Aku sibuk mereka-reka
suasana macam apa yang bakal kuhadapi nanti. Terlalu banyak bayangan
berkecamuk, berputar-putar, dan otak belum dapat bantuan dari hati untuk bisa
menyatukan segalanya tepat di satu titik. Halte itu belum dapat terwujud. Dan
yang lebih menyebalkan, Waktu berjalan malas-malasan seperti manusia kurang
tidur yang baru saja bangun tidur. Lalu sibuk mengingat-ingat mimpi. Melamun.
Topang dagu. Tolonglah, Sang Waktu. Apa perlu kusiram air agar jarummu bergerak
normal?
Setelah kurasa telah lama
menunggu, manusia kesayanganku akhirnya datang. Senja, angin, dan sisa cahaya
surya membawa hati untuk siap bertemu kesimpulan. Maka timbullah sebuah tanya:
akankah ekspektasi kali ini berbanding lurus dengan realita?
Aku harus puas dengan
berharap: semoga.
Dan, disinilah aku.
Pintu terbuka, semerbak
harum kopi datang ke hidung, diterjemahkan dengan baik oleh otak, dan menjalar
memenuhi benak. Entah mengapa, aku merasa senyaman berselimut saat hujan.
Mataku bergerak horizontal, menangkap apapun yang memungkinkan untuk direkam
dan disimpan otak. Tempat ini demikian kecil untuk manusia yang banyak tingkah
seperti aku. Tapi percayalah, hati yang mulai mencintai kopi bakal puas bisa
singgah disini. Dan kalau saja aku tak mampu menguasai diri, kupastikan kakiku
bakal tetap diam di tempat, dan entah berapa menit lewat disitu. Bagaimana
mungkin lantai kayu biasa bisa memberi kesan yang begitu istimewa? Seperti
memelukmu, kaki ini tak rasanya tak mau beranjak.
Sebagai pemula untuk
urusan kopi, aku masih belum pandai memilih mana yang sekiranya bisa bersahabat
baik dengan lidah dan lambungku. Lalu, setelah menimbang dan sedikit memeras
otak, hatiku mengarah pada espresso.
Dan itu saja yang sanggup kupilih. Tolong jangan tanya aku minta jenis kopi aku
yang kumau, atau aku bakal diam melongo, sungguhan tak mengerti. Apa sajalah,
kataku. Yang penting jangan terlalu berat karena lambungku bisa saja meronta
sampai sekarat.
Mataku masih belum puas
melihat apapun yang kelihatan di ruang ini. Dan meja di pojok belakang dengan
kursi yang masuk golongan tinggi untukku bisa jadi perpaduan yang manis. Kini,
waktu jadi terlampau cepat berlalu.
Segalanya ada disini.
Aroma, tulisan, perabot-perabot dan apapun yang belum pernah menjamah otakku
sudah antre minta tiket masuk. Bisakah sabar? Aku sedang sibuk menata bahagia
hati ini.
Seketika otakku macet dan
aku megap-megap mencari udara. Yang kuhadapi kini sulit dilukiskan dengan
kata-kata. Aku cuma bisa mengemut pelan-pelan, padahal yang harus masuk
sebanyak ini. Sekarang aku paham, adakalanya senyuman dibalik bekapan, teriakan
tertahan dan mata yang berkaca-kaca mampu bercerita jauh lebih baik dari
deretan kata.
Kopiku datang. Kopi
sungguhan kali pertamaku. Oh Tuhan, kalau saja di tanganku ada mesin laminating, kalau saja ada kamera jatuh
dari langit dan menembus langit-langit, kalau saja ada serbuk Tinkerbell dengan bahan utama sari bunga
edelweiss, pasti bakal kuabadikan
semua ini.
Pelan-pelan, aku menikmati
aromanya. Arabika. Tajam dan menggoda. Entah mungkin aku terlalu berlebihan,
tapi aku merasa perlu melakukan semua ini, seperti ritual. Ah, memang aku
terlalu.
Bibirku mendekat, aroma
dan panasnya mulai bersahabat. Sampai lidah mencecap. Gila! Aku jatuh cinta
pada detik pertama. Rasa asam dan pahitnya terlampau kuat, pekat, namun
memikat. Jalarannya menyebar cepat seperti bisa. Lagi, otakku macet semua
terlalu indah dan aku belum pernah merasa sebahagia ini.
Seketika pahamlah aku,
kopi dan bahagia ternyata sudah lama berjalan pada satu jalur dengan arah yang
sama. Seketika sadarlah aku, mengapa sekian banyak orang jatuh hati pada si
biji istimewa. Seketika tahulah aku, senja, angin, dekapan, Sang Waktu,
macam-macam aroma dan segala hipotesa yang tadi betulan memenuhi otak dan
benak, berlari bersama menuju satu titik untuk akhirnya pecah, melebur,
meluber, dan melebar bersama dengan datangnya satu simpul ini: kopi sabtu malam.
Terimakasih, Kopi Ketjil
dan kamu!