Selasa, 24 Juni 2014

Sepi

Sejak kali pertama berjumpa, aku sudah tahu, hari ini akan tiba. Segalanya yang kumiliki tentang kamu, rasa yang kubiarkan mengalir pada pembuluh, satu paket cinta yang ada di setiap sel tubuh, semuanya akan mengalami proses bersua dan berpisah. Aku sudah tahu. Cepat atau lambat, kita akan kembali berjalan sendiri, berpisah satu sama lain, untuk misi yang tak lagi sama. Suatu skenario yang luar biasa, boleh mengenalmu selama lebih dari seribu malam.

Kebersamaan kita akan pudar pelan-pelan ditelan ganasnya Waktu. Cinta yang selama ini kita bangun dengan hati-hati, lambat laun akan menyurut. Hati yang sudah terbiasa akan kamu kini kalut. Kamu pergi, aku pergi. Dan ruang rindu itu sepi. Jantung kita kembali berdenyut dalam sendiri. Sungguh, waktu sudah berkata: cukup. Dan kita harus berhenti saling mengisi.

Aku tahu, sakit yang teramat itu pasti datang. Dan kini tibalah saatnya. Seperti pelatihan tentara, Waktu memaksa kita, aku dan kamu untuk siap. Tak akan ada lagi rengkuhanmu, yang membuatmu merasa nyaman bisa bernapas dalam pelukmu. Tak ada lagi genggaman erat jemarimu, yang membuatku merasa bahwa dunia akan indah bersamamu. Pelan tapi pasti, bahagia denganmu yang jadi persepsiku selama ini akan berakhir.

Sekalipun aku duduk di depanmu dalam jarak sedekat ini, aku tetap merasa perih. Kamu datang untuk pamit pergi, dan tak kembali. Kamu datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Kamu datang untuk pulang. Entah berapa ratus kalimatmu mencakar kupingku. Membuatku merasa jenuh dan lelah. Aku benci terjebak dalam situasi ini. Berbincang denganmu, namun bicara soal pedih.
                “Jadi selama ini sia-sia? Semua yang aku relain demi kamu, sia-sia?” nadamu putus asa.
Aku tak bisa apa-apa selain diam dan menunduk. Menekuni ubin dibawah kakiku dan kakimu. Satu pertanyaan yang kedua pilihan jawabannya hanya terdiri masing-masing satu kata, namun merenggut semua kemampuanku berkata-kata.
                “Kita sudah tiga tahun!” suaramu tertahan, gemas.
Lagi, panah itu melesat dan menusuk tepat. Serangan itu datang, dan aku tak punya tameng apalagi pedang. Semua pertanyaanmu bermutasi jadi jarum dan belati. Menggores dan menyisakan luka dalam, membuatku seakan ingin mati.

Aku ingin sekali berkata sebanyak kamu hari ini. Tapi kalimat yang menumpuk dan berebut ingin keluar cuma bisa sampai pada angan. Aku tak mampu. Seluruhnya bersatu dengan udara dalam wujud karbondioksida. Kulihat matamu penuh harap. Tak sudi menukar semua perjuanganmu dengan kesendirian yang sepi sendiri dan kamu merasa sia-sia.

Seperti aku yang lelah duduk dalam ketidakberdayaan, kutahu, begitu juga kamu. Lelah menahan amarah, lelah berharap, lelah menunggu penjelasanku yang menjelaskan setiap arah.

Aku ingin kamu tahu, aku sakit dalam keputusanku sendiri. Aku menderita untuk jalan yang kupilih. Aku menyesal memaksamu pergi. Namun harus kulakukan ini, atau kita bakal cepat mati. Cinta yang kata orang indah, buat kita beberapa waktu terakhir ini malah menyimpan rasa sakit yang luar biasa, menuntut kita bertahan sekaligus berjuang dalam ketidaksanggupan. Aku sadar diri. Aku pun ingin kamu mengerti. Kita takkan sanggup begini.
                “Oke,” kamu menghela napas, berusaha tetap berdiri tegak, tegar.
Kamu perlu tahu, aku susah payah menahan airmata.
          “Makasih ya buat tiga tahun ini, makasih buat semuanya..” kepalamu mengangguk, mencoba mengerti. Tapi aku tak tahan lagi.

Cepat, tanganku merentang, memelukmu. Aku tahu kamu kaget, karena aku pun juga. Aku tahu, awalnya kamu ingin melepas tanganku hati-hati. Mencoba tahu diri, kita telah terlarang untuk saling peluk, menenangkan hati. Aku tak peduli. Kupererat rengkuhanku. Aku hanya ingin kamu tahu, sekalipun aku tak punya lagi kemampuan untuk mengungkapkan segalanya dalam deretan kata, satu perbuatanku sudah cukup untuk membuatmu mengerti apa yang kurasa. Kutumpahkan segalanya. Hingga satu detik, pertahananmu untuk tak balik memelukku, kalah. Perlahan kurasakan badanmu tak lagi tegang. Perlahan tanganmu merentang. Kita resmi berpelukan.

Airmata meleleh satu-satu, aku sesenggukan. Ingin menjerit, tapi rasa sakit ini membuat suaraku terjepit. Ingin rasanya aku menahan Sang Waktu. Bersujud dan berusaha membuatnya mengerti, aku perlu kamu. Aku butuh manusia macam kamu menjadi penghias hari. Tapi, ia kadung berdiri, menoleh sejenak pada kita dan mengatakan cukup. Tak ada toleransi. Tak ada kesempatan lagi.

Aku sadar, menolaknya hanya membuat kita makan hati. Aku tak mau.

Baiklah, bila memang ini yang terbaik. Terimakasih untuk selama ini, sungguh. Aku benar bersyukur kamu diijinkan ada, menjelma nyata selama tiga tahun. Terimakasih. Suatu bahagia bisa berada dalam harimu, begitu sebaliknya.

Baik-baik, sayang. Karena aku akan tetap menyayangimu, sekalipun kita telah dipisahkan ruang dan waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar