Tiba-tiba ia memelukku erat. Sangat erat. Sampai-sampai aku
bisa merasakan detaknya. Bau parfumnya lembut, terbawa semilir angin
menggelikan hidungku. Aku seperti terhipnotis. Aku seolah dikendalikan oleh
kecantikan dan kemolekannya. Karena, tanpa kusadari, tanganku sudah melingkar
di pinggangnya yang seperti lekukan badan gitar itu. Ia menenggelamkan
kepalanya di dadaku. Menggosok-gosok punggungku. Aku semakin tak dapat
mengendalikan diri. Kubiarkan diriku tenggelam dalam nafsu yang liar. Kepalaku
bergerak mendekati lehernya yang jenjang. Aku tak tahan lagi. Kuciumi leher
itu. Bibirku naik. Naik. Naik. Sampai pada bibirnya yang melengkung indah.
Tiba-tiba saja, aku lupa akan segala sesuatu yang ada di sekitarku. Bibir kami
bertemu. Entah apa yang kulakukan setelah itu. Aku tak tahu. Semuanya diluar
kesadaranku. Yang terakhir kuingat adalah ada sesosok bayangan mendekati kami.
Dia memanggil namaku disertai isak tangis yang memilukan.
“Mas
Angga?” panggilnya. Suaranya bergetar. Mulutnya menganga dengan tampang tak
percaya. Airmatanya membanjir.
Spontan, aku menghentikan aksiku. Sebelum melihat siapa
pemilik suara itu, hatiku dipenuhi amarah. Seseorang
mengganggu ritualku! Dengan malas aku menoleh. Otakku sudah menyusun
kata-kata kasar untuk memarahinya. Namun, ketika mataku merekam sosok itu,
jantungku serasa berhenti berdetak. Lidahku tercekat, dan hatiku merasa si otak
salah menerjemahkan laporan mata.
“De..Dewi?”
ucapku gelagapan. Aku kehilangan kata-kata. Sungguh dalam hati aku berharap
semua ini hanya mimpi. Sayang itu tak terjadi. Ini adalah fakta. Ini adalah
keadaan sesungguhnya.
“Sayang,
dia siapa?” Tanya Aurora dengan tangan masih memelukku. Matanya mendelik. Wajahnya
merengut. Seperti jijik dengan penampilan Dewi yang terlalu sederhana itu.
“Sayang?”
ulang Dewi sebelum aku punya kalimat untuk menjelaskan semua ini. “Dia manggil sampeyan sayang, mas? Ya Tuhan,” dia
menutup mulut. Di wajahnya tergambar rasa nelongso.
“Aku..
aku..,” suaraku meluncur meski terbata-bata.
“Sampeyan kenapa mas? Dewi salah apa sama
mas?” isaknya semakin menyayat hati. “Kenapa mas tega sama Dewi?”
“Lo
siapanya Angga sih?” Aurora setengah berteriak. Matanya memancarkan rasa muak.
Dewi menatap Aurora dengan tajam. “Mestinya saya yang nanya
sama sampeyan mbak, mbak siapanya mas
Angga? Mas Angga itu tunangan saya,” ucapnya diantara banjiran airmata.
“Tunangan?
Angga tunangan lo? Nggak salah?” Aurora mengeratkan pelukannya. Aku mengikuti
sandiwaranya. Tangan kiriku menggantung di lehernya. “Angelbertus Angga orang
penting, derajatnya tinggi, dan dia nggak punya waktu buat macarin gelandangan
lusuh kayak lo, apalagi nglamar!”
Mata Dewi membelalak begitu mendengan panggilan ‘gelandangan
lusuh’ mencuat dari bibir manis Aurora. Dia menunduk lalu memperhatikan rok
panjang bermotif kotak-kotak dan kaos putih leceknya
yang sudah mbladus.
“Iya.”
Aku menyetujui kata-kata Aurora. Tangan kananku menyentuh dagunya yang runcing.
Kuhadapkan wajahnya ke wajahku. Kunikmati bibir itu beberapa detik di depan
Dewi. “Dia pacar gue. Nggak usah berharap lebih, Wi. Gue nglamar lo cuman buat
pelarian dari Sophie, karena gue emang belom dapet cewe yang sesuai aja.
Sekarang gue udah dapet Aurora. Jadi, dengan hormat, gue minta lo pergi dari
hidup gue. Kalo perlu, buang cincin yang pernah gue kasih, karena itu nggak ada
pentingnya lagi buat gue, dan buat lo juga.”
Dewi tersentak mendengan tutur kataku. Aku pun kaget dengan
kalimat yang kuucapkan. Ada sedikit rasa sesal telah mengatakannya. Tapi aku
terlalu gengsi untuk mengakui.
“Jadi
selama ini, cintanya Dewi yang cuman buat sampeyan,
sampeyan khianati mas? Mas Angga jahat! Dewi benci mas!” serunya saat itu
sambil berlari menjauh. Aku tertegun.
Aku hanya bersandiwara
Dewi, aku sungguh-sungguh mencintaimu. Meski latar belakang kita sangat
berbeda. Tunggu, Dewi, sebentar lagi aku akan mencuri waktu untuk menjelaskan
semuanya padamu.
***
“Dasar
lelaki hidung belang!”
“Dan
kamu wanita jalang!”
“Kamu
nggak bisa diandalkan! Playboy!”
“Kamu
wanita murahan! Matre!”
“Matre?
Hah! Mending aku punya selera! Kamu? Cakep, kece, kaya tapi seleranya rendah!
Kampungan!”
“Jaga
mulutmu! Aku mencintai dari hati! Aku nggak liat fisik! Aku nggak liat kasta!”
“Bodoh!
Kalau kamu emang cinta dari hati, kamu nggak mungkin terang-terangan mainin
bibirku!”
“Itu
semua kamu yang mulai!”
“Ah
kamu emang cowo bego!”
“Terserah!”
Brak! Kututup
pintu kamar Aurora dengan kasar. Emosi meledak-ledak di balik dadaku. Berderap
kuturuni tangga dan berlari menuju mobilku, masuk ke dalamnya lalu cepat-cepat
pergi dari rumah wanita terkutuk itu.
***
Tok! Tok! Tok!
Kuketuk pintu rumah Dewi. Sembari berdoa dalam hati, semoga
aku bisa menjelaskan semuanya dengan lancar.
“Nggih, sekedhap!” terdengar suara wanita
dari dalam. Itu pasti Dewi.
Pintu terbuka. Aku berdiri setegap dan sesantai mungkin.
Bibirku sudah menyunggingkan senyum. Dewi membukakan pintu dengan persiapan tersenyum. Namun sebelum
mataku menangkap senyum utuhnya, dia buru-buru menutup pintu lagi begitu
melihat bahwa akulah yang mengetuk pintu. Rautnya menggambarkan kebencian,
seperti menyesal telah membuka pintu.
“Dewi!”
teriakku berusaha menahan pintu itu dengan kakiku agar tak tertutup sepenuhnya.
“Dewi aku butuh ngomong sama kamu!”
Diam.
“Dewi,
plis, dengerin aku dulu.”
Diam.
“Dewi?
Denger aku kan?”
Isak tangis.
“Dewi?”
aku berusaha membuka pintu lebih lebar. Dia membiarkan aku melakukannya.
Kuambil saputangan dari saku jaket dan mengarahkannya pada pipi Dewi yang
dibasahi airmata.
Dia mengelak.
“Dewi,
apa salahnya aku hapus airmatamu?” tanyaku memelas.
“Salah
mas, salah besar. Dewi bisa hapus sendiri tanpa bantuan sampeyan.”
Aku tertegun. “Wi, aku tau aku salah.”
“Memang
salah.” Katanya setelah berhenti menangis.
“Iya
aku tau.”
“Sudah
tau kok dilakukan.”
“Wanita
itu yang mulai.”
“Kok ya
sampeyan ndak menghindar?”
Diam.
“Apa
susahnya nyuruh mbaknya buat ndak macem-macem?”
“Aku
enggak sadar Wi.” Jawabku sekenanya.
“Sampeyan
mabuk to?” tuduhnya.
“Enggak
Wi. Aku nggak pernah mabuk.”
“Lha
tadi sampeyan bilang ndak sadar?”
“Maksudku,
aku kayak dikendalikan sama dia.”
“Ah
ndak usah banyak alasan mas. Berarti kan sampeyan
juga ngasih peluang mbaknya. Itu artinya sampeyan
ndak bisa setia mas.”
“Aku
minta maaf!” sesalku. Entah apa yang harus kukatakan pada Dewi. Semua yang
diungkap benar adanya. Dan itu cukup untuk menohok jantungku.
“Maaf?”
ulang Dewi menatapku tajam. Bola matanya seperti bisa menusuk hatiku. “Kalau
minta maaf semua orang juga bisa ngomong mas.”
“Enggak
semua orang.”
“Semua
orang mas. Semua orang yang bisa ngomong dan yang tau apa fungsinya kata maaf.”
“Wi,
aku bener-bener nyesel.”
“Terus?”
“Aku
minta maaf!”
“Kalau
Dewi ndak mau maafin gimana?”
“Aku
sungguh-sungguh Wi! Beri aku kesempatan sekali lagi!”
“Kalau
Dewi tetep ndakmau gimana?”
“Aku
minta maaf!”
“Mas
sudah tiga kali bilang.”
“Itu
karena aku sungguh-sungguh Wi.”
“Sungguh-sungguh
belum puas khianati Dewi?”
“Bukan
gitu Wi!” aku mulai kehabisan kesabaran.
“Tuh
lihat, mas sudah emosi lagi. Gitu kok bilangnya nyesel beneran? Apa yang
beneran? Bohong semua!”
Aku tertegun. “Wi, sekali lagi aku minta maaf.”
“Empat
kali.”
“Aku
sungguh-sungguh Wi. Aku nyesel. Dan aku nggak akan ngulang semua itu lagi. Beri
aku kesempatan.” Kuturunkan nada suaraku. Menekan emosi.
“Mas,”
dia menghela napas. “Cinta itu bukan sesuatu yang bisa ditanam, dicabut, lalu
ditanam lagi. Cinta itu sesuatu yang waktu sudah ditanam, ya dia akan tumbuh
selamanya. Tapi ketika dicabut, dia akan mati, dan nggak akan tumbuh lagi. Dewi
sudah nyabut cinta itu mas. Maaf. Dan Dewi mohon dengan hormat, mas pergi dari
hidup Dewi.”
Pintu ditutup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar