Kamis, 23 Januari 2014

Dia tidak seburuk itu, Pa

Pa.
Sebenarnya aku tidak suka menuliskan semua ini. Merupakan hal yang terlalu privasi untuk dibaca ratusan pasang mata, diingat belasan otak, dan dipahami beberapa hati. Tapi, Pa, semakin lama aku semakin tidak tahan dengan semua ini. Aku bukan anak kecil lagi, Pa. Aku juga belum dewasa. Meski demikian, bagaimanapun keadaannya, aku masih jadi gadismu yang tetap bisa kau atur dengan penuh kebijaksanaan. Telingaku masih bisa kau jejali dengan deretan nasehat. Hatiku masih bisa kau perintah juga kau larang. Aku masih putrimu, Pa. Sampai kapanpun itu.
Pa.
Segalanya tak lagi sama ketika aku menginjakkan kaki pada angka belasan dalam satuan tahun. Segalanya tak lagi sama ketika aku mulai tertarik dengan lawan jenisku. Dan segalanya tak lagi sama, Pa, ketika aku benar-benar jatuh cinta. Ada banyak pria disana, Pa. Tak terhitung jumlahnya. Beberapa dari mereka memang menarik. Dan itu cukup mengusik ketenanganku, membuatku penasaran, membuatku tak bisa mengabaikan.
Aku tahu aku tak perlu menyebutkan kapan aku mulai bisa menyimpulkan kala aku sedang jatuh cinta. Aku juga tahu aku tak perlu memberi daftar nama para adam yang membuat rasa dalam hati berbeda. Rasa yang disebut cinta itu pada awalnya tak terlalu penting. Aku bisa dekat dengan teman lelaki di sekolahku tanpa perlu memberitahumu. Aku bisa mengalami ‘cinta monyet’ tanpa bercerita padamu. Aku masih terlalu labil dalam menyikapi semua hubungan yang sebenarnya hanya formalitas bila aku memandangnya dari sudut pandangku saat ini. Dan itu tak pernah kuakui dihadapanmu, karena saat itu masih sadar diri usiaku masih terlalu dini untuk berbicara soal cinta. Lagipula, aku masih satu sekolah dengan mereka. Masih bertemu setiap hari. Jadi kurasa belum perlu aku hangout dengan mereka, yang tentunya, wajib seijinmu.
Pa.
Kurasa sudah saatnya aku menceritakan satu hal penting yang selama ini kujaga, kusimpan rapat-rapat dalam hati. Jangan murka, Pa. Karena aku sendiri tak tahu mengapa bisa begini. Aku tidak minta perasaan yang tak biasa ini datang dan pergi. Aku tidak pernah mengundangnya, juga tak pernah mengusirnya. Ia selalu bisa datang dan pergi semaunya, sesukanya, sesenangnya. Terserah dia. Dan kali ini, rasa yang tak tahu diri itu kembali mengusik, Pa. Bahkan lebih hebat dari yang sebelum-sebelumnya.
Pa.
Lelaki itu mulai kukenal ketika aku kelas delapan. Aku mengenalnya lewat jejaring sosial, lalu pada sepotong sore, aku bertemu dia untuk pertama kali. Sungguh aku tak pernah berpikir perkenalan sederhana itu akan berlanjut hingga detik ini. Aku membiarkan semua itu mengalir layaknya air tanpa pernah berpikir bahwa segelintir rasa itu akan melebur, melebar, dan akhirnya meluber. Ini diluar dugaan, Pa. Sungguh.
Pa.
Lagi-lagi segalanya tak lagi sama ketika lelaki itu mulai jadi manusia penting yang membuat hitam dan putihku menjadi lebih berwarna. Segalanya tak lagi sama ketika aku merasa ada sesuatu yang kurang saat aku tidak menghubungi dia. Segalanya mulai berbeda ketika dia naik pangkat jadi mood booster yang wajib ada untuk menyemangatiku, untuk menguatkanku melewati hal-hal tak tertebak lainnya setiap hari. Dia mulai berarti, Pa. Dia mulai kutitipi hati. Jangan cemburu, Pa. Bukankah cepat atau lambat aku akan menemukan pria yang kusebut belahan jiwa, dan meninggalkanmu untuk hidup bersamanya, menyusun mimpi, serta mewujudkannya? Entah kapan masa itu tiba, aku akan melangkahkan kaki, keluar dari istanamu yang berdinding keamanan, berlantai kenyamanan, beratap kasih sayang lalu membuka pintu kehidupan baru dan memulai petualanganku dengan status baru pula.
Pa.
Aku tidak bisa begini terus. Aku tahu, laranganmu itu kau ucapkan atas nama kasih. Aku tahu kau tidak ingin sesuatu tak terduga akan terjadi pada anak semata wayangmu ini. Tapi, tolong, Pa. Harus berapa lama lagi aku menunggu untuk bisa mendapatkan ijinmu mengenai status yang lebih serius dengannya? Apakah cinta harus dibatasi umur dan perbedaan latar belakang? Apakah cinta harus disertai definisi yang begitu kaku?
Dia tidak seburuk itu, Pa. Aku sudah mengenalnya cukup lama. Aku tahu caranya menghargai wanita tidak terdapat pada kebanyakan pria. Kuakui dia tidak alim, tapi dia tahu sampai mana dia boleh bersikap seperti remaja laki-laki. Dia bisa mengendalikan diri, Pa. Aku bisa mengatakannya karena dari dia aku belajar banyak hal tentang hal-hal di dekatku yang selama ini tidak kuketahui dengan baik. Dia membuatku merasa aman, Pa. Dia seorang penjaga yang baik. Seorang penyemangat yang setia. Seorang pengendali mood yang (kadang) baik. Jadi, bila aku hanya ingin bisa menikmati suasana luar rumah dengannya, tidak salah kan, Pa? Mengapa Papa tidak mengijinkan?
Dia tidak seburuk itu, Pa. Dia tidak senakal kelihatannya. Tolong, Pa. Beri aku kesempatan satu kali saja untuk aku bisa menghabiskan malam minggu bersamanya seperti yang orang-orang lakukan. Aku hanya ingin berbincang-bincang mengenai banyak hal, seperti yang selama ini kulakukan saat dia berkunjung ke rumah. Mencoba tidak ada salahnya kan? Siapa tahu suatu saat nanti Papa juga bisa cocok dengannya. Aku percaya, laranganmu ada karena Papa belum kenal siapa dia. Papa belum terlibat pembicaraan panjang dengannya. Aku hanya ingin menikmati suasana luar bersamanya. Permintaan itu tidak muluk-muluk kan, Pa?
Coba ingatlah kembali, Pa. Siapa pria yang mau datang jauh-jauh ke rumah selain dia? Siapa pria yang rela memboroskan bensin hanya untuk menjemputku dari sekolah selain Papa dan dia? Padahal Papa tahu sendiri jarak sekolah ke rumah dengan jarak rumahnya ke sekolahku terpaut jauh. Tapi dia rela melakukannya, Pa. Coba ingatlah lagi. Bahkan kakak sepupuku yang secara DNA masih ada kesamaan denganku belum tentu mau melakukannya. Hanya dia satu-satunya pria yang berani terus terang pamit dan minta ijin padamu. Hanya dia, Pa. Hanya dia selama ini. Apa itu kurang?
Pa.
Sekali lagi kukatakan, dia tidak seburuk kelihatannya. Dia tidak senakal penampilannya. Dia tidak seliar dan seganas tatapan matanya. Aku juga mencintainya. Gadismu bukan anak kecil lagi, meski dia juga belum dewasa.
Pa.
Harus dengan apa aku meyakinkanmu? 

Rabu, 22 Januari 2014

Terimakasih untuk hari ini

Hai. Selamat pagi.
Terimakasih sudah menyapa saya pagi ini dengan kabar yang menyakitkan.
Sesuatu yang... entah. Aku masih bingung harus bersyukur atas petir pagi hari ini atau malah memaki-maki. Tidak berlebihan bila aku menyebut pesanmu sebagai bencana yang memporak-porandakan semangat yang susah payah kususun sejak semalam. Aku masih normal. Masih bisa merasa ada sesuatu yang tidak beres denganmu. Balasan-balasanmu yang sedemikian singkat. Nada-nada datarmu yang tersirat. Merupakan petunjuk atas perasaanmu yang bayang-bayang negatifnya melekat kuat. Mestinya aku mempertanyakan semua itu. Harusnya, aku segera mencari tahu alasan yang mendasari perubahan bahasa tulismu.
Aku masih belum bisa memahami. Rasanya kemarin kita baik-baik saja. Tapi pagi ini segalanya berubah total. Hembusan angin pagi yang biasanya menyegarkan, mendadak bermutasi jadi jarum-jarum kecil sebelum menyapa kulit dan menyentak saraf. Senyum lebarku semalam ternyata juga tidak bertahan sampai hari ini menemui akhirnya. Haruskah bahagia berbalik jadi duka dalam tempo sesingkat itu?
Airmata sudah jelas jadi akibat pesanmu. Lagi, harus ada deraian dan senggukan yang mendampingi hari ini. Entah sudah yang keberapa kali. Sepertinya, rasa sakit, peluh, dan airmata perlu kumasukkan dalam daftar sehari-hari. Tak jemukah kamu, sayang? Kapan kamu berhenti memaksaku melewati hari-hari bersamamu dengan iringan pedih dan perih? Agaknya merupakan suatu kebanggaan tak terkira bagimu melihat wanita yang (katamu) berarti dalam hidup merasa bak tertusuk belati karena ia memperjuangkanmu sepenuh hati.
Kukira kamu sudah berubah. Kukira kamu sudah tak ingin menyandang gelar Tuan Egois. Satu-satunya pria yang kalemnya hanya bisa dinikmati ketika sedang menggores tawa. Kukira kamu dapat mengartikan kesempatan yang kuberikan dengan baik. Kukira, nasehat ayahku bisa kamu cerna dan laksanakan dengan rapi. Haruskah aku kecewa (lagi) karena pendapatku salah (lagi)?
Inikah balasanmu? Inikah cara kamu mengimbangi perjuangan seorang wanita yang rela segala sesuatunya dikorbankan demi sesosok lelaki, yang ternyata, pedulinya hanya berlaku saat ia bahagia? Mungkin perlu kuberikan tepuk tangan dan teriakan histeris paling keras dariku untuk kesaktianmu. Mungkin perlu kuberi penghargaan tertinggi untukmu, atas kelihaianmu mengendalikan hati manusia lain.
Kamu tahu? Napasku seakan tercekat dan aku harus merasakan ngilu luar biasa bahkan sebelum mataku selesai membaca pesanmu. Masih terlalu pagi buatku untuk siap menghadapi pedang itu.
Aku mempercayakan rasa ini untuk kamu. Aku percaya kamu bisa berubah. Aku percaya kamu sudah cukup dewasa untuk bertanggungjawab atas dirimu sendiri. Tapi, kepercayaan itu luruh dalam satu menit. Dan kamu yang menciptakan lelehan itu. Kamu yang membuat aku harus menatanya kembali. Meski tidak dari awal, tetap saja tak cukup satu hari untuk membereskan kepingan-kepingan hati. Kamu melecetinya lagi, sayang. Padahal luka lama itu belum benar-benar sembuh. Kini, kamu tusuk lagi pada tempat yang sama, kamu perdalam lagi goresannya.
Aku tahu, sayang. Aku tidak sempurna. Aku tidak  bisa menemanimu menghabiskan malam minggu bersama. Aku tidak bisa selalu hadir utuh bersama fisikku. Aku tak mampu membuat sosokku selalu nampak nyata di hadapanmu. Aku tidak mampu. Tapi mestinya balasanmu bukan begini, sayang. Ini terlalu menyakitkan. Hatiku tidak tercipta dari besi atau baja yang kebal terhadap tusukan. Hatiku tidak tercipta dari bongkahan es yang tahan disabet pedang.
Coba pikir, sayang. Wanita mana yang rela menunggu sekian lama demi kamu? Wanita mana yang rela jadi tempat sampah untuk semua amarahmu? Wanita mana yang mau mengubur emosimu satu persatu dalam hati dan menjaganya siang malam? Coba ingat-ingat lagi, sayang.
Aku tidak menuntut kamu untuk menjadi manusia dalam kriteriaku secara utuh dan penuh. Aku paham itu mustahil. Dan jujur, sesungguhnya aku benci ketika cemburu itu mulai menguasai hati. Aku hanya terlalu takut kamu akan meninggalkan segalaku ketika aku sedang terlalu cinta, dan di saat yang sama, aku jatuh.