Hai. Selamat pagi.
Terimakasih sudah menyapa saya pagi ini dengan kabar yang menyakitkan.
Sesuatu yang... entah. Aku masih bingung harus bersyukur atas petir pagi
hari ini atau malah memaki-maki. Tidak berlebihan bila aku menyebut pesanmu
sebagai bencana yang memporak-porandakan semangat yang susah payah kususun
sejak semalam. Aku masih normal. Masih bisa merasa ada sesuatu yang tidak beres
denganmu. Balasan-balasanmu yang sedemikian singkat. Nada-nada datarmu yang
tersirat. Merupakan petunjuk atas perasaanmu yang bayang-bayang negatifnya
melekat kuat. Mestinya aku mempertanyakan semua itu. Harusnya, aku segera
mencari tahu alasan yang mendasari perubahan bahasa tulismu.
Aku masih belum bisa memahami. Rasanya kemarin kita baik-baik saja. Tapi
pagi ini segalanya berubah total. Hembusan angin pagi yang biasanya
menyegarkan, mendadak bermutasi jadi jarum-jarum kecil sebelum menyapa kulit
dan menyentak saraf. Senyum lebarku semalam ternyata juga tidak bertahan sampai
hari ini menemui akhirnya. Haruskah bahagia berbalik jadi duka dalam tempo
sesingkat itu?
Airmata sudah jelas jadi akibat pesanmu. Lagi, harus ada deraian dan
senggukan yang mendampingi hari ini. Entah sudah yang keberapa kali.
Sepertinya, rasa sakit, peluh, dan airmata perlu kumasukkan dalam daftar
sehari-hari. Tak jemukah kamu, sayang? Kapan kamu berhenti memaksaku melewati
hari-hari bersamamu dengan iringan pedih dan perih? Agaknya merupakan suatu
kebanggaan tak terkira bagimu melihat wanita yang (katamu) berarti dalam hidup merasa
bak tertusuk belati karena ia memperjuangkanmu sepenuh hati.
Kukira kamu sudah berubah. Kukira kamu sudah tak ingin menyandang gelar
Tuan Egois. Satu-satunya pria yang kalemnya hanya bisa dinikmati ketika sedang
menggores tawa. Kukira kamu dapat mengartikan kesempatan yang kuberikan dengan
baik. Kukira, nasehat ayahku bisa kamu cerna dan laksanakan dengan rapi.
Haruskah aku kecewa (lagi) karena pendapatku salah (lagi)?
Inikah balasanmu? Inikah cara kamu mengimbangi perjuangan seorang wanita
yang rela segala sesuatunya dikorbankan demi sesosok lelaki, yang ternyata,
pedulinya hanya berlaku saat ia bahagia? Mungkin perlu kuberikan tepuk tangan
dan teriakan histeris paling keras dariku untuk kesaktianmu. Mungkin perlu
kuberi penghargaan tertinggi untukmu, atas kelihaianmu mengendalikan hati
manusia lain.
Kamu tahu? Napasku seakan tercekat dan aku harus merasakan ngilu luar
biasa bahkan sebelum mataku selesai membaca pesanmu. Masih terlalu pagi buatku
untuk siap menghadapi pedang itu.
Aku mempercayakan rasa ini untuk kamu. Aku percaya kamu bisa berubah. Aku
percaya kamu sudah cukup dewasa untuk bertanggungjawab atas dirimu sendiri.
Tapi, kepercayaan itu luruh dalam satu menit. Dan kamu yang menciptakan lelehan
itu. Kamu yang membuat aku harus menatanya kembali. Meski tidak dari awal,
tetap saja tak cukup satu hari untuk membereskan kepingan-kepingan hati. Kamu
melecetinya lagi, sayang. Padahal luka lama itu belum benar-benar sembuh. Kini,
kamu tusuk lagi pada tempat yang sama, kamu perdalam lagi goresannya.
Aku tahu, sayang. Aku tidak sempurna. Aku tidak bisa menemanimu menghabiskan malam minggu
bersama. Aku tidak bisa selalu hadir utuh bersama fisikku. Aku tak mampu
membuat sosokku selalu nampak nyata di hadapanmu. Aku tidak mampu. Tapi
mestinya balasanmu bukan begini, sayang. Ini terlalu menyakitkan. Hatiku tidak
tercipta dari besi atau baja yang kebal terhadap tusukan. Hatiku tidak tercipta
dari bongkahan es yang tahan disabet pedang.
Coba pikir, sayang. Wanita mana yang rela menunggu sekian lama demi kamu?
Wanita mana yang rela jadi tempat sampah untuk semua amarahmu? Wanita mana yang
mau mengubur emosimu satu persatu dalam hati dan menjaganya siang malam? Coba
ingat-ingat lagi, sayang.
Aku tidak menuntut kamu untuk menjadi manusia dalam kriteriaku secara
utuh dan penuh. Aku paham itu mustahil. Dan jujur, sesungguhnya aku benci
ketika cemburu itu mulai menguasai hati. Aku hanya terlalu takut kamu akan
meninggalkan segalaku ketika aku sedang terlalu cinta, dan di saat yang sama,
aku jatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar