Aku tiba-tiba menangis. Tak cuma satu
dua tetes sampai kepalaku pening dibuatnya. Aku tak tahu persis apa yang
kutangisi. Hanya saja aku merasa rindu rumah.
Aku rindu ayahku. Meski kalau di
rumah sedikit lama kami cuma ribut, masalah sepele. Misalkan mengapa aku tak
menjawab ketika ditanya ibuku. Atau mengapa aku tidak mau menyapu. Atau mengapa
aku tidak diperbolehkan sarapan dengan telur dan bawang bombay. Tapi kalau
terpisah jarak begini, yang tiap hari bermusuhan berbalik dipenuhi kenangan. Ngomong-ngomong,
ayahku sedang apa, ya?
Aku rindu ibuku. Meski kalau di
rumah kami hanya berdua yang ada adalah bisu sekian lama. Aku akan sibuk di
kamar bermain dengan seperangkat alat gambarku, dan ibukku akan tenang diam
termangu di balik jendela, menatap keluar dimana mata bisa menangkap bayangan
pohon kamboja. Atau ibukku akan tiduran sembari tangannya memegang dahi. Huh. Aku
jadi kesal sendiri mengingat semua itu ketika jarak tak bisa ditoleransi.
Kalau saja jarak
Yogyakarta-Jakarta cuma sejauh Yogyakarta-Solo, kupastikan aku menghambur kabur
menuju rumah. Tak perlu kubawa baju ganti atau uang terlampau banyak. Dan tak
perlu aku sampai tidur di angkutan umum. Tapi jarak membentang sekitar 600
kilometer dan aku terjebak rindu.
Sempat terbesit aku ingin
menelpon, tapi kemudian aku takut. Aku sadar betul tidak mampu menahan airmata.
Aku lebih mudah menahan tawa daripada turunnya airmata. Sesungguhnya pagi tadi
beliau sudah telpon dan menanyakan sampai mana proses kuliahku. Tapi menjelang
malam ini aku diganggu dengan hati yang tak tahu diri. Aku rindu ayahku. Aku ingin
menelpon dan bodohnya aku takut. Takut di tengah pembicaraan aku tak mampu
berkata-kata lagi karena terhambat tangis dan beliau tak ada disini untuk
benar-benar memelukku dengan tangannya. Itu akan tambah meresahkan. Siapa yang
tahan mendengar tangis tanpa bisa memeluk?
Jadi ini rasanya. Rindu yang
paling menyakitkan adalah yang seperti ini. Aku bisa berkata demikian karena
dalam hidupku, rindu pacar adalah rindu bodoh yang tak perlu lagi diingat. Aku merasa tak perlu menangisi lelaki lain. Aku lebih
baik menangis mengingat ayahku dan ibuku dan betapa aku harus sedemikian kerja
keras demi menggoreskan senyum di bibir mereka.
Menyelesaikan tulisan ini aku
menangis sampai entah berapa lembar tisu terbuang. Setelahnya, aku tak tahu
harus bahagia atau sedih. Hatiku masih terasa mati tapi aku bisa meraba perih.
Oh. Aku benci.
Tapi setidaknya perlu kusyukuri
aku tak sedang dalam belitan tugas yang harus selesai besok pagi jadi aku bisa
menangis puas dan memeluk bantal sedemikian erat lalu tidur, dan besok kudapati
mata sembab dan memerah.
Ngomong-ngomong, ada yang punya
obat rindu?