ingin menelpon dan bodohnya aku takut. Takut di tengah pembicaraan aku tak mampu berkata-kata lagi karena terhambat tangis dan beliau tak ada disini untuk benar-benar memelukku dengan tangannya. Itu akan tambah meresahkan. Siapa yang tahan mendengar tangis tanpa bisa memeluk?

Jadi ini rasanya. Rindu yang paling menyakitkan adalah yang seperti ini. Aku bisa berkata demikian karena dalam hidupku, rindu pacar adalah rindu bodoh yang tak perlu lagi diingat. Aku merasa  tak perlu menangisi lelaki lain. Aku lebih baik menangis mengingat ayahku dan ibuku dan betapa aku harus sedemikian kerja keras demi menggoreskan senyum di bibir mereka.

Menyelesaikan tulisan ini aku menangis sampai entah berapa lembar tisu terbuang. Setelahnya, aku tak tahu harus bahagia atau sedih. Hatiku masih terasa mati tapi aku bisa meraba perih.

Oh. Aku benci.

Tapi setidaknya perlu kusyukuri aku tak sedang dalam belitan tugas yang harus selesai besok pagi jadi aku bisa menangis puas dan memeluk bantal sedemikian erat lalu tidur, dan besok kudapati mata sembab dan memerah.

Ngomong-ngomong, ada yang punya obat rindu?

Rabu, 06 Juli 2016

Kupikir kamu lebih dari itu

Statusmu bersamanya membuktikan sesuatu: kamu ternyata semurah itu.

Kemarin aku sedang terseret arus sosial media dan tangan seperti ada yang mengarahkan untuk membuka profilmu. Lalu, aku bertemu sesuatu. Mata menangkap deretan huruf dan dari sana aku tahu, tak lagi berselimut sendiri hatimu. Detik selanjutnya tak ada rasa patah yang menyambar. Aku tak paham mengapa. Tapi seakan dunia tahu, berita yang demikian bisa membuat aku heboh tak karuan. Bukan karena sakit hati, bukan karena kecewa parah. Tapi aku menemukan titik terang kesimpulan dimana segala pesona borjuis dan selera mewahmu luruh di satu waktu. Kini aku tahu, kamu semurah itu.

Otak lantas memutar kenangan lalu. Ia sibuk menggeledah loker lama soal kamu. Semua rekaman, dokumen, berkas dipaksa keluar. Aku perlu menyatukan potongan-potongannya untuk kembali menekuni urat hati dan mencoba mencari tahu soal kamu. Sunggingan senyum tak mampu kuhindari dan aku tak paham mengapa. Biasanya aku akan merasa patah tepat di dada. Lalu ponselku akan dipenuhi curhatan tentangmu. Foto-fotomu dengan wanita lain. Riwayat halaman dunia maya mengenai kamu. Sebangsa itu. Tapi fakta yang ada, aku cuma bertahan menatap layar ponsel dan sibuk mencari tahu soal kabar terbarumu, sedang hatiku? Mati.

Aku tak tahu harus bersyukur atau justru menangis pedih. Bukan soal kamu, tapi soal hati yang lupa punya rasa. Teman-temanku lelah berkata dan mencaci maki soal kupunya hati, tapi tanpa rasa. Akupun lelah dengan kalimat-kalimat mereka. Bukan mauku begini. Tapi begini lebih baik buatku sekarang. Aku pasti lebih konyol kalau masih saja berkutat soal kebiasaan menangisi kamu. Kamu. Yang bahkan mengingat namaku saja mungkin tidak. Sudahlah. Berita baru tentangmu jauh lebih menarik daripada membicarakan hatiku yang mulai mati dicekik panas terik.

Selanjutnya, potongan-potongan puzzle mulai tersusun. Fakta itu terpampang jelas. Dan bila aku jadi reportermu, aku tahu, kamu tak mampu mengelak.

Aku bukan hakim apalagi Tuhan. Aku tak punya hak menyimpulkan sesuatu bahkan mengetok palu keputusan. Tapi bagaimanapun juga, sebagai calon psikopat, oh maksudku psikolog yang baik, aku berusaha belajar menyatukan pengetahuan demi satu kalimat temu: kamu semurah itu. Sungguh!

Oh bukannya aku jahat. Tapi segala kicauan di sosial mediamu dan kekasihmu sekarang cukup membuktikan bagaimana wataknya dan apa yang kamu rindukan hingga keputusanmu jatuh pada dia. Dia tidak cantik. Meski cantik itu relatif, semua orang tahu mana saja yang bisa digunakan sebagai tolok ukur kecantikan seseorang. Kalau kamu mau bersikeras, aku berani jamin hatinya juga tak cantik. Jadi outter beauty dan inner beauty tak ada padanya. Lantas, apa yang kamu cari?

Tahap selanjutnya aku sampai pada suatu peryataan yang aku tahu kamu pasti setuju meski bibirmu membisu. Kamu tidak mencintai dia, kamu cuma butuh badannya demi puas nafsu. Tak usah menghindar, kamu tak perlu ingkar. Semua yang kenal kamu bisa tahu apa yang kamu buru dan cumbu. Oh aku benci mengatakan ini. Wanita itu punya sikap macam kamu. Semua manusia yang dia bisa sayang tentu disayang. Sesama wanita tak masalah. Tapi, laki-laki? Baiklah. Laki-laki tak luput dari perhatiannya. Kamu berusaha cemburu meski aku tahu, hatimu tak punya waktu untuk itu. Aku sampai kehabisan kalimat dalam kasus ini. Segalanya telah jelas! Tinggal tunggu waktu agar orang tahu, seberapa gila dan murahnya kamu.

Badannya bagus. Dia mencapai body goals dengan ukuran tertentu yang buat kamu puas. Ditambah rambutnya badai tak main-main, kulitnya putih bersih. Cocok dengan seleramu. Lagi aku senang. Kamu terdakwa main perasaan.

Selamat, Arjuna.

Kamu demikian pandai dalam membuat wanitamu bahagia dalam tanda kutip. Pandai pula menunjukkan ke orang lain seberapa buruk sesungguhnya seleramu.

Semoga kamu masih punya cukup otak untuk tak berbuat yang “sungguhan iya-iya” sebelum waktunya!