Untukmu, pangeran playboy dan
PHP.
Tolong katakan padaku bagaimana caranya melupakanmu. Tolong
paparkan agar aku tak lagi berharap kepadamu. Aku benar-benar merasa bodoh dan
sangat bodoh.
Kau sendiri tahu (meski kau tak pernah mau mengakuinya) kalau aku menyayangimu lebih dari sahabat. Padahal kau, dengan segala kekeceanmu tak pernah serius dengan kata ‘cinta’ dan ‘sayang’ yang kau umbar di depanku.
Kau sendiri tahu (meski kau tak pernah mau mengakuinya) kalau aku menyayangimu lebih dari sahabat. Padahal kau, dengan segala kekeceanmu tak pernah serius dengan kata ‘cinta’ dan ‘sayang’ yang kau umbar di depanku.
Coba pikirkan, kau dan aku mulai dekat ketika hati kita sama-sama sudah ada yang memiliki. Berawal dari aku yang butuh seseorang dengan sikap dewasa untuk masalah-masalahku, di situlah waktu mengenalkan kita. Kau dan aku. Dua hati, latar belakang, dan dunia yang berbeda. Aku sungguh masih ingat awal perkenalan kita. Tak ada sepotong kisahpun yang terlupa.
Lima bulan yang lalu, kau berkata kalau kau sayang padaku karena
aku lebih ada dibanding pacarmu. Aku bimbang kala mendengarnya.
Haruskah aku percaya? Atau justru memperingatkan kau dengan keras agar tak ada
lagi gombalan-gombalan sialan yang meleleh dari bibirmu?
Jujur, dalam hati aku ingin percaya. Tapi peringatkan temanku selalu terngiang di telinga. Katanya aku harus hati-hati. Katanya kau itu playboy. Katanya kau itu PHP. Katanya juga, kau selalu membuat wanita melayang, dan ketika dia sampai pada langit ketujuhbelas, kau berlalu tanpa salam perpisahan. Namun, jika aku memilih tak percaya, kata-katamu itu sungguh menggiurkan. Seperti emas sekarung atau sebutir apel merah ranum.
Jujur, dalam hati aku ingin percaya. Tapi peringatkan temanku selalu terngiang di telinga. Katanya aku harus hati-hati. Katanya kau itu playboy. Katanya kau itu PHP. Katanya juga, kau selalu membuat wanita melayang, dan ketika dia sampai pada langit ketujuhbelas, kau berlalu tanpa salam perpisahan. Namun, jika aku memilih tak percaya, kata-katamu itu sungguh menggiurkan. Seperti emas sekarung atau sebutir apel merah ranum.
Siapa yang sanggup menolak?
Akhirnya aku pilih percaya. Akhirnya aku menitipkan separuh
hati ini untuk kau jaga agar aku bisa bahagia.
Dan itu adalah awal kejatuhanku.
Mestinya aku sadar ketika teman-temanmu dengan wajah mengejek bertanya padaku tentangmu. Mestinya aku mengindahkan peringatkan temanku.
Dan itu adalah awal kejatuhanku.
Mestinya aku sadar ketika teman-temanmu dengan wajah mengejek bertanya padaku tentangmu. Mestinya aku mengindahkan peringatkan temanku.
Namun dasar cinta itu buta.
Aku semakin masuk pada perangkpmu. Semakin percaya akan
janji-janji manismu.
Puncaknya, aku rela melepas semua yang kumiliki, semua yang jelas-jelas sudah baik untukku demi mendapatkanmu. Pikirku, aku akan menuai kebahagiaan bersamamu.
Puncaknya, aku rela melepas semua yang kumiliki, semua yang jelas-jelas sudah baik untukku demi mendapatkanmu. Pikirku, aku akan menuai kebahagiaan bersamamu.
Dan, aku keliru.
Sehari setelah puncak pengorbananku, kau menghilamg. Lepas.
Seolah tak pernah punya urusan apapun denganku. Kepergianmu menyisakan luka
yang dalam. Saking dalamnya, aku sampai tak tak lagi percaya akan adanya cinta
dan bahagia.
Sejak itu aku benci kau. Meski secara resmi mulutku tak
pernah mengatakannya. Aku benci melihatmu. Aku benci ketika janji manismu
kembali terngiang di telingaku. Aku benci saat otakku memutar kau yang dulu.
Yang kadang kurindukan.
Namun sudahlah. Kita sudah berbeda. Kau sudah berhasil
menjebakku. Teman-temanmu berhasil menertawai kebodohanku. Kebahagiaanku
berhasil hilang. Aku berhasil terluka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar