Jumat, 18 April 2014

Aku Sanggup

“Kamu itu tukang ngeluh!” nyaris, kamu menjerit. Berusaha mengeluarkan semua unek-unek dan melampiaskannya dalam satu kalimat. Sentakanmu mungkin terlampau kuat hingga aku merinding. Mulutku otomatis menganga, tak menyangka nada tegas dan keras seperti itu akan keluar dari mulutmu. Aku pun tak tahu harus membalasmu dengan reaksi macam apa. Atau perlukah kukatakan cukup?

Aku takkan pernah bisa dan tak punya hak untuk memaksamu bertahan terhadap semua ini. Kamu punya kebebasan untuk menentukan pilihanmu, jalanmu, dan langkahmu selanjutnya. Aku hanyalah satu dari sekian banyak manusia yang Tuhan beri kesempatan untuk menemuimu pada hari-hari yang telah tersusun dalam skenario hidup. Akan ada banyak orang yang mengisi otakmu, memperebutkan urutan pertama pada ingatanmu. Bukan hanya aku. Aku hanyalah salah satu, bukan satu-satunya. Itu semua tergantung kecocokan antara hatimu dan skenario Tuhan. Bisa apa aku?

Maaf, tapi aku mulai ragu. Akankah ‘kita’ bisa bertahan seperti angan yang terburu terucap kala bahagia? Aku berusaha untuk selalu menempatkanmu pada urutan teratas di daftar otak. Butuh proses, butuh banyak hal yang harus dikorbankan untuk sekadar bisa mengganti urutan. Aku susah payah membangun kepercayaan akan kamu. Tapi kamu semudah itu memporak-porandakannya. Adakah terpikirkan olehmu bagaimana perasaanku? Andai kamu mau memahami, takkan ada wanita yang mau sampai berdarah-darah memperjuangkanmu selain aku dan ibumu. Inikah balasanmu?

Bukan bermaksud pamrih, tapi aku juga manusia yang butuh dihargai. Aku masih cukup sadar diri. Siapalah aku bagimu? Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya menginjak-injak hati orang lain sementara hatimu kau bentengi agar tak satupun pisau, pedang, atau belati menembusnya dan mengoyak hatimu, juga rasa di dalamnya.

Aku bahkan tak mengenal kamu yang sekarang. Berusaha aku berpikir positif. Kucoba mencuci otakku dengan anggapan bahwa kamu hanya mengalami kelelahan berat sesaat. Lagi, aku mati-matian mempertahankan anggapan itu dengan alasan aku sudah memilihmu dan aku ingin konsekuen menerima segala resiko akan pilihan itu. Namun tetap saja, sifat keras kepalamu, hatimu yang seperti batu dan sedingin es menolak untuk mencoba memahami. Lantas, siapakah yang egois?

Ada satu hari yang kuingat benar telah membawa hari-hari lain untuk menyerangku tanpa henti. Bukannya bermaksud melebih-lebihkan, karena kurasa tepat menggambarkannya seperti itu. Terlampau banyak urusan yang minta diselesaikan secepatnya. Terlampau banyak tenaga yang harus dikeluarkan dan waktu istirahat pun dipaksa mengalah.

Aku mulai paham aku membutuhkan semangat darimu lagi. Tak perlu dalam wujud rengkuhan. Tak selalu aku mengharapkan itu. Bagiku, cukuplah dapat berbagi denganmu. Cukuplah aku tahu telingamu benar kujejali dengan ceritaku. Soal bakal kau simpan atau tidak, itu takkan jadi masalah. Aku akan terbiasa dengan manusia yang menolak otaknya menyimpan kisahku. Itu hak mereka. Pertanyaannya, adakah kamu mau menyendengkan salah satu telingamu?

Kalau kamu bakal menjawab tidak, mestinya aku siap. Tapi tak semudah itu. Penolakanmu bisa berarti satu pukulan telak untukku. Sebuah tanda yang mengharuskan aku untuk mundur dan mencari sesuatu lain yang bisa kupakai sebagai pelampiasan.

Aku akan lepas kendali, sungguh. Masih sangat sulit buatku untuk menata bagaimana prosesi pelampiasan itu. Aku akan meledak-ledak. Aku akan meluncur cepat layaknya roket yang sebelum menembus atmosfer, misinya telah gagal. Lalu, kamu akan menyalahkanku. Selalu begitu.

Andai boleh menyerah, sudah kulakukan itu sedari dulu. Entah mengapa aku ingin bertahan. Selalu saja ada perasaan tak ikhlas ketika keputusan menyerah itu mulai membesar. Kurasa seperti ada yang ingin mencaci dan mengejek ketika akhirnya aku menyerah. Maka, kuputuskan untuk mencoba lagi dari awal. Mengambil puing-puing yang berserakan. Menatanya kembali, satu demi satu. Entahlah, mungkin kamu takkan tahu tentang itu.

Aku masih ingat ketika seseorang menguatkanku. Dia berkata supaya aku selalu ingat akan apa dan siapa yang kuperjuangkan. Akan apa dan siapa yang ingin kupersembahi hasil jerih payah ini. Agar aku bisa melewati segala sesuatu yang berawal manis namun pada tengah jalan bermutasi jadi jarum-jarum kecil. Agar aku, pada akhirnya, bisa benar-benar membuktikan kepada setiap manusia yang mau mendengarkanku. Bahwa aku telah berhasil melewati bagian yang pahit.

Dan hari ini suhunya naik, udara menghangat. Tapi, entah mengapa sedari tadi bulu kudukku meremang. Terus saja aku merinding, menggigil. Aku tak mau seperti orang kolot yang menghubung-hubungkan hal yang tak biasa ini dengan rasa yang disebut sakit hati. Namun, bisa kujabarkan dengan rumus apa tiap kejadian ini?

Aku mulai lelah dengan semua ini. Dan sesalku, mengapa kamu juga jadi salah satu penyebab lelahku?

Maka, pergilah jika itu akan membuatmu bahagia. Menjauhlah, jangan kembali, bila itu dapat menggores senyum juga tawamu lagi. Kejar apapun yang kamu mau. Jangan pikirkan aku. Aku hanya calon masalalumu yang baru. Lupakan semuanya, kubur dalam-dalam, buang jauh-jauh, tutup rapat-rapat. Aku akan sanggup. Bahagiamu adalah nomor satu. Soal aku, takkan penting untukmu.