Hujan
masih mengguyur dengan begitu semangatnya kala kudengar suara ketukan pintu
yang kutahu, ada manusia yang tidak sabaran sedang berdiri di baliknya. Dengan
malas, aku melangkah menuju ruang tamu. Berusaha menebak-nebak, siapa orang
kurang kerjaan yang rela menyakiti tangannya demi terbukanya pintu itu. Satu
hembusan napas kesal dan hati sedikit mendongkol, kusentuh gagang pintuku,
membukanya. Dan aku melihat sesosok manusia yang cukup membuat jantungku
berhenti.
Kamu.
Sedang
berdiri tepat di depanku, dengan badan basah kuyup, dan menggigil, kedinginan.
Tubuhmu yang biasanya tegak terlihat sedikit lemah. Kutahu, airmata langit dan
hembusan angin terus meneruslah yang membuatmu seperti ini. Aku jadi panik.
Jadi lupa semua ritual yang biasa kulakukan saat menyambutmu. Bahkan aku sudah
tidak bisa berpikir untuk menggores senyum. Buatku saat itu, pasokan energi dan
kehangatan jauh lebih penting.
***
“Darimana kamu?” tanyaku setelah
kamu meneguk susu cokelat panas yang kubuatkan.
“Rumah temen.”
“Hujan-hujan gini? Ada urusan
penting?” alisku berkerut.
“Nggak sih, main aja. Tadi nggak
hujan, tapi waktu aku mau pulang malah hujan.”
“Kenapa enggak nunggu hujannya
berenti?”
“Karena aku tahu, di sana enggak
ada kehangatan. Sama aja kan kalau di dalam dingin, sekalian aja aku pamit
terus kerumahmu.” Kamu rapatkan jaket hingga tak bisa ditarik kemana-mana lagi.
“Dan nggak bawa jas hujan.”
Dengusku.
“Iya, aku tahu. Makanya aku ke
sini, aku cari kehangatan.”
Aku
masih belum paham dengan maksudmu, “Kehangatan? Nggak ada kehangatan di sini,
sayang. Rumah ini sama dengan rumah-rumah yang lainnya. Jadi dingin kalau
hujan. Jadi panas kalau kemarau panjang.”
“Buatku ada.” Mukamu serius.
“Apa itu?”
Kamu
hening sejenak. Menatapku dengan sesuatu yang tidak biasa di bola matamu,
membuatku sedikit tidak enak hati.
“Kamu.”
Aku
melongo. Satu kata darimu cukup membuat darahku berdesir dan jantungku berpacu
lebih cepat. Kamu merenggut seluruh perbendaharaan kata di otakku lalu
membungkam mulutku. Suasana jadi hening. Hanya hujan yang masih setia membasahi
bumi dan sesekali gemuruh terdengar di sana-sini.
Aku
jadi salah tingkah. Apalagi ketika kutahu kamu tetap diam di sana, masih
memegang mug susu cokelat panas itu, dengan pandangan tertuju pada satu titik.
Seperti di titik itu kamu sedang melihat sebuah film atau apalah namanya yang
membuatmu betah.
“Kamu jadi diam,” katamu
tertahan setelah beberapa menit kita sibuk adu argumentasi dengan pikiran
masing-masing.
“Karena kamu juga diam.” Kataku
polos. Kamu tertawa. “Masih dingin?”
Kamu
tersenyum. “Baikan, tapi masih kurang.”
Bola
mataku berputar-putar, “Aku buatin bubur ya.” Sesegera mungkin aku berdiri dan
berbalik. Tapi kusadari, sesuatu menahan tanganku dan ia tidak mau
melepaskannya. Aku mengarahkan pandangan padamu, minta penjelasan. “Ada apa?”
Kamu
mengumpulkan tenaga sebanyak mungkin lalu berdiri. “Kamu nggak perlu
repot-repot...cukup di sini aja..temani aku..” susah payah kamu menyusun kata.
Aku masih dalam proses memahami kalimatmu ketika tanganmu mulai menarik
tubuhku. Dekat, dekat, hingga tidak berjarak. Aku hanya bisa pasrah ketika
lengan kokohmu menenggelamkan aku dalam pelukan. Begitu erat, hingga aku bisa
mendengar detak jantungmu.
“Jangan kemana-mana. Di sini
aja, temani aku.” Sekali lagi kamu mengucapkan kalimat itu. Semua rasa seperti
masuk ke dalam hatiku, hingga aku tak sanggup berkata-kata. Aku hanya bisa
balas memelukmu. Mengalirkan panas dari tubuhku ke tubuhmu. Aku mengerti kini,
jenis kehangatan yang mana yang kamu perlukan. Aku tahu, hari ini, kamu sudah
mengambil keputusan yang tepat: mencariku. Karena aku yakin kamu paham, aku
ada.
Maka, carilah aku, ketika kamu butuh teman.
Carilah aku, ketika kamu butuh kehangatan.
Carilah aku, ketika kamu butuh pasokan semangat.
Carilah aku, ketika kamu ingin berbagi kesedihan.
Carilah aku, carilah aku, ketika tidak ada yang mau peduli denganmu.
Karena aku yakin, kamu paham, aku ada.
Aku akan selalu ada di sini,
Menunggumu,
Menjagamu,
Bersamamu.
Dan, ketika sudah tiba saatnya,
Dimana kamu harus pergi,
Karena ada manusia yang lebih bisa membahagiakan kamu,
Aku akan siap untuk kamu tinggalkan.
Aku akan siap untuk kamu abaikan.
Aku akan siap untuk kamu lupakan.
Namun, jika satu waktu kamu ignin kembali,
Aku akan tetap diam di sini.
Selalu ada.
Untuk kamu.
11 Juli 2013, 10.31 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar