Hai, selamat malam, Tuan baik
hati.
Aku sedang menebak-nebak sedang
apa kamu ketika jemariku asyik menari diatas keyboard, berusaha menyelesaikan tulisan, demi kamu. Kamu, yang
entah dengan bahasa seperti apa aku harus menyebut. Ingin kubilang sebuah
keberuntungan dan skenario paling indah bila kuingat masalalu, saat kamu masih
bertahan untuk tetap berdiri diam disana, memandangku dari kejauhan, tak tahu kalimat
apa yang kamu simpan dalam hati sebagai tanggapan atas kelakuanku. Haha.
Mengingatnya, aku bingung benar bagaimana cara untuk bisa berhenti tertawa.
Lalu, wajahku akan merah seperti tomat. Kamu jelas sudah tahu seperti apa aku.
Sikap dan kelakuan yang cukup untuk bisa menyabet gelar preman alim di kelas,
setidaknya. Tapi kamu memandang sisi yang kebanyakan orang menolak untuk
menatap, apalagi memikirkan. Ah, Tuan. Aku terpesona lagi.
Suhu badanku benar-benar tinggi,
sekelilingku terasa berputar dan aku tidak bisa melepas maskerku kecuali saat
minum atau makan. Virus influenza adalah yang pertama menyambutku hari ini.
Tapi aku sudah berjanji untuk menyelesaikan tulisan ini setelah aku ujian.
Maka, aku berusaha keras membawanya pada kalimat terakhir, tak peduli seperti
apa rasanya badanku saat ini. Ini sungguh demi kamu, Tuan. Aku hanya ingin
menepati janjiku.
Baiklah, aku paham benar kata
‘first’ yang kamu ketik untuk membalas pesan singkatku adalah kode keras. Aku
paham, Tuan. Tapi sungguh aku sengaja untuk tidak mengambil nomor urut satu
dalam mengucapkan kalimat istimewa untukmu. Tolong, jangan marah dulu. Jangan
memberiku tatapan sinis untuk keputusanku ini. Aku punya dasar yang kuharap,
bisa membuatmu mengerti.
Bukannya aku tak peduli akan hari
istimewamu. Tapi aku berusaha sadar diri. Aku bukan siapamu. Maka aku
mempersilakan orang lain, mereka yang lebih pantas jadi First Expresser. Mereka yang menyandang status keluarga, sahabat,
mungkin juga teman dekat. Oh, iya, satu lagi, masalalumu. Ah aku nyaris
melupakan dia. Maaf, aku menyelipkannya disini. Bukan apa-apa, aku hanya merasa
ada sesuatu yang menohokku kala mata bertemu ceritanya. Ah, Tuan. Bila kembali
ingat tentang wanita satu itu, aku justru merasa teriris. Tapi, sudahlah. Lebih
baik aku menulis tentangmu lagi.
Tadinya aku juga ingin menjadi
pengucap pertama buatmu. Lalu sebuah ingatan muncul dan mengubah rencanaku.
Atas dasar aku bukan siapamu dan kamu terkenal—berarti akan ada banyak
manusia yang bisa menjadi pengucap pertamamu, aku memilih menunggu malam
selanjutnya tiba, dan kalimat itu akan sampai kepadamu. Sungguh, maaf telah
membuatmu kembali menunggu.
Kulakukan ini demi sebuah harapan
tentang kamu. Aku sadar sudah tidak mungkin menjadi yang pertama buatmu, karena
tentu itu butuh mesin pemutar waktu. Lagipula, aku takut bila menjadi yang
pertama, aku justru tidak bisa mempertanggungjawabkannya sampai selesai.
Lihatlah pintu hari itu, Tuan.
Kupastikan ada banyak orang yang mau membukanya untukmu. Tapi seringkali mereka
tak peduli keadaanmu kala itu. Mungkin kamu masih ingin terlelap dalam tidurmu.
Masih ingin menikmati terpejamnya mata bersama barang-barang kesayanganmu,
bersama mimpimu, bersama bahagia yang hanya bisa dinikmati kala terlelap.
Mungkin kamu masih enggan bersua dengan sinar Sang Surya. Tapi mereka keburu membuka
pintumu, menyibakkan tiraimu sampai seberkas cahaya itu nampak, dan kamu
terpaksa membuka mata. Ah, sayang.. oh, maksudku, Tuan, aku hanya tidak ingin menjadi
perusak bahagiamu.
Maka, ijinkan aku yang
mengucapkan kalimat istimewa itu terakhir kali. Biarkan aku memastikan bahwa kamu
baik-baik saja. Biarkan aku memastikan bahwa tempat tidurmu sudah tertata rapi
sebelum badanmu merebah di atasnya. Ijinkan aku benar tahu, bahwa pengharum
ruanganmu telah diatur untuk menyemburkan aroma dalam jarak waktu yang tak
terlalu dekat atau terlalu jauh. Biarkan aku memastikan pengatur suhu pada
ruanganmu tak terlampau sejuk atau terlampau panas, agar kamu bisa terlelap
senyaman mungkin. Ijinkan aku menutup jendela kamarmu, melepas pengikat
tiraimu, dan memastikan bahwa takkan ada gangguan dari luar yang merayap masuk
lalu mengganggumu. Ijinkan aku mengecupmu satu detik setelah kamu memejamkan
mata, dan biarkan aku melihat senyum penutup harimu, agar aku tahu, kamu siap
beralih ke alam mimpi dengan bahagia. Lalu, biarkan aku menyalakan lampu
tidurmu. Dan terakhir, ijinkan aku yang menutup pintu. Memastikan kamu
baik-baik saja, sekali lagi.
Sekalipun paragraf di atas hanya
analogi, aku percaya rengkuhanku akan sampai kepadamu, entah dengan cara apa.
Aku pun percaya, kecupanku akan sampai pula kepadamu, sekalipun aku tak tahu
bagaimana. Aku tetap percaya. Seperti kamu yang tetap percaya bahwa mimpi akan
berubah menjadi kenyataan dalam proses Sang Waktu. Seperti kamu yang percaya
dan sabar, bahwa penantianmu selama ini takkan sia-sia, begitu juga aku.
Terimakasih sudah mengajariku banyak hal.
Selamat ulang tahun.
Pada suatu malam.
Dalam waktu yang tidak
berkesudahan
Antara aku, kamu, dan mungkin
kita.
Satu hari nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar