“Kamu itu tukang ngeluh!” nyaris,
kamu menjerit. Berusaha mengeluarkan semua unek-unek dan melampiaskannya dalam
satu kalimat. Sentakanmu mungkin terlampau kuat hingga aku merinding. Mulutku
otomatis menganga, tak menyangka nada tegas dan keras seperti itu akan keluar
dari mulutmu. Aku pun tak tahu harus membalasmu dengan reaksi macam apa. Atau
perlukah kukatakan cukup?
Aku takkan pernah bisa dan tak
punya hak untuk memaksamu bertahan terhadap semua ini. Kamu punya kebebasan
untuk menentukan pilihanmu, jalanmu, dan langkahmu selanjutnya. Aku hanyalah
satu dari sekian banyak manusia yang Tuhan beri kesempatan untuk menemuimu pada
hari-hari yang telah tersusun dalam skenario hidup. Akan ada banyak orang yang
mengisi otakmu, memperebutkan urutan pertama pada ingatanmu. Bukan hanya aku.
Aku hanyalah salah satu, bukan satu-satunya. Itu semua tergantung kecocokan
antara hatimu dan skenario Tuhan. Bisa apa aku?
Maaf, tapi aku mulai ragu.
Akankah ‘kita’ bisa bertahan seperti angan yang terburu terucap kala bahagia?
Aku berusaha untuk selalu menempatkanmu pada urutan teratas di daftar otak.
Butuh proses, butuh banyak hal yang harus dikorbankan untuk sekadar bisa
mengganti urutan. Aku susah payah membangun kepercayaan akan kamu. Tapi kamu
semudah itu memporak-porandakannya. Adakah terpikirkan olehmu bagaimana
perasaanku? Andai kamu mau memahami, takkan ada wanita yang mau sampai berdarah-darah
memperjuangkanmu selain aku dan ibumu. Inikah balasanmu?
Bukan bermaksud pamrih, tapi aku
juga manusia yang butuh dihargai. Aku masih cukup sadar diri. Siapalah aku
bagimu? Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya menginjak-injak hati orang lain
sementara hatimu kau bentengi agar tak satupun pisau, pedang, atau belati
menembusnya dan mengoyak hatimu, juga rasa di dalamnya.
Aku bahkan tak mengenal kamu yang
sekarang. Berusaha aku berpikir positif. Kucoba mencuci otakku dengan anggapan
bahwa kamu hanya mengalami kelelahan berat sesaat. Lagi, aku mati-matian
mempertahankan anggapan itu dengan alasan aku sudah memilihmu dan aku ingin
konsekuen menerima segala resiko akan pilihan itu. Namun tetap saja, sifat
keras kepalamu, hatimu yang seperti batu dan sedingin es menolak untuk mencoba
memahami. Lantas, siapakah yang egois?
Ada satu hari yang kuingat benar
telah membawa hari-hari lain untuk menyerangku tanpa henti. Bukannya bermaksud
melebih-lebihkan, karena kurasa tepat menggambarkannya seperti itu. Terlampau
banyak urusan yang minta diselesaikan secepatnya. Terlampau banyak tenaga yang
harus dikeluarkan dan waktu istirahat pun dipaksa mengalah.
Aku mulai paham aku membutuhkan
semangat darimu lagi. Tak perlu dalam wujud rengkuhan. Tak selalu aku
mengharapkan itu. Bagiku, cukuplah dapat berbagi denganmu. Cukuplah aku tahu
telingamu benar kujejali dengan ceritaku. Soal bakal kau simpan atau tidak, itu
takkan jadi masalah. Aku akan terbiasa dengan manusia yang menolak otaknya
menyimpan kisahku. Itu hak mereka. Pertanyaannya, adakah kamu mau menyendengkan
salah satu telingamu?
Kalau kamu bakal menjawab tidak,
mestinya aku siap. Tapi tak semudah itu. Penolakanmu bisa berarti satu pukulan
telak untukku. Sebuah tanda yang mengharuskan aku untuk mundur dan mencari
sesuatu lain yang bisa kupakai sebagai pelampiasan.
Aku akan lepas kendali, sungguh.
Masih sangat sulit buatku untuk menata bagaimana prosesi pelampiasan itu. Aku
akan meledak-ledak. Aku akan meluncur cepat layaknya roket yang sebelum
menembus atmosfer, misinya telah gagal. Lalu, kamu akan menyalahkanku. Selalu
begitu.
Andai boleh menyerah, sudah
kulakukan itu sedari dulu. Entah mengapa aku ingin bertahan. Selalu saja ada
perasaan tak ikhlas ketika keputusan menyerah itu mulai membesar. Kurasa
seperti ada yang ingin mencaci dan mengejek ketika akhirnya aku menyerah. Maka,
kuputuskan untuk mencoba lagi dari awal. Mengambil puing-puing yang berserakan.
Menatanya kembali, satu demi satu. Entahlah, mungkin kamu takkan tahu tentang
itu.
Aku masih ingat ketika seseorang
menguatkanku. Dia berkata supaya aku selalu ingat akan apa dan siapa yang
kuperjuangkan. Akan apa dan siapa yang ingin kupersembahi hasil jerih payah
ini. Agar aku bisa melewati segala sesuatu yang berawal manis namun pada tengah
jalan bermutasi jadi jarum-jarum kecil. Agar aku, pada akhirnya, bisa
benar-benar membuktikan kepada setiap manusia yang mau mendengarkanku. Bahwa
aku telah berhasil melewati bagian yang pahit.
Dan hari ini suhunya naik, udara
menghangat. Tapi, entah mengapa sedari tadi bulu kudukku meremang. Terus saja
aku merinding, menggigil. Aku tak mau seperti orang kolot yang
menghubung-hubungkan hal yang tak biasa ini dengan rasa yang disebut sakit
hati. Namun, bisa kujabarkan dengan rumus apa tiap kejadian ini?
Aku mulai lelah dengan semua ini.
Dan sesalku, mengapa kamu juga jadi salah satu penyebab lelahku?
Maka, pergilah jika itu akan
membuatmu bahagia. Menjauhlah, jangan kembali, bila itu dapat menggores senyum
juga tawamu lagi. Kejar apapun yang kamu mau. Jangan pikirkan aku. Aku hanya
calon masalalumu yang baru. Lupakan semuanya, kubur dalam-dalam, buang
jauh-jauh, tutup rapat-rapat. Aku akan sanggup. Bahagiamu adalah nomor satu.
Soal aku, takkan penting untukmu.