Rabu, 22 Januari 2014

Terimakasih untuk hari ini

Hai. Selamat pagi.
Terimakasih sudah menyapa saya pagi ini dengan kabar yang menyakitkan.
Sesuatu yang... entah. Aku masih bingung harus bersyukur atas petir pagi hari ini atau malah memaki-maki. Tidak berlebihan bila aku menyebut pesanmu sebagai bencana yang memporak-porandakan semangat yang susah payah kususun sejak semalam. Aku masih normal. Masih bisa merasa ada sesuatu yang tidak beres denganmu. Balasan-balasanmu yang sedemikian singkat. Nada-nada datarmu yang tersirat. Merupakan petunjuk atas perasaanmu yang bayang-bayang negatifnya melekat kuat. Mestinya aku mempertanyakan semua itu. Harusnya, aku segera mencari tahu alasan yang mendasari perubahan bahasa tulismu.
Aku masih belum bisa memahami. Rasanya kemarin kita baik-baik saja. Tapi pagi ini segalanya berubah total. Hembusan angin pagi yang biasanya menyegarkan, mendadak bermutasi jadi jarum-jarum kecil sebelum menyapa kulit dan menyentak saraf. Senyum lebarku semalam ternyata juga tidak bertahan sampai hari ini menemui akhirnya. Haruskah bahagia berbalik jadi duka dalam tempo sesingkat itu?
Airmata sudah jelas jadi akibat pesanmu. Lagi, harus ada deraian dan senggukan yang mendampingi hari ini. Entah sudah yang keberapa kali. Sepertinya, rasa sakit, peluh, dan airmata perlu kumasukkan dalam daftar sehari-hari. Tak jemukah kamu, sayang? Kapan kamu berhenti memaksaku melewati hari-hari bersamamu dengan iringan pedih dan perih? Agaknya merupakan suatu kebanggaan tak terkira bagimu melihat wanita yang (katamu) berarti dalam hidup merasa bak tertusuk belati karena ia memperjuangkanmu sepenuh hati.
Kukira kamu sudah berubah. Kukira kamu sudah tak ingin menyandang gelar Tuan Egois. Satu-satunya pria yang kalemnya hanya bisa dinikmati ketika sedang menggores tawa. Kukira kamu dapat mengartikan kesempatan yang kuberikan dengan baik. Kukira, nasehat ayahku bisa kamu cerna dan laksanakan dengan rapi. Haruskah aku kecewa (lagi) karena pendapatku salah (lagi)?
Inikah balasanmu? Inikah cara kamu mengimbangi perjuangan seorang wanita yang rela segala sesuatunya dikorbankan demi sesosok lelaki, yang ternyata, pedulinya hanya berlaku saat ia bahagia? Mungkin perlu kuberikan tepuk tangan dan teriakan histeris paling keras dariku untuk kesaktianmu. Mungkin perlu kuberi penghargaan tertinggi untukmu, atas kelihaianmu mengendalikan hati manusia lain.
Kamu tahu? Napasku seakan tercekat dan aku harus merasakan ngilu luar biasa bahkan sebelum mataku selesai membaca pesanmu. Masih terlalu pagi buatku untuk siap menghadapi pedang itu.
Aku mempercayakan rasa ini untuk kamu. Aku percaya kamu bisa berubah. Aku percaya kamu sudah cukup dewasa untuk bertanggungjawab atas dirimu sendiri. Tapi, kepercayaan itu luruh dalam satu menit. Dan kamu yang menciptakan lelehan itu. Kamu yang membuat aku harus menatanya kembali. Meski tidak dari awal, tetap saja tak cukup satu hari untuk membereskan kepingan-kepingan hati. Kamu melecetinya lagi, sayang. Padahal luka lama itu belum benar-benar sembuh. Kini, kamu tusuk lagi pada tempat yang sama, kamu perdalam lagi goresannya.
Aku tahu, sayang. Aku tidak sempurna. Aku tidak  bisa menemanimu menghabiskan malam minggu bersama. Aku tidak bisa selalu hadir utuh bersama fisikku. Aku tak mampu membuat sosokku selalu nampak nyata di hadapanmu. Aku tidak mampu. Tapi mestinya balasanmu bukan begini, sayang. Ini terlalu menyakitkan. Hatiku tidak tercipta dari besi atau baja yang kebal terhadap tusukan. Hatiku tidak tercipta dari bongkahan es yang tahan disabet pedang.
Coba pikir, sayang. Wanita mana yang rela menunggu sekian lama demi kamu? Wanita mana yang rela jadi tempat sampah untuk semua amarahmu? Wanita mana yang mau mengubur emosimu satu persatu dalam hati dan menjaganya siang malam? Coba ingat-ingat lagi, sayang.
Aku tidak menuntut kamu untuk menjadi manusia dalam kriteriaku secara utuh dan penuh. Aku paham itu mustahil. Dan jujur, sesungguhnya aku benci ketika cemburu itu mulai menguasai hati. Aku hanya terlalu takut kamu akan meninggalkan segalaku ketika aku sedang terlalu cinta, dan di saat yang sama, aku jatuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar