Karena
cinta adalah kebebasan, bukan kekangan.
Aku tak bisa seperti ini dalam waktu
lebih dari satu bulan. Jujur saja, sesungguhnya satu minggu saja sudah
merupakan siksa buat hatiku. Aku harus berhenti. Setiap hal, setiap organ dan
susunannya yang membentuk tubuh punya titik lelah, bukan? Bahkan bintang pun
akan sampai pada fase supernova untuk kemudian memulai hidup baru atau menjadi black hole. Pegas juga akan sampai pada
batas elastisitasnya. Penghuni semesta punya batas mereka masing-masing, sayang.
Dan aku sudah sampai pada pintu keluar itu.
Takkan ada lagi airmataku yang
meremang atas nama rasa. Aku sudah berjanji, setidaknya pada Tuhan dan diriku
sendiri, bahwa tangisanku yang lalu, airmata yang meleleh satu-satu dan
membasahi leher dan bahu ayahku, adalah yang terakhir. Tak ada yang akan
datang. Sekalipun rasa tercabik pedang, tertusuk belati, dan disiksa Sang
Waktu, aku takkan kalah dalam tangisan, takkan remuk terhempas karang.
Telah kuhapus kenangan bersamamu,
setidaknya pada kotak masuk. Sudah kubuang jauh-jauh ingatan akan kamu, kita,
dan tiga tahun ini. Aku sudah menghadapi badai itu dengan segenap kekuatanku.
Kini, ijinkan aku mundur pelan-pelan dan menjauh dari ruang siksa itu. Deraku
sudah selesai, cambuk itu sudah mengenai hati, aku berhak pulang.
Meski demikian, bukan berarti kamu
kuanggap tisu sekali pakai. Sesuatu yang berjuang bertahun-tahun, mengalami
proses begitu panjang, dan hanya digunakan satu kali sebelum akhirnya terbuang
sia-sia. Bercampur dengan macam-macam sampah, diremuk air, dikoyak bakteri.
Mati. Secepat itu.
Kamu berarti. Sungguh. Aku
mengucapkannya dengan segala kekalahan yang kini mengiringi langkahku pulang.
Kamu benar, aku telah kalah dan aku menyerah. Tapi bukan menyerah seperti yang
kamu sangka. Aku menyerah dalam kenyataan, itu lebih baik daripada terus hidup
dalam mimpi, menolak masuk pada ruang hidup sesungguhnya, menolak bersikap
realistis. Kuakui, sekalipun aku mencoba melupakanmu sedemikian keras, mencoba
mengubur bayangmu dalam-dalam, menimbunnya dengan tanah dan batu, aku tetap
dihantui rasa rindu. Selalu.
Bersamamu, aku merasakan perpisahan
yang paling dahsyat. Rasa sakit kehilangan yang tak bisa kuungkap dalam deretan
kata menggerogoti hati pada satu sisi, dan aku harus terlihat tegar pada sisi
lain, berusaha punya tampang tak sudi ditenggelamkan kesedihan. Bersamamu,
seribu malam telah lewat. Bersamamu, kurajut mimpi tentang masa depan, tentang
kita. Kini, aku harus rela segalanya terkubur dan terlapisi masalalu.
Hari itu aku membuat banyak perjanjian
dengan Tuhan. Berjanji untuk tidak menangis lagi. Berjanji untuk tetap berjalan
tegak dan tegar, sekalipun kamu telah pamit pergi. Aku harus sadar bahwa aku
rindu terbang bebas, aku rindu berkelana dengan jiwaku sendiri. Sekarang
kumiliki mimpiku. Namun entah mengapa, aku malah ingin kembali dan tak pernah
lagi punya angan untuk keluar dari ruang siksa itu. Aku merasa ingin tinggal
dalam kardus sempit itu. Aku merasa ingin ada dalam ruang penuh CCTV,
pengawasan tingkat tinggi dari kamu. Tapi tidak. Segalanya telah usai. Pintu
penjara telah terbuka. Dan aku harus keluar. Hati tak mungkin terpenjara
selamanya. Ia berhak bebas. Sekalipun rasaku tidak. Sekalipun tubuhku menolak.
Mendadak, suasana mencekam, suhu
turun, dan kurasa hatiku mulai beku.
Aku merindukanmu, juga merindukan
diriku sendiri.