Sebegitunyakah rasa sakit merenggut otakku?
Aku tak tahu. Yang benar aku paham aku mulai benci dengan segalanya, diri
sendiri, juga kamu. Sekelilingku seakan seperti harapan yang terlalu
ditinggikan. Hal yang diam-diam kusebut dalam doa berbalik dan menusuk. Tak
perlu kujelaskan bagaimana rasanya. Karena aku paham kamu tahu apa itu luka.
Aku benci menyalahkan kamu dan menempatkan
namamu jadi penyebab semua ini. Tapi kalau nyatanya begitu, bisa apa aku?
Ingin rasanya aku menuntutmu mempertanggungjawabkan
semua ini. Karena waktu telah mengambil hampir semua hartaku, manusia-manusia
kesayanganku, sahabatku, bahagiaku. Lalu aku sadar kamu bukan Tuhan. Kamu
manusia yang seperti lainnya, punya banyak salah dan dosa. Dan aku menyesal
akan satu hal: mengapa kamu jatuh dalam salah yang satu itu?
Aku mau jujur. Sejak saat itu, aku semakin
terbiasa dengan pedih, perih, duka, dan luka. Aku mulai terbiasa menikmati
segalanya dalam porsi yang jauh lebih besar dari yang selama ini biasa kumakan
pelan-pelan. Lihatlah, bahkan sahabat-sahabatku mulai memberi senyum sinis,
acuh tak acuh denganku. Mereka mengataiku bodoh. Kamu tahu apa saran pertama
mereka? Mereka bilang putus saja! Suatu kesalahan besar mempertahankanmu. Tapi
aku masih memikirkan bagaimana perasaanmu. Aku terima mereka mengataiku,
menjauhiku, karena aku masih memikirkan kesempatan kedua. Siapa tahu kamu bisa
berubah. Tapi entahlah. Kadang aku berpikir mungkin seharusnya aku ikut saran
mereka.
Aku terlalu kecewa. Dan aku tak bisa
berpura-pura bersikap manis, karena hatiku tak mau berhenti menangis.
Aku benci airmata duka, sungguh benci.
Tapi berusaha kunikmati karena aku masih
memikirkan hatimu. Entah kamu. Masih untung aku bisa jaga mulut, tak
kulontarkan caci maki atau sumpah serapah ini. Pahamilah, aku sakit
menyakitimu, tak cuma kamu. Berharap saja aku bisa bertahan, karena otakku
memaksa lari lalu menyerah.
Dan di lembar ini, aku kehilangan segala
kemampuanku berkata-kata.
kenapa kamu bisa bisanya menjadi sosok yang terlalu baik untuknya ?:')
BalasHapus