“Guuuooobblokk!”
Aku hanya mampu menunduk dan diam seribu
bahasa ketika gebrakan meja dan suara Wawan mencakar kupingku. Haruskah aku
mengalami semua itu ketika aku tak mengerti suatu perintah? Apa tak ada cara
lain yang lebih baik untuk membuatku mengerti?
“Kowe dhong ra e?! Wo bodho!! (kamu
ngerti enggak sih?! Bodoh!!)“
Kudengar suara cekikikan teman-teman ketika
Wawan melanjutkan kalimatanya. Kepedihan merasuki hatiku. Entah mengapa setiap
hari aku dipaksa menelan semua itu. Setiap
hari.
Aku tak kunjung mengerti mengenai apa yang mereka lontarkan padaku. Kadang, aku
harus juga merasakan pukulan, tendangan, dan keusilan mereka. Apa itu semua
disebabkan oleh kesalahanku sendiri? Apa itu semua disebabkan karena aku memang
bodoh? Atau mereka yang tak punya hati? Sungguh, sampai detik ini aku masih
mencari tahu tentang sekian banyak kesakitan yang menjadi makananku itu.
Aku berusaha menikmati semuanya. Aku berusaha menerima. Namun, aku juga
manusia, aku juga punya titik lelah. Aku juga punya saat, dimana hatiku tidak
terima.
***
“Heh cah bodho! Diundang kae lho! Wo budheg!
(Heh anak bodoh! Dipanggil itu lho! Wah, tuli!)“
Aku langsung tersentak. Gelagapan mataku
memandang ke depan. Mulutku menganga menandakan bahwa aku tak mengerti lagi
kali ini. Di kursi guru, Bu Haryati, Guru Biologi, memandangku sambil setengah
tersenyum.
“Nomor
sembilanbelas?” tanyanya melembut. Mungkin berusaha meredam makian Anji tadi.
Aku mengangguk.
“Silahkan
maju, tulis jawaban nomor lima di papan tulis,” lanjutnya sambil menunjuk
spidol di pinggir mejanya.
Ragu-ragu aku berdiri. Bu Haryati
mengangguk, seolah mengerti bila aku belum sepenuhnya sadar akan perintah itu.
“Aha! Cah bodho! (Aha! Anak bodoh!) ”
“Nek diundang ki mbok ngrungokke! Kuping ki
dienggo! (Kalo dipanggil dengerin donk! Telinganya dipake!) “
“Nek mlaku mbok biasa wae! Lanang opo wi?
Mlaku kok ko ngono! Ko cah wedok! (Kalo jalan biasa aja donk! Cowo apaan
tuh! Jalan kok kayak cewek!) ”
“Model tho! Mlakune kudu ngono! (Model
bro! jalannya harus gitu!)“
“Wo model to tho? (Oh model ya bro?)“
“Waiyo! Edan po nek ora?! (Iya donk! Gila
aja kalo enggak!)“
Gelak tawa memenuhi kelas setelah percakapan
Wawan dan Anji menjadi soundtrack.
Mengiringi tangan dan otakku yang sibuk bekerja menulis jawaban di papan tulis atas
perintah Bu Haryati. Mungkin semua itu lucu bagi mereka. Sayang, lucu itu tak
berlaku untukku.
Aku berusaha tak mengambil hati. Namun dengarlah, jauh di dasar sanubari aku
menjerit, tanda rasa sakit itu sudah terlalu berat untuk dirasakan oleh seorang
aku. Perih itu semakin terasa kala kulihat Bu Haryati ikut tersenyum mendengar mereka.
Ah bu, apa susahnya menyuruh mereka diam?
***
“Nomor
absen sembilanbelas,” Bu Mus menyebut nomor absenku. Jam ini adalah jam
penilaian membirama. Aku menghela napas. Lalu berjalan ke depan. Tampaknya aku
sedikit beruntung, tak ada ejekan yang mampir ke telingaku.
Aku mengambil nada, mengambil gerakan pendahuluan, dan membirama. Ada guratan
kesedihan sebenarnya. Karena aku tak seperti Mona dan Riska yang memang
berbakat dalam bidang musik. Aku juga tak seperti yang lain, yang setidaknya
mampu menggerakkan tangan dengan baik sesuai ketukan meski tak benar-benar berbakat
dalam musik. Kulihat Wawan dan Anji menahan tawa di kursi mereka sambil
berbisik entah membicarakan apa. Yang mereka bisiki jadi ikut cekikikan. Rasa
rendah diri semakin berkuasa dalam hatiku. Dan ketika aku kembali ke bangku,
Anji menirukan caraku membirama tadi. Wawan, Anita, Nana, Vano, bahkan Mona dan
Riska terpingkal-pingkal melihatnya.
Aku menunduk. Airmataku mulai menetes. Celakanya, Anita tahu kalau aku
menangis.
“Eh meneng. Model e nanges lho, (Hei,
diem. Modelnya nangis lho)“
“Woalah alah, ngono we nangis, (Astaga,
gitu aja nangis)“
“Meneng tho! Dhong ra e? model e nanges ki
lho! Diandhakke bodyguard e entek we!
(Diem bro! Ngerti nggak sih? Modelnya nangis ini lho! Dibilangin bodyguard-nya mampus kau!)“
Ya
TUHAN, jeritku. Sampai
kapan aku harus mengalami ini semua?
***
Ada rasa takut yang memenuhi benakku ketika
berangkat ke sekolah. Aku seperti trauma. Seakan menghindari kelasku.
Menghindari hinaan, cercaan, ejekan, dan saudara-saudaranya. Setiap hari,
semangat yang telah kupersiapkan di rumah lenyap saat kesakitan itu kembali
menyerangku. Itu penyebabku takut. Itu yang menyebabkan aku menjadi anak yang
semakin tertutup. Semakin tak punya teman. Semakin mudah panik.
Aku juga semakin sulit mengungkapkan
perasaanku pada Mona. Wanita itu,.. ah, hanya TUHAN yang tahu benar apa yang
kurasa padanya. Meski sering ikut menertawakanku, hatiku berkata dia tak jahat.
Aku bisa merasakannya. Dia punya sisi lembut. Dan sisi lembut itulah yang
membuatku menyukainya. Kadang saat melihatnya sedang sendirian, ada dorongan
dalam hatiku untuk menyapa. Namun mengingat diriku sendiri, aku jadi enggan
melakukannya. Aku dan dia benar-benar berbeda. Dia selalu mudah bergaul. Selalu
punya teman. Sedang aku tidak. Okelah, nampaknya memang nasibku. Cukup kusimpan
saja perasaanku dalam hati. Biar TUHAN sendiri yang memberitahunya.
Kembali ke dunia pergaulanku, aku selalu
ingin diperlakukan seperti yang lain. Diperlakukan dengan baik. Diperlakukan
seperti manusia juga. Tapi aku bisa apa? Aku tak punya cukup keberanian dan
derajat di tengah-tengah mereka. Aku bukan manusia buat mereka. Aku boneka. Aku
barang. Aku sesuatu yang bisa dibuat mainan, yang bisa diperlakukan
semena-mena.
Langkahku semakin mendekati kelas.
Jantungku berdegup. Aku mempersiapkan telinga dan hatiku untuk menerima ejekan
lagi.
“Heh tho! Model e teko tho! (Hey bro,
modelnya dateng bro!) ”
Wawan dan Anji menghalangi pintu kelas. Aku
menghela napas. Kukumpulkan nyali untuk meminta mereka menyingkir agar aku bisa
masuk. Sayang, yang kudapat bukan yang kuinginkan, justru tangan kasar Wawan
mampir untuk menjitakku.
“Ck,”
aku berdecak. Kupasang tampang kesal. Tanganku mengelus bekas jitakan Wawan.
Sakit. Lepas dari jitakan, sebuah kaki nyaris membuatku jatuh. Untung otak
kecil dan tiga saluran setengah lingkaranku tanggap mengenai ini. Mukaku merah
padam. Menahan emosi yang tak mampu kukeluarkan karena aku tak punya cukup
nyali.
“Itu
nilai apa?” tanyaku takut-takut pada Anita, sang pemimpin di kelasku.
“Bahasa
Indonesia,” jawabnya datar sambil menaikkan kacamatanya yang melorot.
Mulutku membentuk huruf ‘o’, tanda mengerti
ucapan Anita barusan. Sedikit ragu aku masuk dalam kerumunan teman-teman yang
tengah sibuk memelototi hasil Ujian Akhir Semester 1 Bahasa Indonesia yang
terpampang di papan tulis. Samar-samar kudengar cemooh Wawan dan Anji padaku di
antara suara-suara lain yang mengomentari hasil Ujian itu. Aku berusaha
menulikan telinga dan hati. Mataku mencari-cari namaku di selembar kertas itu.
IX-5/19
|
MARKUS KALVINIS
|
84.40
|
Syukurlah, ucapku dalam hati. Bersyukur, untuk Bahasa Indonesia nilaiku tidak
buruk. Tanpa kusadari, bibirku menyunggingkan senyum.
“Ngopo we ngguyang-ngguyu!? (Ngapain kamu
senyam-senyum!?) “ Anji membentakku.
Aku gelagapan. Salah tingkah. Bingung harus
bagaimana. Lagi-lagi aku hanya mampu melongo.
“Ngopo e ngguyang-ngguyu!? Seneng po!? Entuk
piro e we!? (Ngapain senyam-senyum!? Seneng ya!? Dapet berapa kamu!?) ”
bentak Wawan sambil matanya menelisik kertas itu, mencari nama dan hasil
ujianku.
Aku merengut. Belum ada satu menit aku bisa
menggores senyum atas hasil yang kucapai. Aku memang tak diijinkan bahagia.
“Wolu papat tho! (Delapan empat bro!)”
teriak Wawan setelah melihat nilaiku.
“Wo elok! (Wah hebat!)” Vano menanggapi.
“Njuk bangga ngono!? (Terus bangga
gitu!?)” kata Anji mengejek.
Tuhan,
Tuhan, jeritku. Tuhan
dimana? Hatiku sakit Tuhan. Apa bahagia memang bukan jalanku?
***
Aku berjalan tanpa semangat. Kutuju sebuah
bangku di Taman Budaya, sebelah belakang. Kuhempaskan tubuhku. Lelah benar hari
ini. Kalau tubuhku yang lelah, obatnya mudah. Aku hanya perlu tidur atau
bersantai. Tapi ini, hatiku yang kelelahan. Dan aku butuh sesuatu yang
menyegarkan, memberiku potongan-potongan semangat yang telah lenyap.
Angin segar membelaiku. Sedikit memberi
rasa nyaman. Tempat ini cukup sepi. Membuatku bisa menjalankan otak untuk
merenungkan semua yang telah kualami. Semua rasa sakit yang kutelan. Kepahitan
yang setiap hari menjadi makananku. Sampai wajah Mona yang tak pernah berhenti
membayangi.
Samar-samar aku mendengar suara langkah
kaki. Aku mendongak. Seorang pria berkemeja dan celana bahan berwarna krem
dengan kisaran umur 30 tahun tiba-tiba muncul. Wajahnya terlihat berwibawa dan
menenangkan. Jenggotnya lebat, berwarna hitam legam. Rambutnya sedikit
gondrong, tapi rapi. Bola matanya kebiruan, tanda kalu dia bukan orang
Indonesia asli. Kalau diamati benar-benar, sepertinya dia ada campuran darah
Timur Tengah. Kupikir, dia akan melewatiku. Ternyata tidak.
“Kosong
nak?” tanyanya. Suaranya seperti air yang menyegarkan hatiku.
Aku mengangguk, bergeser sedikit agar pria
itu bisa duduk di sampingku.
“Sepertinya
kau sedang tak enak hati,” tebaknya. Aku tersenyum masam. Dalam hati mengiyakan,
meski sedikit bingung karena ia bisa menebak dengan benar. “kau bisa
menceritakannya padaku,” ia tersenyum. Aku menatap bola matanya yang indah
bercahaya. Ada sedikit keraguan di hatiku. Namun senyumnya yang lembut menjawab
keraguan itu. Kurasa aku bisa mempercayainya.
“Saya..
saya.. hanya tidak mengerti mengapa teman-teman saya tidak memperlakukan saya
seperti manusia,”
Ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Aku
terus bercerita. Kusampaikan padanya, betapa sakit diperlakukan seperti itu.
Betapa hatiku memberontak, tidak terima. Betapa aku tak pernah mempunyai
kesempatan untuk bisa bergaul seperti orang lain. Mungkin aku bodoh. Mungkin cara
pikirku lamban. Mungkin aku tak setanggap mereka. Tapi kurasa, sangat
keterlaluan bila aku diperlakukan buruk dan tak pernah diberi kesempatan untuk
belajar lebih lagi dengan alasan yang demikian. Aku ingin dimengerti. Aku ingin
dihargai. Aku ingin teman-temanku tahu, aku punya hati, aku punya perasaan.
“Kadang,
saya sering bertanya-tanya pada Tuhan, apa salah saya? Mengapa Tuhan seakan tak
peduli pada saya? Seburuk apakah saya sehingga saya harus mengalami semua itu?”
kutatap wajahnya sembari menahan airmata, perasaan campur aduk yang berebut
ingin keluar dari rongga dada. Ia tersenyum. Aku bisa menangkap kebaikan dan
keramahannya. Wajahnya yang berwibawa terlihat semakin lembut setelah
kulontarkan pertanyaan yang selama ini mengganjal di hati.
“Kemarilah
nak,” katanya merentangkan tangan. Aku tak sanggup lagi menahan diri.
Kujatuhkan tubuhku di pelukannya. Detik itu juga, aku merasakan kehangatan. Aku
merasakan ketenangan yang tak pernah kukecap selama ini. Aku merasa semangatku
hadir kembali. Aku merasa semua ketakutanku lenyap, digantikan dengan kedamaian
yang luar biasa. Airmataku mengalir. Segores senyum melintas di bibir, tanda
syukur atas udara damai yang bisa kuhirup. Dan tiba-tiba saja, sekelilingku
jadi terang-benderang. Pakaian pria yang memelukku berubah menjadi putih
berkilau dan bercahaya seperti kilat. Sebentuk lingkaran kesucian mengelilingi
kepalanya.
“Anak-Ku,
percayalah , kau tak pernah sendirian, Aku akan menyertai setiap langkahmu.”
Untukmu kawan,
yang hari-harimu dihiasi dengan rasa sakit.
Jangan pernah mengambil hati akan apa yang mereka katakan.
Percayalah, Tuhan menyayangimu.
Tuhan sedang menempa hatimu,
Tuhan sedang membentukmu menjadi pribadi yang kuat.
Hingga suatu saat nanti, kau bisa menggapai kesuksesan.
Amin.