Sabtu, 30 April 2016

Pada Akhirnya

Aku telah lama menghilang dari hari-hari satra yang sempat kunikmati sedemikian serius. Tiba-tiba saja semua perasaanku pergi, hingga kemampuan menulisku lenyap. Aku yang biasanya betah membuat manusia lain yang membaca tulisanku menangis, atau ikut pedih, kini tak punya nafsu bahkan cuma untuk menyalakan pc dan membuka MS Word. Lalu, aku berusaha hidup wajar setelah kejadian patahku itu. Satu hari yang cukup membuat airmataku berderai parah, sedihku tumpah, dan rasaku―seperti biasa―hilang arah. Tak banyak yang kuingat. Yang jelas aku merasa segores luka itu ada akibat cinta paling bodoh yang membuatku buta. Aku jatuh cinta dan bahagia, lantas berduka. Manusia yang kupilih itu entah bodoh, entah payah, entah gila, entah saking biasa saja bisa demikian tak paham, padahal aku telah menuliskannya dengan huruf yang besar, berteriak dengan kencang, supaya dia menyadari: aku ada.

Tapi toh, rasa tinggal rasa. Usaha, dalam kasus ini, sia-sia.

Maka kuputuskan berhenti dari segala perjuangan paling bodoh yang pernah kulakukan. Yang tak berhasil sedikitpun. Dia pergi, jauh. Ke dunia yang tak mungkin kutempuh. Aku takut saja, kalau kupaksa, nanti hatiku melepuh, lalu aku tersungkur jatuh. Ditertawai semut, cicak, tikus, kecoa, dan bakteri. Oh, bodoh benar.

Baiklah. Sebenarnya aku masih bingung darimana aku harus memulai, menuliskan semua ini. Terlampau banyak yang kulewati. Terlampau banyak yang berusaha kupendam dalam-dalam atau kulempar jauh-jauh. Semua terasa begitu menyakitkan. Mungkin aku terbawa perasaan. Jadilah, kuputuskan melenyapkan rasa, jadi orang yang tak peduli, acuh tak acuh dengan manusia lain―mereka yang membuatku patah. Aku mulai berjalan pelan-pelan menikmati dingin malam yang ternyata sejuk benar kalau dirasa tanpa rasa. Aku menghirup udara surya dan ternyata semua lebih hangat dan bersahabat kala rasa tak lagi melekat. Aku berpikir aku telah bahagia.

Suatu hari di antara hari-hari tanpa rasaku seseorang datang. Seorang teman lama yang katanya, dia suka aku. Aku sebenarnya tak peduli. Oh, maksudku, aku sungguhan tak peduli. Tapi aku merasa aneh ketika dia tak lelah menyapaku, baik secara maya maupun nyata. Dia bilang kalau aku jahat, sekarang. (Sebenarnya aku telah lama jahat, hanya saja tak terlalu kutunjukkan. Karena tanpa kutunjukkan saja sudah banyak yang mengataiku psikopat. Apalah jadinya nanti, entah.) Dia mengutarakan pendapat dan keheranannya karena kini aku tak lebih dari robot. Tak berperasaan. Aku menertawai dia, dan kuiyakan, aku memang sedang jahat, betulan jahat. Aku bilang aku lelah jadi korban perasaan. Tertatih-tatih memperjuangkan cinta dan pada akhirnya dibuang, sia-sia. Aku capek harus membuang tenaga cuma demi mendapat balasan dari dia yang kusuka. Buatku sudah saatnya aku yang tertawa diatas derita orang. Masa iya sampai esok nanti aku lagi yang ada di bawah. Orang bilang, hidup adalah roda yang berputar, bukan? Maka ijinkan aku diam tenang diatas, menikmati bahagia yang terlewatkan karena aku terlampau banyak buta soal cinta.

Dia lalu bertanya, tak adakah cinta di hatiku? Aku bilang, ada. Tentu masih ada! Cuma permasalahannya, cinta itu takkan kutiup sia-sia ke depan orang yang kusuka. Cintaku akan kusimpan rapat dalam hati, dan kupersembahkan buat yang selalu ada buatku selama ini: Tuhan dan keluarga. Aku ingat, telah lama aku hidup bodoh dan saatnya aku kembali untuk mempertanggungjawabkan cinta mereka yang seringkali kuabaikan. Aku harus kembali dan mulai benar-benar mengasihi Dia, dan mereka.

Temanku itu diam, begitu lama. Kutahu, ada kecamuk kalimat dalam otaknya yang tak mampu bibir berkata. Tak kuhitung berapa banyak detik berlalu, sampai dia mampu mengatasi kelu.
        “Kamu mungkin benar-benar mati rasa,”
Oh, sungguh! Aku bahagia mendengarnya. Eh, kini aku perlu bertanya, aku tak sakit jiwa kan, ya?
      “Entah. Mungkin iya. Aku toh tak peduli, siapa peduli?”
      “Aku peduli,” katanya, berusaha tegas.
      “Eh?” aku menatapnya lekat-lekat. Dia mengangguk.
      “Aku peduli, dan aku akan selalu disini menunggu segala rasamu kembali.”
Aku harus tertawa keras mendengarnya.
      “Jangan bodoh!” teriakku. “Aku takkan punya rasa lagi, aku tak peduli, terserah manusia lain mau bilang apa, kamu mau bilang apa. Aku lelah jadi bodoh, aku mau jadi pintar. Pintar soal perasaan. Pintar soal paham, orang lain tak sebaik yang kita kira.”

Dia menatapku sabar. Lalu dijelaskannya kalau aku bersikap demikian justru aku terjebak dalam kebodohan yang lebih dalam. Dia berkata pelan-pelan kalau aku sebenarnya cuma terlalu banyak sakit hati, dan dia menyesalkan, mengapa semuanya membuatku begini. Aku heran, aku saja tak menyesal, mengapa dia harus merasa seperti itu?
Dia melanjutkan, katanya, aku harus berusaha menemukan rasaku dan hidup berdampingan tanpa dendam dengan semua orang. Tentu aku tak mau! Buatku nyaman begini. Nyaman tanpa rasa, kita tak perlu menangis sia-sia.

Aku berusaha pelan-pelan berkata padanya, ini adalah keputusanku, dan sesungguhnya aku tak jadi sejahat itu. Aku cuma menghapus rasaku untuk lelaki dan wanita selain keluargaku, dan selain yang telah kuanggap keluarga, juga selain temanku―yang baik. Aku menutup hati untuk orang lain. Tapi buat yang telah kusebutkan, aku masih ada. Aku masih sedia jadi kawan, kakak, dan saudara buat mereka. Aku tak ingin membuang waktu buat orang lain. Biar aku bahagia dengan keluargaku, karena ada titik-titik yang mengajariku:

Sejauh apapun kita melangkah pergi, cuma keluarga, tempat untuk kembali.