“Dia tidak akan datang,”
ujarnya. Nadanya serius. Tangannya yang sedari tadi sibuk membersihkan jendela
berhenti sejenak. Menatapku.
Aku tersenyum.
Berusaha menguatkan hati dan tetap yakin kalau kamu pasti datang. Melihatku
tetap teguh pada pendirian semula, dadanya mengembang. Ia menarik napas
dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan sekali sentak. Pandangannya tertuju
kembali pada jendela yang kini begitu bening.
Sedikitpun tak
kuubah posisi dudukku. Melirik ke titik lainpun tidak. Mengapa aku betah
bersikap begini, aku juga tidak tahu. Rasa-rasanya aku tahan seharian seperti
ini. Menunggu sesuatu yang tidak pasti: KAMU.
Seorang aku
memang tidak tahu, apakah kamu—manusia yang selalu kupikirkan dari bangun
sampai menjelang tidur—juga memikirkanku. Aku tidak pernah paham apakah kamu
juga menyeret bayangku masuk ke benakmu atau tidak.
Apapun pikiranmu dan seperti apapun kamu, aku tidak peduli. Yang jelas, aku selalu setia dan ikhlas terpatri disini. Menunggu kelebatan siluetmu menapaki terasku.
Apapun pikiranmu dan seperti apapun kamu, aku tidak peduli. Yang jelas, aku selalu setia dan ikhlas terpatri disini. Menunggu kelebatan siluetmu menapaki terasku.
“Tidurlah. Kamu pasti lelah
seharian duduk begitu.” Tiba-tiba dia berucap. Menarikku kembali dalam dunia
nyata. Mestinya aku tidak marah. Bukankah kalimat yang barusan dia ucapkan
tidak menyinggung perasaan? Tapi aku tidak bisa menahan hati untuk tidak
mendongkol. Suaranya telah mengetuk telingaku, membuatku menyampakkan
bayanganmu dengan terpaksa. Aku menghela napas.
“Aku tidak lelah.” Sangkalku.
Berusaha mencetak raut keras.
“Kamu lelah,” paksanya. “kamu bisa saja berkata begitu karena kamu
mencintai apa yang kamu tunggu, sekalipun itu tidak pasti. Tidurlah barang
sebentar saja. Jangan paksa logika
menuruti perasaan.”
Aku tetap
keras kepala. “Kamu sajalah yang tidur,” kataku. “kamu terlihat lebih lelah
dariku.”
Kulihat dia
mengangkat bahu. Membalikkan badan. “Manusia jatuh cinta selalu tidak masuk
akal!” keluhnya sambil berlalu.
Kembali, aku
menghela napas.
***
Hari sudah gelap, Matahari. Sang
Kaisar siang sudah berjalan ke barat lalu pulang ke istananya. Aku berusaha
menghindari kata lelah pada penghujung hari ini. Namun makin larut, lusinan
anak panah datang bak hujan, dan beban di pundakku semakin berat.
Wajibkah aku terpatri di sini,
Matahari? Makhluk lain tentu berkata tidak. Logikaku pun mendukung mereka. Tapi
hidup tidak berdasar pada logika saja, bukan? Perasaan juga punya hak yang sama
untuk mengirim suara. Mereka bersikeras menunggumu. Padahal logika sudah
menyerah sedari dulu.
Apa yang sebaiknya kulakukan,
Matahari? Aku tengah terjepit diantara dua sisi jiwaku. Adakah aku harus
bertahan? Atau cepat-cepat mengangkat tangan?
Entah.
Yang jelas, aku sungguh mengharapkan
kedatanganmu.
***
“Aku tidak paham.” Katanya. Ia
lalu duduk di sampingku.
“Mengenai apa?” tanyaku.
Pura-pura tidak tahu.
“Kamu pasti tahu,”
“Jangan terlalu yakin,” tegurku.
“kalau aku tahu, aku pasti sudah jawab.”
Dia berdecak.
“Ayolah,” matanya mengeluh. “Kamu sendiri tahu, satu-satunya hal yang aku tidak
paham hanya alasanmu rela diam seharian demi menunggu manusia yang tidak pasti.”
Aku memekik
dalam hati.
“Sekarang, beri aku alasannya.”
Aku menghela
napas. “Kamu na’if,” kritikku. “ada banyak hal di dunia ini yang tidak kamu
pahami. Tapi tadi kamu hanya menyebutkan satu.”
