Hai, Arjuna.
Senin , 21 Januari 2013, kita dan 189 siswa lain berangkat
menuju Gedung Erlangga. Menghadiri acara motivasi, persiapan mental dan hati
menghadapi UN 2013 April nanti.
Hari itu adalah hari pertama di tahun 2013 kita bersalaman.
Ada perasaan tak siap kala aku harus melakukannya. Jantungku berdegup kencang,
pertanda sesuatu yang kulakukan bukan sesuatu yang biasa, bagiku.
Kalau aku tahu, kau ada di jalan yang sama, namun berlawanan
dengan arahku, tentu aku tak akan lewat situ. Namun sudah sangat terlambat
untuk kembali, dan mengambil jalan yang tak akan bertemu denganmu. Jadilah,
entah disengaja atau tidak, mata kita bertemu. Segores senyummu melintas,
membuatku tak mampu lagi bersandiwara, pura-pura tidak mengenalmu. Jarak kita
mendekat dan pada detik itu, tangan kanan kita sama-sama terulur, dan akhirnya
bersalaman.
“Sukses
ya,” lirihku. Kulukis selengkung senyum seadanya.
Senyummu menyimpul. Barisan gigi putihmu terekam jelas di
mataku. Matamu menyipit. Kontan jantungku tertohok. Ekspresimu kembali
menyingkap tabir masalalu. Rindu yang menggebu-nggebu terhadap sosokmu yang
dulu memenuhi benakku. Sebersit kenangan tentang perasaan yang telah
tercabik-cabik merambat ke otakku. Segelombang cinta menyengat ujung syarafku. Perlahan
kau melepas tangan dan akupun kembali berjalan keluar ruangan.
Masih di hari yang sama. Aku turun dari bus dan berjalan
menuju motor yang menjemputku. Pandanganku hanya terfokus pada satu titik, dan
titik itu BUKAN kau. Aku duduk di jok, lalu mataku menyabet apapun yang bisa
kulihat di sekelilingku. Ada kau. Duduk di jok motormu, siap kembali pulang.
Tepat di seberangku. Arah jam sembilan. Mau tak mau, mataku terpaku padamu. Dan
lagi, senyum dan barisan gigimu mengarah padaku.
Keesokan harinya, bel pulang telah berdengung-dengung.
Ratusan calon penggerak bangsa di masa depan dengan wajah sumringah keluar
kelas. Tak terkecuali seorang aku. Hari ini aku tidak les. Jadi, langkah
mantapku mengayun menuju gerbang. Satu menit, tiga menit, lima menit, motor
yang menjemputku belum terlihat sembulannya. Udara panas. Matahari menyengat. Peluh
mulai mengaliri jidatku. Tanpa satupun alasan, kepalaku menengok ke belakang.
Dan aku langsung menyesali gerakan itu ketika mataku sempat merekam sebentuk
siluetmu. Dalam hati aku berdoa kau tak menuju ke arahku, kalaupun menuju, kau
tidak melihatku. Sayangnya, Sang Waktu senang mengindahkan permohonanku.
Aku sudah melempar pandangan ke arah jam dua. Berusaha
membutakan mata dari sosokmu. Berusaha menulikan telinga dari suaramu. Berusaha
membisukan mulut dari komentar tentangmu. Namun meski mata tak melihat dan
telinga tak mendengar, hati tetap memiliki goresan rasa yang disebut firasat.
Dan itu membuatku lepas kendali. Aku mengerling padamu. Di retina terpampang
jelas gerakan bibirmu.
“Belum
dijemput?” senyum ramahmu terbit.
“Ha?”
lirihku. Refleks karena hatiku belum siap untuk pertanyaanmu.
“Belum
dijemput?” ulangmu.
“Oh,
belum.”
Kau mengangguk.
Dan raut wajahmu yang selalu kusukai itu membekas di
sanubari, meski langkah tegapmu sudah mengayun, menjauh dari tempat aku
berdiri.
Dokumen itu terbuka lagi, Arjuna. Masa yang pernah kucintai
telah pulang. Kau seperti kembali dekat. Seakan tangan lemahku mampu menangkap
cahayamu. Seolah pancingku telah terkait di ujung kalimatmu.
Sapaanmu kembali :”D
Senyummu menyentuh dasar hati :”D
Dalam gelap malam,
diantara milyaran bintang,
hati kecilku selalu menyimpan
tanya,
masihkah tersisa sayang untukmu
sampai sejauh ini?
With Love,
-Litha-