Senin, 22 September 2014

Bajak Laut

Halo, Tuan Bajak Laut. Aku minta ijin menuliskan namamu dalam siratan pada gambaran kertas ini. Perkenalkan, aku adalah seseorang yang diam-diam memperhatikanmu, diam-diam salah tingkah ketika mataku tanpa sengaja bertemu matamu, juga diam-diam menyukaimu. Kamu boleh mengataiku pengecut tentang kediam-diamanku. Tapi buatku, mempertahankan segala sesuatunya yang berhubungan dengan hati ini dan kamu dalam kategori “diam-diam” adalah hal yang sulit namun harus dipertahankan. Aku hanya tak ingin kehilangan kesempatan kecilku.

Selalu ada alasan ketika seseorang memutuskan nama panggilan kesayangan. Begitu pula aku. Kuputuskan memanggilmu Tuan Bajak Laut, karena ada kebiasaan kecilmu yang tiba-tiba membuka ingatanku tentang Kapten Hook, bajak laut pada film Peterpan. Tapi tolong jangan salah sangka, kamu tidak sejahat yang digambarkan pada kartun itu. Dan aku tak memanggilmu Bajak Laut dengan mengatasnamakan sikapmu. Tidak. Kamu terlalu baik.

Panggilanmu kuambil dari dongeng, seperti kita, aku, kamu, dan rasa yang tak perlu kauketahui ini seakan hanya dongeng. Kemustahilan tingkat tinggi untuk bisa disinkronkan dengan realita. Kamu berdiri disana, dalam tahta bersama permaisurimu. Wanita yang begitu cantik, dan kamu, entah harus kugambarkan ketampananmu dengan cara apa.

Aku hanyalah satu dari sekian banyak manusia biasa yang menyisakan sepotong hati untukmu. Aku menyukaimu, mengagumimu. Namun tetap, kamu tak perlu tahu. Kupastikan keluarga kerajaanmu adalah manusia-manusia yang siap sedia dengan pedang dan belatinya. Mereka akan menarik pedang itu dan menghunusnya tanpa ampun untuk manusia biasa yang tak tahu diri. Hingga nekat mendekatimu. Berusaha merusak cintamu untuk Sang Permaisuri. Aku hanya tak ingin merasakan pedang itu. Bukan karena aku belum pernah merasakan sebelumnya, justru karena aku terlalu sering sampai begitu terbiasanya.

Aku pernah punya teman. Dan ia begitu bodoh sampai berani memberimu kode rasa. Hingga detik ini aku tak paham cara pikirnya. Bagaimana ia bisa melakukannya seakan dunia kalian sama. Sungguh kamu peka. Dan aku masih bisa mengingat kalimat kemuakan yang terpaksa kamu lontarkan. Dari situ aku sadar, kita lebih dari sekadar berbeda. Baiklah, kita mungkin diijinkan ada dalam sepotong kisah yang sama. Tapi dunia kita takkan menyatu. Dan hal yang paling menyakitkan adalah berada dalam kisah yang sama dengan dunia yang berbeda. Bersamamu, disana, jauh, dan tak mungkin.

Jangan pernah lihat, Tuan Bajak Laut. Cukuplah merasakan. Karena aku tenggelam dalam lusinan manusia dengan hati dan rasa yang sama akan kamu. Tetaplah peka, karena hati dan rasa ini masih tersisa.

Dari seseorang
yang kehilangan sejarah
dan akal sehatnya,
hingga menyukaimu.