—Mestinya kamu tak perlu pernah hadir kalau akhirnya pergi dan
berkata, “Maaf, hati kita tidak tertakdir.”
Selamat malam, Arjunaku sayang.
Aku tak menyangka bakal terjebak lagi dalam lautan kebodohan. Terjatuh dalam
lubang yang sama soal kamu dan perasaan. Aku merasa aneh. Aku sadar betul kamu
berengsek dan tak perlu dirindukan apalagi diperjuangkan. Tapi hati menarik
kuat dan ia telah selesai mencipta medan gravitasi super hebat hingga aku
terjerat—logikaku
sekarat.
Segalanya dimulai dari siang
bolong hari itu, tiga pekan sebelum Ujian Nasional, yang berarti tiga bulan
lalu. Aku sadar benar bakal terjadi sesuatu, tapi seperti yang telah
kutuliskan, logikaku tak mampu pegang kendali dan hati ternyata bisa sedemikian
tak tahu diri. Aku mengiyakan ajakanmu dengan sadar, dan berusaha berpikiran
positif soal misi utama kita saat itu: BELAJAR. Harusnya aku bisa mengantisipasi
kemungkinan terburuk yang bakal terjadi. Tapi sekali lagi, logikaku seolah
mati.
Hal yang paling kutakutkan bukan
soal kekerasan fisik yang bisa saja kualami, aku lebih takut soal penyiksaan
batin yang secara halus kamu lakukan. Nyatanya toh fisik kita sama-sama baik,
hatimu pun pula. Tapi tidak dengan hatiku. Keluar dari kamarmu, sepulang dari
kostmu, aku menyadari sesuatu. Rasa lama mulai timbul dan aku tahu darimana itu
muncul.
Orang bilang tak pernah ada kata
terlambat, kecuali kita terjebak situasi dimana hati telah parah tertambat. Dan
kita tak ketemu suatu cara untuk keluar dan kembali menjalani hidup dengan
sehat. Demikianlah aku. Terlunta-lunta tak berdaya. Mengemis pedulimu dengan
sia-sia. Aku bodoh, aku tahu. Tapi aku sungguh peduli soal kamu. Mengapa kamu
tak pernah mau tahu?
Kamu cuma memikirkan bahagiamu.
Kamu cuma peduli soal kamu. Kamu cuma paham nafsu. Baik, aku tahu lelaki jaman
sekarang apalagi yang bergaul terlalu lama dengan dunia malam memang punya
sikap dasar yang payah. Aku tahu. Dan tak pernah sekalipun aku menyalahkan dan
menyayangkan itu. Hanya saja aku sedikit menyesal kamu terbawa arus. Kamu baik
sesungguhnya. Kamu menyenangkan selebihnya. Kamu bodoh, selanjutnya.
Arjunaku sayang. Bila aku adalah
Tuhan maka yang pertama kulakukan adalah meniupkan kalimat penyadaran agar
manusia setampan dan sekece kamu jangan sampai salah arah. Tapi aku tercipta
sebagai manusia yang kini penuh dosa. Lalu aku bisa apa?
Arjunaku sayang. Kamu takkan
pernah tahu hati ini telah tertambat pada manusia seberengsek kamu. Dan kamu
jahat macam begitu saja aku tak mampu berpaling. Apa jadinya kalau kamu
bertahan dalam sikap yang baik? Bisa-bisa aku hangus jadi abu sebelum mata ini
menangkap kilaumu. Ah, kamu seindah itu. Aku tahu kamu takkan pernah tahu.
Arjunaku sayang. Bila tiba
saatnya hatimu betulan terpikat, aku selalu berdoa wanita beruntung itu adalah
aku. Semoga, doaku tak terlampau tinggi agar aku bisa tahu rasanya jadi
seseorang yang selalu kamu cari.
Selamat malam, Arjunaku sayang.
Jangan jahat-jahat. Sakitnya
diabaikan itu bukan kepalang.