Sejak kali pertama berjumpa, aku
sudah tahu, hari ini akan tiba. Segalanya yang kumiliki tentang kamu, rasa yang
kubiarkan mengalir pada pembuluh, satu paket cinta yang ada di setiap sel
tubuh, semuanya akan mengalami proses bersua dan berpisah. Aku sudah tahu.
Cepat atau lambat, kita akan kembali berjalan sendiri, berpisah satu sama lain,
untuk misi yang tak lagi sama. Suatu skenario yang luar biasa, boleh mengenalmu
selama lebih dari seribu malam.
Kebersamaan kita akan pudar
pelan-pelan ditelan ganasnya Waktu. Cinta yang selama ini kita bangun dengan
hati-hati, lambat laun akan menyurut. Hati yang sudah terbiasa akan kamu kini
kalut. Kamu pergi, aku pergi. Dan ruang rindu itu sepi. Jantung kita kembali
berdenyut dalam sendiri. Sungguh, waktu sudah berkata: cukup. Dan kita harus
berhenti saling mengisi.
Aku tahu, sakit yang teramat itu
pasti datang. Dan kini tibalah saatnya. Seperti pelatihan tentara, Waktu
memaksa kita, aku dan kamu untuk siap. Tak akan ada lagi rengkuhanmu, yang
membuatmu merasa nyaman bisa bernapas dalam pelukmu. Tak ada lagi genggaman
erat jemarimu, yang membuatku merasa bahwa dunia akan indah bersamamu. Pelan
tapi pasti, bahagia denganmu yang jadi persepsiku selama ini akan berakhir.
Sekalipun aku duduk di depanmu
dalam jarak sedekat ini, aku tetap merasa perih. Kamu datang untuk pamit pergi,
dan tak kembali. Kamu datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Kamu datang
untuk pulang. Entah berapa ratus kalimatmu mencakar kupingku. Membuatku merasa
jenuh dan lelah. Aku benci terjebak dalam situasi ini. Berbincang denganmu,
namun bicara soal pedih.
“Jadi
selama ini sia-sia? Semua yang aku relain demi kamu, sia-sia?” nadamu putus
asa.
Aku tak bisa apa-apa selain diam
dan menunduk. Menekuni ubin dibawah kakiku dan kakimu. Satu pertanyaan yang kedua
pilihan jawabannya hanya terdiri masing-masing satu kata, namun merenggut semua
kemampuanku berkata-kata.
“Kita
sudah tiga tahun!” suaramu tertahan, gemas.
Lagi, panah itu melesat dan
menusuk tepat. Serangan itu datang, dan aku tak punya tameng apalagi pedang.
Semua pertanyaanmu bermutasi jadi jarum dan belati. Menggores dan menyisakan
luka dalam, membuatku seakan ingin mati.
Aku ingin sekali berkata sebanyak
kamu hari ini. Tapi kalimat yang menumpuk dan berebut ingin keluar cuma bisa
sampai pada angan. Aku tak mampu. Seluruhnya bersatu dengan udara dalam wujud
karbondioksida. Kulihat matamu penuh harap. Tak sudi menukar semua perjuanganmu
dengan kesendirian yang sepi sendiri dan kamu merasa sia-sia.
Seperti aku yang lelah duduk
dalam ketidakberdayaan, kutahu, begitu juga kamu. Lelah menahan amarah, lelah
berharap, lelah menunggu penjelasanku yang menjelaskan setiap arah.
Aku ingin kamu tahu, aku sakit
dalam keputusanku sendiri. Aku menderita untuk jalan yang kupilih. Aku menyesal
memaksamu pergi. Namun harus kulakukan ini, atau kita bakal cepat mati. Cinta
yang kata orang indah, buat kita beberapa waktu terakhir ini malah menyimpan
rasa sakit yang luar biasa, menuntut kita bertahan sekaligus berjuang dalam
ketidaksanggupan. Aku sadar diri. Aku pun ingin kamu mengerti. Kita takkan
sanggup begini.
“Oke,”
kamu menghela napas, berusaha tetap berdiri tegak, tegar.
Kamu perlu tahu, aku susah payah
menahan airmata.
“Makasih
ya buat tiga tahun ini, makasih buat semuanya..” kepalamu mengangguk, mencoba
mengerti. Tapi aku tak tahan lagi.
Cepat, tanganku merentang,
memelukmu. Aku tahu kamu kaget, karena aku pun juga. Aku tahu, awalnya kamu
ingin melepas tanganku hati-hati. Mencoba tahu diri, kita telah terlarang untuk
saling peluk, menenangkan hati. Aku tak peduli. Kupererat rengkuhanku. Aku
hanya ingin kamu tahu, sekalipun aku tak punya lagi kemampuan untuk
mengungkapkan segalanya dalam deretan kata, satu perbuatanku sudah cukup untuk
membuatmu mengerti apa yang kurasa. Kutumpahkan segalanya. Hingga satu detik, pertahananmu
untuk tak balik memelukku, kalah. Perlahan kurasakan badanmu tak lagi tegang.
Perlahan tanganmu merentang. Kita resmi berpelukan.
Airmata meleleh satu-satu, aku
sesenggukan. Ingin menjerit, tapi rasa sakit ini membuat suaraku terjepit.
Ingin rasanya aku menahan Sang Waktu. Bersujud dan berusaha membuatnya
mengerti, aku perlu kamu. Aku butuh manusia macam kamu menjadi penghias hari. Tapi,
ia kadung berdiri, menoleh sejenak pada kita dan mengatakan cukup. Tak ada
toleransi. Tak ada kesempatan lagi.
Aku sadar, menolaknya hanya
membuat kita makan hati. Aku tak mau.
Baiklah, bila memang ini yang
terbaik. Terimakasih untuk selama ini, sungguh. Aku benar bersyukur kamu
diijinkan ada, menjelma nyata selama tiga tahun. Terimakasih. Suatu bahagia
bisa berada dalam harimu, begitu sebaliknya.
Baik-baik, sayang. Karena aku akan tetap menyayangimu, sekalipun kita telah dipisahkan ruang dan waktu.
Baik-baik, sayang. Karena aku akan tetap menyayangimu, sekalipun kita telah dipisahkan ruang dan waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar