Selasa, 22 Januari 2013

Sapaanmu Kembali

Hai, Arjuna.

Senin , 21 Januari 2013, kita dan 189 siswa lain berangkat menuju Gedung Erlangga. Menghadiri acara motivasi, persiapan mental dan hati menghadapi UN 2013 April nanti.

Hari itu adalah hari pertama di tahun 2013 kita bersalaman. Ada perasaan tak siap kala aku harus melakukannya. Jantungku berdegup kencang, pertanda sesuatu yang kulakukan bukan sesuatu yang biasa, bagiku.

Kalau aku tahu, kau ada di jalan yang sama, namun berlawanan dengan arahku, tentu aku tak akan lewat situ. Namun sudah sangat terlambat untuk kembali, dan mengambil jalan yang tak akan bertemu denganmu. Jadilah, entah disengaja atau tidak, mata kita bertemu. Segores senyummu melintas, membuatku tak mampu lagi bersandiwara, pura-pura tidak mengenalmu. Jarak kita mendekat dan pada detik itu, tangan kanan kita sama-sama terulur, dan akhirnya bersalaman.
                “Sukses ya,” lirihku. Kulukis selengkung senyum seadanya.
Senyummu menyimpul. Barisan gigi putihmu terekam jelas di mataku. Matamu menyipit. Kontan jantungku tertohok. Ekspresimu kembali menyingkap tabir masalalu. Rindu yang menggebu-nggebu terhadap sosokmu yang dulu memenuhi benakku. Sebersit kenangan tentang perasaan yang telah tercabik-cabik merambat ke otakku. Segelombang cinta menyengat ujung syarafku. Perlahan kau melepas tangan dan akupun kembali berjalan keluar ruangan.

Masih di hari yang sama. Aku turun dari bus dan berjalan menuju motor yang menjemputku. Pandanganku hanya terfokus pada satu titik, dan titik itu BUKAN kau. Aku duduk di jok, lalu mataku menyabet apapun yang bisa kulihat di sekelilingku. Ada kau. Duduk di jok motormu, siap kembali pulang. Tepat di seberangku. Arah jam sembilan. Mau tak mau, mataku terpaku padamu. Dan lagi, senyum dan barisan gigimu mengarah padaku.

Keesokan harinya, bel pulang telah berdengung-dengung. Ratusan calon penggerak bangsa di masa depan dengan wajah sumringah keluar kelas. Tak terkecuali seorang aku. Hari ini aku tidak les. Jadi, langkah mantapku mengayun menuju gerbang. Satu menit, tiga menit, lima menit, motor yang menjemputku belum terlihat sembulannya. Udara panas. Matahari menyengat. Peluh mulai mengaliri jidatku. Tanpa satupun alasan, kepalaku menengok ke belakang. Dan aku langsung menyesali gerakan itu ketika mataku sempat merekam sebentuk siluetmu. Dalam hati aku berdoa kau tak menuju ke arahku, kalaupun menuju, kau tidak melihatku. Sayangnya, Sang Waktu senang mengindahkan permohonanku.

Aku sudah melempar pandangan ke arah jam dua. Berusaha membutakan mata dari sosokmu. Berusaha menulikan telinga dari suaramu. Berusaha membisukan mulut dari komentar tentangmu. Namun meski mata tak melihat dan telinga tak mendengar, hati tetap memiliki goresan rasa yang disebut firasat. Dan itu membuatku lepas kendali. Aku mengerling padamu. Di retina terpampang jelas gerakan bibirmu.
                “Belum dijemput?” senyum ramahmu terbit.
                “Ha?” lirihku. Refleks karena hatiku belum siap untuk pertanyaanmu.
                “Belum dijemput?” ulangmu.
                “Oh, belum.”
Kau mengangguk.

Dan raut wajahmu yang selalu kusukai itu membekas di sanubari, meski langkah tegapmu sudah mengayun, menjauh dari tempat aku berdiri.

Dokumen itu terbuka lagi, Arjuna. Masa yang pernah kucintai telah pulang. Kau seperti kembali dekat. Seakan tangan lemahku mampu menangkap cahayamu. Seolah pancingku telah terkait di ujung kalimatmu.

Sapaanmu kembali :”D

Senyummu menyentuh dasar hati :”D


Dalam gelap malam,
diantara milyaran bintang,
hati kecilku selalu menyimpan tanya,
masihkah tersisa sayang untukmu sampai sejauh ini?


With Love,
-Litha-

Sabtu, 19 Januari 2013

Manusia yang Kita Sebut PHP

Saya mengingat lagi tentang seorang teman saya. Tentang ciri-ciri fisiknya, sampai sikap dan kelakuannya. Ada prosentase yang cukup besar dalam benak saya mengenai satu hal, yang tentu saja berhubungan dengan pria ini. Wanita selalu mudah jatuh hati pada pandangan pertama. Saya dapat menulis demikian karena saya adalah salah satu dari sekian banyak wanita yang terjebak dalam jeratannya.

Dia termasuk Mr. Everybody Knows, yang dalam kata lain adalah populer. Punya tipe wajah di atas rata-rata, bertubuh atletis, gitaris, drummer, dan sederet kekecean lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Dalam hal akademik pun, pria ini ada pada golongan otak encer. Singkatanya, apa yang melekat pada dia, apa yang menjadi ciri-cirinya masuk pada kategori pria idaman. Pria yang nyaris sempurna.
Ada satu kata penting yang saya sebut pada paragraf pertama. Jeratan. Saya rasa kata itu cukup tepat untuk menggambarkannya. Dengan modal tampang dan penampilan, dia menjerat wanita-wanita yang terdampar dalam planetnya. Planet yang seluruh permukaannya ditumbuhi pohon berbatang duri dan berdaun belati, namun tertutup oleh bunga seindah pelangi.

Ketika ada wanita cantik yang bukan tipenya jatuh cinta kepadanya, dia dengan wajah tampan nan sumringah membuka tangan dan menyambut kedatangan wanita malang itu. Dia akan terus-menerus membangun relasi. Mengawali perkenalan dengan sok menghampiri wanita itu, mengajaknya ngobrol atau hanya sekadar bertegur sapa. Dan jika responnya merupakan peluang, maka dia akan mulai dengan jurus gombalnya. Dilanjutkan dengan panggilan-panggilan sayang, rangkulan, pelukan, dan sebangsa itu. Singkatnya, dia memberikan sesuatu yang paling diinginkan. Sebuah harapan. Harapan untuk bersanding dalam ikatan cinta dan bersama-sama merajut permadani kasih.

Wanita yang dibutakan cinta tentu percaya seutuhnya, jelas. Bagaimana tidak meleleh ketika ada pria super kece bersikap seolah jatuh hati kepadamu?
Di sini, si wanita sampai pada puncak tertinggi, awal kejatuhan yang paling menyakitkan. Setelah pria itu yakin benar kalau calon korbannya sudah percaya seutuhnya, sudah menukarkan segala-galanya untuk mendapatkannya, dia akan pergi. Pergi jauh dan tak pernah kembali. Bahkan bersikap seolah-olah tidak pernah kenal dengan wanita itu.

Bingung. Tidak percaya. Marah. Sedih. Kecewa. Sakit hati. Dendam. Adalah hal biasa yang menjadi akhir dari cerita cinta palsu, kisah yang paling menyedihkan di seluruh jagad.

Maka, inilah pria itu. Inilah bayang-bayang kelam nan kejam itu. Seorang manusia, yang biasa kita sebut PHP. Pemberi Harapan Palsu.

Minggu, 13 Januari 2013

58 Kamu



Kamu, manusia yang entah dengan kalimat apa aku harus mengungkapkannya

   1.       Kamu tampan
   2.       Kamu manis
   3.       Kamu atletis
   4.       Kamu penuh kesan magis
   5.       Kamu misterius
   6.       Kamu kece
   7.       Kamu gitaris
   8.       Kamu drummer
   9.       Kamu romantis
   10.   Kamu humoris
   11.   Kamu menarik
   12.   Kamu bergaya dewasa
   13.   Kamu sok bijak
   14.   Kamu berbakat
   15.   Kamu pengingkar janji
   16.   Kamu bikin aku labil
   17.   Kamu bikin aku penasaran
   18.   Kamu bikin aku sensitif
   19.   Kamu pura-pura baik
   20.   Kamu benar-benar jahat
   21.   Kamu manusia aneh
   22.   Kamu manusia tanpa hati
   23.   Kamu manusia abnormal
   24.   Kamu manusia tanpa otak
   25.   Kamu cowok perayu
   26.   Kamu nggak bisa dipercaya
   27.   Kamu nggak bisa ditebak
   28.   Kamu nggak bisa dinalar
   29.   Kamu manusia paling nggak masuk akal
   30.   Kamu munafik
   31.   Kamu pernah bilang kalau kamu sayang sama aku
   32.   Kamu pernah bilang kalau aku lebih ada dibanding pacarmu
   33.   Kamu ujung-ujungnya bilang kalau selama ini aku cuma sahabatmu
   34.   Kamu ujung-ujungnya nggak peduli sama aku
   35.   Kamu cuma jadiin aku umpan
   36.   Kamu cuma manfaatin aku biar kamu bisa balikan sama mantanmu
   37.   Kamu manusia tanpa perasaan
   38.   Kamu seperti elang, kata-katamu adalah kuku yang mencabik-cabik perasaan
   39.   Kamu seperti bom waktu yang membumihanguskan hati
   40.   Kamu seperti penghapus yang menghilangkan cinta
   41.   Kamu seperti setrika, mondar-mandir pada wanita yang berbeda
   42.   Kamu jahat
   43.   Kamu penjerat
   44.   Kamu bejat
   45.   Kamu jahanam
   46.   Kamu biadab
   47.   Kamu Playboy
   48.   Kamu PHP
   49.   Kamu bikin hatiku matirasa akan cinta
   50.   Kamu pantas dicacimaki
   51.   Kamu pantas dicerca
   52.   Kamu pantas diolok-olok
   53.   Kamu pantas diabaikan
   54.   Kamu pantas dimusuhi
   55.   Kamu pantas jatuh
   56.   Kamu pantas tenggelam dalam lautan kesedihan
   57.   Kamu pantas tersesat dalam hutan kesengsaraan
   58.   Kamu keparat!


Sabtu, 12 Januari 2013

12 Januari 2013

Selamat malam, Arjuna. Malam ini, kita dan milyaran manusia yang ada pada belahan bumi yang sama, sampai pada hari ke 12 bulan Januari tahun 2013. Masih ada helaian-helaian tahun baru yang menghiasi sudut-sudut hati. Entah pada hatimu juga berlaku demikian atau tidak.

Hari ini, ada sentakan keras yang lagi-lagi harus dirasakan untuk seorang aku. Kali ini tidak langsung darimu, meski berhubungan denganmu. Aku tahu bila kekosongan hatimu sudah terisi. Wanita yang beruntung itu adalah mantanmu sendiri, bukan? Seorang wanita yang sepertimu. Nyaris sempurna. Tidak heran bila ia bisa menduduki kursi kehormatan tersebut.

Sesungguhnya, aku benci bercerita tentang ini, namun entah mengapa, ada dorongan rasa yang tak bisa kujelaskan lewat kata-kata, sehingga akhirnya aku menulis dan menyelipkannya di blog pribadiku.
Kemarin, aku sempat membaca tulisan-tulisan di akun twittermu. Bukan aku yang membaca sebenarnya. Temanku yang membaca, lalu dia memberitahukannya kepadaku. Tertulis di sana, kau seperti mengajak kekasihmu jalan. Istilah lainnya nge-date. Kencan. Atau apalah itu namanya. Hal yang kulakukan pertama kali untuk merespon tweet itu adalah melongo. Aku langsung memutar otak dan menebak-nebak, siapa kira-kira wanita yang kau ajak itu. Aku tidak benar-benar yakin kalau kala itu kau sudah punya kekasih. Yang aku yakini kau punya gebetan, kau punya wanita untuk pelarian. Mungkin tidak hanya satu. Setengah lusin, selusin, atau malah berlusin-lusin.

Selain tweet itu, ada tweet lain yang menarik. Seperti membersitkan suatu maksud yang tak mungkin kau tulis secara frontal. Isinya lebih kurang begini, tugas aku ngangenin kamu. Tugas kamu nyuekin aku. Kau me-retweet-nya dari salah satu akun yang memuat tentang rasa galau. Responku dan temanku adalah tertawa. Tawa sinis penuh ejekan. Menertawaimu, jelas. Ternyata seorang kau bisa galau ya? Lucu.

Puas mengobrak-abrik tulisan-tulisan kecilmu, temanku mengatakan sebuah kalimat, dan perkataannya itu terpampang juga di layar hatiku. Tapi belajar dari pengalaman, aku tak mau percaya lagi tentang pemikiran itu. Tidak lagi.

Hari itu juga, aku bertanya pada temanku yang lainnya. Adakah ia mengetahui pengisi tahta hatimu yang kosong? Pada menit yang sama, dia menggelengkan kepala dan berkata, tidak. Lalu aku mengangguk mengerti dan berhenti di situ. Aku tidak buru-buru ingin tahu. Aku hanya sekadar bertanya untuk menjawab rasa penasaranku.

Dan hari ini, tepatnya siang tadi, sebuah kalimat menghampiriku. Kalimat itu tak lain tak bukan adalah jawaban atas pertanyaanku kemarin. Sudah kukatakan tadi, aku tersentak. Rasa tidak percaya memenuhi sudut-sudut perasaanku. Namun perlahan aku bisa percaya. Terlebih setelah mengingat-ingat dan menyambung-nyambungkan masalalu. Memang itulah wanita idamanmu, bukan?

Selamat :D

AKU atau DIA #end

Cerita sebelumnya AKU atau DIA #3

Aku mengambil ponsel.
                To          : Tasya
                       Arvi
       Subject       : gw tunggu lo di atap hotel Ambar jm 4 sore
Senyumku mengembang.
Aku siap.
***
                “Dira?” Arvi muncul dengan wajah bingung. “Dira? Ada apa sayang? Kenapa sms kayak gitu?”
Aku tak menjawab. Mataku masih melihat kendaraan-kendaraan di bawah sana.
                “Sayang? Denger ak...,” kalimat Arvi terputus ketika dia mendengar suara langkah di belakangnya. Dia menengok. Tidak denganku. Meski begitu, bisa kutebak wajahnya pasti memasang tampang kaget.
                “Tasya? Lo..lo ngapain ke sini?”
Tasya tampak tersentak begitu tahu siapa pria yang membelakanginya. Dia gelagapan. Telunjuknya mengarah padaku. Arvi menatapku. Wajahnya terlihat bingung. Sangat bingung.
                “Gue yang nyuruh Tasya ke sini,” kataku mengalihkan pandangan pada mereka.
                “Ha? Mau lo apa sih, Dir? Lo punya urusan apa sama Tasya?” tiba-tiba nada Arvi mengeras. Ia tampak emosi. Aku tersenyum simpul.
                “Gue? Cuma pengen tanya aja kok,” sahutku santai.
                “Soal,.. soal apa Dir?” gantian suara Tasya yang tertangkap oleh telingaku. Aku sempat melirik Tasya. Wajahnya pucat. Mungkin tegang. Mungkin juga takut.
                “Arvian Satyantara,” aku menyebut nama lengkap Arvi. Kuamati wajahnya. Mataku menangkap raut ketakutan yang berusaha disamarkan dengan tatapan sinis. “Gue udah tau hubungan lo sama Tasya,” lanjutku. Kulihat mata Arvi melotot, dan Tasya semakin pucat pasi.
                “Bah! Tau apa lo?” Arvi menantangku.
                “Perlu gue paparin semuanya? Perlu gue ceritain lagi waktu lo sama Tas...,”
                “Enggak Dir, enggak, lo..lo langsung tanya aja,” Tasya terbata-bata. Aku tertawa penuh kemenangan.
                “Oke,” kataku sambil menaikkan kaki kiri ke atas paralon yang mengelilingi atap gedung itu. “Arvi,” panggilku. Yang punya nama mengangkat dagu dan menatapku dengan wajah sombong yang dibuat-buat. “Lo pilih gue ̶ “ aku melirik Tasya. “atau Tasya?”
Arvi tampak tersentak. Tasya juga kaget. Seperti tak menyangka pertanyaan itu akan terlontar dari mulutku. Aku menatap keduanya bergantian.
                “Gue,.. gue..,” Arvi menunduk lama, mulutnya terkunci.
Cukup lama keheningan menyelimuti kami sampai aku angkat bicara lagi.
                “Tasya,” panggilku. Tasya menatapku takut-takut. “Lo sayang sama Arvi kan?” tanyaku. Tasya menunduk. “Jawab jujur aja, nggak papa,” yang ditanya mendongak lalu mengangguk pelan.
                “Bagus,” ujarku. “Biar gue aja yang pilihin,”
Arvi menatapku bingung.
                “Maksud lo, Dir?”
                “Lo sama Tasya aja. Bahagiain dia.”
Arvi melongo.
                “Sya, ambil Arvi, dia buat lo,”
Tasya hanya diam, menunduk tanpa berani menatapku.
                “Terus lo?” Tanya Arvi.
                “Gue? Gue mau pergi,” jawabku acuh tak acuh.
                “Pergi? Maksud lo? Lo mau kemana?”
Aku menatap langit.
                “Gue mau pergi ke dunia yang mungkin lebih baik buat gue. Lo baik-baik sama Tasya ya, jaga dia.” Aku mengambil jeda sejenak. “Bye,” kulambaikan tangan. Lompat dari gedung itu.

Kamis, 10 Januari 2013

AKU atau DIA #3

Cerita Sebelumnya AKU atau Dia #2

                “Tik, menurut lo, apa semua ini ada hubungannya sama yang di bus itu?” tanyaku. Memotong cerita Tika soal Arvi dan Tasya di Pizza Hut Amplaz.
                “Ck,” Tika berdecak. “berarti daritadi lo nggak dengerin cerita gue ya?” dipasangnya tampang kesal.
                “Eh? Enggak, enggak. Gue dengerin kok,” jawabku buru-buru. “justru karena gue dengerin lo, otak gue jalan sampe ke situ.”
Dia mengangkat bahu. “Nggaktau,” jawabnya. “Bisa iya, bisa enggak,”
Aku menghela napas.
                “Kenapa? Lo keliatan takut gitu? Kata Lisa lo udah nggak peduli sama Arvi,” ujarnya santai.
                “Lisa cerita ke lo?” tanyaku.
Tika manggut-manggut. “Iya. Pake emosi segala ceritanya. Lo emang bilang apa ke Lisa? Gue nggak pernah liat dia sepanas itu.”
                “Gue panggang,” candaku.
Tika mencibir. “Gue serius, Dir.”
Aku tertawa. “Nggak gue apa-apain kok. Gue cuman bilang kalo Arvi nggak ngasih kabar empat hari.”
                “Tapi masa kalo lo cuman bilang gitu, Lisa sampe emosi?”
                “Abisnya begitu dia denger, nanggepinnya ngaco sih, pake curigain Arvi segala, kan gue juga nggak suka kalo dia kayak gitu.”
                “Kalo gitu mah elonya yang salah, Dir.”
                “Kok lo jadi ngebelain dia sih?”
                “Ya lo kayak enggak tau Lisa. Dia kan emang gitu. Oke, gue tau gimana perasaan lo ketika pacar lo dibilang yang negatif-negatif. Tapi mau gimanapun, lo nggak bisa nyalahin dia. Omongan dia ada benernya juga kan? Buktinya gue liat sendiri.”
                “Jangan terlalu yakin deh. Siapa tau mereka jalan karena ada urusan.”
                “Astaga Diraaa,” ucapnya gemas. “Lo kesambet apa sih? Bener kata Lisa. Lo emang payah kayak pacar lo. Udah jelas-jelas gue liat mereka seromantis itu, lo masih bisa bilang mereka ada urusan penting? Buka mata hati lo Dir. Jangan dibutakan sama kekecean Arvi. Lo itu kehipnotis, tau nggak?”
Aku hanya diam.
                “Gue ingetin ya, jangan tenggelam di lautan cintanya. Semua itu palsu. Mulai sekarang, lo mesti bisa ngebedain. Lo mesti waspada. Kalo nggak, ya tanggung akibatnya.”

***

Mana Arvi? Sekarang sudah pukul dua siang dan tak ada tanda-tanda kemunculannya di gerbang. Aku sudah menengok kesana-sini. Namun tetap saja, tak ada sosoknya diantara kendaraan yang terparkir atau berlalu-lalang.
Kuputuskan untuk menelponnya. Sebelum sempat kutekan tombol call, hapeku bergetar sesaat. Tanda ada pesan masuk. Kuurungkan niat untuk menelpon. Dan aku membuka pesan itu.

                From          : Arvi
       Subject       : sayang maaf y. aku g bs jmpt.
                       ada urusan pntg. Love u :*

Ada yang berbeda dalam aliran darahku ketika membaca isi pesan itu. Bukan marah. Aku takkan marah jika Arvi tiba-tiba berkata bahwa ia tak bisa menjemputku. Hanya saja, seperti ada sesuatu yang patut dicurigai mengenai maksud pesan itu. Maksud si pengirim.
Aku sudah berusaha menghilangkan rasa curiga. Dan bukan keberhasilan yang kudapat. Aku justru merasa semakin tak percaya pada lelaki itu. Entahlah. Itu hanya persaanku akibat laporan dari Tika, makian Lisa, dan keanehan pada diri Arvi, atau memang faktanya begitu?

***

Apa mataku tak salah lihat?
Aku membaur dalam keramaian untuk mengamati dari dekat. Sepertinya aku mengenal punggung dan gaya rambut itu. Dan wanita di sampingnya... astaga, itu mereka!
Arvi, dengan kesan sayang merangkul Tasya. Dan wanita manja yang menyebalkan itu bergelayut nyaman di lengan kokoh itu. Hatiku memanas, meski aku sudah tahu yang sebenarnya. Kutahan semua perasaan campur aduk dan emosi yang meledak-ledak itu. Kubuntuti mereka dari jarak yang aman. Dan ketika mereka mulai memisahkan diri dari kerumunan orang banyak, pemandangan yang ada membuatku melotot dengan hati dipenuhi rasa tak percaya.
Aku merinding. Melihat bibir mereka saling beradu. Bagai sulur-sulur anggur yang berpelukan. Segera, sesuatu mengganjal kerongkonganku. Aku mau muntah.
Lalu dengan perlahan, aku berbalik dan menjauh dari pemandangan menjijikkan itu. Kucepatkan langkahku menuju warung, atau angkringan, atau apapun juga yang menjual air mineral.
                “Aqua satu mas,” ujarku pada pemilik warung sembari mengeluarkan selembar duit dua ribuan dari dompet. Ia mengangguk dan mengambilkan yang kumau. “Makasih.” Ucapku setelah diberikannya air mineral itu padaku.
Sambil melangkah, pikiranku berputar-putar. Otak masih memajang pemandangan tadi. Sekali lagi aku merinding. Ini sudah keterlaluan. Aku harus mengambil tindakan secepatnya, sebelum pedang yang semakin dalam menusuk dan kabar serta pemandangan yang memuakkan itu terus menjalar ke seluruh pembuluh darahku.

bersambung..

9 Januari 2013

Selamat malam, Pangeran PHP :”) Maaf aku terlambat satu hari ._.V

Istimewa tentu hari ini. Senyummu tak henti-hentinya menghiasi bibir merah mudamu yang tebal itu. Langkahmu terlihat semangat, menggambarkan kebahagiaan dalam hati. Haha. Selamat Ulang Tahun Playboy Arjuna. Pangeran PHP, manusia berhati namun tak bisa memahami dan mengerti :”)

Maaf, aku tidak meluangkan waktu untuk berlari-lari kecil kearahmu, mengulurkan tangan dan mengucapkan kalimat itu. Aku masih membutuhkan waktu untuk meminimalkan segala komunikasi di antara kita. Aku tidak membencimu. Aku tidak marah terhadapmu. Namun aku harus menyembuhkan luka ini. Sebelum kau tusuk-tusuk lagi. Upps, aku justru menguak masalalu.

Hari ini, deretan doa sudah kutulis dalam sanubari, siap membubungkannya ke Tahta Sang Hidup, Sang Tuhan. Aku berharap, hari ini menjadi catatan sejarah tersendiri bagi hidupmu. Satu hari penuh makna. Satu hari penuh bahagia. Semoga dengan bertambahnya umurmu, bertambah pula kedewasaan dan segala sisi baik darimu yang tak mampu kusebutkan satu-persatu. Mengiringi itu, semoga berkurang segala keburukanmu, termasuk hobimu membuat wanita yang jatuh hati menangis tersedu bagai disayat pisau belati :”)

Sekali lagi, Selamat Ulang Tahun :”)

Teriring doa dari salah satu kelinci percobaanmu.

Dalam Keasingan

Aku menutup mata. Menahan bekas luka yang rasanya tak mampu diungkap melalui kata. Desahan napas berat berhembus dari balik dada. Sakit. Perih. Pedih. Nyatanya masih tersisa meski waktu telah berjalan entah berapa lama.
Sosokmu terfokus lebih jelas dengan bantuan lensa kacamata. Masih kau yang dulu. Rambut keriting, bibir tebal, kulit putih dan sederet kekeceanmu. Hanya aku beserta nurani yang merasa telah memandang dalam keasingan.
Sepatu barumu, hitam‒bergaris merah–beralas putih yang baru keluar dari totko itu melangkah pelan memasuki kelas.

Hilang.

Dan aku kembali mendesah.

***

Kantin mulai ramai.
Susah payah aku menembus lusinan manusia yang sibuk dengan makanan dan uang mereka. Tak ada kau dalam jejakku kala itu. Sampai seorang teman menyikutku. Matanya melirik pada satu titik. Dan aku mengikuti titik itu.
Kau.
Berjarak kurang dari satu meter dari tempat aku berdiri. Jantungku sontak berlari. Melonjak-lonjak seperti seekor gajah yang melihat tikus. Rongga dadaku nyaris meledak. Telinga panas dan hati bak sebuah ruangan tanpa penerang. Gelap. Sekujur tubuhku kaku. Tangan dingin diiringi perasaan ngilu.
Cepat-cepat kutinggalkan tempat itu. Menarik lengan temanku lalu mengambil langkah seribu.
                “De’e mau ngundang mami ”
Aku melotot. “Mami? Sopo le ngundang?
                “Sopo meneh?
Kutatap dia setengah tak percaya. Kau telah menyapa temanku. Entah mengapa, ada guratan rasa sakit yang menjalar ke pembuluh darah. Seluruh ujung sarafku terasa disengat.
Aku tahu, aku tak ada lagi dalam otakmu. Atau mungkin memang tak pernah ada. Aku bukan orang penting. Aku wayang. Plastik. Karet. Boneka. Mainan buat pereda emosimu. Sesuatu yang bisa disayang-sayang, lalu dicampakkan dari puncak dunia. Dibuang dengan kecepatan cahaya yang mampu meniadakan segala macam rasa.

Tapi mengapa, mengapa selalu sulit untuk seorang aku melupakanmu? Tak adakah cara untuk meleburmu bersama lusinan anak panah yang sempat kau tancapkan di hatiku? Aku selalu kesakitan kala mengingatmu. Kala melihatmu. Kala mendengar semua yang berbau dirimu. Aku ingin bahagia. Bahagia menikmati hidup tanpa ada kau bersama pengawal-pengawal kejammu.

***

                “Ngapain di situ?” protesku ketika mereka memilih duduk di kursi depan kelas mantanmu. Tak ada jawaban. Akhirnya kuparkirkan juga pantatku di situ. Tapi aku gelisah. Aku tak bisa duduk lama-lama di sini. Di tempat yang dekat sekali denganmu. Belum berapa lama, kau lewat. Aku memalingkan muka. Berusaha bersikap seolah-olah kau tak pernah ada.
                “Cie, matanya melirik,”
Aku menyendengkan telinga pada temanku. “Aku nggak nglirik.” Ujarku tegas.
                “Dia yang nglirik.”
Oh, bagus sekali. Semoga telingaku salah dengar. “Hm.”
Apa-apaan kau ini? Ada apa dengan dirimu? Ada salah apa dengan susunan sarafmu? Aku benar tak habis pikir. Sebenarnya, kalau boleh pilih, lebih baik kau tak usah menyapaku. Jangan mengingatkanku pada hal-hal yang lalu itu. Semua sudah cukup menyakitiku, bukan? Semua juga sudah cukup membuatmu tertawa puas.
Aku memandang kearah timur. Niatnya ingin mengelak dari kejaran pandangan matamu. Namun aku justru mendapatkannya. Pandangan yang sama sekali tak kuharapkan itu. Ketajamanmu masih seperti dulu. Senyummu merekah. Tangan kirimu melambai kecil.

Kau mengunci pandanganku.

Selasa, 08 Januari 2013

Kucari Kau di Jalan Gejayan

Mataku terus menatap keluar jendela. Mengamati kendaraan yang ikut lalu lalang. Suara bising, karbondioksida yang beterbangan, seakan sudah melekat pada jalanan kota. Pejalan kaki berseliweran di sana sini. Menapaki trotoar, atau kadang aspal. Dan di sinilah aku. Di Jalan Gejayan. Dekat sekali dengan hunianmu. Ada bersitan rasa bahagia karena pada akhirnya, sampai juga aku di sini meski dengan butiran keringat yang menghiasi pelipis dan jidat.

Kubuka pintu dan turun. Harapan untuk dapat menghirup udara segar sirna seiring lampu hijau yang menyala. Karena dengan tanda itu, maka para pengemudi akan tancap gas dan mengeluarkan asap dari knalpot kendaraan mereka, lalu perlahan menghilang dari tangkapan mata. Mulutku tak sedikitpun mengeluarkan suara. Hanya mataku yang terus menerus menatap jalanan, berharap ada sosokmu dengan motor GL-PRO dan helm NHK putih kesayanganmu. Namun sampai lelah aku menatap, kau tetap tak ada.

Jangan tertawa. Karena aku hanya berbicara fakta. Kenyataan yang demikian adanya. Seperti sudah menjadi ritual pribadiku bila kaki atau roda kendaraanku melintas di jalan ini. Mencarimu. Terdengar konyol memang. Tapi SEKALI LAGI, itulah fakta. Aku tidak berdusta. Tak bosan-bosannya aku meneliti meski sangat kecil kemungkinan untuk menemukanmu di antara ratusan bahkan ribuan kendaraan dan manusia.
Aku mendesah. Kubuka pintu dan masuk. Siap untuk tujuan selanjutnya. Ketika mesin sudah hidup dan roda mulai berputar, mataku tak lepas dari jalan. Baik di sisi kanan maupun kiriku. Kupandangi lagi satu-persatu, kadang juga bebarengan. Aku sempat menajamkan pandangan ketika ada motor GL-PRO yang melintas. Sedetik kemudian, desahan napas kecewa keluar dari hidung. Itu bukan dirimu.

Mobil berhenti. Aku mengambil tasku dan turun. Kemudian menyeberangi jalan dan masuk ke toko bercat merah itu. Belasan kamera SLR terpampang di balik kaca etalase. Dan tak ada satupun yang menarik perhatianku. Mataku terus menatap jalan. Membiarkan mereka yang mengajakku ke tempat ini sibuk beradu argumentasi tentang keunggulan dan kelemahan masing-masing produk.

Menit-menit berlalu, mereka melangkahkan kaki, keluar dari toko itu. Pancaran sinar mata terimakasih ditujukan pada si pemilik toko. Aku mengikuti langkah-langkah mereka. Tanpa berkomentar sedikitpun. Jarak 200 meter termakan langkah dan kami sama-sama berhenti di sebuah toko (lagi). Sama seperti tadi, tak satupun kamera yang cantik atau menarik. Tentu saja, karena tujuanku ikut bukan untuk mencari kamera. Aku mencarimu. KAMU. Meski aku tahu kemungkinan untuk menemukanmu sangat kecil. Kuulangi lagi, SANGAT KECIL.

Pertanyaannya, mengapa aku menghabiskan waktu untuk memaksa mata menelisik Jalan Gejayan, meter demi meter? Mengapa aku tak ikut beradu argumentasi saja dengan mereka? Setidaknya itu sedikit lebih bermanfaat, bukan?

Entahlah. Aku juga tak kunjung mengerti mengenai semua ini.

Pada akhirnya, dengan iringan desah napas berat dan kekecewaan yang tak mampu digambarkan dengan kata-kata, aku kembali ke mobil. Menutup pintu dengan wajah datar. Tak ada lagi harapan melihatmu yang tersisa.

Aku pulang.

Geng PHP


Teman-temanmu sedang berpesta ya? Wah, selamat. Aku turut bahagia atas keberhasilanmu mengelabuiku. Perlukah aku memberimu hadiah? Lemparan sepatu mungkin? Atau tonjokkan? Atau tamparan? Atau makian? Bila perlu, tentu dengan senang hati aku akan melakukannya untukmu. Pilihlah yang mana yang kau sukai. Nanti aku akan menurutinya. Semakin banyak kau minta, aku akan semakin senang.

Sudah berapa kali teman-temanmu terseyum dengan tampang mengejek saat melihatku? Rasanya tak bisa lagi dihitung dengan jari. Sepuluh? Lebih. Dua puluh? Lebih. Tigapuluh? Tampaknya juga lebih. Lihatlah, aku sampai tak mampu menghitungnya. Berarti kau, dan teman-temanmu hebat sekali ya? Aku salut.

Mengenai dirimu sendiri, kau tampaknya begitu bangga akan keberhasilanmu. Senyummu, tatapanmu saat melihatku, menyiratkan betapa puasnya kau bisa menusuk dan menghancurkan perasaanku. Aku memang tak pernah tahu apa yang kau bicarakan dengan teman-temanmu mengenai aku. Tapi, hatiku berkata, kau sedang pamer. Kau sedang bercerita betapa bodohnya aku. Betapa payahnya aku yang mudah percaya akan janji-janji manismu. Lalu teman-temanmu akan tertawa lepas dan mengejekku. Aku tak tahu adanya benar seperti itu atau tidak. Itu kan hanya kata hatiku.

Hei, tak pernah sadarkah kau dan teman-temanmu akan apa yang kalian lakukan? Kalian tidak bisa mati, lalu hidup lagi, menjadi pribadi yang baru lagi. Itu mustahil. Hidup ini hanya sekali. Dan hidup yang hanya sekali ini, mengapa kalian gunakan untuk terus menyakiti orang lain? Mengapa kalian gunakan untuk menghancurkan perasaan wanita-wanita yang tulus mencintai kalian? Mengapa kalian gunakan untuk menyandang status PHP? Coba pikirkan. Renungkan.

Siapa sebenarnya yang bodoh? Mungkin kalian menganggap yang bodoh adalah wanita-wanita yang menjadi korban kalian. Kalau kalian benar beranggapan begitu, kalian salah. Di sini, yang bodoh adalah kalian. KALIAN. Bukan wanita-wanita itu. Mereka tak salah. Mereka mencintai kalian dengan hati mereka. Mereka percaya pada kalian bukan karena mereka payah, tapi karena mereka sungguh-sungguh akan perasaan mereka. Beda dengan kalian. Yang hanya mencari kesenangan. Coba pikirkan. Renungkan.
Bukankah akan lebih indah bila hidup ini diisi dengan kebaikan? Diisi dengan membalas cinta tulus juga dengan ketulusan?

Hei, para PHP, Geng PHP. Pikirkan dan renungkan semua yang kalian lakukan selama ini. Pikirkan korban-korban kalian. Pikirkan andai kalian diperlakukan seperti itu. Pikirkan. Pikirkan.

Sabtu, 05 Januari 2013

Aku Benci Melihatmu


Untukmu, pangeran playboy dan PHP.

Tolong katakan padaku bagaimana caranya melupakanmu. Tolong paparkan agar aku tak lagi berharap kepadamu. Aku benar-benar merasa bodoh dan sangat bodoh.
Kau sendiri tahu (meski kau tak pernah mau mengakuinya) kalau aku menyayangimu lebih dari sahabat. Padahal kau, dengan segala kekeceanmu tak pernah serius dengan kata ‘cinta’ dan ‘sayang’ yang kau umbar di depanku.

Coba pikirkan, kau dan aku mulai dekat ketika hati kita sama-sama sudah ada yang memiliki. Berawal dari aku yang butuh seseorang dengan sikap dewasa untuk masalah-masalahku, di situlah waktu mengenalkan kita. Kau dan aku. Dua hati, latar belakang, dan dunia yang berbeda. Aku sungguh masih ingat awal perkenalan kita. Tak ada sepotong kisahpun yang terlupa.

Lima bulan yang lalu, kau berkata kalau kau sayang padaku karena aku lebih ada dibanding pacarmu. Aku bimbang kala mendengarnya. Haruskah aku percaya? Atau justru memperingatkan kau dengan keras agar tak ada lagi gombalan-gombalan sialan yang meleleh dari bibirmu?
Jujur, dalam hati aku ingin percaya. Tapi peringatkan temanku selalu terngiang di telinga. Katanya aku harus hati-hati. Katanya kau itu playboy. Katanya kau itu PHP. Katanya juga, kau selalu membuat wanita melayang, dan ketika dia sampai pada langit ketujuhbelas, kau berlalu tanpa salam perpisahan. Namun, jika aku memilih tak percaya, kata-katamu itu sungguh menggiurkan. Seperti emas sekarung atau sebutir apel merah ranum.

Siapa yang sanggup menolak?
Akhirnya aku pilih percaya. Akhirnya aku menitipkan separuh hati ini untuk kau jaga agar aku bisa bahagia.
Dan itu adalah awal kejatuhanku.
Mestinya aku sadar ketika teman-temanmu dengan wajah mengejek bertanya padaku tentangmu. Mestinya aku mengindahkan peringatkan temanku.

Namun dasar cinta itu buta.
Aku semakin masuk pada perangkpmu. Semakin percaya akan janji-janji manismu.
Puncaknya, aku rela melepas semua yang kumiliki, semua yang jelas-jelas sudah baik untukku demi mendapatkanmu. Pikirku, aku akan menuai kebahagiaan bersamamu.
Dan, aku keliru.

Sehari setelah puncak pengorbananku, kau menghilamg. Lepas. Seolah tak pernah punya urusan apapun denganku. Kepergianmu menyisakan luka yang dalam. Saking dalamnya, aku sampai tak tak lagi percaya akan adanya cinta dan bahagia.
Sejak itu aku benci kau. Meski secara resmi mulutku tak pernah mengatakannya. Aku benci melihatmu. Aku benci ketika janji manismu kembali terngiang di telingaku. Aku benci saat otakku memutar kau yang dulu. Yang kadang kurindukan.

Namun sudahlah. Kita sudah berbeda. Kau sudah berhasil menjebakku. Teman-temanmu berhasil menertawai kebodohanku. Kebahagiaanku berhasil hilang. Aku berhasil terluka.

AKU atau DIA? #2


Cerita sebelumnya AKU atau DIA? #1

Halo?
                Dir, Dir! Gawat Dir!
                Tika? Lo ngapa sih?
                Gawat Dir! Gawat!
                Apanya yang gawat? Lo kalo ngomog yang bener dong, gue bingung ini
                Arvi Dir! Gue liat dia!
                Lo liat dia? Di mana Tik?
                Pizza Hut Amplaz! Dia sama Tasya Dir!
Deg.
                Tasya? Lo serius Tik?
Tut..tut..tut..
                Halo Tik? Tik! Tika!

***

                “Hei, sayang,” tiba-tiba Arvi muncul di balik pintu kamarku. Melihatnya, aku seperti ingin menampar atau melemparinya. Tas, sepatu, buku-buku, bantal, guling, apapun juga. Tapi kutahan semua itu. Aku tahu, belum saatnya mengungkapkan amarah. Aku belum melihat dengan mata kepalaku sendiri tentang kelakuannya di luar sana.
Aku mencoba tersenyum. Dan kalian tahu? Tersenyum setelah kalian mendengar betapa liarnya pacar kalian di luar sana itu sungguh sulit. “Hai,” kataku akhirnya.
                “Boleh aku masuk?” tanyanya lembut. Atau mungkin lebih tepat bila kusebut pura-pura lembut.
Aku mengangguk.
Dia melangkah masuk. Wajahnya masih seperti biasa. Masih terlihat lembut dan tenang. Hanya saja, matanya menyiratkan kegelisahan. Entah tentang apa. Tapi aku bisa merasakannya.
                “Gimana kegiatannya sayang? Banyak tugas ya?” ditanyainya aku sembari tangannya mengelus kepalaku. Dahiku sempat dikecupnya. Pikiranku sempat berkecamuk kala benar sarafku tersentuh tekstur bibirnya. Bukan kebahagiaan yang menguasaiku. Yang ada malah rasa sakit. Sakit karena aku merasa ditipu, dibohongi. Dengan rangkulan ia menusukku, dengan pelukan ia berusaha melukaiku, dengan ciuman ia berusaha menghancurkanku. Sejujurnya aku pilih dia memutuskanku dan mengatakan bahwa dia lebih mencintai Tasya atau wanita lain. Aku pilih itu. Aku pilih dia dengan terus terang berkata demikian padaku.
                “Maaf ya, aku sempet enggak ada kabar, aku sibuk,” katanya lagi meski aku belum menjawab pertanyaannya tadi.
Aku tersenyum kecut. Bukan begitu caranya Vi, kataku dalam hati. Kau menonaktifkan ponselmu tanpa memberitahuku terlebih dulu. Lebih dari empat hari sudah kau tak ada kabar. Apa kau tak tahu betapa paniknya aku mengenai semua itu? Aku memikirkanmu Vi. Aku memikirkanmu setiap hari. Setiap waktu. Aku berusaha menghadirkanmu selalu dalam detak nadiku, dalam hembusan napasku. Apa kau tak tahu betapa hancurnya aku saat Tika memberitahuku, dia melihatmu dengan Tasya di Pizza Hut Amplaz? Apa kau tak tahu betapa sakitnya aku mendengar semua itu? Aku yang setiap hari merapal namamu dalam doa, kau sakiti di balik layar? Memang ada kemungkinan Tika berbohong. Tapi mengingat nada-nada paniknya, sangat kecil kemungkinan untuk bohong. Dan sekarang, ketika aku mulai menetapkan hati untuk menjauh darimu, kau hadir kembali. Kau berkata selama ini kau sibuk sehingga untuk mengabariku pun kau tak sempat. Apa maumu Arvi? Kalau kau tak lagi mencintaiku, kau bisa memutuskanku dengan alasan yang jelas dan terang. Bukan seperti ini! Ini semua akan membunuhku!
                “Kok diem aja sayang? Ada apa? Sakit ya?” tanyanya lagi. Tangannya menyentuh dahiku.
                “Enggak kok,” kutepis tangannya. “aku nggak sakit,” senyumku. “oh, ya, aku membuat ini untukmu,” ujarku mengalihkan pembicaraan. Aku mengambil sehelai kertas HVS yang kuselipkan di buku National Geographic. “Taraaa!!” kubalik kertas HVS itu. Terlihat di sana, Arvi sedang tersenyum dengan sebatang rokok di tangan kanannya dalam goresan pensil.
Matanya membelalak. Mulutnya menganga dan wajahnya terlihat kagum. “Bagus banget!” katanya. Tangannya terulur seolah ingin mendekap gambar itu dan tak melepasnya. Aku memberikan itu padanya. Ia mengamati gambar itu dengan saksama, seperti sedang mengamati gerak-gerik pencuri.
Aku tersenyum melihat tingkahnya. Berusaha terlihat gembira seperti dia yang gembira saat matanya menatap lukisanku. Meski kutahu, cepat atau lambat, aku akan kehilangan semua itu. Cepat atau lambat aku takkan bisa melihat senyumnya, airmatanya, tawanya, amarahnya. Tidak lagi. Aku sadar akan itu. Karenanya, sebelum aku benar kehilangan, kucoba menghabiskan keindahan yang selama ini terpancar dari dirinya.
                “Oh, sayang,” desahnya penuh cinta. Diletakkannya gambar itu hati-hati. Tangannya menarik tanganku, memelukku. “aku takkan pernah bisa menemukanmu dalam sosok lain,” dia mengambil napas. “hanya kau yang ada di hatiku hingga akhir hayatku.”
Airmataku meleleh di bahunya. Kau bohong Vi. Kau tak mencintaiku. Hatimu bukan untukku.

***

bersambung ke AKU atau DIA #3