Aku membuka mata. Kulihat secercah cahaya metahari mengenai
satu titik di tembok kamarku. Oh, sudah pagi.
Tanganku meraba-raba benda-benda di sebelah kananku. Otakku
menerima laporan dari si Lempeng Merkel. Ada benda halus yang kusentuh. Otak
memerintahkan kepalaku menengok agar mataku bisa melihat benda itu.
Boneka beruang berbulu cokelat cappuccino darimu.
Segera saja bayangan masa lalu itu mengisi benakku. Aku
masih merasa kau adalah milikku. Bahkan sampai detik ini.
Sosokmu yang selalu punya kehangatan, telingamu yang tak
pernah bosan dengan ocehan konyolku, matamu yang indah, tajam, dan menenangkan,
rangkulan, pelukan, dan dekapan yang mengalirkan kekuatan seolah masih dapat
kugapai dengan mudah.
Kau ada di sana, di satu titik di hatiku. Kau ada di sana, di antara lembaran-lembaran cintaku. Indah bukan? Yah. Itulah alas an mengapa aku terus mempertahankuan cinta untukmu.
Kau ada di sana, di satu titik di hatiku. Kau ada di sana, di antara lembaran-lembaran cintaku. Indah bukan? Yah. Itulah alas an mengapa aku terus mempertahankuan cinta untukmu.
Sayangnya, bayangan masa lalu itu telah berjalan sampai ke
sepotong kisah di hari Sabtu yang memporak-porandakan cerita kita.
Sabtu yang panas. Mentari yang ganas.
Dan hubungan kita yang berakhir.
Sabtu yang panas. Mentari yang ganas.
Dan hubungan kita yang berakhir.
Detik itu aku mengeluh. Sadar akan kenyataan pedih di depan
mata.
Kini kau adalah kau.
Aku adalah aku.
Masalahmu takkan menjadi masalahku.
Sebaliknya juga begitu.
Aku adalah aku.
Masalahmu takkan menjadi masalahku.
Sebaliknya juga begitu.
Perih. Pedih.
Bersatu dalam guratan rasa sakit yang menjalar di antara tangis hati.
Bersatu dalam guratan rasa sakit yang menjalar di antara tangis hati.
Rasamu, rasaku, beda.
Cintamu, cintaku, beda.
Jiwamu, jiwaku, beda.
Cintamu, cintaku, beda.
Jiwamu, jiwaku, beda.
Namun rindu antara kau dan aku masih sama.
Kau.
Aku.
Kita.
Akankah itu kembali?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar