Senin, 31 Desember 2012

Malaikat Hujan dan Tahun 2012


Hujan tak berhenti mengguyur Kota Yogyakarta sejak pukul lima sore. Awan putih disusul abu-abu bergelayut dengan manja pada pilar penyangga angkasa. Kilat berkelebat cepat di langit, mengiringi suara guntur yang menggelegar, bersahut-sahutan, menakutkan. Angin berhembus kencang, seperti pencuri yang berlari dikejar polisi. Cuaca tak begitu buruk, sesungguhnya. Tidak memberikan rasa malas atau mengurangi minat berkegiatan, kalau boleh dikata. Namun berhubung ini adalah malam tahun baru, rasanya kurang tepat kalau cuaca yang mengiringi begini adanya.

Aku tidak berminat keluar rumah hari ini. Tidak sama sekali. Bukan karena aku sedang menyandang status jomblo alias tidak punya pacar. Bukan karena aku takut teringat malam tahun lalu, saat sang malaikat hujan datang kerumahku bersama teman-temannya. Uups, aku malah sudah mengingat dan menuliskannya dengan tepat. Bukan. Bukan karena itu. Dan tidak ada hubungan apapun tentang kenangan lalu itu.

Aku menghabiskan hari ini di depan komputer. Memelototi layarnya, sembari tanganku mengetik apa yang dikatakan hati, apa yang menjadi luapan emosiku. Sesekali aku mengambil brownies dan memasukkannya dalam mulut. Sesekali aku mengamati gambar-gambar yang bergerak dibalik layar kaca. Sesekali juga, aku mengingat-ingat sang malaikat hujan agar aku bisa menghasilkan tulisan.

Malaikat Hujan. Dua kata yang sepertinya tidak ada dalam daftar para malaikat penghuni Surga. Namun dua kata itu ada dalam diriku. Dalam otak, hati, jiwa, dimanapun. Nama itu menggambarkan seseorang yang bayangannya selalu hadir kala hujan mengguyur bumi. Ada banyak kenangan tentangnya. Dan sampai pada penghujung tahun 2012 pun, masih terasa sulit untuk melupakannya. Meski itu sudah lama berlalu.

Aku ingin meleburnya. Sungguh. Aku ingin meniadakannya dalam jejak langkahku. Aku ingin menghapus dia, seiring dengan terhapusnya tahun 2012. Namun seperti yang kukatakan tadi. ITU SULIT. Sulit. Sulit. Dan kurasa tak ada kata lain yang bisa lebih tepat menggambarkan semua itu.

Bagaimana mungkin seorang aku bisa melebur dia? Bagaimana mungkin kesendirianku bisa melehkan keping-keping logam yang mengekalkan? Bagaimana mungkin airmataku bisa berfungsi sebagai penghapus paling ampuh, untuk melenyapkan segala kesakitan yang kuderita karena kepergiannya?

Mustahil.

Bersyukurnya, Alkitab menulis bahwa tak satupun hal yang mustahil bagi Sang Pencipta, bagi Sang Hidup. Kalau begitu, maka jalan terbaik yang bisa dipilih adalah membiarkan Sang Hidup sendiri melebur semua tentang 2012. Termasuk, sang malaikat hujan.

Selamat Tahun Baru 2013 :D semoga tahun ini semakin mendewasakan kita :D

Minggu, 30 Desember 2012

Mengenangmu


Aku benci hujan!
Aku benci saat ribuan air yang jatuh ke tanah menyelipkan namamu di antara aliran darahku.
Aku benci saat suara petir membawa kenangan manis tentangmu.
Aku benci.
Benci. Benci. Benci.
Aku benci karena sampai sejauh ini aku tak sanggup menghapus bersih tentangmu. Tentang kau yang hilang. Tentang kau yang pergi. Tentang kau yang beranjak dari hati ini.

Entah mengapa, kau begitu sulit dilupakan. Aku sudah berusaha tak memikirkanmu barang sehari saja.
Aku tak mampu.
Salahkukah itu?
Atau salahmu karena kau telah membuatku begitu memujamu?

Tolong, buat hatiku beku ketika namamu terdengar di ceruk telinga. Buat otakku tak lagi mengenalmu. Buat aku berpaling. Benar-benar berpaling. Sampai aku tak ingat apapun, tentangmu.

Bukan maksud apa-apa semua permintaanku ini. Aku hanya ingin tenang. Aku hanya tak ingin ada lagi kau yang mengusik hari-hariku. Hidupku. Aku.

Sabtu, 29 Desember 2012

AKU atau DIA? #1


Bau solar yang tajam menggelitik satu tempat di hidungku. Asap mengepul dari mulut dan hidung kedua lelaki yang duduk di bangku depanku. Padahal sudah ada aturan untuk tidak merokok di dalam bus. Itu kan teori. Prakteknya? Sudah tentu bisa ditebak.

Dasar orang tak tahu aturan! Umpatku dalam hati. Seperti inikah mental generasiku? Begitu kerasnyakah hati para calon pemimpin bangsa? Payah sekali. Bagaimana nasib tanah air kalau mereka yang dipersiapkan sebagai pendekar ternyata sangat sulit diatur? Aku mengeluh.
Suara bising tertangkap telinga. Hawa panas. Dan udara bersih semakin sulit didapat pada bus kota yang terlihat tua ini.

Sumpek!
Hanya itu kata yang berkali-kali melintas di otak. Tak ada yang sedap dipandang di dalam sini.
pak sopir berkumis tebal, kernet berpakaian biru tua yang sudah lusuh dengan segebok duit di satu tangan dan tangan lainnya melambai-lambai kalau ada orang yang butuh menumpang bus ini, simbok-simbok berbalut kebaya dengan dua karung besar entah berisi apa, tiga orang anak kecil, bapak-bapak berjaket yang asyik dengan dengkurannya, dua lelaki berseragam SMP yang sibuk dengan guyonan ala gondhes dan rokoknya. Satu lagi, ada sepasang kekasih.
Tunggu, sepertinya tertarik juga aku mengamati yang terakhir ini. Mereka duduk di dekatku. Si lelaki bahkan tepat di sebelah kananku, hanya berjarah satu jengkal dariku. Tubuhnya dibalut kaos putih dengan lengan tigaperempat. Jeansnya berwarna cokelat tua. Sepatu basket mengalasi kakinya. Tangan kiri lelaki berambut harajuku ini sibuk menari di atas keypad ponselnya, entah ber-sms-an dengan siapa. Tangan kanan berhias cincin keperakan merangkul si kekasih yang terlelap di bahu kokohnya.
Mataku tergoda juga untuk melirik isi pesan yang tertulis di layar ponselnya. Aku membacanya. Meski tak utuh, kata yang terekam cukup membuatku melotot. Berkali-kali aku mencuri pandang, berkali-kali pula mataku membaca kata yang sama.

Sayang

Itulah kata yang terulang. Aku tak habis pikir. Segera saja otakku dipenuhi tebakan-tebakan yang negatif.
Tiba-tiba si wanita bergerak. Ooh, dia sudah bangun. Secepat kilat aku kembali menatap depan. Suara kecupan dan desahan-desahan bernuansa cinta sempat juga menggelitik telingaku. Membuatku semakin bertanya-tanya. Siapa wanita itu? Siapa lelaki ini? Siapa pula orang yang ber-sms-an dengannya? Apa status mereka?
                “Permisi mbak,” suara lelaki yang keras dan dalam membuyarkan lamunanku. Aku terkejut. Kusingkirkan kaki agar mereka bisa lewat. Si wanita sempat tersenyum padaku. Aku ikut tersenyum menatap langkah mereka sembari menyimpan tanda tanya besar dalam hati.

***

Aku mondar-mandir di kamar. Menghembuskan nafas kesal, lalu melempar ponselku ke atas tempat tidur. Kugigit bibir bawahku. Bingung, curiga, khawatir, berpadu dalam hati. Semakin keras aku berpikir tentang Arvi, kekasihku. Bagaimana tidak? Sudah empat hari nomornya tak bisa dihubungi. Ini keanehan kedua yang dilakukannya. Pertama, sikapnya beberapa waktu terakhir sedikit berubah. Aku tak bisa menyebutkan perubahannya, yang kubisa adalah merasakan perubahan itu.
Aku sempat menanyakannya kepada Joe, Samuel, dan karibnya yang lain. Mereka bilang tak ada sesuatu yang salah dari Arvi. Aku malah dinasihati agar tak berpikiran aneh-aneh. Cepat kuanggukan kepala kala itu. Tapi dalam hati, aku tak mengiyakan. Dan sekarang, nomornya tak aktif. Aku tak tahu apakah kedua hal ini berhubungan satu sama lain. Hatiku bersikeras untuk menaruh curiga padanya. Apalagi ketika kejadian dalam bus kota itu kembali menjalar dalam benakku. Aku seperti punya indera keenam mendadak. Aku seperti detektif yang sedang mengumpulkan beberapa data yang cocok. Aku seperti diberi penglihatan. Percaya atau tidak, aku tak sanggup menekan pikiran-pikiran negatif itu.

                Tok! Tok! Tok!
Aku menoleh pada pintu kamarku. Siapa di luar sana?
                Tok! Tok! Tok!
Kali ini lebih keras.
                “Masuk!” ujarku. Terdengar suara kriek dan sebentuk kepala menyembul di balik pintuku.
                “Hai Dir,” senyumnya mengembang.
Aku mengangguk. Kutepuk kasurku, tanda menyuruhnya duduk di situ.
                “Lo ngapa sih? Mukak lo panas gitu?” tanyanya setelah mengamati raut wajahku yang tampak berbeda.
                “Kesel,” jawabku singkat tanpa menatapnya.
                “Kesel? Hm. Jangan bilang ini gara-gara si badung itu,”
                “Memang dia kok,”
Matanya melotot.
                “Beneran,” kataku meliriknya.
                “Ck!” dia menggelengkan kepala. “Dia ngapain lo?” tanyanya. Raut wajahnya terlihat khawatir.
                “Gue nggak di apa-apain,” aku menarik napas. “dia cuman nggak ngasih kabar, empat hari.”
Matanya melotot lagi. Aku bisa melihat raut kemarahan yang tergambar di pipinya yang memerah. “Itu namanya lo udah diapa-apain!” teriaknya. “Dia pacar lo Dir!”
                “Memang dia pacar gue,”
                “Ah lo!” dia berpaling. Berusaha menekan amarah yang bergejolak di dadanya. “Lo nggak usaha apa-apa buat hubungin dia?” nadanya sedikit melembut.
Aku menggeleng. “Nggak,”
                “Astaga Dir! Lo tu sama aja tau nggak! Lo sama begonya! Pacar lo nggak ngasih kabar empat hari, lo diem aja! Iya kalo dia nggak macem-macem, kalo dia jalan sama cewe laen gimana? Kalo dia nembak cewe laen gimana?”
                “Lisa!” teriakku gusar. “Mulut lo di jaga ya, lo nggaktau siapa Arvi!”
Kulihat wajahnya semakin memerah. Ada dorongan amarah yang menguasai hatinya. “Dira! Denger gue ya, gue tau siapa pacar lo! Gue tau latar belakangnya! Gue tau kehidupannya!”
                “Loe nggak usah nyebut-nyebut soal latar belakangnya!” tak kalah keras aku berteriak.
                “Terserah!” dia mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu. “Gue udah meringatin lo, dan lo sama begonya sama dia, jangan salahin gue kalo dia emang kaya gitu!”
Brak! Ditutupnya pintu dengan kasar.
Aku termenung. Kalimatnya masih berputar-putar di otakku. Kata-katanya seolah menyadarkanku di antara lorong-lorong waktu. Aku benar-benar merasa panas akan lontaran-lontarannya. Namun tak bisa kupungkiri, hatiku membenarkan ucapan-ucapannya. Hanya saja aku terlalu gengsi untuk mengakuinya. Aku terlalu gengsi untuk ikut mengatakan aku mencurigai Arvi.

***

bersambung ke AKU atau DIA? #2

Jumat, 28 Desember 2012

Masih Ada Persamaan


Kita sama-sama iri melihat orang lain memiliki kekasih
‘Agak iri liat orang pacaran..’ kira-kira begitulah statusmu yang sempat kubaca. Dari situ aku bisa menyimpulkan betapa kerasnya kau menahan hati untuk tidak tenggelam dalam kesedihan. Melihat orang lain bisa bermesraan dengan kekasihnya, melihat rangkulan dan pelukan, melihat mereka bisa tertawa lepas dalam ikatan cinta. Sementara hatimu sepi. Sementara hanya pahit yang bisa kau tulis untuk mengisi lembaran kehidupanmu.
Tahukah kau? Dalam hal ini kita sama. Aku juga kesakitan melihat teman-temanku dan hati mereka yang telah terisi. Aku juga bersusah payah menahan airmata ketika ada sepasang kekasih yang lewat di hadapanku. Melihat raut wajah bahagia mereka, otakku seperti memutar waktu-waktu yang berlalu. Ada kau. Ada aku. Ada kita. Betapa indahnya dunia saat itu. Betapa indah saat hati kita sama-sama dipenuhi cinta. Aku sering merindukannya. Kali ini benar kurasakan, manakala hal yang dulu terasa biasa saat kita menjalaninya, kini menjadi begitu berarti karena ‘kita’ sudah tak ada.
Namun, sekalipun kau dan aku sama-sama mengeluarkan airmata, sama-sama marah pada Sang Waktu, sama-sama meronta minta bebas dari rasa duka, semua itu takkan pernah bisa mengembalikan ‘kita.’

Kita sama-sama mempertahankan tali pertemanan
Memang tak ada ‘kita’ lagi dalam kamus hati. Meski begitu, kau dan aku tetap berusaha mempertahankan kebaikan di tali pertemanan kita. Mungkin orang lain akan bermusuhan ketika sudah putus dengan pacarnya. Tapi kita tidak. Dan aku sangat bersyukur mengenai hal itu. Kadang di saat-saat tertentu, aku masih menganggapmu seperti dulu. Aku masih sering merasa senyumanmu itu untukku. Tanganmu itu untuk merangkulku.
Bagaimana denganmu? Adakah kau merindukanku?

Kita sama-sama sendiri
Hahaha. Aku sempat tertawa ketika memutuskan untuk menuliskan persamaan kita yang ini. Sudah sebulan lebih kita putus. Dan kita juga masih sama-sama sendiri! Aku tak punya GBTan. Tak berminat juga mencarinya untuk menjadi penggantimu. Semua bagiku terasa membosankan. Entah mengapa. Mungkin hatiku memang belum siap dapat pengganti. Atau hatiku masih benar-benar mencintaimu? Aku tak tahu. Dan biarlah menjadi rahasia TUHAN tentang apa yang kurasakan ini. Aku tak tahu pasti mengenaimu. Yang aku tahu kau juga masih sendiri. Doaku, semoga kau cepat dapat penggantiku.

Satu hal, adakah kita juga menyimpan rindu yang sama?

Salam dari masalalumu,
-Litha-

Rabu, 26 Desember 2012

Maafkan, Kasih


Tiba-tiba ia memelukku erat. Sangat erat. Sampai-sampai aku bisa merasakan detaknya. Bau parfumnya lembut, terbawa semilir angin menggelikan hidungku. Aku seperti terhipnotis. Aku seolah dikendalikan oleh kecantikan dan kemolekannya. Karena, tanpa kusadari, tanganku sudah melingkar di pinggangnya yang seperti lekukan badan gitar itu. Ia menenggelamkan kepalanya di dadaku. Menggosok-gosok punggungku. Aku semakin tak dapat mengendalikan diri. Kubiarkan diriku tenggelam dalam nafsu yang liar. Kepalaku bergerak mendekati lehernya yang jenjang. Aku tak tahan lagi. Kuciumi leher itu. Bibirku naik. Naik. Naik. Sampai pada bibirnya yang melengkung indah. Tiba-tiba saja, aku lupa akan segala sesuatu yang ada di sekitarku. Bibir kami bertemu. Entah apa yang kulakukan setelah itu. Aku tak tahu. Semuanya diluar kesadaranku. Yang terakhir kuingat adalah ada sesosok bayangan mendekati kami. Dia memanggil namaku disertai isak tangis yang memilukan.
                “Mas Angga?” panggilnya. Suaranya bergetar. Mulutnya menganga dengan tampang tak percaya. Airmatanya membanjir.
Spontan, aku menghentikan aksiku. Sebelum melihat siapa pemilik suara itu, hatiku dipenuhi amarah. Seseorang mengganggu ritualku! Dengan malas aku menoleh. Otakku sudah menyusun kata-kata kasar untuk memarahinya. Namun, ketika mataku merekam sosok itu, jantungku serasa berhenti berdetak. Lidahku tercekat, dan hatiku merasa si otak salah menerjemahkan laporan mata.
               “De..Dewi?” ucapku gelagapan. Aku kehilangan kata-kata. Sungguh dalam hati aku berharap semua ini hanya mimpi. Sayang itu tak terjadi. Ini adalah fakta. Ini adalah keadaan sesungguhnya.
                “Sayang, dia siapa?” Tanya Aurora dengan tangan masih memelukku. Matanya mendelik. Wajahnya merengut. Seperti jijik dengan penampilan Dewi yang terlalu sederhana itu.
                “Sayang?” ulang Dewi sebelum aku punya kalimat untuk menjelaskan semua ini. “Dia manggil sampeyan sayang, mas? Ya Tuhan,” dia menutup mulut. Di wajahnya tergambar rasa nelongso.
                “Aku.. aku..,” suaraku meluncur meski terbata-bata.
                “Sampeyan kenapa mas? Dewi salah apa sama mas?” isaknya semakin menyayat hati. “Kenapa mas tega sama Dewi?”
                “Lo siapanya Angga sih?” Aurora setengah berteriak. Matanya memancarkan rasa muak.
Dewi menatap Aurora dengan tajam. “Mestinya saya yang nanya sama sampeyan mbak, mbak siapanya mas Angga? Mas Angga itu tunangan saya,” ucapnya diantara banjiran airmata.
                “Tunangan? Angga tunangan lo? Nggak salah?” Aurora mengeratkan pelukannya. Aku mengikuti sandiwaranya. Tangan kiriku menggantung di lehernya. “Angelbertus Angga orang penting, derajatnya tinggi, dan dia nggak punya waktu buat macarin gelandangan lusuh kayak lo, apalagi nglamar!”
Mata Dewi membelalak begitu mendengan panggilan ‘gelandangan lusuh’ mencuat dari bibir manis Aurora. Dia menunduk lalu memperhatikan rok panjang bermotif kotak-kotak dan kaos putih leceknya yang sudah mbladus.
                “Iya.” Aku menyetujui kata-kata Aurora. Tangan kananku menyentuh dagunya yang runcing. Kuhadapkan wajahnya ke wajahku. Kunikmati bibir itu beberapa detik di depan Dewi. “Dia pacar gue. Nggak usah berharap lebih, Wi. Gue nglamar lo cuman buat pelarian dari Sophie, karena gue emang belom dapet cewe yang sesuai aja. Sekarang gue udah dapet Aurora. Jadi, dengan hormat, gue minta lo pergi dari hidup gue. Kalo perlu, buang cincin yang pernah gue kasih, karena itu nggak ada pentingnya lagi buat gue, dan buat lo juga.”
Dewi tersentak mendengan tutur kataku. Aku pun kaget dengan kalimat yang kuucapkan. Ada sedikit rasa sesal telah mengatakannya. Tapi aku terlalu gengsi untuk mengakui.
                “Jadi selama ini, cintanya Dewi yang cuman buat sampeyan, sampeyan khianati mas? Mas Angga jahat! Dewi benci mas!” serunya saat itu sambil berlari menjauh. Aku tertegun.
Aku hanya bersandiwara Dewi, aku sungguh-sungguh mencintaimu. Meski latar belakang kita sangat berbeda. Tunggu, Dewi, sebentar lagi aku akan mencuri waktu untuk menjelaskan semuanya padamu.

***

                “Dasar lelaki hidung belang!”
                “Dan kamu wanita jalang!”
                “Kamu nggak bisa diandalkan! Playboy!”
                “Kamu wanita murahan! Matre!”
                “Matre? Hah! Mending aku punya selera! Kamu? Cakep, kece, kaya tapi seleranya rendah! Kampungan!”
                “Jaga mulutmu! Aku mencintai dari hati! Aku nggak liat fisik! Aku nggak liat kasta!”
                “Bodoh! Kalau kamu emang cinta dari hati, kamu nggak mungkin terang-terangan mainin bibirku!”
                “Itu semua kamu yang mulai!”
                “Ah kamu emang cowo bego!”
                “Terserah!”
Brak! Kututup pintu kamar Aurora dengan kasar. Emosi meledak-ledak di balik dadaku. Berderap kuturuni tangga dan berlari menuju mobilku, masuk ke dalamnya lalu cepat-cepat pergi dari rumah wanita terkutuk itu.

***

Tok! Tok! Tok!
Kuketuk pintu rumah Dewi. Sembari berdoa dalam hati, semoga aku bisa menjelaskan semuanya dengan lancar.
                “Nggih, sekedhap!” terdengar suara wanita dari dalam. Itu pasti Dewi.
Pintu terbuka. Aku berdiri setegap dan sesantai mungkin. Bibirku sudah menyunggingkan senyum. Dewi membukakan pintu dengan persiapan tersenyum. Namun sebelum mataku menangkap senyum utuhnya, dia buru-buru menutup pintu lagi begitu melihat bahwa akulah yang mengetuk pintu. Rautnya menggambarkan kebencian, seperti menyesal telah membuka pintu.
                “Dewi!” teriakku berusaha menahan pintu itu dengan kakiku agar tak tertutup sepenuhnya. “Dewi aku butuh ngomong sama kamu!”
Diam.
                “Dewi, plis, dengerin aku dulu.”
Diam.
                “Dewi? Denger aku kan?”
Isak tangis.
                “Dewi?” aku berusaha membuka pintu lebih lebar. Dia membiarkan aku melakukannya. Kuambil saputangan dari saku jaket dan mengarahkannya pada pipi Dewi yang dibasahi airmata.
Dia mengelak.
                “Dewi, apa salahnya aku hapus airmatamu?” tanyaku memelas.
                “Salah mas, salah besar. Dewi bisa hapus sendiri tanpa bantuan sampeyan.
Aku tertegun. “Wi, aku tau aku salah.”
                “Memang salah.” Katanya setelah berhenti menangis.
                “Iya aku tau.”
                “Sudah tau kok dilakukan.”
                “Wanita itu yang mulai.”
                “Kok ya sampeyan ndak menghindar?”
Diam.
                “Apa susahnya nyuruh mbaknya buat ndak macem-macem?”
                “Aku enggak sadar Wi.” Jawabku sekenanya.
                “Sampeyan mabuk to?” tuduhnya.
                “Enggak Wi. Aku nggak pernah mabuk.”
                “Lha tadi sampeyan bilang ndak sadar?”
                “Maksudku, aku kayak dikendalikan sama dia.”
                “Ah ndak usah banyak alasan mas. Berarti kan sampeyan juga ngasih peluang mbaknya. Itu artinya sampeyan ndak bisa setia mas.”
                “Aku minta maaf!” sesalku. Entah apa yang harus kukatakan pada Dewi. Semua yang diungkap benar adanya. Dan itu cukup untuk menohok jantungku.
                “Maaf?” ulang Dewi menatapku tajam. Bola matanya seperti bisa menusuk hatiku. “Kalau minta maaf semua orang juga bisa ngomong mas.”
                “Enggak semua orang.”
                “Semua orang mas. Semua orang yang bisa ngomong dan yang tau apa fungsinya kata maaf.”
                “Wi, aku bener-bener nyesel.”
                “Terus?”
                “Aku minta maaf!”
                “Kalau Dewi ndak mau maafin gimana?”
                “Aku sungguh-sungguh Wi! Beri aku kesempatan sekali lagi!”
                “Kalau Dewi tetep ndakmau gimana?”
                “Aku minta maaf!”
                “Mas sudah tiga kali bilang.”
                “Itu karena aku sungguh-sungguh Wi.”
                “Sungguh-sungguh belum puas khianati Dewi?”
                “Bukan gitu Wi!” aku mulai kehabisan kesabaran.
                “Tuh lihat, mas sudah emosi lagi. Gitu kok bilangnya nyesel beneran? Apa yang beneran? Bohong semua!”
Aku tertegun. “Wi, sekali lagi aku minta maaf.”
                “Empat kali.”
                “Aku sungguh-sungguh Wi. Aku nyesel. Dan aku nggak akan ngulang semua itu lagi. Beri aku kesempatan.” Kuturunkan nada suaraku. Menekan emosi.
                “Mas,” dia menghela napas. “Cinta itu bukan sesuatu yang bisa ditanam, dicabut, lalu ditanam lagi. Cinta itu sesuatu yang waktu sudah ditanam, ya dia akan tumbuh selamanya. Tapi ketika dicabut, dia akan mati, dan nggak akan tumbuh lagi. Dewi sudah nyabut cinta itu mas. Maaf. Dan Dewi mohon dengan hormat, mas pergi dari hidup Dewi.”
Pintu ditutup.

Senin, 24 Desember 2012

Gabriel


Novel itu kubaca, sudah. Deretan-deretan kalimat selesai berjalan di depan mataku. Lagi-lagi entah. Ada sebersit rasa rindu kepadamu, Gabriel, yang diceritakan di sana menjadi pria gigantisme. Kelembutan, keramahan, ketenangan, dan ke-ke-ke yang lain seperti cocok dengan sikapmu yang sebenarnya. Rasanya, aku menjadi Bianca dalam dunia nyata. Kekagumannya kepada Gabriel, yang disebut-sebut sebagai malaikat pembawa kabar baik, sama seperti kekagumanku padamu. Kerinduannya pada Gabriel, yang punya leher jenjang dan tubuh nyaris dua meter, sama seperti rinduku padamu.

Rindu itu menjulang setinggi Merapi dan sederas banjiran sungai Code. Setiap kali nama Gabriel tercetak di sana, otakku kembali memutar bayanganmu. Kamu. Kamu.

Aku tidak mengenal magnet apa yang melekat padamu. Sungguh. Ada apa dibalik tatapan manismu, senyuman magismu, dan sentuhan halusmu, aku tidak tahu. Meski demikian, tiap kali ada pemberitahuan mengenai hal-hal yang berbau dirimu, mataku selalu tak sabar untuk melaporkan pada otak agar dia menerjemahkan. Hatiku selalu tak sabar untuk memahami semuanya.

Ah, kamu. Seorang aku selalu terlalu lemot untuk benar menyadari arti hadirmu. Seorang aku masih terlalu bodoh untuk mengerti setetes embun kebahagiaan di balik goresan senyummu.

Namun manusia pasti punya kelebihan bukan? Aku pun begitu. Selembar rasa di antara rak-rak jiwa, sepotong hati di antara kepingan airmata kusimpan dengan diam untukmu, dan itulah kelebihanku.
Adakah diantara rindu dalam hati yang mencuat ke berbagai arah, kamu alamatkan kepadaku? :”)

Salam rindu setinggi Merapi dan sederas aliran Sungai Code dari masalalumu,
-Litha-

Jumat, 21 Desember 2012

Biar Waktu Menelanmu

                 “Hei.” Sapamu. Jemarimu menyentuh bahuku.
Aku menoleh. Mencoba bersikap seperti biasa. “Hai.” Jawabku datar.
Senyummu merekah. Kau yang dulu masih terekam dengan jelas lewat mataku. Tatapanmu yang tajam sekaligus lembut, kulit putih terbalut seragam OSIS yang putih bersih‒seputih dan sebersih cintaku untukmu yang hilang ditelan waktu‒hidung mancung, bibir merah muda yang tak pernah lelah menggores senyum. Masih kau yang dulu. Masih kau yang tenang dan terlihat dewasa. Hanya aku yang menganggapmu asing sejak itu.
                “Dapet berapa?” tanyamu. Masih dengan tersenyum. Senyum itu.. ah.. hanya membawa rasa sakit untukku.
                “Apa? Bahasa Indonesia?” tanyaku balik.
Kau mengangguk.
                “Jelek,” aku tak niat.
Kau tertawa kecil. Seperti masih hapal dengan sikapku yang selalu menjawab dengan kata ‘jelek’ sebelum mengatakan nilaiku. “Ya berapa?”
                “Delapan puluh delapan,” lirihku.
Kau mengangguk. “Bagus tuh,”
Aku mencibir. Sekali lagi, aku selalu berusaha bersikap seperti biasa. Namun entah mengapa, usahaku itu justru membuat sikapku kaku. Semoga kau tak benar merasakannya. Lagi pula, aku kan bukan siapamu. “Kamu berapa?” tanyaku.
                “Delapan puluh sembilan,” kau menyengir.
Aku berdecak. Seolah sebal karena kau berhasil mengalahkanmu. Kau terbahak. Barisan gigi putih yang rapi dan mata yang menyipit mengiringi tawamu. Aku mengeluh dalam hati. Menyadari kalau senyum, tawa, dan tatapanmu takkan pernah untukku dan takkan pernah menjadi milikku.
Dulu, setengah tahun yang lalu, selalu ada kau dan aku yang menjadi kita. Selalu ada kau dan aku yang saling membagi cerita. Selalu ada kau yang mendewasakan aku. Selalu ada aku yang serius mendengarkan nasihatmu. Aku benar-benar merindukannya. Entah karena aku masih mencintaimu, atau karena aku butuh nasihat-nasihat itu.

Kau tak akan pernah tahu perasaanku yang sesungguhnya. Kau selalu sulit memahamiku. Atau sebenarnya kau bisa dengan mudah memahamiku. Tapi kau pilih cuek dengan semua itu. Mungkin, kau memang biasa mengumbar kata-kata cinta dan gombalan-gombalan sialan itu. Kau biasa menjadi Arjuna yang mengawali perkenalan dengan manis dan mengakhirinya dengan sebotol racun yang mematikan perasaan. Tapi tidak denganku. Aku bukan tipe sepertimu. Aku tak pernah mengumbar kata-kata cinta ketika aku tak mencinta. Aku serius.

Kini, kau begitu sulit dijangkau. Kau sulit dipahami. Sama sulitnya dengan memahami aksara-aksara Mesir kuno. Mungkin semua ini karena kebodohanku. Aku yang selalu menganggapmu lebih lebih lebih dan lebih dari sahabat. Tak mengindahkan peringatan temanku, tak mengindahkan kau yang selalu hidup di duniamu, dunia tersulit untuk dimengerti. Tapi, hei. Coba lihat aku. Tak bisakah kau menemukan cintaku di antara peluh atau airmata yang jatuh?

Hari ini aku disentakkan dengan keras. Aku sadar akan perbedaan antara kau dan aku. Aku sadar, tak ada yang bisa kulakukan selain menerima kenyataan tentang hilangnya dirimu. Bahkan meski peluh dan airmataku berubah menjadi darah, waktu tetap tinggal diam. Ia tak akan mengembalikanmu. Ia setuju denganmu. Setuju dengan kepergianmu. Setuju dengan caramu menyakitiku.

Hari ini, aku berjalan dengan mantap. Berusaha menghapus semua tentangmu. Berusaha tak ada kau di hatiku. Tak ada lagi nasihat darimu. Tak ada lagi cerita tentang tawa kita, tentang kebahagiaan kita, tentang kita. Semua akan kukubur dalam-dalam bersama dengan cintaku yang kian memudar. Semua akan kuberikan pada waktu dan kubiarkan ia menelannya bulat-bulat. Dan bila kau ingin lepas dariku, aku akan melakukannya, dengan senyum dan keikhlasan meski sulit.

Hal  tersulit dari semua kepahitan ini adalah menganggapmu teman, dan menghapus semua bernuansa sahabat antara kita. Kau. Aku.

Senin, 17 Desember 2012

Mungkin Kamu Sudah Lupa


Mungkin kamu sudah lupa
Tentang kata-kata sayang
Tentang kata-kata cinta
Tentang gombalan-gombalan
Tentang janji-janji manismu
Yang kamu paparkan padaku

Mungkin kamu sudah lupa
Tentang perasaanku ketika mendengar semua itu
Tentang bahagiaku
Tentang senyum lebarku
Tentang ketetapan dalam hati
Yang mulai mengukir namamu sebagai masa depanku

Mungkin kamu sudah lupa
Kalau aku adalah wanita serius
Kalau aku tak pernah main-main tentang perasaanku
Kalau aku sudah mematrimu dalam hatiku

Mungkin kamu sudah lupa
Aku masih mengharapkanmu
Aku masih menganggapmu sosok terang dalam kegelapan
Aku masih menganggapmu malaikat
Aku masih menganggapmu pelita hati
Yang selalu mampu mengusir ketakutan tak terungkap

Dan mungkin kamu sudah lupa
Kalau kamu pernah menyakitiku
Kalau kamu pernah menusukku
Kalau kamu pernah merebut kebahagiaanku
Kalau kamu pernah menukar cintaku dengan penyampakan

Atau kamu memang lupa?
Karena kamu playboy
Karena kamu Arjuna
Karena kamu hanya mencari kesenangan tanpa peduli dengan perasaan orang lain

Oh ya,
Kamu memang sudah lupa

Rabu, 12 Desember 2012

TUHAN, aku salah apa ?


                “Guuuooobblokk!”
Aku hanya mampu menunduk dan diam seribu bahasa ketika gebrakan meja dan suara Wawan mencakar kupingku. Haruskah aku mengalami semua itu ketika aku tak mengerti suatu perintah? Apa tak ada cara lain yang lebih baik untuk membuatku mengerti?
                “Kowe dhong ra e?! Wo bodho!! (kamu ngerti enggak sih?! Bodoh!!)“
Kudengar suara cekikikan teman-teman ketika Wawan melanjutkan kalimatanya. Kepedihan merasuki hatiku. Entah mengapa setiap hari aku dipaksa menelan semua itu. Setiap hari.
Aku tak kunjung mengerti mengenai apa yang mereka lontarkan padaku. Kadang, aku harus juga merasakan pukulan, tendangan, dan keusilan mereka. Apa itu semua disebabkan oleh kesalahanku sendiri? Apa itu semua disebabkan karena aku memang bodoh? Atau mereka yang tak punya hati? Sungguh, sampai detik ini aku masih mencari tahu tentang sekian banyak kesakitan yang menjadi makananku itu.
Aku berusaha menikmati semuanya. Aku berusaha menerima. Namun, aku juga manusia, aku juga punya titik lelah. Aku juga punya saat, dimana hatiku tidak terima.
***
                “Heh cah bodho! Diundang kae lho! Wo budheg! (Heh anak bodoh! Dipanggil itu lho! Wah, tuli!)“
Aku langsung tersentak. Gelagapan mataku memandang ke depan. Mulutku menganga menandakan bahwa aku tak mengerti lagi kali ini. Di kursi guru, Bu Haryati, Guru Biologi, memandangku sambil setengah tersenyum.
                “Nomor sembilanbelas?” tanyanya melembut. Mungkin berusaha meredam makian Anji tadi.
Aku mengangguk.
                “Silahkan maju, tulis jawaban nomor lima di papan tulis,” lanjutnya sambil menunjuk spidol di pinggir mejanya.
Ragu-ragu aku berdiri. Bu Haryati mengangguk, seolah mengerti bila aku belum sepenuhnya sadar akan perintah itu.
                “Aha! Cah bodho! (Aha! Anak bodoh!) ”
                “Nek diundang ki mbok ngrungokke! Kuping ki dienggo! (Kalo dipanggil dengerin donk! Telinganya dipake!) “
                “Nek mlaku mbok biasa wae! Lanang opo wi? Mlaku kok ko ngono! Ko cah wedok! (Kalo jalan biasa aja donk! Cowo apaan tuh! Jalan kok kayak cewek!) ”
                “Model tho! Mlakune kudu ngono! (Model bro! jalannya harus gitu!)“
                “Wo model to tho? (Oh model ya bro?)“
                “Waiyo! Edan po nek ora?! (Iya donk! Gila aja kalo enggak!)“
Gelak tawa memenuhi kelas setelah percakapan Wawan dan Anji menjadi soundtrack. Mengiringi tangan dan otakku yang sibuk bekerja menulis jawaban di papan tulis atas perintah Bu Haryati. Mungkin semua itu lucu bagi mereka. Sayang, lucu itu tak berlaku untukku.
Aku berusaha tak mengambil hati. Namun dengarlah, jauh di dasar sanubari aku menjerit, tanda rasa sakit itu sudah terlalu berat untuk dirasakan oleh seorang aku. Perih itu semakin terasa kala kulihat Bu Haryati ikut tersenyum mendengar mereka. Ah bu, apa susahnya menyuruh mereka diam?
***
                “Nomor absen sembilanbelas,” Bu Mus menyebut nomor absenku. Jam ini adalah jam penilaian membirama. Aku menghela napas. Lalu berjalan ke depan. Tampaknya aku sedikit beruntung, tak ada ejekan yang mampir ke telingaku.
Aku mengambil nada, mengambil gerakan pendahuluan, dan membirama. Ada guratan kesedihan sebenarnya. Karena aku tak seperti Mona dan Riska yang memang berbakat dalam bidang musik. Aku juga tak seperti yang lain, yang setidaknya mampu menggerakkan tangan dengan baik sesuai ketukan meski tak benar-benar berbakat dalam musik. Kulihat Wawan dan Anji menahan tawa di kursi mereka sambil berbisik entah membicarakan apa. Yang mereka bisiki jadi ikut cekikikan. Rasa rendah diri semakin berkuasa dalam hatiku. Dan ketika aku kembali ke bangku, Anji menirukan caraku membirama tadi. Wawan, Anita, Nana, Vano, bahkan Mona dan Riska terpingkal-pingkal melihatnya.
Aku menunduk. Airmataku mulai menetes. Celakanya, Anita tahu kalau aku menangis.
                “Eh meneng. Model e nanges lho, (Hei, diem. Modelnya nangis lho)“
                “Woalah alah, ngono we nangis, (Astaga, gitu aja nangis)“
                “Meneng tho! Dhong ra e? model e nanges ki lho! Diandhakke bodyguard e entek we! (Diem bro! Ngerti nggak sih? Modelnya nangis ini lho! Dibilangin bodyguard-nya mampus kau!)“
Ya TUHAN, jeritku. Sampai kapan aku harus mengalami ini semua?

***
Ada rasa takut yang memenuhi benakku ketika berangkat ke sekolah. Aku seperti trauma. Seakan menghindari kelasku. Menghindari hinaan, cercaan, ejekan, dan saudara-saudaranya. Setiap hari, semangat yang telah kupersiapkan di rumah lenyap saat kesakitan itu kembali menyerangku. Itu penyebabku takut. Itu yang menyebabkan aku menjadi anak yang semakin tertutup. Semakin tak punya teman. Semakin mudah panik.
Aku juga semakin sulit mengungkapkan perasaanku pada Mona. Wanita itu,.. ah, hanya TUHAN yang tahu benar apa yang kurasa padanya. Meski sering ikut menertawakanku, hatiku berkata dia tak jahat. Aku bisa merasakannya. Dia punya sisi lembut. Dan sisi lembut itulah yang membuatku menyukainya. Kadang saat melihatnya sedang sendirian, ada dorongan dalam hatiku untuk menyapa. Namun mengingat diriku sendiri, aku jadi enggan melakukannya. Aku dan dia benar-benar berbeda. Dia selalu mudah bergaul. Selalu punya teman. Sedang aku tidak. Okelah, nampaknya memang nasibku. Cukup kusimpan saja perasaanku dalam hati. Biar TUHAN sendiri yang memberitahunya.
Kembali ke dunia pergaulanku, aku selalu ingin diperlakukan seperti yang lain. Diperlakukan dengan baik. Diperlakukan seperti manusia juga. Tapi aku bisa apa? Aku tak punya cukup keberanian dan derajat di tengah-tengah mereka. Aku bukan manusia buat mereka. Aku boneka. Aku barang. Aku sesuatu yang bisa dibuat mainan, yang bisa diperlakukan semena-mena.
Langkahku semakin mendekati kelas. Jantungku berdegup. Aku mempersiapkan telinga dan hatiku untuk menerima ejekan lagi.
                “Heh tho! Model e teko tho! (Hey bro, modelnya dateng bro!) ”
Wawan dan Anji menghalangi pintu kelas. Aku menghela napas. Kukumpulkan nyali untuk meminta mereka menyingkir agar aku bisa masuk. Sayang, yang kudapat bukan yang kuinginkan, justru tangan kasar Wawan mampir untuk menjitakku.
                “Ck,” aku berdecak. Kupasang tampang kesal. Tanganku mengelus bekas jitakan Wawan. Sakit. Lepas dari jitakan, sebuah kaki nyaris membuatku jatuh. Untung otak kecil dan tiga saluran setengah lingkaranku tanggap mengenai ini. Mukaku merah padam. Menahan emosi yang tak mampu kukeluarkan karena aku tak punya cukup nyali.
***

                “Itu nilai apa?” tanyaku takut-takut pada Anita, sang pemimpin di kelasku.
                “Bahasa Indonesia,” jawabnya datar sambil menaikkan kacamatanya yang melorot.
Mulutku membentuk huruf ‘o’, tanda mengerti ucapan Anita barusan. Sedikit ragu aku masuk dalam kerumunan teman-teman yang tengah sibuk memelototi hasil Ujian Akhir Semester 1 Bahasa Indonesia yang terpampang di papan tulis. Samar-samar kudengar cemooh Wawan dan Anji padaku di antara suara-suara lain yang mengomentari hasil Ujian itu. Aku berusaha menulikan telinga dan hati. Mataku mencari-cari namaku di selembar kertas itu.
IX-5/19
MARKUS KALVINIS
84.40

Syukurlah, ucapku dalam hati. Bersyukur, untuk Bahasa Indonesia nilaiku tidak buruk. Tanpa kusadari, bibirku menyunggingkan senyum.
                “Ngopo we ngguyang-ngguyu!? (Ngapain kamu senyam-senyum!?) “ Anji membentakku.
Aku gelagapan. Salah tingkah. Bingung harus bagaimana. Lagi-lagi aku hanya mampu melongo.
                “Ngopo e ngguyang-ngguyu!? Seneng po!? Entuk piro e we!? (Ngapain senyam-senyum!? Seneng ya!? Dapet berapa kamu!?) ” bentak Wawan sambil matanya menelisik kertas itu, mencari nama dan hasil ujianku.
Aku merengut. Belum ada satu menit aku bisa menggores senyum atas hasil yang kucapai. Aku memang tak diijinkan bahagia.
                “Wolu papat tho! (Delapan empat bro!)” teriak Wawan setelah melihat nilaiku.
                “Wo elok! (Wah hebat!)” Vano menanggapi.
                “Njuk bangga ngono!? (Terus bangga gitu!?)” kata Anji mengejek.
Tuhan, Tuhan, jeritku. Tuhan dimana? Hatiku sakit Tuhan. Apa bahagia memang bukan jalanku?

***
Aku berjalan tanpa semangat. Kutuju sebuah bangku di Taman Budaya, sebelah belakang. Kuhempaskan tubuhku. Lelah benar hari ini. Kalau tubuhku yang lelah, obatnya mudah. Aku hanya perlu tidur atau bersantai. Tapi ini, hatiku yang kelelahan. Dan aku butuh sesuatu yang menyegarkan, memberiku potongan-potongan semangat yang telah lenyap.
Angin segar membelaiku. Sedikit memberi rasa nyaman. Tempat ini cukup sepi. Membuatku bisa menjalankan otak untuk merenungkan semua yang telah kualami. Semua rasa sakit yang kutelan. Kepahitan yang setiap hari menjadi makananku. Sampai wajah Mona yang tak pernah berhenti membayangi.
Samar-samar aku mendengar suara langkah kaki. Aku mendongak. Seorang pria berkemeja dan celana bahan berwarna krem dengan kisaran umur 30 tahun tiba-tiba muncul. Wajahnya terlihat berwibawa dan menenangkan. Jenggotnya lebat, berwarna hitam legam. Rambutnya sedikit gondrong, tapi rapi. Bola matanya kebiruan, tanda kalu dia bukan orang Indonesia asli. Kalau diamati benar-benar, sepertinya dia ada campuran darah Timur Tengah. Kupikir, dia akan melewatiku. Ternyata tidak.
                “Kosong nak?” tanyanya. Suaranya seperti air yang menyegarkan hatiku.
Aku mengangguk, bergeser sedikit agar pria itu bisa duduk di sampingku.
                “Sepertinya kau sedang tak enak hati,” tebaknya. Aku tersenyum masam. Dalam hati mengiyakan, meski sedikit bingung karena ia bisa menebak dengan benar. “kau bisa menceritakannya padaku,” ia tersenyum. Aku menatap bola matanya yang indah bercahaya. Ada sedikit keraguan di hatiku. Namun senyumnya yang lembut menjawab keraguan itu. Kurasa aku bisa mempercayainya.
                “Saya.. saya.. hanya tidak mengerti mengapa teman-teman saya tidak memperlakukan saya seperti manusia,”
Ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Aku terus bercerita. Kusampaikan padanya, betapa sakit diperlakukan seperti itu. Betapa hatiku memberontak, tidak terima. Betapa aku tak pernah mempunyai kesempatan untuk bisa bergaul seperti orang lain. Mungkin aku bodoh. Mungkin cara pikirku lamban. Mungkin aku tak setanggap mereka. Tapi kurasa, sangat keterlaluan bila aku diperlakukan buruk dan tak pernah diberi kesempatan untuk belajar lebih lagi dengan alasan yang demikian. Aku ingin dimengerti. Aku ingin dihargai. Aku ingin teman-temanku tahu, aku punya hati, aku punya perasaan.
                “Kadang, saya sering bertanya-tanya pada Tuhan, apa salah saya? Mengapa Tuhan seakan tak peduli pada saya? Seburuk apakah saya sehingga saya harus mengalami semua itu?” kutatap wajahnya sembari menahan airmata, perasaan campur aduk yang berebut ingin keluar dari rongga dada. Ia tersenyum. Aku bisa menangkap kebaikan dan keramahannya. Wajahnya yang berwibawa terlihat semakin lembut setelah kulontarkan pertanyaan yang selama ini mengganjal di hati.
                “Kemarilah nak,” katanya merentangkan tangan. Aku tak sanggup lagi menahan diri. Kujatuhkan tubuhku di pelukannya. Detik itu juga, aku merasakan kehangatan. Aku merasakan ketenangan yang tak pernah kukecap selama ini. Aku merasa semangatku hadir kembali. Aku merasa semua ketakutanku lenyap, digantikan dengan kedamaian yang luar biasa. Airmataku mengalir. Segores senyum melintas di bibir, tanda syukur atas udara damai yang bisa kuhirup. Dan tiba-tiba saja, sekelilingku jadi terang-benderang. Pakaian pria yang memelukku berubah menjadi putih berkilau dan bercahaya seperti kilat. Sebentuk lingkaran kesucian mengelilingi kepalanya.
                “Anak-Ku, percayalah , kau tak pernah sendirian, Aku akan menyertai setiap langkahmu.”


Untukmu kawan,
yang hari-harimu dihiasi dengan rasa sakit.
Jangan pernah mengambil hati akan apa yang mereka katakan.
Percayalah, Tuhan menyayangimu.
Tuhan sedang menempa hatimu,
Tuhan sedang membentukmu menjadi pribadi yang kuat.
Hingga suatu saat nanti, kau bisa menggapai kesuksesan.
Amin.
                

Sabtu, 08 Desember 2012

Akankah 'KITA' Kembali?


Aku membuka mata. Kulihat secercah cahaya metahari mengenai satu titik di tembok kamarku. Oh, sudah pagi.

Tanganku meraba-raba benda-benda di sebelah kananku. Otakku menerima laporan dari si Lempeng Merkel. Ada benda halus yang kusentuh. Otak memerintahkan kepalaku menengok agar mataku bisa melihat benda itu.

Boneka beruang berbulu cokelat cappuccino darimu.

Segera saja bayangan masa lalu itu mengisi benakku. Aku masih merasa kau adalah milikku. Bahkan sampai detik ini.

Sosokmu yang selalu punya kehangatan, telingamu yang tak pernah bosan dengan ocehan konyolku, matamu yang indah, tajam, dan menenangkan, rangkulan, pelukan, dan dekapan yang mengalirkan kekuatan seolah masih dapat kugapai dengan mudah.
Kau ada di sana, di satu titik di hatiku. Kau ada di sana, di antara lembaran-lembaran cintaku. Indah bukan? Yah. Itulah alas an mengapa aku terus mempertahankuan cinta untukmu.
Sayangnya, bayangan masa lalu itu telah berjalan sampai ke sepotong kisah di hari Sabtu yang memporak-porandakan cerita kita.
Sabtu yang panas. Mentari yang ganas.
Dan hubungan kita yang berakhir.

Detik itu aku mengeluh. Sadar akan kenyataan pedih di depan mata.
Kini kau adalah kau.
Aku adalah aku.
Masalahmu takkan  menjadi masalahku.
Sebaliknya juga begitu.

Perih. Pedih.
Bersatu dalam guratan rasa sakit yang menjalar di antara tangis hati.

Rasamu, rasaku, beda.
Cintamu, cintaku, beda.
Jiwamu, jiwaku, beda.

Namun rindu antara kau dan aku masih sama.

Kau.
Aku.
Kita.

Akankah itu kembali?

Rabu, 28 November 2012

Boleh Kita Kenalan?


Aku sering memperhatikannya dari kejauhan. Ketika dia sedang ngobrol dengan guru atau bersenda gurau dengan teman-temannya. Entahlah, aku hanya suka melakukannya. Aku suka mengamatinya. Menelisik lekuk wajahnya, memperhatikan corak batiknya, atau mencermati bahasa bibirnya.

Posturnya tinggi besar. Bahunya lebar dan tampak kokoh. Kulitnya gelap, hidungnya mancung, bibirnya cokelat kemerahan selalu terlihat basah dan ranum, membuatku ingin menggigitnya.
Dia punya sepasang mata bulat dengan selapit pelangi cokelat kebiruan yang cantik dan indah. Aku suka sekali dengan matanya. Tatapannya tajam, dingin, tapi menarik. Jarang orang punya tatapan seperti itu.

Pernah suatu kali aku dipergoki Brial, temannya. Saat itu aku berdiri di dekat pilar koridor dan memperhatikan dia yang tampak serius dengan bola basketnya. Saking asiknya, bibirku nyaris mencium pilar itu.

Aku begitu terhipnotis oleh aksinya sampai sebuah suara menggetarkan daun telingaku lalu organ-organ selanjutnya.

                “Ehem, mantengin siapa Ta?” Briel tiba-tiba disebelahku.

Aku gelagapan. Tak tahu harus menjawab apa. Karena di lapangan hanya ada dia dan Rio. Masa aku bilang sedang memperhatikan Rio? Tak mungkinlah. Karena, maaf ya, tampang Rio itu di bawah rata-rata. Alisnya hitam dan tebal, wajahnya segituga terbalik, kulitnya putih, bibirnya tebal seperti orang negro, pesek pula.
Tapi kalau aku jawab dia, astaga, bisa gaswat!

                “Hei, Atalanta? Jawab dong,” desak Briel.

                “Hah? Aku? Aku...ohh...”

                “Dastan ya?” Briel menatapku lekat-lekat. Aku hanya menunduk.

                “Hahaha...” tawa Briel pecah. Dia cekikikan. “Ta, Ta, ngaku aja. Santai kalo sama aku. Dastan kece kok. Enggak salah kamu naksir dia,” ujarnya.

Sok tau amat. Seolah raut wajahku berkata begitu. Namun hati ini jingkrak-jingkrak entah di atas genting, kabel listrik, atau malah selokan.

                “El, plis ya, biasa aja,” aku  berusaha melontarkan nada sinis. Briel meneruskan tawanya.

                “Tapi iya, kan?”

Tersentak. Diam.

                “Atalanta? Ciyus deh,”

Bimbang. Masih diam.

                “Kamu bisa percaya sama Gabriel,”

Diam. Kutatap bola matanya. Ada guratan meyakinkan yang kutangkap. Aku mengangguk pelan.

                “Nah!” teriaknya. “Das...!”

                “Sssttt!!” aku berusaha membungkam mulutnya. Tapi aku terlambat satu detik. Tangannya sudah mengunci tanganku.

Sial! Makiku dalam hati.

Untungnya, Briel tak menyelesaikan ucapannya. Dan lelaki itu juga tak mendengar teriakan Briel.
                “Haha, enggak enggak Ta, kamu bisa percaya sama Gabriel,”

Aku mencibir.

                “Cungguh?” tanyaku.

                “Iya, janji deh,”  dia memberikan jari kelingkingnya. Aku menatapnya datar.

                “Oke, aku percaya, di jaga lho,” ujarku mengaitkan kelingkingku.

                “Beres,” dia tersenyum. “Selamat menikmati kekeceannya,” ditepuknya pundakku, dan berlalu.

@@@

Kali ini dia membalas tatapanku. Mata cokelat kebiruan itu menelisik gunung dan lembah yang tertata di wajahku. Dagu, bibir, hidung, akhirnya mata kami bertemu. Aku langsung salah tingkah.malu sekali ketahuan sedang mengamatinya. Dia menembakkan pandangannya padaku selama beberapa detik sampai sesosok lelaki dengan kisaran umur 50-an mendekatinya. Pak Mulyadi, guru fisika.

Ini aneh. Dia baru menatapku hari ini, tepat 2 hari setelah Briel tahu aku sering memperhatikannya. Apa jangan-jangan Briel laporan ke dia? Oh mak!

                “Ta, kamu ngapain?” otakku menerjemahkan laporan dari telinga. Itu suara Judith. Aku tak sadar kalau saat itu aku sedang membentur-benturkan kepalaku ke tembok seperti orang yang di-PHK.
Eh?

                “Ha? Oh enggak,” aku gelagapan. Guoblokkk! Aku mengutuki diri sendiri. Dibelakang Judith ada Nayla dan Vanessa yang menatapku bingung. Juga ada berpasang-pasang mata lain yang lewat sambil memperhatikanku dengan geli.
Astaga, ini konyol sekali.

@@@

Aku tak dapat duduk tenang di kursiku. Rumus-rumus trigonometri di papan tulis tak dapat menarik perhatianku. Aku merasa seperti ada sepasang mata yang mengawasiku. Di sekitar sini! Tapi aku belum menemukannya.

Kutengok kanan-kiri dengan gelisah. Judith, Nayla, Vanessa, dan yang lain tampak sibuk merekam rumus dengan mata dan memerintahkan tangan untuk menuangnya di buku catatan. Kulirik Viola, teman semejaku yang juga sibuk dengan pikiran dan catatannya. Aku memaksa diriku melakukan seperti apa yang teman-teman lakukan. Aku tak mampu. Kegelisahan masih menguasaiku.

Aku menengok ke kanan, mengamati setiap obyek yang bisa kutangkap. Yah, siapa tahu yang mengamatiku adalah sepasang mata kucing, cicak, tikus, kecoa, atau malah semut-semut merah.
Pandanganku sampai pada arah jam 4. Dan setelah obyek ketiga mataku menangkap sesosok tubuh dengan style yang kukenal duduk di tangga aula, pinggir lapangan. 
Lelaki itu.

Tubuhnya dibalut kaos olahraga, putih dengan ornamen biru tua dan kuning. Kakinya yang telanjang terlihat kotor, rambutnya basah oleh keringat. Dan matanya, matanya menatapku. Atau kalau aku terlalu PD, ya matanya menatap kelas ini. Pokoknya daerah sini!

Satu detik, dua detik, tiga detik berlalu dan mataku masih terkunci pada sosoknya. Dia juga masih menatapku, ehm, maksudku daerah sini. Lalu dia menyunggingkan senyum dan mengangguk. Aku kaget. Kutengok kiri. Aku hanya melihat teman-teman yang masih serius dengan buku masing-masing. Tak ada yang menatap keluar jendela, arah jam 4 kecuali aku.

Aku kembali menatapnya. Dia tersenyum simpul, menaikkan dagu, membawa sepatunya, lalu berdiri.

Aku menunduk.

Apa maksudnya menyapaku?

@@@

                “Ba!” sebuah suara mengagetkanku. Aku tersentak. Ternyata Briel.

                “Apa sih?” ujarku sedikit mangkel. Dia terbahak.

                “Gimana Dastan?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.

                “Ada kemajuan,” jawabku singkat.

                “Oh ya?”

Aku mengangguk.

                “Bagus dong,” Briel tersenyum. “Kemajuan gimana?”

                “Entahlah, ini aku yang berlebihan atau memang fakta,” kulihat Briel mengangkat sebelah alisnya. “Kemaren dia menyapaku,” lanjutku.

Briel manggut-manggut.

                “Kau laporan ke dia ya?” tuduhku. Mata Briel melotot besar sekali.

                “Enggak! Aku udah janji enggak bilang sama siapa-siapa kan?”

                “Iya sih,”

                “Nah, yaudah,”

                “Terus, kenapa dia kemaren..,”

                “Entah,” potong Briel. “Pokoknya aku nggak bilang apapun ke dia soal kamu,”

Aku mengangkat bahu.

                “Aku ke kelas ya, daah,” ditepuknya pundakku.

Aku mengangguk. Kuambil camilan lalu membayarnya. Ketika kubalikkan badan, lelaki itu ada di belakangku. Mata kami beradu. Dia tersenyum, mengangguk.

@@@

Ini mengesalkan. Beberapa kali mata kami bertemu, dia hanya tersenyum dan menangguk. Itu saja. Lama-lama aku bosan. Tak ada pembicaraan yang dia buka. Aku tak lagi sering memperhatikannya seperti dulu. Malas. Apa gunanya mantengin sementara yang dipantengin hanya tersenyum dan mengangguk begitu?
Aku pilih menjauh. Marah, mangkel, bosan, memenuhi benakku setiap mengingatnya. Aku tidak benci. Tapi juga tak suka dibegitukan terus.

Ayolah Dastan, bicaralah!

@@@

Itu dia. Sedang duduk di kursi depan kelasnya. Arrgh!! Dia lagi, dia lagi. Bosan rasanya. Paling juga cuma tersenyum, mengangguk, dan berlalu.

Aku sempat menatapnya beberapa detik. Setelah itu kuarahkan pandanganku ke sisi lain. Tapi entah mengapa, aku tak bisa bertahan pada sisi lain itu. Mataku tergoda untuk menatapnya.

Akhirnya aku menuruti kata hatiku. Kulihat dia berjalan ke arahku. Dekat, dekat, semakin dekat. Aku melongo. Apa mataku tak salah?

                “Hai, cantik,” senyumnya. Jantungku berdebar. “Aku Dastan, boleh kita kenalan?”

Jumat, 23 November 2012

Cinta dan Airmata


                “Leon sudah otw belum?” ujar Fara menyentuh bahuku.

Aku menggeleng.

                “Ha? Dia tak jemput kau? Atau belum otw?” nada bicara Fara terdengar menyelidik.

Aku menggeleng lagi.

                “Aku pulang ngebis.” Jawabku tanpa menatap Fara. Kakiku terus menapaki aspal. Peluhku berjatuhan. Siang ini matahari terlalu bersemangat.

                “Loh,” Fara berhenti. Segera saja ia tertinggal oleh langkahku. “Tapi Ra,” katanya berusaha menjajariku lagi. “Ratu!” teriaknya. Ia tampak kesal karena kakiku berjalan terlalu cepat.

Aku menghela napas.

                “Apa?” tanyaku berhenti sejenak tanpa menengok ke arahnya.

                “Jalanmu cepat sekali,”kata Fara. Kulihat rambut keritingnya mulai lengket oleh keringat.

                “Lalu kenapa?” tanyaku melanjutkan langkah.

Mulut Fara berdecak.

                “Ratu!” teriaknya lagi. “Kau belum dengar pertanyaanku!”

Aku mengeluh. Kuhentikan langkah. Aku berbalik 180 derajat. Menghadap Fara.

                “Apa? Kau mau Tanya apa, hah?” aku mulai kesal. Fara meringis lalu berlari mendekat.

                “Nah, kalau kau diam dan dengar begini kan enak,” katanya. Dengan ekspresi merayu.
Bola mataku berputar-putar.

                “Oke, oke,” Fara seolah mengerti arti gerakan bola mataku itu. “Kok kau pulang ngebis? Kenapa tak suruh Leon menjemputmu seperti biasa? Ini kan hari Kamis, dia pasti sudah pulang jam satu tadi.”

Aku menghela napas. Menahan sakit dalam hati karena telingaku harus mendengar pertanyaan semacam itu.

                “Aku sudah putus.” Jawabku.


***

                Tunggu, tunggu. Sepertinya aku mengenal punggung itu. Oh, sial! Makiku dalam hati. Itu Leon! Leon!
Segera saja aku membalikkan badan dan menjauh.

Terlambat.

Ada orang yang membuntutiku. Ada orang yang berusaha menjajariku. Langkahnya lebih cepat dariku. Seperti berlari. Oh, tidak, tidak. Bukan berlari. Mungkin... berderap. Ya, berderap. Itu lebih tepat. Langkah yang seperti itu dengan sangat mudah dapat mengejar gerakan kakiku.

                “Ratu,” sebuah suara terkumpul di gendang telingaku.

Aku mengeluh. Berusaha meyakinkan hati kalau itu bukan suara Leon. Mustahil rasanya.
Kurasa tak akan ada orang yang dapat memanggilku dengan nada yang tegas dan manis selain Leon. Hatiku sangat yakin tentang itu.

Aku bersikap seolah tak mendengar. Kucepatkan langkahku.

                “Ratu!” kali ini panggilannya lebih tegas. Namun kesan manis itu tak menghilang.
Aku tetap tak mengubris. Tiga detik kemudian, tanganku tetahan. Langkahku terhenti. Gantian jantungku yang berlari. Dengan sangat terpaksa, aku menengok pada pemilik tangan itu.

                Deg.

Napasku tercekat.

                “Ratu,” Leon menghela napas. Sorot matanya terlihat lelah.

Aku menatapnya takut-takut.

                “Ratu, a‒apa apa kau serius soal keputusanmu?” tanyanya terbata-bata.

Aku terdiam. Sulit sekali rasanya menjawab. Otakku mendadak buntu. Lidahku kelu.

                “Hei,” tangan Leon menyentuh daguku.

Aku masih diam.

                “Ayolah,” Nada suaranya terdengar memohon. “Lihat aku,” matanya mencari-cari tatapanku. Untuk kali ini aku menurut.
Aku menatapnya.

                “Nah, sekarang jawab aku,”

Aku ragu. Kulihat Leon tersenyum meski itu terkesan dipaksakan. Matanya sedih. Seolah berharap aku tak benar-benar memutuskannya. Aku menghela napas panjang.

                “Iya,” jawabku lirih.

Leon tampak tak percaya. Raut wajahnya mendadak terlihat pasrah. Mulutnya bergumam tak jelas.
Aku menunduk.

Maafkan aku Leon, maafkan aku. Aku terpaksa tentang keputusan itu. Kalu ditanya, aku tak ingin ada perpisahan dia antara kita.
Namun apa boleh buat?
Aku tak ingin menjeratmu dalam keegoisanku. Aku ingin kau bahagia, sebahagia aku yang sempat memilikimu setahun ini.
Kau.
Matamu.
Bibirmu.
Semua, tentangmu.

                “Oke,” kata Leon akhirnya. Ia mengangguk mengerti. “Itu keputusanmu. Aku menghargainya.” Ia melepas tanganku, lalu berbalik meninggalkanku.

Aku terisak. Menatap sosoknya yang menjauh. Kukejar dia. Kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Kusandarkan kepalaku di punggungnya. Airmataku jatuh entah berapa tetes.
Langkahnya terhenti seketika.

                “Aku sayang kamu,” bisikku terbata-bata diantara lelehan airmata.

Tangan Leon melepas pelukanku. Ia berbalik. Dihadapannya aku menangis seperti seorang anak kecil yang mainannya rusak.
Kurasakan tangannya melingkar di leherku. Aku dipeluknya erat. Sangat erat.

                “Aku tahu,” katanya. “aku juga menyayangimu,” dia mengambil jeda. “dan keputusanmu,” lirihnya.

Aku menggigit bibir bawahku. Masih menangis.

Itu adalah pelukan terakhirnya.


***

                “Ra, apa kau sudah putus?”

                “Ra, kau putus dengan Leon?”

                “Ra, kok kau tak cerita?”

                “Ra, kau benar putus?”

                “Ra, kau‒”

Aku terus berjalan tanpa peduli dengan deretan pertanyaan yang menghujaniku. Suara mereka, keingintahuan mereka, rasanya terdengar wung-wung-wung seperti lebah, tanpa arti dan kejelasan.
Aku terduduk di kursi depan kelas. Menghela napas panjang. Seolah mengeluh tentang jalan hidupku. Mataku menangkap sosok-sosok yang berseliweran. Semua bagiku hanya iklan. Sekedar lewat, tanpa kesan menarik untuk terus dilihat.

Sampai akhirnya. Sepasang kekasih iktu tertangkap mataku.

Mereka. Mereka. Aku memperhatikannya.
Begitu bahagianya. Begitu indahnya. Bahkan ranting dan dedaunan yang tertiup angin serasa ikut menggores tawa.

Melihatnya, melihat mereka, aku seperti tercekik dalam kesengsaraan yang luar biasa. Aku tersenyum di antara kepedihan, bak berjalan di atas pecahan kaca.

Aku. Jiwaku.
Aku. Ragaku.
Aku. Hatiku.
Aku. Cintaku.

Terbelenggu dalam kesesakan dan kesendirian yang bercampur jadi satu.

Airmata.