Sabtu, 30 Mei 2015

Kopi Sabtu Malam

Aku sibuk mereka-reka suasana macam apa yang bakal kuhadapi nanti. Terlalu banyak bayangan berkecamuk, berputar-putar, dan otak belum dapat bantuan dari hati untuk bisa menyatukan segalanya tepat di satu titik. Halte itu belum dapat terwujud. Dan yang lebih menyebalkan, Waktu berjalan malas-malasan seperti manusia kurang tidur yang baru saja bangun tidur. Lalu sibuk mengingat-ingat mimpi. Melamun. Topang dagu. Tolonglah, Sang Waktu. Apa perlu kusiram air agar jarummu bergerak normal?
Setelah kurasa telah lama menunggu, manusia kesayanganku akhirnya datang. Senja, angin, dan sisa cahaya surya membawa hati untuk siap bertemu kesimpulan. Maka timbullah sebuah tanya: akankah ekspektasi kali ini berbanding lurus dengan realita?
Aku harus puas dengan berharap: semoga.
Dan, disinilah aku.
Pintu terbuka, semerbak harum kopi datang ke hidung, diterjemahkan dengan baik oleh otak, dan menjalar memenuhi benak. Entah mengapa, aku merasa senyaman berselimut saat hujan. Mataku bergerak horizontal, menangkap apapun yang memungkinkan untuk direkam dan disimpan otak. Tempat ini demikian kecil untuk manusia yang banyak tingkah seperti aku. Tapi percayalah, hati yang mulai mencintai kopi bakal puas bisa singgah disini. Dan kalau saja aku tak mampu menguasai diri, kupastikan kakiku bakal tetap diam di tempat, dan entah berapa menit lewat disitu. Bagaimana mungkin lantai kayu biasa bisa memberi kesan yang begitu istimewa? Seperti memelukmu, kaki ini tak rasanya tak mau beranjak.
Sebagai pemula untuk urusan kopi, aku masih belum pandai memilih mana yang sekiranya bisa bersahabat baik dengan lidah dan lambungku. Lalu, setelah menimbang dan sedikit memeras otak, hatiku mengarah pada espresso. Dan itu saja yang sanggup kupilih. Tolong jangan tanya aku minta jenis kopi aku yang kumau, atau aku bakal diam melongo, sungguhan tak mengerti. Apa sajalah, kataku. Yang penting jangan terlalu berat karena lambungku bisa saja meronta sampai sekarat.
Mataku masih belum puas melihat apapun yang kelihatan di ruang ini. Dan meja di pojok belakang dengan kursi yang masuk golongan tinggi untukku bisa jadi perpaduan yang manis. Kini, waktu jadi terlampau cepat berlalu.
Segalanya ada disini. Aroma, tulisan, perabot-perabot dan apapun yang belum pernah menjamah otakku sudah antre minta tiket masuk. Bisakah sabar? Aku sedang sibuk menata bahagia hati ini.
Seketika otakku macet dan aku megap-megap mencari udara. Yang kuhadapi kini sulit dilukiskan dengan kata-kata. Aku cuma bisa mengemut pelan-pelan, padahal yang harus masuk sebanyak ini. Sekarang aku paham, adakalanya senyuman dibalik bekapan, teriakan tertahan dan mata yang berkaca-kaca mampu bercerita jauh lebih baik dari deretan kata.
Kopiku datang. Kopi sungguhan kali pertamaku. Oh Tuhan, kalau saja di tanganku ada mesin laminating, kalau saja ada kamera jatuh dari langit dan menembus langit-langit, kalau saja ada serbuk Tinkerbell dengan bahan utama sari bunga edelweiss, pasti bakal kuabadikan semua ini.
Pelan-pelan, aku menikmati aromanya. Arabika. Tajam dan menggoda. Entah mungkin aku terlalu berlebihan, tapi aku merasa perlu melakukan semua ini, seperti ritual. Ah, memang aku terlalu.
Bibirku mendekat, aroma dan panasnya mulai bersahabat. Sampai lidah mencecap. Gila! Aku jatuh cinta pada detik pertama. Rasa asam dan pahitnya terlampau kuat, pekat, namun memikat. Jalarannya menyebar cepat seperti bisa. Lagi, otakku macet semua terlalu indah dan aku belum pernah merasa sebahagia ini.

Seketika pahamlah aku, kopi dan bahagia ternyata sudah lama berjalan pada satu jalur dengan arah yang sama. Seketika sadarlah aku, mengapa sekian banyak orang jatuh hati pada si biji istimewa. Seketika tahulah aku, senja, angin, dekapan, Sang Waktu, macam-macam aroma dan segala hipotesa yang tadi betulan memenuhi otak dan benak, berlari bersama menuju satu titik untuk akhirnya pecah, melebur, meluber, dan melebar bersama dengan datangnya satu simpul ini: kopi sabtu malam.
Terimakasih, Kopi Ketjil dan kamu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar