Rabu, 12 Desember 2012

TUHAN, aku salah apa ?


                “Guuuooobblokk!”
Aku hanya mampu menunduk dan diam seribu bahasa ketika gebrakan meja dan suara Wawan mencakar kupingku. Haruskah aku mengalami semua itu ketika aku tak mengerti suatu perintah? Apa tak ada cara lain yang lebih baik untuk membuatku mengerti?
                “Kowe dhong ra e?! Wo bodho!! (kamu ngerti enggak sih?! Bodoh!!)“
Kudengar suara cekikikan teman-teman ketika Wawan melanjutkan kalimatanya. Kepedihan merasuki hatiku. Entah mengapa setiap hari aku dipaksa menelan semua itu. Setiap hari.
Aku tak kunjung mengerti mengenai apa yang mereka lontarkan padaku. Kadang, aku harus juga merasakan pukulan, tendangan, dan keusilan mereka. Apa itu semua disebabkan oleh kesalahanku sendiri? Apa itu semua disebabkan karena aku memang bodoh? Atau mereka yang tak punya hati? Sungguh, sampai detik ini aku masih mencari tahu tentang sekian banyak kesakitan yang menjadi makananku itu.
Aku berusaha menikmati semuanya. Aku berusaha menerima. Namun, aku juga manusia, aku juga punya titik lelah. Aku juga punya saat, dimana hatiku tidak terima.
***
                “Heh cah bodho! Diundang kae lho! Wo budheg! (Heh anak bodoh! Dipanggil itu lho! Wah, tuli!)“
Aku langsung tersentak. Gelagapan mataku memandang ke depan. Mulutku menganga menandakan bahwa aku tak mengerti lagi kali ini. Di kursi guru, Bu Haryati, Guru Biologi, memandangku sambil setengah tersenyum.
                “Nomor sembilanbelas?” tanyanya melembut. Mungkin berusaha meredam makian Anji tadi.
Aku mengangguk.
                “Silahkan maju, tulis jawaban nomor lima di papan tulis,” lanjutnya sambil menunjuk spidol di pinggir mejanya.
Ragu-ragu aku berdiri. Bu Haryati mengangguk, seolah mengerti bila aku belum sepenuhnya sadar akan perintah itu.
                “Aha! Cah bodho! (Aha! Anak bodoh!) ”
                “Nek diundang ki mbok ngrungokke! Kuping ki dienggo! (Kalo dipanggil dengerin donk! Telinganya dipake!) “
                “Nek mlaku mbok biasa wae! Lanang opo wi? Mlaku kok ko ngono! Ko cah wedok! (Kalo jalan biasa aja donk! Cowo apaan tuh! Jalan kok kayak cewek!) ”
                “Model tho! Mlakune kudu ngono! (Model bro! jalannya harus gitu!)“
                “Wo model to tho? (Oh model ya bro?)“
                “Waiyo! Edan po nek ora?! (Iya donk! Gila aja kalo enggak!)“
Gelak tawa memenuhi kelas setelah percakapan Wawan dan Anji menjadi soundtrack. Mengiringi tangan dan otakku yang sibuk bekerja menulis jawaban di papan tulis atas perintah Bu Haryati. Mungkin semua itu lucu bagi mereka. Sayang, lucu itu tak berlaku untukku.
Aku berusaha tak mengambil hati. Namun dengarlah, jauh di dasar sanubari aku menjerit, tanda rasa sakit itu sudah terlalu berat untuk dirasakan oleh seorang aku. Perih itu semakin terasa kala kulihat Bu Haryati ikut tersenyum mendengar mereka. Ah bu, apa susahnya menyuruh mereka diam?
***
                “Nomor absen sembilanbelas,” Bu Mus menyebut nomor absenku. Jam ini adalah jam penilaian membirama. Aku menghela napas. Lalu berjalan ke depan. Tampaknya aku sedikit beruntung, tak ada ejekan yang mampir ke telingaku.
Aku mengambil nada, mengambil gerakan pendahuluan, dan membirama. Ada guratan kesedihan sebenarnya. Karena aku tak seperti Mona dan Riska yang memang berbakat dalam bidang musik. Aku juga tak seperti yang lain, yang setidaknya mampu menggerakkan tangan dengan baik sesuai ketukan meski tak benar-benar berbakat dalam musik. Kulihat Wawan dan Anji menahan tawa di kursi mereka sambil berbisik entah membicarakan apa. Yang mereka bisiki jadi ikut cekikikan. Rasa rendah diri semakin berkuasa dalam hatiku. Dan ketika aku kembali ke bangku, Anji menirukan caraku membirama tadi. Wawan, Anita, Nana, Vano, bahkan Mona dan Riska terpingkal-pingkal melihatnya.
Aku menunduk. Airmataku mulai menetes. Celakanya, Anita tahu kalau aku menangis.
                “Eh meneng. Model e nanges lho, (Hei, diem. Modelnya nangis lho)“
                “Woalah alah, ngono we nangis, (Astaga, gitu aja nangis)“
                “Meneng tho! Dhong ra e? model e nanges ki lho! Diandhakke bodyguard e entek we! (Diem bro! Ngerti nggak sih? Modelnya nangis ini lho! Dibilangin bodyguard-nya mampus kau!)“
Ya TUHAN, jeritku. Sampai kapan aku harus mengalami ini semua?

***
Ada rasa takut yang memenuhi benakku ketika berangkat ke sekolah. Aku seperti trauma. Seakan menghindari kelasku. Menghindari hinaan, cercaan, ejekan, dan saudara-saudaranya. Setiap hari, semangat yang telah kupersiapkan di rumah lenyap saat kesakitan itu kembali menyerangku. Itu penyebabku takut. Itu yang menyebabkan aku menjadi anak yang semakin tertutup. Semakin tak punya teman. Semakin mudah panik.
Aku juga semakin sulit mengungkapkan perasaanku pada Mona. Wanita itu,.. ah, hanya TUHAN yang tahu benar apa yang kurasa padanya. Meski sering ikut menertawakanku, hatiku berkata dia tak jahat. Aku bisa merasakannya. Dia punya sisi lembut. Dan sisi lembut itulah yang membuatku menyukainya. Kadang saat melihatnya sedang sendirian, ada dorongan dalam hatiku untuk menyapa. Namun mengingat diriku sendiri, aku jadi enggan melakukannya. Aku dan dia benar-benar berbeda. Dia selalu mudah bergaul. Selalu punya teman. Sedang aku tidak. Okelah, nampaknya memang nasibku. Cukup kusimpan saja perasaanku dalam hati. Biar TUHAN sendiri yang memberitahunya.
Kembali ke dunia pergaulanku, aku selalu ingin diperlakukan seperti yang lain. Diperlakukan dengan baik. Diperlakukan seperti manusia juga. Tapi aku bisa apa? Aku tak punya cukup keberanian dan derajat di tengah-tengah mereka. Aku bukan manusia buat mereka. Aku boneka. Aku barang. Aku sesuatu yang bisa dibuat mainan, yang bisa diperlakukan semena-mena.
Langkahku semakin mendekati kelas. Jantungku berdegup. Aku mempersiapkan telinga dan hatiku untuk menerima ejekan lagi.
                “Heh tho! Model e teko tho! (Hey bro, modelnya dateng bro!) ”
Wawan dan Anji menghalangi pintu kelas. Aku menghela napas. Kukumpulkan nyali untuk meminta mereka menyingkir agar aku bisa masuk. Sayang, yang kudapat bukan yang kuinginkan, justru tangan kasar Wawan mampir untuk menjitakku.
                “Ck,” aku berdecak. Kupasang tampang kesal. Tanganku mengelus bekas jitakan Wawan. Sakit. Lepas dari jitakan, sebuah kaki nyaris membuatku jatuh. Untung otak kecil dan tiga saluran setengah lingkaranku tanggap mengenai ini. Mukaku merah padam. Menahan emosi yang tak mampu kukeluarkan karena aku tak punya cukup nyali.
***

                “Itu nilai apa?” tanyaku takut-takut pada Anita, sang pemimpin di kelasku.
                “Bahasa Indonesia,” jawabnya datar sambil menaikkan kacamatanya yang melorot.
Mulutku membentuk huruf ‘o’, tanda mengerti ucapan Anita barusan. Sedikit ragu aku masuk dalam kerumunan teman-teman yang tengah sibuk memelototi hasil Ujian Akhir Semester 1 Bahasa Indonesia yang terpampang di papan tulis. Samar-samar kudengar cemooh Wawan dan Anji padaku di antara suara-suara lain yang mengomentari hasil Ujian itu. Aku berusaha menulikan telinga dan hati. Mataku mencari-cari namaku di selembar kertas itu.
IX-5/19
MARKUS KALVINIS
84.40

Syukurlah, ucapku dalam hati. Bersyukur, untuk Bahasa Indonesia nilaiku tidak buruk. Tanpa kusadari, bibirku menyunggingkan senyum.
                “Ngopo we ngguyang-ngguyu!? (Ngapain kamu senyam-senyum!?) “ Anji membentakku.
Aku gelagapan. Salah tingkah. Bingung harus bagaimana. Lagi-lagi aku hanya mampu melongo.
                “Ngopo e ngguyang-ngguyu!? Seneng po!? Entuk piro e we!? (Ngapain senyam-senyum!? Seneng ya!? Dapet berapa kamu!?) ” bentak Wawan sambil matanya menelisik kertas itu, mencari nama dan hasil ujianku.
Aku merengut. Belum ada satu menit aku bisa menggores senyum atas hasil yang kucapai. Aku memang tak diijinkan bahagia.
                “Wolu papat tho! (Delapan empat bro!)” teriak Wawan setelah melihat nilaiku.
                “Wo elok! (Wah hebat!)” Vano menanggapi.
                “Njuk bangga ngono!? (Terus bangga gitu!?)” kata Anji mengejek.
Tuhan, Tuhan, jeritku. Tuhan dimana? Hatiku sakit Tuhan. Apa bahagia memang bukan jalanku?

***
Aku berjalan tanpa semangat. Kutuju sebuah bangku di Taman Budaya, sebelah belakang. Kuhempaskan tubuhku. Lelah benar hari ini. Kalau tubuhku yang lelah, obatnya mudah. Aku hanya perlu tidur atau bersantai. Tapi ini, hatiku yang kelelahan. Dan aku butuh sesuatu yang menyegarkan, memberiku potongan-potongan semangat yang telah lenyap.
Angin segar membelaiku. Sedikit memberi rasa nyaman. Tempat ini cukup sepi. Membuatku bisa menjalankan otak untuk merenungkan semua yang telah kualami. Semua rasa sakit yang kutelan. Kepahitan yang setiap hari menjadi makananku. Sampai wajah Mona yang tak pernah berhenti membayangi.
Samar-samar aku mendengar suara langkah kaki. Aku mendongak. Seorang pria berkemeja dan celana bahan berwarna krem dengan kisaran umur 30 tahun tiba-tiba muncul. Wajahnya terlihat berwibawa dan menenangkan. Jenggotnya lebat, berwarna hitam legam. Rambutnya sedikit gondrong, tapi rapi. Bola matanya kebiruan, tanda kalu dia bukan orang Indonesia asli. Kalau diamati benar-benar, sepertinya dia ada campuran darah Timur Tengah. Kupikir, dia akan melewatiku. Ternyata tidak.
                “Kosong nak?” tanyanya. Suaranya seperti air yang menyegarkan hatiku.
Aku mengangguk, bergeser sedikit agar pria itu bisa duduk di sampingku.
                “Sepertinya kau sedang tak enak hati,” tebaknya. Aku tersenyum masam. Dalam hati mengiyakan, meski sedikit bingung karena ia bisa menebak dengan benar. “kau bisa menceritakannya padaku,” ia tersenyum. Aku menatap bola matanya yang indah bercahaya. Ada sedikit keraguan di hatiku. Namun senyumnya yang lembut menjawab keraguan itu. Kurasa aku bisa mempercayainya.
                “Saya.. saya.. hanya tidak mengerti mengapa teman-teman saya tidak memperlakukan saya seperti manusia,”
Ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Aku terus bercerita. Kusampaikan padanya, betapa sakit diperlakukan seperti itu. Betapa hatiku memberontak, tidak terima. Betapa aku tak pernah mempunyai kesempatan untuk bisa bergaul seperti orang lain. Mungkin aku bodoh. Mungkin cara pikirku lamban. Mungkin aku tak setanggap mereka. Tapi kurasa, sangat keterlaluan bila aku diperlakukan buruk dan tak pernah diberi kesempatan untuk belajar lebih lagi dengan alasan yang demikian. Aku ingin dimengerti. Aku ingin dihargai. Aku ingin teman-temanku tahu, aku punya hati, aku punya perasaan.
                “Kadang, saya sering bertanya-tanya pada Tuhan, apa salah saya? Mengapa Tuhan seakan tak peduli pada saya? Seburuk apakah saya sehingga saya harus mengalami semua itu?” kutatap wajahnya sembari menahan airmata, perasaan campur aduk yang berebut ingin keluar dari rongga dada. Ia tersenyum. Aku bisa menangkap kebaikan dan keramahannya. Wajahnya yang berwibawa terlihat semakin lembut setelah kulontarkan pertanyaan yang selama ini mengganjal di hati.
                “Kemarilah nak,” katanya merentangkan tangan. Aku tak sanggup lagi menahan diri. Kujatuhkan tubuhku di pelukannya. Detik itu juga, aku merasakan kehangatan. Aku merasakan ketenangan yang tak pernah kukecap selama ini. Aku merasa semangatku hadir kembali. Aku merasa semua ketakutanku lenyap, digantikan dengan kedamaian yang luar biasa. Airmataku mengalir. Segores senyum melintas di bibir, tanda syukur atas udara damai yang bisa kuhirup. Dan tiba-tiba saja, sekelilingku jadi terang-benderang. Pakaian pria yang memelukku berubah menjadi putih berkilau dan bercahaya seperti kilat. Sebentuk lingkaran kesucian mengelilingi kepalanya.
                “Anak-Ku, percayalah , kau tak pernah sendirian, Aku akan menyertai setiap langkahmu.”


Untukmu kawan,
yang hari-harimu dihiasi dengan rasa sakit.
Jangan pernah mengambil hati akan apa yang mereka katakan.
Percayalah, Tuhan menyayangimu.
Tuhan sedang menempa hatimu,
Tuhan sedang membentukmu menjadi pribadi yang kuat.
Hingga suatu saat nanti, kau bisa menggapai kesuksesan.
Amin.
                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar