Jumat, 08 Februari 2013

Filosofi PENSIL

21 Januari 2013.

Kami, anak-anak kelas 9 SMP yang masih superlabil dan butuh banyak pengajaran, diberi kesempatan oleh sekolah untuk mengikuti motivasi di Gedung Erlangga. Dengan motivator Pak Zainal Fanani (lupa gelarnya siapa) kami menyemut menaiki tangga menuju aula.
Banyak yang beliau sampaikan kepada kami. Banyak yang beliau lontarkan untuk memupuk semangat juang kami. Banyak tokoh dunia yang beliau ceritakan agar kami paham dan bisa sukses seperti mereka.
Ada satu hal yang masih membekas di hati saya, terkesan. Waktu itu, Pak Zainal meminta Tamara yang duduk tepat di sebelah kiri saya untuk berdiri dan maju menjajarinya. Saya memperhatikan dengan seksama, sembari bertanya-tanya, apa yang akan Pak Zainal lakukan kepada teman saya ini.
Pak Zainal berbalik dan mengambil sebatang pensil. Saya semakin bingung. Dihadapkannya pensil itu tepat di muka teman saya.
                “Sekarang saya minta kamu mematahkan pensil ini menjadi dua bagian.”
Spontan, teman saya melongo. Kami, yang duduk tenang di kursi riuh rendah menyoraki. Senyum Pak Zainal mengembang.
                “Dengan satu jari.” lanjutnya.
Gantian saya yang melongo. Mematahkan pensil? Satu jari? Gila! Sementara saya terlongo-longo, sorakan terdengar semakin keras.
                “Berani?” tantang Pak Zainal.
Mata Tamara mengerling ke kanan, lalu ke kiri. Senyum tak yakinnya tergores. Kakinya seperti tidak napak. Dia tampak ragu.
                “Berani nggak?”
Hening sejenak. “Berani.” Terbata-bata.
Lalu Pak Zainal melepas mic-nya, mendekati Tamara, entah membisiki telinganya dengan mantra apa dan darimana. Saya memperhatikan mereka sembari menebak-nebak dengan metode bagaimana pensil itu harus dipatahkan.
                “Baik. Perhatikan!” teriaknya.
Seketika ruangan menjadi sunyi senyap. Beberapa dari kami menahan napas dan memasang mata benar-benar. Pak Zainal memegang pensil itu dihadapan Tamara dengan posisi horizontal. Telunjuk Tamara menyentuh bagian tengah pensil itu. Dan dengan sekali pukul, slash! Patah.
Kami semua terkesima, bak melihat sulap tingkat dewa. Gemuruh tepuk tangan dan sorak-sorai memenuhi setiap sudut aula.
Tamara duduk kembali di sebelah saya. Dan rasa ingin tahu membuat saya menyumpeli telinganya dengan banyak pertanyaan. Saya meraih pensil yang sudah patah itu, saya amati lekat-lekat, dan muncullah filosofi ini.

Sebuah pensil. Utuh. Lurus. Kuat. Lalu, sebentuk jari memukulnya dengan tenaga penuh. Maka pensil yang tadinya utuh dan lurus itu, patah. Terbagi menjadi dua. Dapat dijamin tidak hanya kayunya yang terbagi, isinya pasti juga iya. Dan pensil yang telah patah itu, mau bagaimanapun juga, dengan cara apapun juga, dari yang paling konyol sampai yang paling genius, tidak akan pernah bisa menyatukannya kembali sesempurna sebelumnya. Tidak ada yang bisa menghapus patahannya. Tidak ada yang bisa menyambung urat-urat kayunya. Selamanya, pensil yang malang itu akan tetap terbagi.
Begitu juga dengan hati. Semua orang diciptakan dengan hati yang utuh dan tanpa cacat. Dipenuhi berbagai perasaan untuk membuat hidup lebih berwarna. Lalu, hati yang manis itu, dihampiri sebuah belati mengkilap. Tajam. Kejam. Dan pada satu waktu yang tragis, belati itu terangkat, lalu memotong hati menjadi dua. Kemudian, sebuah bom waktu direkatkan pada sang hati. Boom! Meledak. Hancur. Lebur. Berkeping-keping. Maka, hati yang malang itu tak akan pernah menyatu kembali. Selamanya akan patah. Selamanya akan hancur.

Hati diciptakan untuk dicintai dan dijaga. Bukan untuk dipatahkan. Apalagi dihancurleburkan.


With love,
-Litha-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar