Jumat, 23 November 2012

Cinta dan Airmata


                “Leon sudah otw belum?” ujar Fara menyentuh bahuku.

Aku menggeleng.

                “Ha? Dia tak jemput kau? Atau belum otw?” nada bicara Fara terdengar menyelidik.

Aku menggeleng lagi.

                “Aku pulang ngebis.” Jawabku tanpa menatap Fara. Kakiku terus menapaki aspal. Peluhku berjatuhan. Siang ini matahari terlalu bersemangat.

                “Loh,” Fara berhenti. Segera saja ia tertinggal oleh langkahku. “Tapi Ra,” katanya berusaha menjajariku lagi. “Ratu!” teriaknya. Ia tampak kesal karena kakiku berjalan terlalu cepat.

Aku menghela napas.

                “Apa?” tanyaku berhenti sejenak tanpa menengok ke arahnya.

                “Jalanmu cepat sekali,”kata Fara. Kulihat rambut keritingnya mulai lengket oleh keringat.

                “Lalu kenapa?” tanyaku melanjutkan langkah.

Mulut Fara berdecak.

                “Ratu!” teriaknya lagi. “Kau belum dengar pertanyaanku!”

Aku mengeluh. Kuhentikan langkah. Aku berbalik 180 derajat. Menghadap Fara.

                “Apa? Kau mau Tanya apa, hah?” aku mulai kesal. Fara meringis lalu berlari mendekat.

                “Nah, kalau kau diam dan dengar begini kan enak,” katanya. Dengan ekspresi merayu.
Bola mataku berputar-putar.

                “Oke, oke,” Fara seolah mengerti arti gerakan bola mataku itu. “Kok kau pulang ngebis? Kenapa tak suruh Leon menjemputmu seperti biasa? Ini kan hari Kamis, dia pasti sudah pulang jam satu tadi.”

Aku menghela napas. Menahan sakit dalam hati karena telingaku harus mendengar pertanyaan semacam itu.

                “Aku sudah putus.” Jawabku.


***

                Tunggu, tunggu. Sepertinya aku mengenal punggung itu. Oh, sial! Makiku dalam hati. Itu Leon! Leon!
Segera saja aku membalikkan badan dan menjauh.

Terlambat.

Ada orang yang membuntutiku. Ada orang yang berusaha menjajariku. Langkahnya lebih cepat dariku. Seperti berlari. Oh, tidak, tidak. Bukan berlari. Mungkin... berderap. Ya, berderap. Itu lebih tepat. Langkah yang seperti itu dengan sangat mudah dapat mengejar gerakan kakiku.

                “Ratu,” sebuah suara terkumpul di gendang telingaku.

Aku mengeluh. Berusaha meyakinkan hati kalau itu bukan suara Leon. Mustahil rasanya.
Kurasa tak akan ada orang yang dapat memanggilku dengan nada yang tegas dan manis selain Leon. Hatiku sangat yakin tentang itu.

Aku bersikap seolah tak mendengar. Kucepatkan langkahku.

                “Ratu!” kali ini panggilannya lebih tegas. Namun kesan manis itu tak menghilang.
Aku tetap tak mengubris. Tiga detik kemudian, tanganku tetahan. Langkahku terhenti. Gantian jantungku yang berlari. Dengan sangat terpaksa, aku menengok pada pemilik tangan itu.

                Deg.

Napasku tercekat.

                “Ratu,” Leon menghela napas. Sorot matanya terlihat lelah.

Aku menatapnya takut-takut.

                “Ratu, a‒apa apa kau serius soal keputusanmu?” tanyanya terbata-bata.

Aku terdiam. Sulit sekali rasanya menjawab. Otakku mendadak buntu. Lidahku kelu.

                “Hei,” tangan Leon menyentuh daguku.

Aku masih diam.

                “Ayolah,” Nada suaranya terdengar memohon. “Lihat aku,” matanya mencari-cari tatapanku. Untuk kali ini aku menurut.
Aku menatapnya.

                “Nah, sekarang jawab aku,”

Aku ragu. Kulihat Leon tersenyum meski itu terkesan dipaksakan. Matanya sedih. Seolah berharap aku tak benar-benar memutuskannya. Aku menghela napas panjang.

                “Iya,” jawabku lirih.

Leon tampak tak percaya. Raut wajahnya mendadak terlihat pasrah. Mulutnya bergumam tak jelas.
Aku menunduk.

Maafkan aku Leon, maafkan aku. Aku terpaksa tentang keputusan itu. Kalu ditanya, aku tak ingin ada perpisahan dia antara kita.
Namun apa boleh buat?
Aku tak ingin menjeratmu dalam keegoisanku. Aku ingin kau bahagia, sebahagia aku yang sempat memilikimu setahun ini.
Kau.
Matamu.
Bibirmu.
Semua, tentangmu.

                “Oke,” kata Leon akhirnya. Ia mengangguk mengerti. “Itu keputusanmu. Aku menghargainya.” Ia melepas tanganku, lalu berbalik meninggalkanku.

Aku terisak. Menatap sosoknya yang menjauh. Kukejar dia. Kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Kusandarkan kepalaku di punggungnya. Airmataku jatuh entah berapa tetes.
Langkahnya terhenti seketika.

                “Aku sayang kamu,” bisikku terbata-bata diantara lelehan airmata.

Tangan Leon melepas pelukanku. Ia berbalik. Dihadapannya aku menangis seperti seorang anak kecil yang mainannya rusak.
Kurasakan tangannya melingkar di leherku. Aku dipeluknya erat. Sangat erat.

                “Aku tahu,” katanya. “aku juga menyayangimu,” dia mengambil jeda. “dan keputusanmu,” lirihnya.

Aku menggigit bibir bawahku. Masih menangis.

Itu adalah pelukan terakhirnya.


***

                “Ra, apa kau sudah putus?”

                “Ra, kau putus dengan Leon?”

                “Ra, kok kau tak cerita?”

                “Ra, kau benar putus?”

                “Ra, kau‒”

Aku terus berjalan tanpa peduli dengan deretan pertanyaan yang menghujaniku. Suara mereka, keingintahuan mereka, rasanya terdengar wung-wung-wung seperti lebah, tanpa arti dan kejelasan.
Aku terduduk di kursi depan kelas. Menghela napas panjang. Seolah mengeluh tentang jalan hidupku. Mataku menangkap sosok-sosok yang berseliweran. Semua bagiku hanya iklan. Sekedar lewat, tanpa kesan menarik untuk terus dilihat.

Sampai akhirnya. Sepasang kekasih iktu tertangkap mataku.

Mereka. Mereka. Aku memperhatikannya.
Begitu bahagianya. Begitu indahnya. Bahkan ranting dan dedaunan yang tertiup angin serasa ikut menggores tawa.

Melihatnya, melihat mereka, aku seperti tercekik dalam kesengsaraan yang luar biasa. Aku tersenyum di antara kepedihan, bak berjalan di atas pecahan kaca.

Aku. Jiwaku.
Aku. Ragaku.
Aku. Hatiku.
Aku. Cintaku.

Terbelenggu dalam kesesakan dan kesendirian yang bercampur jadi satu.

Airmata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar