Kamis, 30 April 2015

Foto

Hari ini aku pusing. Aku bingung mau ngapain. Besok libur, dan belajar tidak perlu didasarkan pada “besok sekolah”, “ada tugas”, dan “ada ulangan”. Tapi sungguh aku beneran malas.

Aku lalu ingat, aku masih punya setumpuk rekaman momen yang belum kupindah dari memori kamera ke pc. Jadi kulakukan itu. Memindahkan foto-foto amatiran dan sok menyeleksi, siapa tahu aku ketemu yang lumayan bagus, lalu aku terinspirasi.

Aku nggak tahu mau ngapain lagi setelah itu, jadi aku iseng buka-buka folder, terus aku lihat foto-foto jaman dulu. Dulu, belum bahulak.

Aku ketemu banyak foto mama.

Aku lihat mama diabadikan dengan banyak pose dan ekspresi. Aku jadi mengingat-ingat. Kapan ya terakhir aku jalan sama mama?

Aku benci bilang, tapi hati kadang menunggu untuk diakui, dan rasa setia berharap agar diungkapkan. Aku sering iri kalau aku lihat teman-teman bisa jalan bareng keluarga mereka, kayak teman satu geng yang bisa fullteam. Kayaknya asyik. Kayaknya juga sudah bukan kayaknya. Ah aku jadi engga ngerti aku ngomong apa. Pokoknya aku iri. Aku tahu kok, iri itu dosa. Tuhan engga suka. Tapi aku cuma berusaha jujur. Kejujuran adalah segalanya, bukan? Aku harap persepsiku tidak salah sekalipun jaman sudah berubah.

Aku kangen bisa jalan sama mama. Kemana aja deh. Kangen bisa ke gereja sama mama. Aku harap bisikanku sampai ke Tuhan, karena aku engga cukup berani buat bilang keras-keras.

Mama cepat sembuh, ya?

Maaf tulisan ini memang agak beda. 
Aku nggak bermaksud puitis, cuman ngomongin fakta.
Aku juga engga tahu barusan sudah ngomong apa saja.
Kalo engga suka ya enggapapa. Hak semua manusia.


Hidup kan penuh pro dan kontra.

Jumat, 24 April 2015

(judul masih di tangan Tuhan)

Aku benci akan rasa ini, dan benci pula ketika aku tak sanggup memendamnya.

Jadi semenyenangkan ini buat kalian, bukan? Baiklah. Aku paham. Aku mencoba paham ketika diantara kita akulah yang paling ingin bisa ada bersama kalian dalam momen macam itu. Aku yang paling heboh cari banyak informasi untuk kita bisa setidaknya belajar membuat momen itu. Segalanya butuh proses tentu. Tak mungkin ada manusia lahir dan langsung jadi yang paling ahli dan professional. Setiap manusia harus mengalami suatu kondisi amatir, dan perlahan belajar dari semua kesalahan dan kesempatan, hingga ia berada dalam posisi lebih tahu dari yang lain. Setujui saja kalau ada pernyataan bahwa tak ada orang yang lebih pintar. Yang ada hanya orang yang lebih tahu. Karena untuk itulah hidup hanya diisi oleh pembelajaran. Kita akan mengalami roda yang tiap sisinya memiliki bahagia dan kesedihan masing-masing. Tentu mau tak mau, setiap hari kita belajar dari apa yang kita ketahui. Tentang rasa sakit karena dimanfaatkan, diabaikan, kemudian dikhianati. Bicara adalah sesederhana itu bukan? Membuat kalimat adalah semudah itu. Tapi hidup adalah realita, dan hari-hari adalah nyata. Terasa. Dan bukan bualan semata.

Aku berusaha mengakui hari ini otakku kacau dan aku merasa telah banyak meracau. Lalu mataku jadi serapuh lilin yang mudah patah dan meleleh. Aku tahu benar siapa penyebab airmata ini. Kalian yang tiap harinya pernah membuatku merasa aku adalah manusia paling bahagia di dunia. Kalian yang tiap waktu mencuri banyak rasa dalam hati. Kalian yang….. ah, jadi sesulit ini membicarakannya. Tapi, entah mengapa aku merasa tak perlu menyalahkan siapa-siapa. Adakah yang perlu dipermasalahkan lagi? Sang Waktu telah memberi kode untuk kita agar siap, hanya saja mungkin tak satupun dari kita mengubrisnya. Dan kesadaran datang ketika hati pilih menjauh. Lantas, adakah yang perlu disesali? Mestinya tidak. Tapi, lagi. Airmata adalah satu-satunya teriakan paling jelas tanpa perlu membuat polusi bagi telinga. Dan diam adalah satu-satunya ratapan paling tepat. Tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Tak ada yang perlu dipertanyakan. Kita semua sama-sama tahu bahwa menunggu adalah satu-satunya jalan paling baik untuk mencari kesembuhan.

Hidup adalah roda.

Kalimat itu lagi.

Dan orang yang pandai bersyukur adalah yang paling bahagia.

Lagi.

Senyum yang didominasi kepalsuan ini telah menguak. Tapi aku tahu, kalian mencoba tak peduli. Hahaha. Seindah ini rasa sakit hati karena manusia-manusia macam kalian pilih pergi—semoga sejenak. Pilih menjauh—semoga cepat pulang.

Maaf, semua huruf yang tersusun jadi kata, dan kata yang mau ambil bagian dalam kalimat ini mengalir begitu deras. Terlampau deras hingga jemari mulai kaku untuk mewujudkannya. Ah sudahlah, aku tak peduli. Aku hanya merasa perlu menghadap monitor dan membiarkan semua ini tercipta. Sungguh aku minta maaf karena aku sedang tak mampu menulis dengan baik. Aku benar-benar lelah.

Tapi,

Aku masih disini ketika kalian,

Butuh.

Jalan.

Kembali.

Pulang.



Semoga. Benar. Benar. Pulang.

Minggu, 19 April 2015

Waktu, mimpi, rasi

—Have you ever feel this before? Karena aku tahu, hatiku tak lagi sama.

Seingatku, bulan Februari itu kita masih biasa-biasa saja. Kamu mengirim pesan singkat, dan kita membahas banyak topik, layaknya teman lama yang akhirnya punya jembatan masing-masing untuk saling menghubungi. Sesederhana dan sebiasa itu. Aku berani saja jamin, tak satupun dari kita punya pikiran untuk bawa perasaan. Tapi, waktu selalu punya kejutan.

Seingatku, bulan Maret itu kita masih saling berbagi cerita soal calon pacar masing-masing. Kamu yang mulai tak nyaman dengan “wanita lima puluh ribu” itu, dan aku yang mulai tertekan karena masih saja ingin memiliki semua lelaki tampan dan borjuis. Sungguh, aku yang sebusuk itu, dan masalalumu yang sekelam itu. Siapa sangka hati justru saling mengikat kala misi utama jauh dari kata memikat?

Seingatku, awal April ini kita cuma saling ungkap rasa rindu. Wajar tentu, siapa tak rindu dengan manusia macam kamu setelah tiga puluh hari tak bertemu? Tapi aku merasa segalanya beranjak jadi aneh, bergeser perlahan seperti langit siang menjelang malam. Sadarkah kamu, sayang? Hati kita tak mau berhenti sampai sebatas nyaman sebagai teman, atau dalam kasus ini kakak-adik.

Kejanggalan ini tentu membuat bertanya-tanya. Aku nyaris saja berucap “Mengapa?” pada Sang Waktu kala kulihat ia mulai tak mampu menyembunyikan senyum jahilnya. Tapi, lidahku kelu, gigi menggertak dan rahang mengatup kuat. Tak lama, kudengar Sang Waktu berbisik, “Belum saatnya.”
Terpaksa, aku diam.

Seingatku, kita cuma berencana ibadah bersama, lalu menyempatkan diri untuk mampir, sebentar saja. Dan rasa-rasanya kita lupa, ‘sebentar’ adalah jalan utama menuju keberadaan yang ditolak dalam kategori masuk akal. Bahagia, singkatnya, dalam kasus ini. Semoga, dalam waktu yang lama.

Malam itu, asap rokokmu mengepul dan aroma kesayanganku bersatu dengan dinginnya udara. Aku benci mengakui ini, karena aku terlalu takut untuk kehilanganmu. Tapi aku tahu benar, hatiku mulai menemukan tempat tinggalnya. Adalah tak mungkin bukan kutarik ia untuk menjauh pergi?

Seingatku, semalam kita cuma cari waktu di hari ini untuk bisa bertemu. Seingatku, aku cuma sekadar menebak-nebak, apa jadinya ketika saling tatap muka kita terjadi saat rasa tak lagi sama? Seingatku, aku dan kamu cuma saling goda, tapi ternyata, rasa ikut terbawa.

Kini impian, harapan, angan yang simpang siur bak bintang-bintang langit malam itu mulai membentuk rasi. Siapa sangka, sayang? Setiap partikel yang keberadaannya dalam kesendirian tak berarti apa-apa, menjelma membuat nyata mimpi-mimpi. Aku, kamu, dan semoga, kita.

Bersamamu aku belajar begitu banyak hal, sayang. Ini membuatku mulai pakai hati. Dan aku tak sanggup menyimpan semua lebih lama lagi.

Jujur saja, sayang.

Kamu minta status apa?