Dia mendesah.
Mukanya merah padam dan matanya mendongkol sekali. “Oke, oke,” dia mengangkat
tangan setinggu bahu. “aku ulangi ya, yang tadi kurang spesifik.”
‘Bukan kurang spesifik! Itu
salah!’ protesku dalam hati. Tapi tidak kukeluarkan kalimat itu.
“Beri aku alasanmu bersedia diam
seharian menunggu manusia legam yang belum tentu datang itu.”
Aku
mengangguk. “Itu lebih baik,”
Telunjuknya
mengacung. Memberi isyarat padaku untuk menunda kelanjutan kalimat penjelas.
“Kutambahkan,” katanya. “atau mungkin tidak akan datang.”
Kutelan ludah.
Mengulur waktu agar bisa memutar otak lebih lagi. “Aku masih ingat kalimatmu
tentang manusia jatuh cinta yang tidak masuk akal itu,”
Dia tersenyum.
“Dan kurasa, kalau aku beri
alasannya, kamu tidak mau menerima.”
“Beri saja,” nadanya menantang.
Entah mengapa,
kurasa jantungku mulai berderap. “Baiklah,” aku menyetujui. “Manusia jatuh
cinta selalu punya ambisi besar untuk mempertahankan cintanya atau manusia yang
dia cintai. Di sini, mereka seolah mengesampingkan logika dan hanya menuruti
perasaan, yang kamu bilang sulit dimengerti itu. Jadi, wajarlah kalau mereka,
dalam kasus ini aku, rela diam seharian demi yang diperjuangkan.”
“Ada lagi?”
Aku berpikir
sejenak. “Tidak.” Kataku. “Sementara itu dulu.”
“Oke, aku terima.”
“Oke.”
Hening.
Kulihat dia mulai sibuk
berargumen dengan hatinya. Logika dengan perasaan. Detik-detik berlalu dan kami
masih membisu. Aku mulai bermain-main dengan jemariku. Menjentik-jentik atau
menepuk bantal persegi di atas pahaku. Pikiranku
kembali melayang padamu, Matahari. Aku merindukan kelebatan siluetmu. Aku
merindukan percakapan denganmu. Akankah kamu datang?
“Tunggu,” tiba-tiba bibirnya
membuka. Satu kata keluar dan itu cukup memporak-porandakan bayanganmu. Segera
aku berhenti bermain dengan diriku sendiri.
Aku menoleh.
“Aku ingat sebuah nasehat,”
sambungnya sebelum aku sempat menanggapi. “aku mulai bisa memahami manusia
jatuh cinta.”
Aku
mengerutkan dahi.
“Aku mulai paham alasanmu. Tapi
satu hal,” dia menggantungkan kalimatnya. Membesarkan tanda tanya yang
mengelilingi otakku. Tatapannya menajam.
“Bukankah lebih baik kamu tidak berkorban terlalu banyak untuk sesuatu
yang tidak pasti?”
Aku masih
diam.
Dia
melanjutkan, “oke, aku tahu ini soal
cinta. Soal rasa dan bukan soal logika. Tapi, ayolah, aku mengenalmu
sebagai manusia berotak. Jangan mau
dibodohi atas nama cinta.”
Aku tetap
diam.
“Apalagi, selama ini manusia itu
tidak pernah memberi kepastian. Kelihatannya saja dia menjanjikan. Maaf ya,
bukannya aku memengaruhimu. Aku hanya berbicara fakta. Sekarang kutanya, apa
kamu yakin dia lelaki yang benar-benar baik?”
Aku mengangkat
bahu.
“Nah, kamu sendiri tidak tahu. Mengapa masih saja bertahan? Padahal kamu
tidak paham apa yang kamu pertahankan. Bangun! Dan kembalilah ke dunia
nyata. Jangan sampai kamu baru sadar setelah jatuh ke jurang derita.”
Aku menghela
napas. Dia berdiri lalu menjauh. Seolah memberiku kesempatan untuk merenung.
Ah, Matahari. Aku bimbang sekarang. Aku seperti berada dia tengah
lautan tanpa batas. Berlaksa-laksa titik air dalam rupa awan menggantung dengan
garangnya di langit. Aku tersiksa, Matahari. Aku ingin bebas. Tapi, bagaimana
caranya? Kuakui aku mulai lelah. Aku ingin menyerah. Namun kutakut rasaku akan
melemah. Aku gundah, Matahari.
Datanglah.