Minggu, 19 April 2015

Waktu, mimpi, rasi

—Have you ever feel this before? Karena aku tahu, hatiku tak lagi sama.

Seingatku, bulan Februari itu kita masih biasa-biasa saja. Kamu mengirim pesan singkat, dan kita membahas banyak topik, layaknya teman lama yang akhirnya punya jembatan masing-masing untuk saling menghubungi. Sesederhana dan sebiasa itu. Aku berani saja jamin, tak satupun dari kita punya pikiran untuk bawa perasaan. Tapi, waktu selalu punya kejutan.

Seingatku, bulan Maret itu kita masih saling berbagi cerita soal calon pacar masing-masing. Kamu yang mulai tak nyaman dengan “wanita lima puluh ribu” itu, dan aku yang mulai tertekan karena masih saja ingin memiliki semua lelaki tampan dan borjuis. Sungguh, aku yang sebusuk itu, dan masalalumu yang sekelam itu. Siapa sangka hati justru saling mengikat kala misi utama jauh dari kata memikat?

Seingatku, awal April ini kita cuma saling ungkap rasa rindu. Wajar tentu, siapa tak rindu dengan manusia macam kamu setelah tiga puluh hari tak bertemu? Tapi aku merasa segalanya beranjak jadi aneh, bergeser perlahan seperti langit siang menjelang malam. Sadarkah kamu, sayang? Hati kita tak mau berhenti sampai sebatas nyaman sebagai teman, atau dalam kasus ini kakak-adik.

Kejanggalan ini tentu membuat bertanya-tanya. Aku nyaris saja berucap “Mengapa?” pada Sang Waktu kala kulihat ia mulai tak mampu menyembunyikan senyum jahilnya. Tapi, lidahku kelu, gigi menggertak dan rahang mengatup kuat. Tak lama, kudengar Sang Waktu berbisik, “Belum saatnya.”
Terpaksa, aku diam.

Seingatku, kita cuma berencana ibadah bersama, lalu menyempatkan diri untuk mampir, sebentar saja. Dan rasa-rasanya kita lupa, ‘sebentar’ adalah jalan utama menuju keberadaan yang ditolak dalam kategori masuk akal. Bahagia, singkatnya, dalam kasus ini. Semoga, dalam waktu yang lama.

Malam itu, asap rokokmu mengepul dan aroma kesayanganku bersatu dengan dinginnya udara. Aku benci mengakui ini, karena aku terlalu takut untuk kehilanganmu. Tapi aku tahu benar, hatiku mulai menemukan tempat tinggalnya. Adalah tak mungkin bukan kutarik ia untuk menjauh pergi?

Seingatku, semalam kita cuma cari waktu di hari ini untuk bisa bertemu. Seingatku, aku cuma sekadar menebak-nebak, apa jadinya ketika saling tatap muka kita terjadi saat rasa tak lagi sama? Seingatku, aku dan kamu cuma saling goda, tapi ternyata, rasa ikut terbawa.

Kini impian, harapan, angan yang simpang siur bak bintang-bintang langit malam itu mulai membentuk rasi. Siapa sangka, sayang? Setiap partikel yang keberadaannya dalam kesendirian tak berarti apa-apa, menjelma membuat nyata mimpi-mimpi. Aku, kamu, dan semoga, kita.

Bersamamu aku belajar begitu banyak hal, sayang. Ini membuatku mulai pakai hati. Dan aku tak sanggup menyimpan semua lebih lama lagi.

Jujur saja, sayang.

Kamu minta status apa?

1 komentar: