Kami, anak-anak kelas 9 SMP yang masih superlabil dan butuh
banyak pengajaran, diberi kesempatan oleh sekolah untuk mengikuti motivasi di
Gedung Erlangga. Dengan motivator Pak Zainal Fanani (lupa gelarnya siapa) kami menyemut
menaiki tangga menuju aula.
Banyak yang beliau sampaikan kepada kami. Banyak yang beliau
lontarkan untuk memupuk semangat juang kami. Banyak tokoh dunia yang beliau
ceritakan agar kami paham dan bisa sukses seperti mereka.
Ada satu hal yang masih membekas di hati saya, terkesan.
Waktu itu, Pak Zainal meminta Tamara yang duduk tepat di sebelah kiri saya
untuk berdiri dan maju menjajarinya. Saya memperhatikan dengan seksama, sembari
bertanya-tanya, apa yang akan Pak Zainal lakukan kepada teman saya ini.
Pak Zainal berbalik dan mengambil sebatang pensil. Saya
semakin bingung. Dihadapkannya pensil itu tepat di muka teman saya.
“Sekarang
saya minta kamu mematahkan pensil ini menjadi dua bagian.”
Spontan, teman saya melongo. Kami, yang duduk tenang di kursi
riuh rendah menyoraki. Senyum Pak Zainal mengembang.
“Dengan
satu jari.” lanjutnya.
Gantian saya yang melongo. Mematahkan pensil? Satu jari? Gila! Sementara saya terlongo-longo,
sorakan terdengar semakin keras.
“Berani?”
tantang Pak Zainal.
Mata Tamara mengerling ke kanan, lalu ke kiri. Senyum tak
yakinnya tergores. Kakinya seperti tidak napak. Dia tampak ragu.
“Berani
nggak?”
Hening sejenak. “Berani.” Terbata-bata.
Lalu Pak Zainal melepas mic-nya,
mendekati Tamara, entah membisiki telinganya dengan mantra apa dan darimana. Saya
memperhatikan mereka sembari menebak-nebak dengan metode bagaimana pensil itu
harus dipatahkan.
“Baik.
Perhatikan!” teriaknya.
Seketika ruangan menjadi sunyi senyap. Beberapa dari kami
menahan napas dan memasang mata benar-benar. Pak Zainal memegang pensil itu
dihadapan Tamara dengan posisi horizontal. Telunjuk Tamara menyentuh bagian
tengah pensil itu. Dan dengan sekali pukul, slash!
Patah.
Kami semua terkesima, bak melihat sulap tingkat dewa.
Gemuruh tepuk tangan dan sorak-sorai memenuhi setiap sudut aula.
Tamara duduk kembali di sebelah saya. Dan rasa ingin tahu
membuat saya menyumpeli telinganya dengan banyak pertanyaan. Saya meraih pensil
yang sudah patah itu, saya amati lekat-lekat, dan muncullah filosofi ini.
Sebuah pensil. Utuh. Lurus. Kuat. Lalu, sebentuk
jari memukulnya dengan tenaga penuh. Maka pensil yang tadinya utuh dan lurus
itu, patah. Terbagi menjadi dua. Dapat dijamin tidak hanya kayunya yang terbagi,
isinya pasti juga iya. Dan pensil yang telah patah itu, mau bagaimanapun juga,
dengan cara apapun juga, dari yang paling konyol sampai yang paling genius,
tidak akan pernah bisa menyatukannya kembali sesempurna sebelumnya. Tidak ada
yang bisa menghapus patahannya. Tidak ada yang bisa menyambung urat-urat
kayunya. Selamanya, pensil yang malang itu akan tetap terbagi.
Begitu juga dengan hati. Semua orang diciptakan
dengan hati yang utuh dan tanpa cacat. Dipenuhi berbagai perasaan untuk membuat
hidup lebih berwarna. Lalu, hati yang manis itu, dihampiri sebuah belati mengkilap.
Tajam. Kejam. Dan pada satu waktu yang tragis, belati itu terangkat, lalu
memotong hati menjadi dua. Kemudian, sebuah bom waktu direkatkan pada sang
hati. Boom! Meledak. Hancur. Lebur. Berkeping-keping. Maka, hati yang malang
itu tak akan pernah menyatu kembali. Selamanya akan patah. Selamanya akan
hancur.
―Hati diciptakan untuk dicintai dan
dijaga. Bukan untuk dipatahkan. Apalagi dihancurleburkan.―
With love,
-Litha-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar