Rabu, 26 Desember 2012

Maafkan, Kasih


Tiba-tiba ia memelukku erat. Sangat erat. Sampai-sampai aku bisa merasakan detaknya. Bau parfumnya lembut, terbawa semilir angin menggelikan hidungku. Aku seperti terhipnotis. Aku seolah dikendalikan oleh kecantikan dan kemolekannya. Karena, tanpa kusadari, tanganku sudah melingkar di pinggangnya yang seperti lekukan badan gitar itu. Ia menenggelamkan kepalanya di dadaku. Menggosok-gosok punggungku. Aku semakin tak dapat mengendalikan diri. Kubiarkan diriku tenggelam dalam nafsu yang liar. Kepalaku bergerak mendekati lehernya yang jenjang. Aku tak tahan lagi. Kuciumi leher itu. Bibirku naik. Naik. Naik. Sampai pada bibirnya yang melengkung indah. Tiba-tiba saja, aku lupa akan segala sesuatu yang ada di sekitarku. Bibir kami bertemu. Entah apa yang kulakukan setelah itu. Aku tak tahu. Semuanya diluar kesadaranku. Yang terakhir kuingat adalah ada sesosok bayangan mendekati kami. Dia memanggil namaku disertai isak tangis yang memilukan.
                “Mas Angga?” panggilnya. Suaranya bergetar. Mulutnya menganga dengan tampang tak percaya. Airmatanya membanjir.
Spontan, aku menghentikan aksiku. Sebelum melihat siapa pemilik suara itu, hatiku dipenuhi amarah. Seseorang mengganggu ritualku! Dengan malas aku menoleh. Otakku sudah menyusun kata-kata kasar untuk memarahinya. Namun, ketika mataku merekam sosok itu, jantungku serasa berhenti berdetak. Lidahku tercekat, dan hatiku merasa si otak salah menerjemahkan laporan mata.
               “De..Dewi?” ucapku gelagapan. Aku kehilangan kata-kata. Sungguh dalam hati aku berharap semua ini hanya mimpi. Sayang itu tak terjadi. Ini adalah fakta. Ini adalah keadaan sesungguhnya.
                “Sayang, dia siapa?” Tanya Aurora dengan tangan masih memelukku. Matanya mendelik. Wajahnya merengut. Seperti jijik dengan penampilan Dewi yang terlalu sederhana itu.
                “Sayang?” ulang Dewi sebelum aku punya kalimat untuk menjelaskan semua ini. “Dia manggil sampeyan sayang, mas? Ya Tuhan,” dia menutup mulut. Di wajahnya tergambar rasa nelongso.
                “Aku.. aku..,” suaraku meluncur meski terbata-bata.
                “Sampeyan kenapa mas? Dewi salah apa sama mas?” isaknya semakin menyayat hati. “Kenapa mas tega sama Dewi?”
                “Lo siapanya Angga sih?” Aurora setengah berteriak. Matanya memancarkan rasa muak.
Dewi menatap Aurora dengan tajam. “Mestinya saya yang nanya sama sampeyan mbak, mbak siapanya mas Angga? Mas Angga itu tunangan saya,” ucapnya diantara banjiran airmata.
                “Tunangan? Angga tunangan lo? Nggak salah?” Aurora mengeratkan pelukannya. Aku mengikuti sandiwaranya. Tangan kiriku menggantung di lehernya. “Angelbertus Angga orang penting, derajatnya tinggi, dan dia nggak punya waktu buat macarin gelandangan lusuh kayak lo, apalagi nglamar!”
Mata Dewi membelalak begitu mendengan panggilan ‘gelandangan lusuh’ mencuat dari bibir manis Aurora. Dia menunduk lalu memperhatikan rok panjang bermotif kotak-kotak dan kaos putih leceknya yang sudah mbladus.
                “Iya.” Aku menyetujui kata-kata Aurora. Tangan kananku menyentuh dagunya yang runcing. Kuhadapkan wajahnya ke wajahku. Kunikmati bibir itu beberapa detik di depan Dewi. “Dia pacar gue. Nggak usah berharap lebih, Wi. Gue nglamar lo cuman buat pelarian dari Sophie, karena gue emang belom dapet cewe yang sesuai aja. Sekarang gue udah dapet Aurora. Jadi, dengan hormat, gue minta lo pergi dari hidup gue. Kalo perlu, buang cincin yang pernah gue kasih, karena itu nggak ada pentingnya lagi buat gue, dan buat lo juga.”
Dewi tersentak mendengan tutur kataku. Aku pun kaget dengan kalimat yang kuucapkan. Ada sedikit rasa sesal telah mengatakannya. Tapi aku terlalu gengsi untuk mengakui.
                “Jadi selama ini, cintanya Dewi yang cuman buat sampeyan, sampeyan khianati mas? Mas Angga jahat! Dewi benci mas!” serunya saat itu sambil berlari menjauh. Aku tertegun.
Aku hanya bersandiwara Dewi, aku sungguh-sungguh mencintaimu. Meski latar belakang kita sangat berbeda. Tunggu, Dewi, sebentar lagi aku akan mencuri waktu untuk menjelaskan semuanya padamu.

***

                “Dasar lelaki hidung belang!”
                “Dan kamu wanita jalang!”
                “Kamu nggak bisa diandalkan! Playboy!”
                “Kamu wanita murahan! Matre!”
                “Matre? Hah! Mending aku punya selera! Kamu? Cakep, kece, kaya tapi seleranya rendah! Kampungan!”
                “Jaga mulutmu! Aku mencintai dari hati! Aku nggak liat fisik! Aku nggak liat kasta!”
                “Bodoh! Kalau kamu emang cinta dari hati, kamu nggak mungkin terang-terangan mainin bibirku!”
                “Itu semua kamu yang mulai!”
                “Ah kamu emang cowo bego!”
                “Terserah!”
Brak! Kututup pintu kamar Aurora dengan kasar. Emosi meledak-ledak di balik dadaku. Berderap kuturuni tangga dan berlari menuju mobilku, masuk ke dalamnya lalu cepat-cepat pergi dari rumah wanita terkutuk itu.

***

Tok! Tok! Tok!
Kuketuk pintu rumah Dewi. Sembari berdoa dalam hati, semoga aku bisa menjelaskan semuanya dengan lancar.
                “Nggih, sekedhap!” terdengar suara wanita dari dalam. Itu pasti Dewi.
Pintu terbuka. Aku berdiri setegap dan sesantai mungkin. Bibirku sudah menyunggingkan senyum. Dewi membukakan pintu dengan persiapan tersenyum. Namun sebelum mataku menangkap senyum utuhnya, dia buru-buru menutup pintu lagi begitu melihat bahwa akulah yang mengetuk pintu. Rautnya menggambarkan kebencian, seperti menyesal telah membuka pintu.
                “Dewi!” teriakku berusaha menahan pintu itu dengan kakiku agar tak tertutup sepenuhnya. “Dewi aku butuh ngomong sama kamu!”
Diam.
                “Dewi, plis, dengerin aku dulu.”
Diam.
                “Dewi? Denger aku kan?”
Isak tangis.
                “Dewi?” aku berusaha membuka pintu lebih lebar. Dia membiarkan aku melakukannya. Kuambil saputangan dari saku jaket dan mengarahkannya pada pipi Dewi yang dibasahi airmata.
Dia mengelak.
                “Dewi, apa salahnya aku hapus airmatamu?” tanyaku memelas.
                “Salah mas, salah besar. Dewi bisa hapus sendiri tanpa bantuan sampeyan.
Aku tertegun. “Wi, aku tau aku salah.”
                “Memang salah.” Katanya setelah berhenti menangis.
                “Iya aku tau.”
                “Sudah tau kok dilakukan.”
                “Wanita itu yang mulai.”
                “Kok ya sampeyan ndak menghindar?”
Diam.
                “Apa susahnya nyuruh mbaknya buat ndak macem-macem?”
                “Aku enggak sadar Wi.” Jawabku sekenanya.
                “Sampeyan mabuk to?” tuduhnya.
                “Enggak Wi. Aku nggak pernah mabuk.”
                “Lha tadi sampeyan bilang ndak sadar?”
                “Maksudku, aku kayak dikendalikan sama dia.”
                “Ah ndak usah banyak alasan mas. Berarti kan sampeyan juga ngasih peluang mbaknya. Itu artinya sampeyan ndak bisa setia mas.”
                “Aku minta maaf!” sesalku. Entah apa yang harus kukatakan pada Dewi. Semua yang diungkap benar adanya. Dan itu cukup untuk menohok jantungku.
                “Maaf?” ulang Dewi menatapku tajam. Bola matanya seperti bisa menusuk hatiku. “Kalau minta maaf semua orang juga bisa ngomong mas.”
                “Enggak semua orang.”
                “Semua orang mas. Semua orang yang bisa ngomong dan yang tau apa fungsinya kata maaf.”
                “Wi, aku bener-bener nyesel.”
                “Terus?”
                “Aku minta maaf!”
                “Kalau Dewi ndak mau maafin gimana?”
                “Aku sungguh-sungguh Wi! Beri aku kesempatan sekali lagi!”
                “Kalau Dewi tetep ndakmau gimana?”
                “Aku minta maaf!”
                “Mas sudah tiga kali bilang.”
                “Itu karena aku sungguh-sungguh Wi.”
                “Sungguh-sungguh belum puas khianati Dewi?”
                “Bukan gitu Wi!” aku mulai kehabisan kesabaran.
                “Tuh lihat, mas sudah emosi lagi. Gitu kok bilangnya nyesel beneran? Apa yang beneran? Bohong semua!”
Aku tertegun. “Wi, sekali lagi aku minta maaf.”
                “Empat kali.”
                “Aku sungguh-sungguh Wi. Aku nyesel. Dan aku nggak akan ngulang semua itu lagi. Beri aku kesempatan.” Kuturunkan nada suaraku. Menekan emosi.
                “Mas,” dia menghela napas. “Cinta itu bukan sesuatu yang bisa ditanam, dicabut, lalu ditanam lagi. Cinta itu sesuatu yang waktu sudah ditanam, ya dia akan tumbuh selamanya. Tapi ketika dicabut, dia akan mati, dan nggak akan tumbuh lagi. Dewi sudah nyabut cinta itu mas. Maaf. Dan Dewi mohon dengan hormat, mas pergi dari hidup Dewi.”
Pintu ditutup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar