Sudah lama aku tidak menulis.
Biasanya, aku menyempatkan diri untuk melakukannya, tak peduli seberapa lelah
dan padatnya hariku. Semenjak berpisah dengan kamu, rasanya menulis tidak
pernah lagi semenyenangkan dulu. Demikianpun sekarang. Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk menatap layar,
bengong. Terlalu banyak memikirkan kata-kata tanpa tahu mana yang perlu
kuluapkan dengan tarian jari di atas keyboard.
Meraba-raba hatiku sendiri seperti orang buta yang sudah sangat pikun. Kubilang
pikun, karena orang buta punya ingatan yang baik, mengenai lingkungannya
sendiri. Nampaknya, aku telah menganalogikannya dengan sangat pas.
Hari ini, kamu ulang tahun. Aku
tidak berharap kamu senang karena aku ingat kalau kamu ulang tahun. Lagipula,
tadi pagi temanku mengingatkan ada peristiwa istimewa apa hari ini. Sungguh,
aku lupa. Dan setelah tahu, aku tak yakin dengan apa yang akan kulakukan,
selain memajang fotomu selama dua belas jam ke depan, di Insta Story pada akun Instagramku.
Dengan sedikit doa, dan permintaan maaf karena aku mencuri fotomu di halaman
akunmu, karena jujur, telah kupindahkan fotomu dan kita ke tempat yang tadinya
aku yakin bisa lebih cepat melupakan kamu, sayang, yang terjadi adalah
sebaliknya.
Sesungguhnya tidak ada yang salah
dengan otakku yang tak mampu melupakan kamu. Sudah menjadi rahasia umum kalau
secara psikologis kita tidak mampu memaksa otak untuk melupakan seseorang. Uh,
aku jadi merasa sangat lemah dan bodoh. Biarpun tak seharusnya kurasakan itu. Terlepas
dari salah atau tidak, aku berharap kamu tidak terganggu. Aku yakin kamu sedang
fokus dengan studimu. Dengan komitmenmu untuk melayani Tuhan dengan menjadi
hamba-Nya, bapak pendeta bagi umat-Nya. Aku kemudian merasa sangat berdosa.
Sangat berdosa.
Aku ingat seberapa buruk
masalalumu. Seberapa banyak rokok yang telah kamu hisap, berapa butir obat
terlarang yang kamu telan, berapa banyak botol alkohol yang kamu tenggak. Aku
tahu. Aku disana waktu itu. Berusaha mengubahmu menjadi lebih baik, menjadi lelaki
yang bertanggungjawab, setidaknya pada dirinya sendiri. Tapi, waktu Tuhan belum
tiba, meski kita merasa punya banyak waktu. Lagipula, jalan ceritanya memang
harus begini. Tidak sepenuhnya kita bisa mengubah takdir. Terkadang, bermain
peran dengan baik pada naskah yang telah ditentukan adalah keputusan terbaik.
Kini, kulihat kamu telah menjadi pribadi
baik. Aku menyesal, kemudian. Seandainya orang tuaku mau percaya bahwa aku
tidak salah memilih kamu, mungkin hari ini kita masih bersama. Dan kini, rasanya
tinggal aku yang masih terjebak dosa. Masih memilih hidup biasa-biasa saja,
kadang ingat kadang tidak pada Tuhan. Astaga, bisa kuminta bantuan doamu agar
aku cepat bertobat? Semuanya terasa berat.
Hei, kamu ingat tidak, semasa
awal kita jumpa, kamu pernah bilang kalau kita punya nama lengkap yang
sama-sama cukup panjang. Spontan, kamu bilang, ‘artinya jalan cerita cinta kita
juga bakal panjang.’ Aku tertawa saja waktu itu, dan kini aku memahaminya.
Jangan-jangan, kamu punya lidah perak? Hahaha.
Aduh, maaf. Aku jadi nostalgia,
sedikit. Tidak apa-apa, kan? Masalalu kadang menyenangkan untuk diingat
kembali. Sekali lagi, kuharap ini tidak menganggu kamu.
Oh, iya. Tadi aku datang ke
halaman ini berniat mengucapkan selamat ulang tahun, kepada kamu. Dengan penuh
rindu tak terjawab. Dengan penuh doa tak terucap. Semoga, kamu lebih bahagia
dari terakhir kita bertemu. Semoga, angin menyampaikan pesanku dengan tepat,
cuma untukmu.
Sekali lagi, selamat ulang tahun!