Minggu, 28 April 2013

Menanti Matahari


                “Dia tidak akan datang,” ujarnya. Nadanya serius. Tangannya yang sedari tadi sibuk membersihkan jendela berhenti sejenak. Menatapku.
Aku tersenyum. Berusaha menguatkan hati dan tetap yakin kalau kamu pasti datang. Melihatku tetap teguh pada pendirian semula, dadanya mengembang. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan sekali sentak. Pandangannya tertuju kembali pada jendela yang kini begitu bening.
Sedikitpun tak kuubah posisi dudukku. Melirik ke titik lainpun tidak. Mengapa aku betah bersikap begini, aku juga tidak tahu. Rasa-rasanya aku tahan seharian seperti ini. Menunggu sesuatu yang tidak pasti: KAMU.
Seorang aku memang tidak tahu, apakah kamu—manusia yang selalu kupikirkan dari bangun sampai menjelang tidur—juga memikirkanku. Aku tidak pernah paham apakah kamu juga menyeret bayangku masuk ke benakmu atau tidak.
Apapun pikiranmu dan seperti apapun kamu, aku tidak peduli. Yang jelas, aku selalu setia dan ikhlas terpatri disini. Menunggu kelebatan siluetmu menapaki terasku.
                “Tidurlah. Kamu pasti lelah seharian duduk begitu.” Tiba-tiba dia berucap. Menarikku kembali dalam dunia nyata. Mestinya aku tidak marah. Bukankah kalimat yang barusan dia ucapkan tidak menyinggung perasaan? Tapi aku tidak bisa menahan hati untuk tidak mendongkol. Suaranya telah mengetuk telingaku, membuatku menyampakkan bayanganmu dengan terpaksa. Aku menghela napas.
                “Aku tidak lelah.” Sangkalku. Berusaha mencetak raut keras.
                “Kamu lelah,” paksanya. “kamu bisa saja berkata begitu karena kamu mencintai apa yang kamu tunggu, sekalipun itu tidak pasti. Tidurlah barang sebentar saja. Jangan paksa logika menuruti perasaan.
Aku tetap keras kepala. “Kamu sajalah yang tidur,” kataku. “kamu terlihat lebih lelah dariku.”
Kulihat dia mengangkat bahu. Membalikkan badan. “Manusia jatuh cinta selalu tidak masuk akal!” keluhnya sambil berlalu.
Kembali, aku menghela napas.
***
Hari sudah gelap, Matahari. Sang Kaisar siang sudah berjalan ke barat lalu pulang ke istananya. Aku berusaha menghindari kata lelah pada penghujung hari ini. Namun makin larut, lusinan anak panah datang bak hujan, dan beban di pundakku semakin berat.
Wajibkah aku terpatri di sini, Matahari? Makhluk lain tentu berkata tidak. Logikaku pun mendukung mereka. Tapi hidup tidak berdasar pada logika saja, bukan? Perasaan juga punya hak yang sama untuk mengirim suara. Mereka bersikeras menunggumu. Padahal logika sudah menyerah sedari dulu.
Apa yang sebaiknya kulakukan, Matahari? Aku tengah terjepit diantara dua sisi jiwaku. Adakah aku harus bertahan? Atau cepat-cepat mengangkat tangan?
Entah.
Yang jelas, aku sungguh mengharapkan kedatanganmu.
***
                “Aku tidak paham.” Katanya. Ia lalu duduk di sampingku.
                “Mengenai apa?” tanyaku. Pura-pura tidak tahu.
                “Kamu pasti tahu,”
                “Jangan terlalu yakin,” tegurku. “kalau aku tahu, aku pasti sudah jawab.”
Dia berdecak. “Ayolah,” matanya mengeluh. “Kamu sendiri tahu, satu-satunya hal yang aku tidak paham hanya alasanmu rela diam seharian demi menunggu manusia yang tidak pasti.”
Aku memekik dalam hati.
                “Sekarang, beri aku alasannya.”
Aku menghela napas. “Kamu na’if,” kritikku. “ada banyak hal di dunia ini yang tidak kamu pahami. Tapi tadi kamu hanya menyebutkan satu.”
Dia mendesah. Mukanya merah padam dan matanya mendongkol sekali. “Oke, oke,” dia mengangkat tangan setinggu bahu. “aku ulangi ya, yang tadi kurang spesifik.”
                ‘Bukan kurang spesifik! Itu salah!’ protesku dalam hati. Tapi tidak kukeluarkan kalimat itu.
                “Beri aku alasanmu bersedia diam seharian menunggu manusia legam yang belum tentu datang itu.”
Aku mengangguk. “Itu lebih baik,”
Telunjuknya mengacung. Memberi isyarat padaku untuk menunda kelanjutan kalimat penjelas. “Kutambahkan,” katanya. “atau mungkin tidak akan datang.”
Kutelan ludah. Mengulur waktu agar bisa memutar otak lebih lagi. “Aku masih ingat kalimatmu tentang manusia jatuh cinta yang tidak masuk akal itu,”
Dia tersenyum.
                “Dan kurasa, kalau aku beri alasannya, kamu tidak mau menerima.”
                “Beri saja,” nadanya menantang.
Entah mengapa, kurasa jantungku mulai berderap. “Baiklah,” aku menyetujui. “Manusia jatuh cinta selalu punya ambisi besar untuk mempertahankan cintanya atau manusia yang dia cintai. Di sini, mereka seolah mengesampingkan logika dan hanya menuruti perasaan, yang kamu bilang sulit dimengerti itu. Jadi, wajarlah kalau mereka, dalam kasus ini aku, rela diam seharian demi yang diperjuangkan.”
                “Ada lagi?”
Aku berpikir sejenak. “Tidak.” Kataku. “Sementara itu dulu.”
                “Oke, aku terima.”
                “Oke.”
Hening.
                Kulihat dia mulai sibuk berargumen dengan hatinya. Logika dengan perasaan. Detik-detik berlalu dan kami masih membisu. Aku mulai bermain-main dengan jemariku. Menjentik-jentik atau menepuk bantal persegi di atas pahaku. Pikiranku kembali melayang padamu, Matahari. Aku merindukan kelebatan siluetmu. Aku merindukan percakapan denganmu. Akankah kamu datang?
                “Tunggu,” tiba-tiba bibirnya membuka. Satu kata keluar dan itu cukup memporak-porandakan bayanganmu. Segera aku berhenti bermain dengan diriku sendiri.
Aku menoleh.
                “Aku ingat sebuah nasehat,” sambungnya sebelum aku sempat menanggapi. “aku mulai bisa memahami manusia jatuh cinta.”
Aku mengerutkan dahi.
                “Aku mulai paham alasanmu. Tapi satu hal,” dia menggantungkan kalimatnya. Membesarkan tanda tanya yang mengelilingi otakku. Tatapannya menajam.
                Bukankah lebih baik kamu tidak berkorban terlalu banyak untuk sesuatu yang tidak pasti?
Aku masih diam.
Dia melanjutkan, “oke, aku tahu ini soal cinta. Soal rasa dan bukan soal logika. Tapi, ayolah, aku mengenalmu sebagai manusia berotak. Jangan mau dibodohi atas nama cinta.
Aku tetap diam.
                “Apalagi, selama ini manusia itu tidak pernah memberi kepastian. Kelihatannya saja dia menjanjikan. Maaf ya, bukannya aku memengaruhimu. Aku hanya berbicara fakta. Sekarang kutanya, apa kamu yakin dia lelaki yang benar-benar baik?”
Aku mengangkat bahu.
                “Nah, kamu sendiri tidak tahu. Mengapa masih saja bertahan? Padahal kamu tidak paham apa yang kamu pertahankan. Bangun! Dan kembalilah ke dunia nyata. Jangan sampai kamu baru sadar setelah jatuh ke jurang derita.”
Aku menghela napas. Dia berdiri lalu menjauh. Seolah memberiku kesempatan untuk merenung.
                Ah, Matahari. Aku bimbang sekarang. Aku seperti berada dia tengah lautan tanpa batas. Berlaksa-laksa titik air dalam rupa awan menggantung dengan garangnya di langit. Aku tersiksa, Matahari. Aku ingin bebas. Tapi, bagaimana caranya? Kuakui aku mulai lelah. Aku ingin menyerah. Namun kutakut rasaku akan melemah. Aku gundah, Matahari.
Datanglah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar