Senin, 16 Juni 2014

Pengunci

Hai, selamat malam, Tuan baik hati.

Aku sedang menebak-nebak sedang apa kamu ketika jemariku asyik menari diatas keyboard, berusaha menyelesaikan tulisan, demi kamu. Kamu, yang entah dengan bahasa seperti apa aku harus menyebut. Ingin kubilang sebuah keberuntungan dan skenario paling indah bila kuingat masalalu, saat kamu masih bertahan untuk tetap berdiri diam disana, memandangku dari kejauhan, tak tahu kalimat apa yang kamu simpan dalam hati sebagai tanggapan atas kelakuanku. Haha. Mengingatnya, aku bingung benar bagaimana cara untuk bisa berhenti tertawa. Lalu, wajahku akan merah seperti tomat. Kamu jelas sudah tahu seperti apa aku. Sikap dan kelakuan yang cukup untuk bisa menyabet gelar preman alim di kelas, setidaknya. Tapi kamu memandang sisi yang kebanyakan orang menolak untuk menatap, apalagi memikirkan. Ah, Tuan. Aku terpesona lagi.

Suhu badanku benar-benar tinggi, sekelilingku terasa berputar dan aku tidak bisa melepas maskerku kecuali saat minum atau makan. Virus influenza adalah yang pertama menyambutku hari ini. Tapi aku sudah berjanji untuk menyelesaikan tulisan ini setelah aku ujian. Maka, aku berusaha keras membawanya pada kalimat terakhir, tak peduli seperti apa rasanya badanku saat ini. Ini sungguh demi kamu, Tuan. Aku hanya ingin menepati janjiku.

Baiklah, aku paham benar kata ‘first’ yang kamu ketik untuk membalas pesan singkatku adalah kode keras. Aku paham, Tuan. Tapi sungguh aku sengaja untuk tidak mengambil nomor urut satu dalam mengucapkan kalimat istimewa untukmu. Tolong, jangan marah dulu. Jangan memberiku tatapan sinis untuk keputusanku ini. Aku punya dasar yang kuharap, bisa membuatmu mengerti.

Bukannya aku tak peduli akan hari istimewamu. Tapi aku berusaha sadar diri. Aku bukan siapamu. Maka aku mempersilakan orang lain, mereka yang lebih pantas jadi First Expresser. Mereka yang menyandang status keluarga, sahabat, mungkin juga teman dekat. Oh, iya, satu lagi, masalalumu. Ah aku nyaris melupakan dia. Maaf, aku menyelipkannya disini. Bukan apa-apa, aku hanya merasa ada sesuatu yang menohokku kala mata bertemu ceritanya. Ah, Tuan. Bila kembali ingat tentang wanita satu itu, aku justru merasa teriris. Tapi, sudahlah. Lebih baik aku menulis tentangmu lagi.

Tadinya aku juga ingin menjadi pengucap pertama buatmu. Lalu sebuah ingatan muncul dan mengubah rencanaku. Atas dasar aku bukan siapamu dan kamu terkenal—berarti akan ada banyak manusia yang bisa menjadi pengucap pertamamu, aku memilih menunggu malam selanjutnya tiba, dan kalimat itu akan sampai kepadamu. Sungguh, maaf telah membuatmu kembali menunggu.

Kulakukan ini demi sebuah harapan tentang kamu. Aku sadar sudah tidak mungkin menjadi yang pertama buatmu, karena tentu itu butuh mesin pemutar waktu. Lagipula, aku takut bila menjadi yang pertama, aku justru tidak bisa mempertanggungjawabkannya sampai selesai.

Lihatlah pintu hari itu, Tuan. Kupastikan ada banyak orang yang mau membukanya untukmu. Tapi seringkali mereka tak peduli keadaanmu kala itu. Mungkin kamu masih ingin terlelap dalam tidurmu. Masih ingin menikmati terpejamnya mata bersama barang-barang kesayanganmu, bersama mimpimu, bersama bahagia yang hanya bisa dinikmati kala terlelap. Mungkin kamu masih enggan bersua dengan sinar Sang Surya. Tapi mereka keburu membuka pintumu, menyibakkan tiraimu sampai seberkas cahaya itu nampak, dan kamu terpaksa membuka mata. Ah, sayang.. oh, maksudku, Tuan, aku hanya tidak ingin menjadi perusak bahagiamu.

Maka, ijinkan aku yang mengucapkan kalimat istimewa itu terakhir kali. Biarkan aku memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Biarkan aku memastikan bahwa tempat tidurmu sudah tertata rapi sebelum badanmu merebah di atasnya. Ijinkan aku benar tahu, bahwa pengharum ruanganmu telah diatur untuk menyemburkan aroma dalam jarak waktu yang tak terlalu dekat atau terlalu jauh. Biarkan aku memastikan pengatur suhu pada ruanganmu tak terlampau sejuk atau terlampau panas, agar kamu bisa terlelap senyaman mungkin. Ijinkan aku menutup jendela kamarmu, melepas pengikat tiraimu, dan memastikan bahwa takkan ada gangguan dari luar yang merayap masuk lalu mengganggumu. Ijinkan aku mengecupmu satu detik setelah kamu memejamkan mata, dan biarkan aku melihat senyum penutup harimu, agar aku tahu, kamu siap beralih ke alam mimpi dengan bahagia. Lalu, biarkan aku menyalakan lampu tidurmu. Dan terakhir, ijinkan aku yang menutup pintu. Memastikan kamu baik-baik saja, sekali lagi.

Sekalipun paragraf di atas hanya analogi, aku percaya rengkuhanku akan sampai kepadamu, entah dengan cara apa. Aku pun percaya, kecupanku akan sampai pula kepadamu, sekalipun aku tak tahu bagaimana. Aku tetap percaya. Seperti kamu yang tetap percaya bahwa mimpi akan berubah menjadi kenyataan dalam proses Sang Waktu. Seperti kamu yang percaya dan sabar, bahwa penantianmu selama ini takkan sia-sia, begitu juga aku. Terimakasih sudah mengajariku banyak hal.

Selamat ulang tahun.


Pada suatu malam.
Dalam waktu yang tidak berkesudahan
Antara aku, kamu, dan mungkin kita.

Satu hari nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar