Minggu, 15 Desember 2013

Dari Para Binatang

Dari elang, kita belajar keperkasaan
Dari rajawali, kita belajar keberanian
Dari harimau, kita belajar keuletan
Dari buaya, kita belajar kesetiaan
Dari merpati, kita belajar ketulusan
Dari kijang, kita belajar kepekaan
Dari cheetah, kita belajar kecepatan
Dari katak, kita belajar kekompakan
Dari tikus, kita belajar kecerdikan
Dari lalat, kita belajar kegesitan
Dari kupu-kupu, kita belajar keindahan
Dari lebah, kita belajar mengambil keputusan
Dari tarantula, kita belajar ketahanan
Dari belalang sembah, kita belajar kesabaran
Dari iguana, kita belajar ketenangan
Dari gajah, kita belajar kesetiakawanan
Dari semut, kita belajar kepatuhan
Dari kuda, kita belajar kekuatan
Dari nyamuk, kita belajar keheningan
Dari ikan angler, kita belajar diam

Dari TUHAN, kita belajar segalanya

Selasa, 05 November 2013

Ucapkan Selamat Tinggal

Menyedihkan, ya. Ternyata selama ini saya sudah membuang banyak waktu, pikiran, tenaga, hati, dan airmata untuk memperjuangkan manusia yang salah: kamu. Sungguh, saya tidak tahu apa yang harus saya katakan, saya tidak bisa memutuskan apa yang harus saya sampaikan untuk menanggapi pengakuanmu yang gila itu. Mungkin saya tidak punya cukup pengetahuan untuk memahami secara penuh dunia yang kamu akui menjadi duniamu selama ini. Tapi saya tidak dungu. Setidaknya saya bisa mengira-ira, dunia macam apa yang menjadi tempatmu hidup selama ini. Dan kamu tahu? Dunia yang kamu jabarkan tadi adalah salah satu dunia yang paling saya hindari.

Jujur, saya tidak menyangka, semua yang saya percayai akan berbalik menusuk saya dalam-dalam. Marah, sedih, kecewa, dan banyak rasa sakit menggunung hingga sulit bagi saya untuk mengungkapkannya pada orang lain. Rasa-rasanya saya ingin memaki-maki diri saya sendiri. Saya merasa bodoh. Saya merasa tolol luar biasa atas semua ini. Entahlah, sebuta apa saya hingga saya tidak bisa merasakan ada sesuatu berbeda dari kamu, dan itu buruk.

Maaf, tapi saya harus mengatakan ini. Saya (sedikit) menyesal telah mengenal dan memperjuangkan kamu. Saya (sedikit) menyesal telah mempercayai kamu, dan menganggap kamu adalah manusia terbaik yang pantas ada di pikiran dan hati saya setiap hari. Saya (sedikit) menyesal, mengingat selama ini sudah terlalu banyak hal yang saya lengserkan demi bertahannya jabatanmu di benak saya. Saya jijik. Saya malu. Selama ini saya selalu memberi tanggapin pedas untuk manusia-manusia yang hidupnya berantakan. Tapi ternyata, justru orang yang dekat dengan saya punya dunia seperti itu, dan itu diluar sepengetahuan saya!

Kamu munafik! Jahat! Penghianat! Pembohong! Pembunuh perasaan!

Saya benci berkata demikian, tapi itulah kenyataan yang ada. Itulah kenyataan yang tiba-tiba datang lalu tanpa basa-basi mencabik-cabik perasaan saya. Saya masih ingat, kamu pernah bilang kalau kamu ingin mengubah salah satu penggermarmu agar dia bisa menjadi lebih baik. Tadinya saya percaya. Saya kagum, merasa beruntung bisa mengenal lelaki sebaik kamu. Tapi tahukah kamu? Anggapan saya porak-poranda dalam waktu kurang dari lima menit. Pengakuan yang mengejutkan itu bermutasi jadi tornado berkekuatan tinggi yang meluluhlantakkan segala rasa sayang, cinta, juga percaya yang ada dalam hati saya. Kamu tahu? Butuh banyak hal untuk membuat perasaan itu bertahan sekian lama! Dan kamu menghancurkan semuanya. Semuanya. Rasa yang saya perjuangkan juga saya jaga selama ini.

Kalau saya boleh memilih, saya merasa lebih baik saya tidak pernah mengenal, jatuh cinta, dan pada akhirnya memperjuangkan kamu. Atau, kalau saya harus tetap mengenal dan jatuh cinta padamu, saya pilih kita berpisah di tengah jalan. Agar saya tidak perlu merasakan sakit yang teramat seperti ini.

Maka, pergilah. Pergi jauh-jauh dan tolong jangan kembali. Carilah saja wanita yang cocok bersanding denganmu. Lupakan kalau kita pernah saling mengenal dan pernah saling percaya. Lupakan segala mimpi yang pernah kita susun bersama. Lupakan setiap waktu, saat kita bisa saling berbagi satu sama lain. Lupakan! Buang jauh-jauh! Dan jangan pernah mengharapnya kembali. Saya sudah terlalu sabar dan kini jangan pernah punya pikiran, kalau saya akan percaya sepenuhnya lagi pada kamu. Jangan harap saya akan sebaik dulu. Saya lelah! Dan kali ini saya memaksa kamu untuk memahami.

Maaf kali ini diksi saya benar-benar berantakan. Pikiran saya terlalu berkecamuk. Terlalu banyak hal yang minta bisa keluar cepat. Yang saya pikirkan hanya bagaimana semua hal yang memenuhi otak saya bisa tersampaikan secara tertulis. Itu saja.


Terimakasih karena pada akhirnya kamu memilih mengakui segala khilafmu.
Terimakasih karena pada akhirnya kamu bisa mengatakan duniamu yang sebenarnya.
Terimakasih untuk sekian banyak rasa sakit yang kamu berikan.
Terimakasih sudah membuat saya menyayangimu dengan segenap yang saya punya.
Terimakasih sudah menjadi pembohong dan penghianat yang handal.
Terimakasih sudah mengecewakan saya dengan begitu baik.
Terimakasih,
andai tanpa kamu, mungkin saya tidak akan percaya,
ada manusia yang tega menyimpan kebohongan besar selama lebih dari dua tahun.


Ucapkan selamat tinggal, tuan.
Karena mungkin, saya tidak akan memilih untuk kembali.

Kamis, 17 Oktober 2013

Kita untuk Selamanya

Entah bagaimana semua ini bermula, tiba-tiba saja aku merindukanmu. Aku merindukan kamu, dengan segala macam kelebihan, juga kekuranganmu. Aku merindukan kalian, yang dengan keikhlasan mau saling menerima apa adanya. Mau saling mengerti, mau saling menanggung rasa sakit bersama. Mau saling menopang, saling menguatkan, saling memberi kesempatan untuk bisa bahagia. Sayang, aku baru sadar akan berartinya kalian dan semua kesempatan yang bisa kita lewati bersama, dengan senyum juga airmata, ketika saat-saat indah itu sudah bergeser jadi masalalu.

Kini aku heran, kemana hati yang bisa digunakan untuk menghargai saat-saat kebersamaan kita? Seakan kala kita masih diberi kesempatan untuk bisa bersama, hati tertinggal. Hingga kata terlambat cukup pantas menegur kita.

Sekarang semua tak seindah dulu. Maaf, bukannya aku telah berubah jadi manusia yang benci pada perubahan. Maaf, bukannya aku telah menjelma jadi wanita yang menghindari jalan menuju masa depan. Aku mencintai masa depan, dan aku paham benar, untuk sampai pada masa depan, manusia harus melewati anak-anak tangga yang jelas-jelas tidak selalu mulus, juga tidak selalu mudah dijadikan pijakan.

Mungkin, aku terlalu lelah dengan dunia yang kini harus selalu kuhadiri. Mungkin, aku lelah dengan banyak hal yang butuh perjuangan lebih dari biasanya. Aku lelah, ketika kusadari manusia-manusia yang diijinkan ada di labirin yang sama denganku punya sifat egois, sifat mementingkan kemauan hatinya sendiri. Aku tidak suka ketika manusia-manusia yang lorong waktunya berada satu jalur denganku mempergunakan keberadaan mereka untuk menjatuhkan manusia lain yang dirasa setingkat lebih rendah dari mereka. Aku bosan, ketika telingaku harus menangkap kalimat-kalimat sindiran dan ejekan yang memuaskan kaum mereka. Aku benci ketika harus ada hati yang dikorbankan demi bahagianya sisi jahat mereka.

Aku tidak bermaksud membanding-bandingkan. Aku tidak bermaksud menghakimi. Aku sadar benar hidupku juga tidak sempurna. Tapi semua ini melelahkan, sahabat. Duniaku sungguh berbeda 180 derajat tanpa kalian. Aku merindukan saat kita mau melengserkan keinginan pribadi demi terciptanya kebahagiaan bersama. Kini semua jadi terlalu sulit untuk diwujudkan. Dan aku belajar satu hal dari perubahan yang menggerogoti semangat ini: umur tidak menjamin kedewasaan.

Aku merindukan kalian dan saat-saat untuk kita, sungguh. Adakah kalian merasakan hal yang sama denganku? Atau mungkin di luar sana, kalian sudah mendapatkan banyak hal yang jauh lebih baik. Mungkin setelah perpisahan kita, kalian diijinkan berada dalam dunia yang menyenangkan. Mungkin.

Ah, sahabat, untuk kalian yang bisa menggores senyum lebih lebar, ingatlah, ada manusia yang merindukan kalian disini. Yang hatinya masih bertahan dengan ukiran-ukiran nama kalian, dengan kenangan-kenangan bersama kalian.

Dan, meskipun lorong waktu juga lorong hidup kita sudah berbeda, sekalipun kita harus berkarya di labirin kita masing-masing, aku ingin kita masih saling menguatkan satu sama lain. Masih saling berkomunikasi, menopang, dan menyemangati. Seperti keluarga, seperti kita yang dulu ada untuk berbagi dalam suka, duka, pedih, perih, tawa bahagia, juga airmata.




―Teriring doa dari manusia yang rindu melepas lelah di bahu kalian.

Rabu, 18 September 2013

Selamat ulang tahun, kamu

18 September 2013

Aku menulis ini ketika waktu berjalan sampai pada satu hari yang istimewa untuk manusia yang juga istimewa. Satu hari, yang pada dua tahun lalu menjadi hari yang akan selalu kamu ingat. Ketika teman-temanmu merayakan bertambahnya usiamu di suatu tempat yang pernah kita kunjungi bersama. Di waktu panas. Siang hari bolong. Begitu jauh dari hunianku. Dan kita kesana tanpa sepengetahuan orangtuaku. Haha. Aku masih ingat benar tentang hari ‘kita’ itu, hingga aku ingin semua itu kembali dalam genggamanku; entah kamu.

Aku menulis ini ketika hari ini, satu tahun lalu, aku berusaha tidak tidur sampai tengah malam hanya demi mengirimimu pesan singkat. Demi tiga-empat kata sederhana yang ketika mengirimkannya, aku punya misi menciptakan selengkung senyum di bibirmu. Tapi itu gagal (total). Aku mendapati sikap datarmu datang sebagai balasan ucapanku. Kecewa? Jelas jadi rasa nomor satu setelah melihat ekspresimu. Tapi aku berusaha berpikiran positif. Mencoba bertahan, mencoba menebak-nebak sesuatu yang logis yang mungkin jadi alasan raut datarmu.

Aku menulis ini ketika waktu semakin mendekati tanggal kelahiranmu, dan aku masih pusing memikirkan kado untukmu. Berkali-kali aku melirik dompet, menghitung rupiah demi rupiah yang kumiliki, sembari memeras otak, berharap tercetus ide membeli suatu barang untukmu. Lama aku menimbang-nimbang, lalu aku mengambil keputusan: kubatalkan acara memilih dan membeli kado. Aku mengubur semua barang yang kutulis di daftar otak. Aku mengurungkan niat memutari distro, atau butik, atau apalah itu namanya.

Ada banyak alasan mengapa aku mengambil keputusan itu. Aku sadar diri kok. Aku paham kamu jelas mampu mendapatkan jauh lebih kece dari apa yang bisa kubeli untukmu. Sepatu, tas, pakaian ber-merk sudah biasa jadi pendamping hari-harimu. Aku tahu betul soal itu. Maka, aku tidak ingin memberimu sesuatu yang hanya sekadar berharga, tapi tidak bermakna. Kurasa percuma aku mengeluarkan ratusan ribu rupiah demi suatu barang, kalau aku memberikannya tanpa misi khusus; hanya sekadar membuatmu senang sesaat. Aku ingin memberikan sesuatu yang tidak terpikirkan oleh orang lain. Aku ingin memberikan sesuatu yang bermakna. Berarti. Berharga dari segi misi dan hati. Berharga dari rupiah takkan ada gunanya jika tanpa harga dari misi, bukan?


Dan, inilah kado dariku. Selembar kertas bergambar bunga lili, lambang Malaikat Agung Gabriel, malaikat agung pelindungmu, malaikat agung yang namanya jadi kepala namamu. Aku juga sadar diri soal ini. Kadoku murah. Kalau dihitung pasti tidak sampai sepuluh ribu rupiah. Mana yang masuk kategori kece dari selembar kertas gambar berwarna putih, goresan karbon dibantu penghapus atau penggaris? Tidak ada apa-apanya dibanding semua barang ber-merk-mu. Tapi lewat kado ini, aku ingin menyampaikan doaku untuk bertambah satunya usiamu.


Semoga, dengan datangnya hari ini, dengan bertambahnya usiamu, bertambah pula segala sisi baik darimu, sisi baik yang membuatku mati-matian mempertahankan hati ini demi kamu. Dan semoga, sebagai pengiring semua itu, berkurang segala sisi burukmu, yang kadang membuatku mengelus dada, menarik napas dalam-dalam, dan mohon pada Tuhan supaya kesabaranku diperpanjang lagi.


Aku ingin, setiap kali matamu memindai goresan ini, kamu ingat tentang Malaikat Gabriel. Kamu ingat tentang kesetiaannya kepada Tuhan. Tentang sifat-sikap agungnya. Dan kamu akan belajar dari dia. Kamu akan belajar punya kepribadian seperti malaikat. Tak usah jauh-jauh, tak perlu juga kamu jadi malaikat sungguhan. Jadilah malaikat untuk manusia-manusia yang kamu kenal. Untuk mereka yang menyayangimu dan kamu sayangi. Untuk mereka yang memperjuangkan kamu dengan keras. Untuk mereka, yang setiap hari membawa pribadimu, sosokmu, namamu, kamu, dalam doa dan airmata.



Sekali lagi, selamat ulang tahun :”)

Sabtu, 10 Agustus 2013

Jadi, apa? Kamu merasa hebat?

Saya sudah memperjuangkan pria itu sejak lama. Sejak sepuluh bulan yang lalu. Bukan hanya sehari dua hari atau seminggu dua minggu. Tapi sepuluh bulan. Tolong catat ini. Tolong ingat baik-baik dan sadari bahwa itu bukan waktu yang singkat. Saya sudah merelakan lebih dari separuh hati saya, ratusan tetes peluh dan airmata untuk dia. Segalanya mulai membaik ketika pria itu merespon saya. Kami dekat (lagi) dan ada satu janji yang diucapkan pria itu yang saya jaga dan pegang baik-baik. Perjuangan saya nyaris sempurna kala saya menyadari hal yang menjadi tujuan saya akan segera terwujud. Namun, tiba-tiba, kamu datang tanpa permisi dan tanpa disangka, seperti pencuri pada malam hari, lalu merusak segalanya.

Sudah, begitu saja.

Kamu datang, merusak, lalu ikut-ikutan memperjuangkan dia.

Menyembulnya kamu entah dari dunia macam mana sudah cukup membuat tiap tetes darah saya di semua pembuluh memanas. Kamu menciptakan tornado di hati saya, membuatnya berputar jauh lebih cepat dan kuat. Kamu membuat tangan saya serasa ingin menonjok wajahmu dan menciptakan luka sebanyak mungkin di tubuhmu, hatimu juga, kalau perlu. Kamu pantas dibenci. Sungguh! Apa yang terlihat baik dari seorang perebut kebahagiaan orang lain?!

Saya berusaha menahan diri, mengingat, kamu (mungkin) belum tahu kalau sebelum kamu sudah ada orang yang memperjuangkan pria itu. Saya berusaha memendam segala amarah, berusaha bersabar dengan semua mention kalian. Tapi, saya juga manusia yang punya titik jenuh. Saya tak bisa dipaksa bertahan dalam senyuman ketika orang yang saya perjuangkan dengan begitu keras didekati wanita lain yang juga suka dengannya.

Entahlah, dalam kasus ini saya yang terlalu sensitif atau kamu yang tidak tahu diri.

Kamu tidak berasal dari sini, saya tahu itu. Tapi saya tidak paham apa motivasimu memilih sekolah di kota ini dan mengapa kamu pilih masuk sekolah Kristen padahal kamu Katholik. Maaf, bukannya saya melarang, bukannya saya mengatasnamakan agama dalam kasus ini. Tapi, apakah di kotamu tidak ada Sekolah Menengah Atas, hingga kamu harus jauh-jauh datang kemari?

Baiklah, saya sadar kalau jatuh cinta itu hak tiap makhluk hidup. Bukan hanya manusia, hewan juga, tumbuhan juga. Saya juga tidak mempermasalahkan jatuh cintamu, tapi, pada siapa kamu menaruh hati, lalu entah dengan tujuan apa, memperjuangkan dia, dan secara tidak langsung terdaftar resmi menjadi saingan saya.
Saya heran, apa kamu tidak berusaha mencari informasi terlebih dahulu tentang dia sebelum kamu memutuskan untuk memperjuangkan dia? Apa kamu tidak punya cukup waktu untuk merenungkan tindakanmu? Apa kamu tidak berhati-hati, mengingat bisa saja ada manusia selain kamu yang juga punya hak untuk memperjuangkan dia, menjadikan dia mood booster, menempatkan dia pada urutan nomor satu di hati. Kamu tidak punya bersitan rasa seperti itu?

Bodoh!

Lalu sekarang, atas nama kalian satu sekolah, atas nama kamu adalah adik kelasnya, atas nama dia pernah menghubungi kamu, kamu merasa bangga? Kamu merasa pantas memperjuangkan dia? Kamu merasa berhak memenangkan dia? Hah, jangan mimpi, nona. Tidak semudah yang kamu bayangkan.

Dia lelaki langka. Dalam artian, dia tidak sama dengan kebanyakan lelaki. Entahlah, bagaimana saya bisa memilih kalimat ini untuk mewakili semua ciri hati yang dia punya. Dia istimewa. Maaf, saya menulis ini dari hasil survey, dari banyak sumber, dari pendapat-pendapat manusia yang kenal dengan dia, bukan hanya karena saya suka dia. Dia selalu sulit dipahami, tak tertebak, penuh kejutan. Dan, kamu tahu, nona? Ia adalah pria tersulit untuk dimiliki. Pria teristimewa yang pantas diperjuangkan. Pria langka, yang untuk mendapatkannya butuh lebih dari sekadar peluh, darah, atau tetesan airmata.

Jadi tolong, pikirkan juga manusia di luar kamu yang sama-sama punya hak untuk memperjuangkan dia. jangan egois. Manusia lain juga punya hati yang perlu dijaga dari rasa sakit.

Jumat, 09 Agustus 2013

Firasat

Bulu kudukku meremang. Entah ada apa di balik semua ini, yang jelas, perasaan tak enak mengiringi dan aku jadi punya pikiran negatif setelah itu.

Kamu sendiri tahu, aku terpaksa punya profesi baru, sebagai seorang stalker setelah seseorang datang ke hidupmu, lalu jadi bagian dari hari-harimu. Dia adalah satu dari sedikit wanita yang setiap hari kamu mention. Dia adalah satu dari sekian banyak akun yang kamu ikuti kicauannya, yang kamu balas tweetnya. Yang kalian bicarakan selalu berganti, bahkan dalam hitungan detik. Tapi kutahu, ada yang takkan berubah dari kalian: hati. Entah bagaimana pastinya, bagaimana tepatnya, aku tidak tahu, karena aku sendiri hanya mengandalkan firasat, aku tak punya indra keenam.

Setelah percakapan panjang kalian resmi dimulai, setelah beberapa kicauan kalian resmi terpampang di profil dan tertera di timeline, dia, wanita itu, selalu menyempatkan diri untuk menuliskan kata atau kalimat yang berbau perasaan. Sungguh. Aku hapal akan itu karena aku jadi seorang stalker sekarang. Aku selalu berharap semua yang dia tulis, tentang perasaannya padamu, tentang hatinya, hanya bercanda. Tapi kenyataan seolah berkata lain. Seperti ada yang mengatakan padaku, dia serius. Entah kamu.

Aku merinding lagi.

Aku masih ingat, waktu kamu datang ke rumahku pada hari Sabtu siang. Setelah kamu terduduk cukup lama, setelah kita terlibat percakapan penting cukup lama, kamu hening sejenak, lalu berkata, “Iya ya. Jangan-jangan yang kamu tulis dulu itu beneran..”

Seketika aku merinding dan darahku berdesir meski aku belum paham sepenuhnya maksud dari kalimatmu itu. Aku minta penjelasan. Dan, tahukah kamu? Saat penjelasanmu masuk ke telinga, aku merasa ada sesuatu yang cukup kuat sedang menohok jantungku dan berusaha meremukkannya. Aku jadi kepikiran setelah itu. Kalender duduk...daun berbentuk hati...dan inisialmu dari kawat emas... Mendadak aku ingat waktu aku mengambil sesuatu di dekat kalender itu, aku tak sengaja menjatuhkannya. Kuambil kalender itu, kulihat inisialmu jatuh. Secara logika, apa pentingnya inisial yang jatuh? Bukankah semua benda yang terpasang di kalender itu bisa jatuh juga? Namun, entah mengapa, desauan angin berhenti satu detik, lalu aku sadar akan sesuatu yang selama ini jadi ketakutanku.

Kamu, dia. Ah, rasanya sembilan karakter itu cukup untuk menjelaskan semuanya.

Aku sudah (sangat) sering membaca kicauan kalian. Sampai lelah aku dibuatnya. Sampai lebih dari galau rasanya. Kamu sungguh baik padanya di sosial media. Dan kurasa, tak mungkin kamu tidak baik padanya secara pribadi. Dari tulisan-tulisannya, dari tulisan-tulisanmu, seakan aku diberi kode oleh Sang Waktu untuk mulai menyiapkan hati. Seolah aku diberi kesempatan untuk menarik napas sedalam dan sepanjang mungkin, menghembuskannya sekali sentak, dan berkata “aku siap”.

Aku harus siap. Untuk apa? Untuk satu hari di depan sana. Satu hari yang masih samar, tidak jelas. Tapi aku yakin, hanya ada dua kemungkinan tentang hari itu: menyakitkan atau menyenangkan. Menyakitkan, jelas sudah. Aku harus siap dan dipaksa untuk tegar bila pada akhirnya kamu memilih pergi dengan dia. Menyenangkan, yaah kalau kamu memilihku, dan kita kembali menyusun mimpi bersama seperti beberapa waktu yang lalu.

Merenungkan tentang kalian dan betapa baiknya kamu terhadap dia, aku jadi bertanya-tanya. Di sosial media kamu biasa saja terhadapku, tapi secara pribadi, kamu bersikap sama seperti dulu. Begitu baik, manis, dan romantis. Deretan kata-kata yang menenangkan sudah biasa kamu kirimkan, dan, secara tak langsung, kamu sedang memberi kode untukku. Kode apa? Mereka yang paham jelas sudah bisa menebak. Lalu pikiranku kembali dipenuhi tentang wanita itu, juga tentang kamu tehadapnya. Kalau di sosial media saja kalian bisa terlibat pembicaraan yang menarik nan asyik, bagaimana secara pribadi? Aku ragu kamu akan biasa saja.
Kamu bukan Pemberi Harapan Palsu. Aku akin akan itu. Tapi sekarang, imanku pada satu hal tersebut sedikit goyah gara-gara kedekatanmu dengannya. Kamu pernah bilang, kamu tidak suka dia, meski dia suka, eh cinta kamu. Kamu meyakinkan aku kalau kamu sayang sama aku, bukan orang lain. Tapi mengapa mataku sampai juga pada kicauannya yang berkata kalau kamu suka dia?

Hah, entahlah. Mungkin yang bodoh aku, atau kamu, atau dia, atau kita semua. Maaf, tulisanku ini terlalu amburadul, konyol, tak masuk akal, tak jelas, juga kekanak-kanakan. Tapi aku punya satu pesan yang penting di sini. Aku masih ingat kamu tak suka dengan kode-kode. Jadi baiknya, aku tulis saja secara terang, semoga kamu baca.

Aku takut kamu akan pergi, sayang. Aku takut kamu akan meninggalkan segalaku dan berlari menuju dia, menggapai tangannya, siap untuk menyusun mimpi bersama dia. Jujur, aku sudah banyak mengecap rasa pahit karena disakiti. Tapi ini spesies baru, sayang. Dan aku tak yakin aku siap meski sudah seharusnya aku siap. Aku mulai bertanya-tanya, apakah kata-kata sayangmu untukku itu memang benar, atau hanya bercanda? Mengingat status kita yang belum jelas mau dinamai dan disebut apa. Aku takut sayang. Tolong jangan seperti ini. Beri aku kejelasan dan penjelasan tentang perasaanmu yang sesungguhnya pada dia, juga padaku. Karena firasatku menyembul, menggebu, dan mulai mengganggu, sayang.  Aku tak suka. Firasat itu menyakitkan.


Regards,

-Litha-

Rabu, 07 Agustus 2013

Tentang 'dia' #1

Aku mengenalnya sejak lama. Sejak aku bisa mengenal orang lain, orang selain orang tuaku. Dan disanalah dia mulai merasuki otakku. Mulai menjadi manusia yang kurasa lebih dari penting, hingga aku tahu tentang dia seperti aku tahu tentang diriku. Dia tidak terlalu tinggi, sekitar 150 cm, hampir sama denganku. Dulu, dia punya lumayan daging dan lemak di balik kulitnya. Kini semua itu lenyap. Badannya menyusut, bahkan lengan bawahnya seperti hanya terdiri dari tulang dan kulit pembungkus. Matanya cokelat tua, mata asli Asia Tenggara; terlihat tanpa kelopak dengan bulu mata yang pendek, mirip mata dari daratan Cina. Hidungnya tidak terlalu mancung. Dagunya panjang dan runcing, membuat orang mengira dia keturunan bangsawan Mesir. Rambutnya hitam dan fleksibel. Kubilang fleksibel karena tidak selalu bisa dikata ikal, atau lurus, atau keriting. Rambutnya selalu bisa diatur semaunya. Bibirnya tidak mungil, juga tidak lebar, terlalu tebal juga tidak. Dan selalu terlihat berwarna merah tedas. Bila kugambarkan bibirnya adalah apel, maka tiap orang yang melihat apel itu pasti ingin menggigit dan menikmatinya.

Dulu, kuingat dia suka bercerita tentang kehidupannya. Tentang keluarganya. Tentang lukisan-lukisan ayahnya. Tentang sulaman dan rajutan ibunya. Tentang ribuan hal yang dia sukai, juga dia benci. Dia selalu mudah tertawa. Pembawaannya ceria dan menyenangkan. Dari matanya selalu terpancar bahagia. Kini aku sadar semua itu sudah hilang. Kisah terakhir yang dia ceritakan adalah tentang mantan kekasih yang begitu dicintainya. Dan setelah itu, tak ada lagi susunan kalimat yang bisa kudengar darinya. Dia kini sudah berbeda. Lebih banyak diam. Suka menyendiri, sibuk berbicara dengan hatinya yang sering tercabik. Aku tak bisa lagi menemukan bahagia dari sorot matanya. Bahkan saat bibirnya menggores tawa.

Aku ingat, tak ada yang berubah dari tawanya. Tetap renyah lepas dan akan dilakukannya sampai dia puas. Tapi mata tidak bisa berbohong. Aku bisa melihat dengan jelas, ada guratan kesedihan di antara lensa dan irisnya. Alisnya pun sedikit terangkat. Kini, kutahu dia menyimpan sesuatu di dalam hatinya. Rasa sakit yang pedih dia biarkan menumpuk dan memenuhi tiap ruang, bahkan ruang tempat dia meletakkan bahagia. Dari sinilah aku tahu mengapa dia begitu menghindari mataku. Dia tidak ingin orang lain mengetahui bebannya. Aku justru takut, takut kalau suatu saat nanti dia akan sampai pada satu titik yang membuat dia tidak bisa bertahan lebih lama.

Dia adalah seorang playgirl. Sungguh. Aku tidak berbohong karena aku menulis ini atas ijinnya. Dia mengakuinya kok. Dan kurasa orang yang dekat dengannya juga tahu hal ini. Dia biasa punya satu pacar dan banyak gebetan. “Ah cakep banget dia!” , “Masnya yang itu kece ya?” , “Eh, ganteng banget. Kenapa dia nggak jadi pacarku aja?” adalah beberapa kalimat yang biasa kudengar dari dia. Dan sekali lagi, kusadari semua itu sudah berlalu.

Aku mulai merasa jiwa playgirl-nya mundur teratur setelah dia mengenal seorang lelaki yang sekitar 3 tahun lebih tua darinya. Nama lelaki itu unik dan terkesan elite. Selebihnya, dia sama seperti pria pada umumnya. Tapi kurasa, dia sudah jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta pada pria itu. Entah apanya yang istimewa, sampai dia tampak menggilainya. Aku yakin, dia pasti akan tetap memilih pria itu meski ada pria-pria lain yang terlihat jauh lebih lebih dan lebih. Kurasa dia sudah menemukan hatinya. Dia sudah menemukan tujuannya. Sesuatu yang selama ini dicarinya. Sebuah cinta. Dia sungguh-sungguh. Dan sepertinya, dari kesungguhannya pada pria itulah dia mulai merasakan sakit luar biasa, sakit yang membuatnya berubah.

Dia sempat terikat suatu hubungan dengan pria itu. Mereka saling cinta, saling berbagi, saling mengerti. Sayang, bahagia mereka terhenti pada hari ke 404. Hubungan mereka terputus, tapi tidak dengan cinta mereka. Aku tahu, dia masih sering mengingat momen bersama pria itu. Dia masih sering memimpikannya, bermain dengan bayangannya yang mungkin tidak akan jadi kenyataan. Sampai pada suatu hari, ketika sepupunya datang, dia punya kesempatan untuk bertemu dengan manusia yang sungguh dicintainya itu.

Aku tahu, bukan main girangnya dia ketika matanya benar menangkap pria itu secara nyata. Saking girangnya, mulutnya yang biasa cerewet, kini jadi bungkam. Tak satupun cerita atau pertanyaan berarti yang bisa diungkapnya. Semua yang ditanyakannya sungguh kedengaran konyol dan bodoh. Tapi kurasa dia tidak benar-benar mempedulikannya. Dia terlalu senang. Dia mendapatkan bahagianya lagi.

Hari itu berakhir dan datanglah hari baru. Kesedihannya (seolah) berakhir dan datanglah senyum baru. Pria itu menawarkan diri untuk menjemputnya. Raut wajahnya mendadak berubah. Mulutnya sedikit terbuka dan sorot matanya minta bantuan. Aku langsung panik.
                “Ini gimana?” tanyanya dengan nada yang sulit kujabarkan.
                “Ini sulit.” Jawabku serampangan.
Dia menghela napas dan mulai menghentak-hentakkan kakinya. Aku tahu, itu berarti dia sedang bingung. Manakah jalan yang harus dipilihnya? Di satu sisi dia sungguh cinta, dia ingin bahagia bisa melihat pria itu lagi, secara nyata. Dia tidak ingin mengecewakan pria itu karena dia tahu, manusia kesayangannya punya rasa yang masih sama. Tapi dia tidak siap dengan semuanya. Dia tidak ingin mengecewakan orang tuanya dengan melanggar aturan mereka. Haruskah dia menolak ajakan si pria? Atau dia nekat mengabaikan aturan orang tuanya?

Dia terdiam. Cukup lama. Matanya menekuni ubin tempat pijakan kakinya. Aku menunggunya. Aku menunggu keputusannya.
                “Aku dijemput papah aja ya.”

Mendadak, semua jadi hening. Angin pun menahan napas mereka. Aku seperti tidak memercayai telingaku. Aku merasa ada yang salah dengan sistem pendengaranku. Tapi itulah keputusannya. Itulah jalan yang dipilihnya. Dia merelakan hatinya remuk redam demi orang tuanya. Dia rela perasaannya tertusuk dan bahagianya tertunda demi aturan keluarganya. Dia memaksa hatinya tega menolak cintanya demi ayahnya, demi ibunya. Padahal, dia sendiri tahu, dia harus kembali ke penantian jika dia mengikhlaskan kesempatan ini.

Aku tahu, luka hatinya cukup parah. Bila aku bisa, aku ingin terjun dalam danau airmatanya. Aku ingin ikut meleburkan diri, asal bisa menyelamatkannya dari semua itu.

Suatu hari, aku melihatnya sibuk dengan urusan dapur. Aku terkejut. Karena kuingat, dia sungguh benci memasak. Dia benci berurusan dengan sayuran. Dia benci berurusan dengan bumbu-bumbu, minyak, dan kecap. Dia benci berurusan dengan gula dan garam.
                “Aku lagi belajar masak.” Ucapnya polos ketika dia melihat tanda tanya besar dibalik tatapanku.
Aku menaikkan alis, masih belum terima dengan penjelasannya.
                “Biar besok kalau aku punya suami, aku bisa masakin dia.”
Oooh, itu alasannya. Aku diam saja. Kutahu, suami yang dia maksud adalah pria itu. Tangannya mulai terampil, meski kadang terlihat kaku. Aku masih terlalu bingung dengan laporan mataku, jadi aku tidak bisa berkata banyak. Aku hanya menatapnya. Memperhatikan gerakan tangannya. Mengamati raut wajah polosnya. Seakan kuingin menyelami hatinya, menemukan kitab cintanya, membaca tentang manusia yang ada di lembar pertama otaknya.

Ah, semakin hari, kurasa semakin berat beban yang ada di bahunya. Tapi kutahu, dia berusaha tampil tegar. Dia berusaha menutupi segala macam dan bentuk derita, sengsara, juga airmata. Di satu sisi, dari diriku sendiri, aku tidak tahan dengan semua itu. Aku tidak tahan melihat dia memikul bebannya sendirian. Aku ingin menolongnya. Aku ingin menyelamatkannya. Aku ingin membawanya pada satu lorong pelepasan yang ujungnya bertemu dengan cahaya Sang Surya. Aku ingin, tapi aku tak bisa. Entah mengapa, aku tak punya cukup kata-kata untuk menjabarkannya.

Dan, inilah dia. Inilah wanita dengan hati penuh pilu sendu. Inilah wanita dengan beban sebesar Gunung Merbabu. Inilah wanita itu, sisi lain dari...aku.

