Kamis, 26 Juni 2014

Penjara

Karena cinta adalah kebebasan, bukan kekangan.

Aku tak bisa seperti ini dalam waktu lebih dari satu bulan. Jujur saja, sesungguhnya satu minggu saja sudah merupakan siksa buat hatiku. Aku harus berhenti. Setiap hal, setiap organ dan susunannya yang membentuk tubuh punya titik lelah, bukan? Bahkan bintang pun akan sampai pada fase supernova untuk kemudian memulai hidup baru atau menjadi black hole. Pegas juga akan sampai pada batas elastisitasnya. Penghuni semesta punya batas mereka masing-masing, sayang. Dan aku sudah sampai pada pintu keluar itu.

Takkan ada lagi airmataku yang meremang atas nama rasa. Aku sudah berjanji, setidaknya pada Tuhan dan diriku sendiri, bahwa tangisanku yang lalu, airmata yang meleleh satu-satu dan membasahi leher dan bahu ayahku, adalah yang terakhir. Tak ada yang akan datang. Sekalipun rasa tercabik pedang, tertusuk belati, dan disiksa Sang Waktu, aku takkan kalah dalam tangisan, takkan remuk terhempas karang.

Telah kuhapus kenangan bersamamu, setidaknya pada kotak masuk. Sudah kubuang jauh-jauh ingatan akan kamu, kita, dan tiga tahun ini. Aku sudah menghadapi badai itu dengan segenap kekuatanku. Kini, ijinkan aku mundur pelan-pelan dan menjauh dari ruang siksa itu. Deraku sudah selesai, cambuk itu sudah mengenai hati, aku berhak pulang.

Meski demikian, bukan berarti kamu kuanggap tisu sekali pakai. Sesuatu yang berjuang bertahun-tahun, mengalami proses begitu panjang, dan hanya digunakan satu kali sebelum akhirnya terbuang sia-sia. Bercampur dengan macam-macam sampah, diremuk air, dikoyak bakteri. Mati. Secepat itu.

Kamu berarti. Sungguh. Aku mengucapkannya dengan segala kekalahan yang kini mengiringi langkahku pulang. Kamu benar, aku telah kalah dan aku menyerah. Tapi bukan menyerah seperti yang kamu sangka. Aku menyerah dalam kenyataan, itu lebih baik daripada terus hidup dalam mimpi, menolak masuk pada ruang hidup sesungguhnya, menolak bersikap realistis. Kuakui, sekalipun aku mencoba melupakanmu sedemikian keras, mencoba mengubur bayangmu dalam-dalam, menimbunnya dengan tanah dan batu, aku tetap dihantui rasa rindu. Selalu.

Bersamamu, aku merasakan perpisahan yang paling dahsyat. Rasa sakit kehilangan yang tak bisa kuungkap dalam deretan kata menggerogoti hati pada satu sisi, dan aku harus terlihat tegar pada sisi lain, berusaha punya tampang tak sudi ditenggelamkan kesedihan. Bersamamu, seribu malam telah lewat. Bersamamu, kurajut mimpi tentang masa depan, tentang kita. Kini, aku harus rela segalanya terkubur dan terlapisi masalalu.

Hari itu aku membuat banyak perjanjian dengan Tuhan. Berjanji untuk tidak menangis lagi. Berjanji untuk tetap berjalan tegak dan tegar, sekalipun kamu telah pamit pergi. Aku harus sadar bahwa aku rindu terbang bebas, aku rindu berkelana dengan jiwaku sendiri. Sekarang kumiliki mimpiku. Namun entah mengapa, aku malah ingin kembali dan tak pernah lagi punya angan untuk keluar dari ruang siksa itu. Aku merasa ingin tinggal dalam kardus sempit itu. Aku merasa ingin ada dalam ruang penuh CCTV, pengawasan tingkat tinggi dari kamu. Tapi tidak. Segalanya telah usai. Pintu penjara telah terbuka. Dan aku harus keluar. Hati tak mungkin terpenjara selamanya. Ia berhak bebas. Sekalipun rasaku tidak. Sekalipun tubuhku menolak.

Mendadak, suasana mencekam, suhu turun, dan kurasa hatiku mulai beku.

Aku merindukanmu, juga merindukan diriku sendiri. 

Selasa, 24 Juni 2014

Sepi

Sejak kali pertama berjumpa, aku sudah tahu, hari ini akan tiba. Segalanya yang kumiliki tentang kamu, rasa yang kubiarkan mengalir pada pembuluh, satu paket cinta yang ada di setiap sel tubuh, semuanya akan mengalami proses bersua dan berpisah. Aku sudah tahu. Cepat atau lambat, kita akan kembali berjalan sendiri, berpisah satu sama lain, untuk misi yang tak lagi sama. Suatu skenario yang luar biasa, boleh mengenalmu selama lebih dari seribu malam.

Kebersamaan kita akan pudar pelan-pelan ditelan ganasnya Waktu. Cinta yang selama ini kita bangun dengan hati-hati, lambat laun akan menyurut. Hati yang sudah terbiasa akan kamu kini kalut. Kamu pergi, aku pergi. Dan ruang rindu itu sepi. Jantung kita kembali berdenyut dalam sendiri. Sungguh, waktu sudah berkata: cukup. Dan kita harus berhenti saling mengisi.

Aku tahu, sakit yang teramat itu pasti datang. Dan kini tibalah saatnya. Seperti pelatihan tentara, Waktu memaksa kita, aku dan kamu untuk siap. Tak akan ada lagi rengkuhanmu, yang membuatmu merasa nyaman bisa bernapas dalam pelukmu. Tak ada lagi genggaman erat jemarimu, yang membuatku merasa bahwa dunia akan indah bersamamu. Pelan tapi pasti, bahagia denganmu yang jadi persepsiku selama ini akan berakhir.

Sekalipun aku duduk di depanmu dalam jarak sedekat ini, aku tetap merasa perih. Kamu datang untuk pamit pergi, dan tak kembali. Kamu datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Kamu datang untuk pulang. Entah berapa ratus kalimatmu mencakar kupingku. Membuatku merasa jenuh dan lelah. Aku benci terjebak dalam situasi ini. Berbincang denganmu, namun bicara soal pedih.
                “Jadi selama ini sia-sia? Semua yang aku relain demi kamu, sia-sia?” nadamu putus asa.
Aku tak bisa apa-apa selain diam dan menunduk. Menekuni ubin dibawah kakiku dan kakimu. Satu pertanyaan yang kedua pilihan jawabannya hanya terdiri masing-masing satu kata, namun merenggut semua kemampuanku berkata-kata.
                “Kita sudah tiga tahun!” suaramu tertahan, gemas.
Lagi, panah itu melesat dan menusuk tepat. Serangan itu datang, dan aku tak punya tameng apalagi pedang. Semua pertanyaanmu bermutasi jadi jarum dan belati. Menggores dan menyisakan luka dalam, membuatku seakan ingin mati.

Aku ingin sekali berkata sebanyak kamu hari ini. Tapi kalimat yang menumpuk dan berebut ingin keluar cuma bisa sampai pada angan. Aku tak mampu. Seluruhnya bersatu dengan udara dalam wujud karbondioksida. Kulihat matamu penuh harap. Tak sudi menukar semua perjuanganmu dengan kesendirian yang sepi sendiri dan kamu merasa sia-sia.

Seperti aku yang lelah duduk dalam ketidakberdayaan, kutahu, begitu juga kamu. Lelah menahan amarah, lelah berharap, lelah menunggu penjelasanku yang menjelaskan setiap arah.

Aku ingin kamu tahu, aku sakit dalam keputusanku sendiri. Aku menderita untuk jalan yang kupilih. Aku menyesal memaksamu pergi. Namun harus kulakukan ini, atau kita bakal cepat mati. Cinta yang kata orang indah, buat kita beberapa waktu terakhir ini malah menyimpan rasa sakit yang luar biasa, menuntut kita bertahan sekaligus berjuang dalam ketidaksanggupan. Aku sadar diri. Aku pun ingin kamu mengerti. Kita takkan sanggup begini.
                “Oke,” kamu menghela napas, berusaha tetap berdiri tegak, tegar.
Kamu perlu tahu, aku susah payah menahan airmata.
          “Makasih ya buat tiga tahun ini, makasih buat semuanya..” kepalamu mengangguk, mencoba mengerti. Tapi aku tak tahan lagi.

Cepat, tanganku merentang, memelukmu. Aku tahu kamu kaget, karena aku pun juga. Aku tahu, awalnya kamu ingin melepas tanganku hati-hati. Mencoba tahu diri, kita telah terlarang untuk saling peluk, menenangkan hati. Aku tak peduli. Kupererat rengkuhanku. Aku hanya ingin kamu tahu, sekalipun aku tak punya lagi kemampuan untuk mengungkapkan segalanya dalam deretan kata, satu perbuatanku sudah cukup untuk membuatmu mengerti apa yang kurasa. Kutumpahkan segalanya. Hingga satu detik, pertahananmu untuk tak balik memelukku, kalah. Perlahan kurasakan badanmu tak lagi tegang. Perlahan tanganmu merentang. Kita resmi berpelukan.

Airmata meleleh satu-satu, aku sesenggukan. Ingin menjerit, tapi rasa sakit ini membuat suaraku terjepit. Ingin rasanya aku menahan Sang Waktu. Bersujud dan berusaha membuatnya mengerti, aku perlu kamu. Aku butuh manusia macam kamu menjadi penghias hari. Tapi, ia kadung berdiri, menoleh sejenak pada kita dan mengatakan cukup. Tak ada toleransi. Tak ada kesempatan lagi.

Aku sadar, menolaknya hanya membuat kita makan hati. Aku tak mau.

Baiklah, bila memang ini yang terbaik. Terimakasih untuk selama ini, sungguh. Aku benar bersyukur kamu diijinkan ada, menjelma nyata selama tiga tahun. Terimakasih. Suatu bahagia bisa berada dalam harimu, begitu sebaliknya.

Baik-baik, sayang. Karena aku akan tetap menyayangimu, sekalipun kita telah dipisahkan ruang dan waktu.

Senin, 16 Juni 2014

Pengunci

Hai, selamat malam, Tuan baik hati.

Aku sedang menebak-nebak sedang apa kamu ketika jemariku asyik menari diatas keyboard, berusaha menyelesaikan tulisan, demi kamu. Kamu, yang entah dengan bahasa seperti apa aku harus menyebut. Ingin kubilang sebuah keberuntungan dan skenario paling indah bila kuingat masalalu, saat kamu masih bertahan untuk tetap berdiri diam disana, memandangku dari kejauhan, tak tahu kalimat apa yang kamu simpan dalam hati sebagai tanggapan atas kelakuanku. Haha. Mengingatnya, aku bingung benar bagaimana cara untuk bisa berhenti tertawa. Lalu, wajahku akan merah seperti tomat. Kamu jelas sudah tahu seperti apa aku. Sikap dan kelakuan yang cukup untuk bisa menyabet gelar preman alim di kelas, setidaknya. Tapi kamu memandang sisi yang kebanyakan orang menolak untuk menatap, apalagi memikirkan. Ah, Tuan. Aku terpesona lagi.

Suhu badanku benar-benar tinggi, sekelilingku terasa berputar dan aku tidak bisa melepas maskerku kecuali saat minum atau makan. Virus influenza adalah yang pertama menyambutku hari ini. Tapi aku sudah berjanji untuk menyelesaikan tulisan ini setelah aku ujian. Maka, aku berusaha keras membawanya pada kalimat terakhir, tak peduli seperti apa rasanya badanku saat ini. Ini sungguh demi kamu, Tuan. Aku hanya ingin menepati janjiku.

Baiklah, aku paham benar kata ‘first’ yang kamu ketik untuk membalas pesan singkatku adalah kode keras. Aku paham, Tuan. Tapi sungguh aku sengaja untuk tidak mengambil nomor urut satu dalam mengucapkan kalimat istimewa untukmu. Tolong, jangan marah dulu. Jangan memberiku tatapan sinis untuk keputusanku ini. Aku punya dasar yang kuharap, bisa membuatmu mengerti.

Bukannya aku tak peduli akan hari istimewamu. Tapi aku berusaha sadar diri. Aku bukan siapamu. Maka aku mempersilakan orang lain, mereka yang lebih pantas jadi First Expresser. Mereka yang menyandang status keluarga, sahabat, mungkin juga teman dekat. Oh, iya, satu lagi, masalalumu. Ah aku nyaris melupakan dia. Maaf, aku menyelipkannya disini. Bukan apa-apa, aku hanya merasa ada sesuatu yang menohokku kala mata bertemu ceritanya. Ah, Tuan. Bila kembali ingat tentang wanita satu itu, aku justru merasa teriris. Tapi, sudahlah. Lebih baik aku menulis tentangmu lagi.

Tadinya aku juga ingin menjadi pengucap pertama buatmu. Lalu sebuah ingatan muncul dan mengubah rencanaku. Atas dasar aku bukan siapamu dan kamu terkenal—berarti akan ada banyak manusia yang bisa menjadi pengucap pertamamu, aku memilih menunggu malam selanjutnya tiba, dan kalimat itu akan sampai kepadamu. Sungguh, maaf telah membuatmu kembali menunggu.

Kulakukan ini demi sebuah harapan tentang kamu. Aku sadar sudah tidak mungkin menjadi yang pertama buatmu, karena tentu itu butuh mesin pemutar waktu. Lagipula, aku takut bila menjadi yang pertama, aku justru tidak bisa mempertanggungjawabkannya sampai selesai.

Lihatlah pintu hari itu, Tuan. Kupastikan ada banyak orang yang mau membukanya untukmu. Tapi seringkali mereka tak peduli keadaanmu kala itu. Mungkin kamu masih ingin terlelap dalam tidurmu. Masih ingin menikmati terpejamnya mata bersama barang-barang kesayanganmu, bersama mimpimu, bersama bahagia yang hanya bisa dinikmati kala terlelap. Mungkin kamu masih enggan bersua dengan sinar Sang Surya. Tapi mereka keburu membuka pintumu, menyibakkan tiraimu sampai seberkas cahaya itu nampak, dan kamu terpaksa membuka mata. Ah, sayang.. oh, maksudku, Tuan, aku hanya tidak ingin menjadi perusak bahagiamu.

Maka, ijinkan aku yang mengucapkan kalimat istimewa itu terakhir kali. Biarkan aku memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Biarkan aku memastikan bahwa tempat tidurmu sudah tertata rapi sebelum badanmu merebah di atasnya. Ijinkan aku benar tahu, bahwa pengharum ruanganmu telah diatur untuk menyemburkan aroma dalam jarak waktu yang tak terlalu dekat atau terlalu jauh. Biarkan aku memastikan pengatur suhu pada ruanganmu tak terlampau sejuk atau terlampau panas, agar kamu bisa terlelap senyaman mungkin. Ijinkan aku menutup jendela kamarmu, melepas pengikat tiraimu, dan memastikan bahwa takkan ada gangguan dari luar yang merayap masuk lalu mengganggumu. Ijinkan aku mengecupmu satu detik setelah kamu memejamkan mata, dan biarkan aku melihat senyum penutup harimu, agar aku tahu, kamu siap beralih ke alam mimpi dengan bahagia. Lalu, biarkan aku menyalakan lampu tidurmu. Dan terakhir, ijinkan aku yang menutup pintu. Memastikan kamu baik-baik saja, sekali lagi.

Sekalipun paragraf di atas hanya analogi, aku percaya rengkuhanku akan sampai kepadamu, entah dengan cara apa. Aku pun percaya, kecupanku akan sampai pula kepadamu, sekalipun aku tak tahu bagaimana. Aku tetap percaya. Seperti kamu yang tetap percaya bahwa mimpi akan berubah menjadi kenyataan dalam proses Sang Waktu. Seperti kamu yang percaya dan sabar, bahwa penantianmu selama ini takkan sia-sia, begitu juga aku. Terimakasih sudah mengajariku banyak hal.

Selamat ulang tahun.


Pada suatu malam.
Dalam waktu yang tidak berkesudahan
Antara aku, kamu, dan mungkin kita.

Satu hari nanti.