Sabtu, 16 Februari 2013

Untuk TUHAN #2

Cerita sebelumnya: Untuk TUHAN #1

Tuhan.
Saya tahu ada larangan bagi ciptaan-Mu untuk membenci sesamanya. Tapi saya tidak bisa menyangkal hal ini. Saya benci ciptaan-Mu satu itu Tuhan. Manusia itu seperti tidak layak mendapat toleransi. Saya tidak habis pikir, mengapa selalu ada kata-kata setajam tombak yang meluncur dari bibirnya. Saya tidak bisa memahami mengapa selalu ada sikap buruk yang mencuat dari dia.

Tuhan.
Engkau pasti tahu segalanya. Engkau pasti paham bagaimana perasaan yang bergejolak dalam hati saya, jauh lebih baik dari saya mengenal hati saya sendiri. Engkau pasti mengerti betapa sakit, perih, dan pedihnya dikritik sepedas itu. Saya memang tidak peduli saya dikritik dihadapan siapa. Saya memang tidak peduli berapa pasang telinga yang ikut mendengar kritik itu. Saya tidak peduli berapa pasang mata yang menyaksikan kisah menyakitkan itu. Tapi Tuhan, tidak dapatkah manusia satu itu berkata dengan lebih halus? Apa susahnya mengatakan, “Lain kali membacanya jangan terlalu cepat. Supaya umat bisa mengerti.” Apa susahnya, Tuhan? Haruskah ada nada sumbang dan keras yang mengiringi? Haruskah ada kalimat pencabik yang keluar?

Tuhan.
Saya sudah cukup mendapat siksaan batin akhir-akhir ini. Saya sudah cukup merasakan pedih perihnya. Saya sudah cukup terbeban. Saya tidak tahu ada peristiwa apa lagi yang menanti saya di depan sana. Saya hanya bisa berharap, Tuhan, semoga tidak ada lagi pil pahit yang harus saya telan tanpa air. Saya hanya bisa berharap, semoga tidak ada lagi pedang bermata dua yang harus terbang untuk melukai perasaan saya. Saya hanya bisa berharap, tidak ada lagi bom waktu yang harus meluluhlantakkan gedung-gedung berharga di hati saya.

Tuhan.
Saya sangat berterimakasih atas pundak-pundak yang boleh menjadi tempat airmata saya. Saya sangat berterimakasih atas pelukan dan rangkulan yang menahan agar saya tidak terjatuh ke jurang kepedihan terdalam. Saya sangat berterimakasih atas mereka. Atas manusia-manusia berhati mulia yang boleh menemani saya dalam lorong waktu tanpa cahaya ini.

Hal terakhir, Tuhan. Semoga ada cukup waktu bagi saya untuk membereskan balok-balok mimpi dan kepingan logam harapan ini.

Mohon Dibaca


―Untuk Anda. Manusia jangkung yang tinggal di utara gereja.


Manusia punya perasaan!
TUHAN sudah meletakkan hati di antara tulang dan daging. Ia sudah mengisi hati itu dengan balok-balok kasih. Dan hati diciptakan untuk DIHARGAI, DISAYANGI, dan DICINTAI. Bukan untuk ditusuk pisau belati atau dilempari batu dari Gungung Merapi.

Manusia memang butuh kritik!
Tapi bukan berarti mereka bisa dikritik seenaknya. Mereka tidak bisa dikritik terlalu keras. Mereka tidak bisa dikritik dengan kata-kata yang pedas.

Manusia punya daya tangkap yang berbeda!
Jadi Anda tidak bisa mengomentari sesuka Anda. Anda tidak bisa nyerocos semau Anda hanya karena Anda punya daya tangkap yang lebih rendah dari mereka!
Saya harap, malam ini juga, Anda meluangkan waktu paling tidak 10 menit untuk berkaca. Diam. Renungkan. INTROSPEKSI.

Terimakasih.

Jumat, 15 Februari 2013

Untuk TUHAN #1


Tuhan, manusia ini tahu Kau mencipatakannya dengan cinta. Manusia ini tahu Kau memberi cinta untuk bekal hidupnya. Manusia ini tahu Kau mengisi hatinya dengan cinta. Tapi, bagaimana bila hati manusia ini telah diporak-porandakan oleh harapan lebih akan cinta? Bagaimana bila manusia ini telah matirasa akan cinta? Bagaimana bila perasaan manusia ini telah dicabik-cabik penghianatan cinta?

Tuhan, sesungguhnya manusia ini tidak ingin hal itu terjadi pada dirinya. Namun beginilah fakta yang ada. Manusia ini kehilangan cinta. Manusia ini tidak punya cinta. Entah siapa yang harus disalahkan, entah siapa yang harus bertanggungjawab.

Tuhan, ampunilah manusia satu ini. Manusia yang paling tidak bisa bersyukur untuk segala karunia-Mu. Ampunilah manusia satu ini, yang dengan sangat terpaksa harus menolak pemilik hati yang telah mencoba mengobati rasa sakit hatinya. Ampunilah manusia ini, yang seakan tak mampu menghargai usaha pemilik hati yang telah berusaha.

Tuhan, memang manusia tidak akan ada yang mengerti keputusan terbaik. Begitu juga dengan manusia ini. Hanya Kau yang tahu pasti apa yang harus dilakukan. Maka Tuhan, apapun yang terjadi setelah detik ini, buatlah semuanya menjadi indah pada waktunya.


Tangis hati salah satu manusia-Mu,
:”

Cerita selanjutnya: Untuk TUHAN #2

Rabu, 13 Februari 2013

Manusia Tanpa CINTA


Aku tidak punya cinta. Kalau kamu berharap aku bisa mencintaimu, kamu harus memberiku cinta.

Hai, Arka.

Kamu datang di saat yang tepat. Kamu datang saat hatiku masih kesepian. Saat aku menjalani hari-hari dalam kesendirian. Saat perasaanku dibelenggu oleh trauma penghianatan.

Bila semua yang terbentang di hadapan kita adalah benar, aku harap kamu tidak salah pilih. Aku harap kamu tidak gegabah atau terburu-buru. Aku harap kamu sudah berpikir dengan dewasa dan baik.
Aku tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku tidak seperti teman-temanku. Memang sekilas, apa yang terlihat dari fisikku adalah biasa. Namun tidak dengan hatiku. Aku adalah manusia tanpa cinta. Aku tidak punya cinta.

Jauh sebelum kita saling kenal, ada dua peristiwa dahsyat yang memporak-porandakan hatiku. Membuatku jadi anti lelaki. Membuatku jadi wanita yang tidak kenal dan tidak punya cinta. Perasaanku mati. Dan untuk menutupi segala rasa sakit yang kejam itu, aku mengisi otakku dengan ilmu. Aku memaksa otakku untuk menghapalkan rumus. Aku memaksa tubuhku terus bekerja. Menyibukkan diri dengan sebanyak mungkin kegiatan yang membuatku bisa lupa akan cinta.

Usahaku berhasil.
Kini aku adalah wanita yang sama sekali tidak mengenal cinta. Dalam jarak sejauh ini, satu hal yang nyaris tidak pernah kuungkap adalah: AKU BUTUH CINTA. Namun kejadian masalalu masih membayangi.

Dan sekarang, kamu ada dihadapanku. Kamu berdiri tegap dengan senyum manis, seolah mengajakku untuk melihat sisi lain cinta. Bahwa cinta itu indah, cinta itu bisa membuat hidup lebih berwarna. Memang, aku sudah menyukaimu. Aku bisa merasakan bahwa melihatmu itu membuat jantungku berlari. Dan bila satu hari tidak ada kesempatan untuk menatapmu, hatiku berteriak-teriak. Seperti seekor anak anjing yang sehari penuh tidak diberi makan. Meski demikian, aku belum bisa percaya seutuhnya. Aku perlu banyak waktu dan bukti tentang sisi lain cinta yang indah.

Maka, jika kamu ingin menunjukkan padaku manisnya cinta, lalu berharap aku bisa mencintaimu, kamu harus memberiku cinta.


Ku tak percaya kau ‘da disini,
Menemaniku di saat dia pergi,
Sungguh bahagia kau ‘da disini,
Menghapus semua sakit yang kurasa.
Mungkinkah kau merasakan semua yang kupasrahkan?
Kenanglah, kasih
Kusuka dirinya, mungkin aku sayang
Namun apakah mungkin kau menjadi milikku?
Kau pernah menjadi, menjadi miliknya,
Namun salahkah aku bila kupendam rasa ini?

―Vierra-Rasa Ini


With Love,
-Litha-

Selasa, 12 Februari 2013

Skenario Sang Waktu


― Arka (bukan nama asli)

Saya sering menyorotinya sejak awal. Sejak pendaftaran jalur regular di SMP N 7 resmi dibuka. Namanya ada di peringkat nomor satu dengan NEM 27, entah koma berapa. Sewaktu membaca namanya, yang ada di otak saya dia seorang Chinese, alim, dan pikirannya hanya diisi dengan buku, ilmu, belajar (biasanya juga cupu). Namun gambaran itu porak-poranda tatkala sosoknya menjelma. Manusia itu berkulit hitam. Wajahnya berbentuk segitiga terbalik. Matanya menyiratkan kesan galak. Tingginya seperti tinggi rata-rata lelaki SMP. Manis, bila dilihat dari kacamata saya.

Satu hal yang tidak bisa dipungkiri, saya telah menyukainya pada pandangan pertama. Suka, bukan cinta. Tapi rasa itu saya simpan dalam hati tanpa ada satu orang pun yang tahu. Bahkan sahabat saya juga tidak. Hari-hari pertama sebagai anak SMP berjalan dan saya tetap saja diam mengenai satu hal ini. Dia tidak ada dalam daftar lelaki yang dekat dengan saya sampai awal kelas sembilan.

Perasaan yang saya pendam sekitar dua tahun itu makin lama makin pudar. Namun entah mengapa, Sang Waktu menyalakan perasaan yang redup itu. Setelah putus dengan Malaikat Hujan dan ditikam oleh Playboy Arjuna―Pangeran PHP, anak kelas sebelah bilang kalau Arka (sekali lagi ini bukan nama asli) menyukai saya. Teman saya menambahkan, dia suka saya sejak kelas tujuh. Hati saya menolak waktu itu. Saya tidak percaya. Karena luka tentang PHP tak kunjung sembuh dan saya juga belum bisa move on dari Malaikat Hujan.

Sang Waktu ternyata sabar juga. Ia membiarkan saya sejenak mengeraskan hati, membutakan mata dan menulikan telinga tentang hal ini. Sampai akhirnya dalam suatu keheningan Ia menyadarkan saya, berusaha membujuk saya untuk mengingat perasaan yang terkubur itu. Menuntun tangan saya untuk menyentuh kenangan. Memberi jalan saya untuk meraba-raba hati.

Akhirnya skenario manis ini memecah sebuah kisah lagi. Memberi suatu kejutan kembali. Perasaan terpendam, putus cinta, disakiti PHP, dan kisah awal yang menyembul. Entah apa jadinya nanti, saya tidak tahu. Dan saya juga tidak akan memaksa Sang Waktu untuk memberi tahu. Yang jelas, sejauh ini saya belum mengambil keputusan yang berarti. Saya masih menjalani hari-hari saya layaknya wanita jomblo yang menikmati kesendirian.

Saya hanya berharap, potongan cerita kali ini berakhir dengan bahagia :”D

Senin, 11 Februari 2013

Surat Cinta untuk Malaikat Hujan


Semenjak hati kita berpisah dan kembali berjalan dalam kesendirian, saya selalu bilang sama semua orang kalau saya nggak butuh cinta. Saya selalu bilang saya nggak butuh cowok, macam apapun itu. Saya nggak butuh bahagia dari potongan-potongan rasa yang terbalut selapis jiwa. Saya nggak butuh lelaki buat tiang hidup saya, buat alasan senyum dan tawa saya.

Sejauh ini, lelaki adalah makhluk yang paling saya hindari. Kalaupun saya harus terlibat dalam dialog dengan lelaki, itu karena kami punya tema penting yang harus dibahas. Dan tema itu nggak ada hubungannya sama perasaan saya, juga lelaki itu. Apalagi tentang cinta.

Tapi sejujurnya, saya adalah orang yang paling butuh cinta. Apapun bentuknya. Mulut saya bisa bohong, tapi hati nggak akan bisa bohong. Selama ini apa yang saya katakan, apa yang saya lontarkan dan cuatkan, itu hanya sebuah siasat untuk menghibur diri saya sendiri. Menghibur kekosongan jiwa saya. Saya sudah sampai di satu titik yang menyadarkan saya, kalau ternyata seseorang nggak akan bisa bertahan dalam kepura-puraan. Saya kesepian. Iya, kesepian. Sangat kesepian.

Saya kangen kamu, Malaikat Hujan. Saya jadi sering kepikiran. Saya pengin ketemu kamu. Apalagi sekarang saya sendiri. Saya jadi ingat masalalu. Saya jadi ingat waktu-waktu kita bersama. Saya merasa tersiksa.

Tapi saya bisa apa? Saya nggak tahu harus lari kemana buat melampiaskan perasaan ini. Satu-satunya lelaki yang masih ada goresan namanya di diri saya, ya cuma kamu, Malaikat. Sementara kita sudah berpisah hampir tiga bulan lamanya. Dan mengingat gaya bicara kamu yang sekarang, rasanya sudah nggak mungkin lagi kita bisa kayak dulu lagi. Bisa saling berbagi. Bisa saling percaya. Bisa saling pengertian. Gimana kita bisa balik lagi kalau dunia tempat kita berpijak sudah berbeda?

Saya masih sayang kamu, Malaikat. Saya masih mempertahankan kamu di hati saya. Saya masih memikirkanmu setiap hari. Tapi cukuplah siksaan ini saya simpan dan rasakan sendiri. Karena saya juga nggak tahu pasti, apa kamu masih peduli sama saya :”


Masalalumu,
-Litha-

Jumat, 08 Februari 2013

Filosofi PENSIL

21 Januari 2013.

Kami, anak-anak kelas 9 SMP yang masih superlabil dan butuh banyak pengajaran, diberi kesempatan oleh sekolah untuk mengikuti motivasi di Gedung Erlangga. Dengan motivator Pak Zainal Fanani (lupa gelarnya siapa) kami menyemut menaiki tangga menuju aula.
Banyak yang beliau sampaikan kepada kami. Banyak yang beliau lontarkan untuk memupuk semangat juang kami. Banyak tokoh dunia yang beliau ceritakan agar kami paham dan bisa sukses seperti mereka.
Ada satu hal yang masih membekas di hati saya, terkesan. Waktu itu, Pak Zainal meminta Tamara yang duduk tepat di sebelah kiri saya untuk berdiri dan maju menjajarinya. Saya memperhatikan dengan seksama, sembari bertanya-tanya, apa yang akan Pak Zainal lakukan kepada teman saya ini.
Pak Zainal berbalik dan mengambil sebatang pensil. Saya semakin bingung. Dihadapkannya pensil itu tepat di muka teman saya.
                “Sekarang saya minta kamu mematahkan pensil ini menjadi dua bagian.”
Spontan, teman saya melongo. Kami, yang duduk tenang di kursi riuh rendah menyoraki. Senyum Pak Zainal mengembang.
                “Dengan satu jari.” lanjutnya.
Gantian saya yang melongo. Mematahkan pensil? Satu jari? Gila! Sementara saya terlongo-longo, sorakan terdengar semakin keras.
                “Berani?” tantang Pak Zainal.
Mata Tamara mengerling ke kanan, lalu ke kiri. Senyum tak yakinnya tergores. Kakinya seperti tidak napak. Dia tampak ragu.
                “Berani nggak?”
Hening sejenak. “Berani.” Terbata-bata.
Lalu Pak Zainal melepas mic-nya, mendekati Tamara, entah membisiki telinganya dengan mantra apa dan darimana. Saya memperhatikan mereka sembari menebak-nebak dengan metode bagaimana pensil itu harus dipatahkan.
                “Baik. Perhatikan!” teriaknya.
Seketika ruangan menjadi sunyi senyap. Beberapa dari kami menahan napas dan memasang mata benar-benar. Pak Zainal memegang pensil itu dihadapan Tamara dengan posisi horizontal. Telunjuk Tamara menyentuh bagian tengah pensil itu. Dan dengan sekali pukul, slash! Patah.
Kami semua terkesima, bak melihat sulap tingkat dewa. Gemuruh tepuk tangan dan sorak-sorai memenuhi setiap sudut aula.
Tamara duduk kembali di sebelah saya. Dan rasa ingin tahu membuat saya menyumpeli telinganya dengan banyak pertanyaan. Saya meraih pensil yang sudah patah itu, saya amati lekat-lekat, dan muncullah filosofi ini.

Sebuah pensil. Utuh. Lurus. Kuat. Lalu, sebentuk jari memukulnya dengan tenaga penuh. Maka pensil yang tadinya utuh dan lurus itu, patah. Terbagi menjadi dua. Dapat dijamin tidak hanya kayunya yang terbagi, isinya pasti juga iya. Dan pensil yang telah patah itu, mau bagaimanapun juga, dengan cara apapun juga, dari yang paling konyol sampai yang paling genius, tidak akan pernah bisa menyatukannya kembali sesempurna sebelumnya. Tidak ada yang bisa menghapus patahannya. Tidak ada yang bisa menyambung urat-urat kayunya. Selamanya, pensil yang malang itu akan tetap terbagi.
Begitu juga dengan hati. Semua orang diciptakan dengan hati yang utuh dan tanpa cacat. Dipenuhi berbagai perasaan untuk membuat hidup lebih berwarna. Lalu, hati yang manis itu, dihampiri sebuah belati mengkilap. Tajam. Kejam. Dan pada satu waktu yang tragis, belati itu terangkat, lalu memotong hati menjadi dua. Kemudian, sebuah bom waktu direkatkan pada sang hati. Boom! Meledak. Hancur. Lebur. Berkeping-keping. Maka, hati yang malang itu tak akan pernah menyatu kembali. Selamanya akan patah. Selamanya akan hancur.

Hati diciptakan untuk dicintai dan dijaga. Bukan untuk dipatahkan. Apalagi dihancurleburkan.


With love,
-Litha-

Selasa, 05 Februari 2013

Puisi Hati



Tersenyumlah saat kau mengingatku,
Karena saat itu aku sangat merindukanmu
Dan menangislah saat kau merindukanku,
Karena saat itu aku tak berada di sampingmu
Tetapi pejamkanlah mata indahmu itu
Karena saat itu aku akan terasa ada di dekatmu
Karena aku telah berada di hatimu untuk selamanya

                                Tak ada yang tersisa lagi untukku
                                Selain kenangan-kenangan yang indah bersamamu
                                Mata indah yang dengannya aku biasa melihat keindahan cinta
                                Mata indah yang dahulu adalah milikku
                                Kini semua terasa jauh meninggalkanku
                                Kehidupan terasa kosong tanpa keindahanmu
                                Hati cinta dan rinduku adalah milikmu

Cintamu takkan pernah membebaskanku
Bagaimana mungkin aku terbang mencari cinta yang lain
Saat sayap-sayapku telah patah karenamu

                                Cintamu akan tetap tinggal bersamaku
                                Hingga akhir hayatku dan setelah kematian
                                Hingga tangan Tuhan telah menyatukan kita lagi

Betatapun hati telah terpikat pada sosok terang dalam kegelapan
Yang tengah menghidupkan sinar hidupku
Namun tak dapat menyinari dan menghangatkan perasaanku yang sesungguhnya
Aku tidak akan pernah bisa menemukan cinta yang lain selain cintamu
Karena mereka tak tertandingi oleh sosok dirimu dalam jiwaku

                                Kau takkan pernah terganti
                                Bagai pecahan logam mengekalkan
                                Kesunyian kesendirian dan kesedihanku
                                Kini aku telah kehilanganmu


Dari sebuah alunan lagu
yang dengannya
aku menghadirkan bayanganmu
kembali ke ingatanku.