Halo, Tuan Bajak Laut. Aku minta ijin
menuliskan namamu dalam siratan pada gambaran kertas ini. Perkenalkan, aku
adalah seseorang yang diam-diam memperhatikanmu, diam-diam salah tingkah ketika
mataku tanpa sengaja bertemu matamu, juga diam-diam menyukaimu. Kamu boleh
mengataiku pengecut tentang kediam-diamanku. Tapi buatku, mempertahankan segala
sesuatunya yang berhubungan dengan hati ini dan kamu dalam kategori “diam-diam”
adalah hal yang sulit namun harus dipertahankan. Aku hanya tak ingin kehilangan
kesempatan kecilku.
Selalu ada alasan ketika seseorang
memutuskan nama panggilan kesayangan. Begitu pula aku. Kuputuskan memanggilmu
Tuan Bajak Laut, karena ada kebiasaan kecilmu yang tiba-tiba membuka ingatanku
tentang Kapten Hook, bajak laut pada
film Peterpan. Tapi tolong jangan
salah sangka, kamu tidak sejahat yang digambarkan pada kartun itu. Dan aku tak
memanggilmu Bajak Laut dengan mengatasnamakan sikapmu. Tidak. Kamu terlalu
baik.
Panggilanmu kuambil dari dongeng, seperti
kita, aku, kamu, dan rasa yang tak perlu kauketahui ini seakan hanya dongeng.
Kemustahilan tingkat tinggi untuk bisa disinkronkan dengan realita. Kamu
berdiri disana, dalam tahta bersama permaisurimu. Wanita yang begitu cantik,
dan kamu, entah harus kugambarkan ketampananmu dengan cara apa.
Aku hanyalah satu dari sekian banyak
manusia biasa yang menyisakan sepotong hati untukmu. Aku menyukaimu,
mengagumimu. Namun tetap, kamu tak perlu tahu. Kupastikan keluarga kerajaanmu
adalah manusia-manusia yang siap sedia dengan pedang dan belatinya. Mereka akan
menarik pedang itu dan menghunusnya tanpa ampun untuk manusia biasa yang tak
tahu diri. Hingga nekat mendekatimu. Berusaha merusak cintamu untuk Sang
Permaisuri. Aku hanya tak ingin merasakan pedang itu. Bukan karena aku belum
pernah merasakan sebelumnya, justru karena aku terlalu sering sampai begitu
terbiasanya.
Aku pernah punya teman. Dan ia begitu bodoh
sampai berani memberimu kode rasa. Hingga detik ini aku tak paham cara
pikirnya. Bagaimana ia bisa melakukannya seakan dunia kalian sama. Sungguh kamu
peka. Dan aku masih bisa mengingat kalimat kemuakan yang terpaksa kamu
lontarkan. Dari situ aku sadar, kita lebih dari sekadar berbeda. Baiklah, kita
mungkin diijinkan ada dalam sepotong kisah yang sama. Tapi dunia kita takkan
menyatu. Dan hal yang paling menyakitkan adalah berada dalam kisah yang sama
dengan dunia yang berbeda. Bersamamu, disana, jauh, dan tak mungkin.
Jangan pernah lihat, Tuan Bajak Laut.
Cukuplah merasakan. Karena aku tenggelam dalam lusinan manusia dengan hati dan
rasa yang sama akan kamu. Tetaplah peka, karena hati dan rasa ini masih
tersisa.
Dari seseorang
yang kehilangan
sejarah
dan akal
sehatnya,
hingga
menyukaimu.