Aku telah lama menghilang dari
hari-hari satra yang sempat kunikmati sedemikian serius. Tiba-tiba saja semua
perasaanku pergi, hingga kemampuan menulisku lenyap. Aku yang biasanya betah
membuat manusia lain yang membaca tulisanku menangis, atau ikut pedih, kini tak
punya nafsu bahkan cuma untuk menyalakan pc
dan membuka MS Word. Lalu, aku berusaha
hidup wajar setelah kejadian patahku itu. Satu hari yang cukup membuat
airmataku berderai parah, sedihku tumpah, dan rasaku―seperti biasa―hilang arah. Tak banyak
yang kuingat. Yang jelas aku merasa segores luka itu ada akibat cinta paling
bodoh yang membuatku buta. Aku jatuh cinta dan bahagia, lantas berduka. Manusia
yang kupilih itu entah bodoh, entah payah, entah gila, entah saking biasa saja bisa
demikian tak paham, padahal aku telah menuliskannya dengan huruf yang besar,
berteriak dengan kencang, supaya dia menyadari: aku ada.
Tapi toh, rasa tinggal rasa. Usaha,
dalam kasus ini, sia-sia.
Maka kuputuskan berhenti dari segala
perjuangan paling bodoh yang pernah kulakukan. Yang tak berhasil sedikitpun. Dia
pergi, jauh. Ke dunia yang tak mungkin kutempuh. Aku takut saja, kalau kupaksa,
nanti hatiku melepuh, lalu aku tersungkur jatuh. Ditertawai semut, cicak,
tikus, kecoa, dan bakteri. Oh, bodoh benar.
Baiklah. Sebenarnya aku masih
bingung darimana aku harus memulai, menuliskan semua ini. Terlampau banyak yang
kulewati. Terlampau banyak yang berusaha kupendam dalam-dalam atau kulempar
jauh-jauh. Semua terasa begitu menyakitkan. Mungkin aku terbawa perasaan. Jadilah,
kuputuskan melenyapkan rasa, jadi orang yang tak peduli, acuh tak acuh dengan
manusia lain―mereka
yang membuatku patah. Aku mulai berjalan pelan-pelan menikmati dingin malam
yang ternyata sejuk benar kalau dirasa tanpa rasa. Aku menghirup udara surya
dan ternyata semua lebih hangat dan bersahabat kala rasa tak lagi melekat. Aku berpikir
aku telah bahagia.
Suatu hari di antara hari-hari
tanpa rasaku seseorang datang. Seorang teman lama yang katanya, dia suka aku. Aku
sebenarnya tak peduli. Oh, maksudku, aku sungguhan tak peduli. Tapi aku merasa
aneh ketika dia tak lelah menyapaku, baik secara maya maupun nyata. Dia bilang
kalau aku jahat, sekarang. (Sebenarnya aku
telah lama jahat, hanya saja tak terlalu kutunjukkan. Karena tanpa kutunjukkan saja
sudah banyak yang mengataiku psikopat. Apalah jadinya nanti, entah.) Dia mengutarakan
pendapat dan keheranannya karena kini aku tak lebih dari robot. Tak berperasaan.
Aku menertawai dia, dan kuiyakan, aku memang sedang jahat, betulan jahat. Aku bilang
aku lelah jadi korban perasaan. Tertatih-tatih memperjuangkan cinta dan pada
akhirnya dibuang, sia-sia. Aku capek harus membuang tenaga cuma demi mendapat
balasan dari dia yang kusuka. Buatku sudah saatnya aku yang tertawa diatas
derita orang. Masa iya sampai esok
nanti aku lagi yang ada di bawah. Orang bilang, hidup adalah roda yang
berputar, bukan? Maka ijinkan aku diam tenang diatas, menikmati bahagia yang
terlewatkan karena aku terlampau banyak buta soal cinta.
Dia lalu bertanya, tak adakah
cinta di hatiku? Aku bilang, ada. Tentu masih ada! Cuma permasalahannya, cinta
itu takkan kutiup sia-sia ke depan orang yang kusuka. Cintaku akan kusimpan
rapat dalam hati, dan kupersembahkan buat yang selalu ada buatku selama ini:
Tuhan dan keluarga. Aku ingat, telah lama aku hidup bodoh dan saatnya aku
kembali untuk mempertanggungjawabkan cinta mereka yang seringkali kuabaikan. Aku
harus kembali dan mulai benar-benar mengasihi Dia, dan mereka.
Temanku itu diam, begitu lama. Kutahu,
ada kecamuk kalimat dalam otaknya yang tak mampu bibir berkata. Tak kuhitung
berapa banyak detik berlalu, sampai dia mampu mengatasi kelu.
“Kamu
mungkin benar-benar mati rasa,”
Oh, sungguh! Aku bahagia
mendengarnya. Eh, kini aku perlu bertanya, aku tak sakit jiwa kan, ya?
“Entah.
Mungkin iya. Aku toh tak peduli, siapa peduli?”
“Aku
peduli,” katanya, berusaha tegas.
“Eh?”
aku menatapnya lekat-lekat. Dia mengangguk.
“Aku
peduli, dan aku akan selalu disini menunggu segala rasamu kembali.”
Aku harus tertawa keras
mendengarnya.
“Jangan
bodoh!” teriakku. “Aku takkan punya rasa lagi, aku tak peduli, terserah manusia
lain mau bilang apa, kamu mau bilang apa. Aku lelah jadi bodoh, aku mau jadi
pintar. Pintar soal perasaan. Pintar soal paham, orang lain tak sebaik yang
kita kira.”
Dia menatapku sabar. Lalu dijelaskannya
kalau aku bersikap demikian justru aku terjebak dalam kebodohan yang lebih
dalam. Dia berkata pelan-pelan kalau aku sebenarnya cuma terlalu banyak sakit
hati, dan dia menyesalkan, mengapa semuanya membuatku begini. Aku heran, aku
saja tak menyesal, mengapa dia harus merasa seperti itu?
Dia melanjutkan, katanya, aku
harus berusaha menemukan rasaku dan hidup berdampingan tanpa dendam dengan
semua orang. Tentu aku tak mau! Buatku nyaman begini. Nyaman tanpa rasa, kita
tak perlu menangis sia-sia.
Aku berusaha pelan-pelan berkata
padanya, ini adalah keputusanku, dan sesungguhnya aku tak jadi sejahat itu. Aku
cuma menghapus rasaku untuk lelaki dan wanita selain keluargaku, dan selain
yang telah kuanggap keluarga, juga selain temanku―yang baik. Aku menutup hati
untuk orang lain. Tapi buat yang telah kusebutkan, aku masih ada. Aku masih
sedia jadi kawan, kakak, dan saudara buat mereka. Aku tak ingin membuang waktu
buat orang lain. Biar aku bahagia dengan keluargaku, karena ada titik-titik
yang mengajariku:
Sejauh apapun kita melangkah pergi, cuma keluarga, tempat untuk
kembali.