Cerita selanjutnya : Tentang 'dia' #2

Minggu, 04 Agustus 2013

Aku takut, tentang kamu

Tanganku masih asyik menggenggam mouse, mataku masih serius merunut kicauan-kicauanmu, telingaku masih menikmati alunan nada yang berpadu dengan kata lalu jadi lagu, kepalaku masih mengangguk-angguk mengikuti irama drum dari speaker. Aku masih belum menemukan sesuatu yang kucari. Entahlah, aku tidak bisa menjabarkannya dengan logika. Aku pakai firasat, kali ini. Aku menuruti apa kata hati. Ia sepertinya punya sesuatu untuk kuketahui. Tanganku seperti ada yang menggerakkan. Mataku seperti ada yang mengarahkan. Aku tidak tahu apa yang perlu kuamati. Tapi aku merasa, hal itu penting, dan bodohlah aku jika aku menolak untuk mencari.

Detik demi detik masih setia berjalan sembari aku berperan jadi stalker, eh, detektif, eh, sekadar penerapan metode ilmiah. Ah, terserahlah, intinya itu. Lalu, tiba-tiba saja aku terhenti pada satu kicauanmu, yang entah mengapa, menggelitik untuk dikupas lebih jauh. Pointer-ku mengarah pada link expand. Mataku mencermati tiap abjad. Sedetik kemudian, aku nyaris tertawa terpingkal-pingkal. Tapi kutahan semua itu. Konyol rasanya jika tiba-tiba aku menertawai sesuatu yang lucunya hanya menurutku saat di dekatku ada manusia-manusia wajar, dan pasti tak sepaham dengan hatiku dalam kasus ini. Aku benar-benar menahan tawa itu hingga perutku tegang dan kaku. Mataku mulai berkaca-kaca dan sesegera mungkin aku berlari menuju toilet, menutup pintu, berjongkok memegangi perut sembari masih berjuang menahan tawa.



Dia lagi. Haha. Lagi-lagi dia. Lama aku mengatur napas, lalu tiba-tiba aku merasa aku harus salut dengan perjuangannya. Aku benci mengatakan ini. Namun faktanya dia adalah sainganku. Semua orang yang paham kasus cinta ini pasti berpendapat begitu. Aku berjuang. Dia juga. Aku berjalan, dia berderap. Aku berlari, dia melayang. Aku terbang, dia.. ah sudahlah. Aku dan dia sama-sama menguras tenaga meski takarannya tak sama. Demi apa? Sudah jelas jawabnya; kamu. Untuk satu kata itulah dua hawa melakukan ini itu, dari hal paling kece sampai yang paling konyol, untuk memenangkan hatimu. Memenangkan. Bukan memperebutkan. Kamu pantas untuk dimenangkan, terlalu istimewa untuk sekadar diperebutkan.

Suasana hatiku kerap berganti sejak dia datang. Keingintahuan, ketika melihat timeline-mu dipenuhi satu nama yang terasa asing. Kecemburuan, setelah membaca beberapa kicauan yang (mungkin) biasa bagi kamu, bagi orang lain. Tapi kuyakin, tidak biasa bagiku dan bagi dia. Kadang aku jadi ambisius, kadang aku jadi serius. Kadang pula panas, ketika kamu menanggapi dia dengan baik, sementara aku? Bisa kamu jawab sendiri.

Hmm, memang suasana hatiku kerap berganti. Tapi ada satu rasa yang bertahan dan selalu cocok dalam segala suasana; takut. Iya, aku takut. Apa kamu tahu?

Semenjak dia hadir (entah dengan misi apa), aku sudah merasa dihantui rasa itu. Aku takut, semua yang aku perjuangkan dalam waktu tak singkat ini bisa kalah hanya dengan satu atau dua jurus darinya. Aku takut kamu suka dia. Aku takut, kalau buatmu dia lebih jago, dewasa, indah, dan istimewa. Aku takut ketika kamu sampai pada pengujung bimbangmu, pada titik akhir dari permenunganmu diantara dua hati, kamu memilih dia. Meninggalkan segalaku, menyarankan aku untuk berhenti menguras hati, tenaga, dan pikiran, lalu kembali pada hal yang bisa membuatku bahagia, tapi, bahagia yang tanpa kamu. Sungguh, aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaanku kalau hal itu terjadi.

Bulu kudukku meremang. Otakku tak sanggup mencerna, hati tak mampu berkata. Tak terbayangkan dan tak bisa dibayangkan, menurut versimu.

Maka, aku akan sampai pada titik terendah. Dimana aku tak mampu menerka tentang rasa. Entah rasa dengan logika. Atau rasa dengan rasa.

Aku tidak tahu, akankah kamu bisa memahami semua ini atau tidak. Aku takkan memaksamu, sungguh. Bacalah saja. Terimalah saja. Kamu tak perlu memahami, tak perlu mencari, tak perlu mengerti. Hanya perlu membaca. Dan, ingatlah satu hal ini: aku takut. Aku takut kehilangan kamu. Cukup.

Jumat, 02 Agustus 2013

Aku lelah. Itu saja.

Aku menuliskan semua ini ketika hatiku beralih fungsi jadi tempat sampah dan kuburan. Tempat aku membuang dan mengubur semua rasa sakit karena dikhianati, diabaikan, dan disia-siakan. Tempat aku menyimpan semua rasa sedih, pedih, perih, juga kecewa. Sesungguhnya aku tidak ingin membebani orang lain dengan bebanku. Aku benci membuat otak mereka ikut memikirkan perasaanku, dan bagaimana aku harus bersikap pun bertindak. Aku tidak mau sepersekian waktu hidup mereka tersita demi melihat airmata dan guratan kesedihan di wajahku. Aku tidak suka. Tapi waktu tak kunjung menyerah. Ia masih bertahan dalam misi menghimpit harapanku, memporak-porandakan hatiku, mencegah rasa cinta di pembuluh-pembuluh darahku. Nyaliku mulai habis, padahal aku tidak tahu bagaimana cara mengisinya lagi.

Aku menuliskan semua ini ketika aku tidak tahu kemana aku harus bercerita. Diluar sana, orang-orang yang kulihat, baik yang kukenal maupun tidak, sudah jadi alasan dari airmataku. Aku tidak paham. Mereka seperti membuat suatu kesepakatan untuk menusukku secara bersama-sama. Mereka seperti sudah menetapkan waktu untuk mencampakkan aku dengan lebih keras. Melucuti semua bahagia lalu memaksaku menelan kapsul pahit tanpa setetes airpun.

Aku hanya ingin berkata: aku lelah. Itu saja. Tidak lebih. Tapi rasanya tenaga yang tersisa, rasa yang masih ada, tidak cukup kuat untuk membuat orang lain mendengar dan memahami. Atau mungkin, aku tidak perlu mengungkapkannya karena mereka sudah tahu meski berusaha mengabaikan dan acuh tak acuh.

Aku butuh pelepasan. Aku butuh udara. Aku butuh lorong yang membawaku kepada cahaya. Tapi aku tak kunjung menemukannya.

Hah, entahlah, semua terasa semakin berat. Dan tak seorangpun peduli terhadapku. Mereka hanya bisa menyalahkan aku. Memaki. Memojokkan. Menakuti. Menusuk. Mencabik. Melukai. Tanpa sadar, manusia yang mereka sakiti adalah orang yang sedang berada dalam kesakitan. Mereka pikir aku manusia tanpa masalah, karena selama ini aku diam dan tak pernah mengungkapkan atau menjabarkan rasa sakit macam apa yang ada di hati ini. Mereka kira aku manusia paling bahagia karena bibirku terus menggores senyum dan tawa. Tak ada airmata.

Dan, mereka salah besar. Aku adalah aku yang sama dengan banyak orang. Punya rasa sakit hati yang begitu dalam, begitu berat. Punya airmata kesedihan yang banyak, meski tak pernah kuperlihatkan. Tapi mereka tidak tahu. Mereka takkan pernah tahu.

Rabu, 17 Juli 2013

MOPDB 2013

Ini tulisan yang saya buat khusus untuk MOPDB 2013. Saya akan sampai pada penghujung biru-putih dan akan segera bertemu dengan putih-abu-abu pada tahun ajaran baru ini. Selamat membaca, selamat memahami, selamat mengapresiasi:)


15 JULI 2013

Semangat Senin:)
Ini adalah hari pertama MOPDB pertama saya di SMA NEGERI 1 KASIHAN. Mulai hari ini, saya harus mengucapkan selamat tinggal pada libur panjang saya. Saya harus rela berpisah dari waktu bangun siang saya. Saya harus rela berjarak dari tidur larut malam saya, demi hari ini.
Saya datang dengan balutan jaket, perasaan was-was dan takut, juga badan sedikit demam. Sudah banyak ekspresi kakak kelas yang saya dapat hari ini. penasaran, tidak peduli, datar, dan masih banyak ekspresi yang singgah sejenak di kepala saya. Dari saya pribadi, saya yakin ekspresi wajah saya masih sama dengan Sabtu kemarin. Celingak-celinguk seperti anak hilang. Mata meliar kesana-kemari mencari teman seangkatan seperjuangan.
Sepertinya, saya kurang beruntung. Akhirnya saya putuskan utnuk  menapaki anak tangga demi anak tangga, sembari berharap, sudah ada manusia yang saya kenal di ruang X-A.
Dinginnya AC langsung menyerang tubuh saya yang lebih hangat dari biasanya ini. Tapi saya tidak begitu peduli akan semua itu setelah mata saya terkunci pada manusia yang saya kenal. Sebersit senyum saya gores dan kaku melangkah lebih cepat.
Sejenak, bel masuk berbunyi.
Hari penggemblengan sudah resmi dimulai.
***
                “Nametag-nya dibawa?” pekik saya setengah tidak percaya. Astaga, saya tidak suka pada tugas satu itu. Tugas yang mengharuskan kami berpose aneh-aneh. Namun, apa boleh buat? Saya harus mematuhi semua itu demi terhindar dari hukuman, yang saya yakin, pasti bakal lebih aneh-aneh.
Dan, sembari menahan wajah yang mulai memerah, saya, juga teman-teman berjalan menuju GOR Sasana Among Putra yang langsung membuat saya jatuh cinta. Ini bukan kali pertama saya memasuki sebuah GOR. Tapi ini adalah kali pertama saya memasuki GOR milik sekolah saya sendiri. Milik sekolah saya sendiri! Betapa bangganya!
Sungguh, sulit bagi saya menyembunyikan bahagia.
Sungguh terlalu mudah untuk jatuh cinta pada pandangan pertama.
***
                “Permisi, Pak,” suara halus merambat memasuki telinga saya. Spontan, kami menoleh. Seorang gadis dengan kulit putih, bibir merah dan berkerudung melongokkan kepala ke dalam kelas. Ketua MPK yang jelita itu datang. Wali kelas saya segera mempersilakannya masuk untuk membawa nametag kami lalu memeriksanya.
Jujur, saya tidak berharap banyak. Saya hanya berdoa, apapun yang akan terjadi setelah pengoreksian nametag itu, saya dapat melaluinya dengan baik. Itu saja. Tidak lebih.
Cukup lama kami menunggu dengan perasaan yang tidak bisa dijabarkan satu-persatu. Dan, sesegera setelah anggota MPK itu datang lagi, penghuni kelas saya (kecuali wali kelasnya, karena beliau sudah selesai mendampingi) seperti sudah diberi aba-aba untuk menahan napas secara bersama.
Percayakah kalian, hanya ada empat orang siswa di kelas saya yang nametag-nya sesuai dengan yang diinstruksikan. Dan salah satunya adalah saya! Ibarat balon, saya pasti sudah meledak dan udara di dalamnya langsung kabur entah ke sudut mana dan setinggi apa.
Saya bahagia.
Ternyata demam yang biasanya memberi pengaruh negatif, kini membawa dampak positif. Saya lolos, hari ini. saya berharap bisa lolos pada hari-hari berikutnya.
Saya rasa, cukup bagi saya untuk berkicau. Besok saya akan datang dengan celotehan beda kisah.
Selamat hari Senin:)
.LTA.


16 JULI 2013

Salam Selasa:)
Saya cukup kelelahan hari ini. entah mengapa MOPDB hari ke-2 begitu memeras tenaga saya. Kegiatan hari ini diawali dengan semacam “pendalaman iman” atau apalah itu namanya, sesuai dengan agama masing-masing. Masih dengan badan sedikit demam, saya dan ke-6 teman (kalau nggak salah) berjalan menuju ruangan yang sudah ditetapkan untuk acara ini.
Jujur, saya tidak begitu memperhatikan guru pendampingnya, atau petugasnya, atau acaranya. Saya terlalu sibuk memandangi hal-hal di sekitar saya. Kakak kelas, teman dari kelas lain, pemandangan luar, bahkan sampai jendela juga meja dan kursi tidak luput dari bidikan mata saya.
Acara selesai, padahal pikiran saya belum kembali pada hal yang mestinya saya perhatikan! Tapi, sudahlah. Setidaknya raga saya ada di ruangan itu. Orang lain percaya saya ada di situ, meski pikiran saya jalan-jalan sampai keluar ruangan.
***
                “Eh, dek, buat yang baru dateng, diary buat PRA MOPDB-nya dibikin, ya.” Salah satu kakak kelas tiba-tiba membuka mulut.
Saya langsung kaget. Dan saking paniknya, ide yang biasanya saya simpan, kosakata yang sudah saya hapalkan, lari semua tanpa seijin saya.
Belum sempat saya memutuskan kalimat seperti apa yang kira-kira cocok untuk dijadikan pembuka, kami sudah diminta turun dan menuju GOR, mengikuti acara selanjutnya.
Sesungguhnya, pada acara di GOR itu, saya bisa mengikutinya sembari memeras otak lalu menuangkannya dalam bentuk tulisan. Tapi entah mengapa, hal yang biasanya mudah kini berubah jadi begitu sulit.
Acara sudah berjalan lebih dari 60 menit dan saya masih terhenti pada kalimat, “Selamat pagi, Dear Diary:)”
Oke, tampaknya ini benar-benar sulit.
***
                “Dek, buat yang PRA MOPDB-nya belum selesai nggakpapa. Yang penting MOPDB hari pertamanya udah.”
Ah, syukurlah. Seketika kepala saya serasa dihembusi angin segar dan semua rasa panik saya mundur teratur. Berbarengan dengan itu, tenaga saya turun drastis, seperti handphone yang mengalami low battery. Konsenstrasi saya hilang dan saya merasa sangat lelah.
Waktu seakan mengejek saya. Ia seolah berjalan melambat seperti tanda tempo yang berubah secara bertahap (meski faktanya itu jelas tidak masuk akal). Dari Moderato, jadi Andante, lalu geser lagi jadi Andantino.
Saya berusaha bertahan, dan syukurlah, sekali lagi saya berhasil.
Saya pulang (dengan wajah ditekuk berlapis seperti orang kalah perang, haha).
Selamat hari Selasa Malam:)
.LTA.


17 JULI 2013

Hari terakhir MOPDB 2013.
Selamat pagi:)
Pagi ini saya datang tanpa demam yang sudah setia dengan saya selama empat hari. Haha. Acara pertama masih sama dengan kemarin. Dan lagi-lagi saya tidak memperhatikan sepenuhnya. Bukan karena pikiran saya kabur lagi, tapi karena saya terlambat masuk ruangan.
Setelah acara pertama sampai pada penghujungnya, kami kembali ke kelas. Mempersiapkan juga mengompakkan untuk pensi nanti.
Saya tidak begitu nyaman dengan mars-nya, juga dengan yel-yel-nya. Tapi ini sudah ditetapkan dan saya harus ikut berlatih.
Dan, begitu perwakilan mencoba berlatih, seketika bibir saya tertarik. ‘Ini akan membanggakan.’ Bisik saya dalam hati.
Sekarang, saya ada di aula, sedang memeras otak dan berjuang keras menyelesaikan diary ini, haha.
Sebentar lagi pensi akan dimulai. Bersamaan dengan itu, MOPDB 2013 akan sampai pada titik akhirnya.
Cukup sekian, ya.
Saya berharap semua pengalaman saya selama tiga hari ini bisa membantu saya menapaki anak tangga, menuju satu tahap yang disebut dewasa:)

.LTA.

Kamis, 11 Juli 2013

Kamu Tahu, Aku Ada


Hujan masih mengguyur dengan begitu semangatnya kala kudengar suara ketukan pintu yang kutahu, ada manusia yang tidak sabaran sedang berdiri di baliknya. Dengan malas, aku melangkah menuju ruang tamu. Berusaha menebak-nebak, siapa orang kurang kerjaan yang rela menyakiti tangannya demi terbukanya pintu itu. Satu hembusan napas kesal dan hati sedikit mendongkol, kusentuh gagang pintuku, membukanya. Dan aku melihat sesosok manusia yang cukup membuat jantungku berhenti.

Kamu.

Sedang berdiri tepat di depanku, dengan badan basah kuyup, dan menggigil, kedinginan. Tubuhmu yang biasanya tegak terlihat sedikit lemah. Kutahu, airmata langit dan hembusan angin terus meneruslah yang membuatmu seperti ini. Aku jadi panik. Jadi lupa semua ritual yang biasa kulakukan saat menyambutmu. Bahkan aku sudah tidak bisa berpikir untuk menggores senyum. Buatku saat itu, pasokan energi dan kehangatan jauh lebih penting.

***

                “Darimana kamu?” tanyaku setelah kamu meneguk susu cokelat panas yang kubuatkan.
                “Rumah temen.”
                “Hujan-hujan gini? Ada urusan penting?” alisku berkerut.
                “Nggak sih, main aja. Tadi nggak hujan, tapi waktu aku mau pulang malah hujan.”
                “Kenapa enggak nunggu hujannya berenti?”
               “Karena aku tahu, di sana enggak ada kehangatan. Sama aja kan kalau di dalam dingin, sekalian aja aku pamit terus kerumahmu.” Kamu rapatkan jaket hingga tak bisa ditarik kemana-mana lagi.
                “Dan nggak bawa jas hujan.” Dengusku.
                “Iya, aku tahu. Makanya aku ke sini, aku cari kehangatan.”
Aku masih belum paham dengan maksudmu, “Kehangatan? Nggak ada kehangatan di sini, sayang. Rumah ini sama dengan rumah-rumah yang lainnya. Jadi dingin kalau hujan. Jadi panas kalau kemarau panjang.”
                “Buatku ada.” Mukamu serius.
                “Apa itu?”
Kamu hening sejenak. Menatapku dengan sesuatu yang tidak biasa di bola matamu, membuatku sedikit tidak enak hati.
                “Kamu.”
Aku melongo. Satu kata darimu cukup membuat darahku berdesir dan jantungku berpacu lebih cepat. Kamu merenggut seluruh perbendaharaan kata di otakku lalu membungkam mulutku. Suasana jadi hening. Hanya hujan yang masih setia membasahi bumi dan sesekali gemuruh terdengar di sana-sini.
Aku jadi salah tingkah. Apalagi ketika kutahu kamu tetap diam di sana, masih memegang mug susu cokelat panas itu, dengan pandangan tertuju pada satu titik. Seperti di titik itu kamu sedang melihat sebuah film atau apalah namanya yang membuatmu betah.
                “Kamu jadi diam,” katamu tertahan setelah beberapa menit kita sibuk adu argumentasi dengan pikiran masing-masing.
                “Karena kamu juga diam.” Kataku polos. Kamu tertawa. “Masih dingin?”
Kamu tersenyum. “Baikan, tapi masih kurang.”
Bola mataku berputar-putar, “Aku buatin bubur ya.” Sesegera mungkin aku berdiri dan berbalik. Tapi kusadari, sesuatu menahan tanganku dan ia tidak mau melepaskannya. Aku mengarahkan pandangan padamu, minta penjelasan. “Ada apa?”
Kamu mengumpulkan tenaga sebanyak mungkin lalu berdiri. “Kamu nggak perlu repot-repot...cukup di sini aja..temani aku..” susah payah kamu menyusun kata. Aku masih dalam proses memahami kalimatmu ketika tanganmu mulai menarik tubuhku. Dekat, dekat, hingga tidak berjarak. Aku hanya bisa pasrah ketika lengan kokohmu menenggelamkan aku dalam pelukan. Begitu erat, hingga aku bisa mendengar detak jantungmu.
                “Jangan kemana-mana. Di sini aja, temani aku.” Sekali lagi kamu mengucapkan kalimat itu. Semua rasa seperti masuk ke dalam hatiku, hingga aku tak sanggup berkata-kata. Aku hanya bisa balas memelukmu. Mengalirkan panas dari tubuhku ke tubuhmu. Aku mengerti kini, jenis kehangatan yang mana yang kamu perlukan. Aku tahu, hari ini, kamu sudah mengambil keputusan yang tepat: mencariku. Karena aku yakin kamu paham, aku ada.


Maka, carilah aku, ketika kamu butuh teman.
Carilah aku, ketika kamu butuh kehangatan.
Carilah aku, ketika kamu butuh pasokan semangat.
Carilah aku, ketika kamu ingin berbagi kesedihan.
Carilah aku, carilah aku, ketika tidak ada yang mau peduli denganmu.
Karena aku yakin, kamu paham, aku ada.
Aku akan selalu ada di sini,
Menunggumu,
Menjagamu,
Bersamamu.
Dan, ketika sudah tiba saatnya,
Dimana kamu harus pergi,
Karena ada manusia yang lebih bisa membahagiakan kamu,
Aku akan siap untuk kamu tinggalkan.
Aku akan siap untuk kamu abaikan.
Aku akan siap untuk kamu lupakan.
Namun, jika satu waktu kamu ignin kembali,
Aku akan tetap diam di sini.
Selalu ada.
Untuk kamu.


11 Juli 2013, 10.31 PM