Sabtu, 29 Desember 2012

AKU atau DIA? #1


Bau solar yang tajam menggelitik satu tempat di hidungku. Asap mengepul dari mulut dan hidung kedua lelaki yang duduk di bangku depanku. Padahal sudah ada aturan untuk tidak merokok di dalam bus. Itu kan teori. Prakteknya? Sudah tentu bisa ditebak.

Dasar orang tak tahu aturan! Umpatku dalam hati. Seperti inikah mental generasiku? Begitu kerasnyakah hati para calon pemimpin bangsa? Payah sekali. Bagaimana nasib tanah air kalau mereka yang dipersiapkan sebagai pendekar ternyata sangat sulit diatur? Aku mengeluh.
Suara bising tertangkap telinga. Hawa panas. Dan udara bersih semakin sulit didapat pada bus kota yang terlihat tua ini.

Sumpek!
Hanya itu kata yang berkali-kali melintas di otak. Tak ada yang sedap dipandang di dalam sini.
pak sopir berkumis tebal, kernet berpakaian biru tua yang sudah lusuh dengan segebok duit di satu tangan dan tangan lainnya melambai-lambai kalau ada orang yang butuh menumpang bus ini, simbok-simbok berbalut kebaya dengan dua karung besar entah berisi apa, tiga orang anak kecil, bapak-bapak berjaket yang asyik dengan dengkurannya, dua lelaki berseragam SMP yang sibuk dengan guyonan ala gondhes dan rokoknya. Satu lagi, ada sepasang kekasih.
Tunggu, sepertinya tertarik juga aku mengamati yang terakhir ini. Mereka duduk di dekatku. Si lelaki bahkan tepat di sebelah kananku, hanya berjarah satu jengkal dariku. Tubuhnya dibalut kaos putih dengan lengan tigaperempat. Jeansnya berwarna cokelat tua. Sepatu basket mengalasi kakinya. Tangan kiri lelaki berambut harajuku ini sibuk menari di atas keypad ponselnya, entah ber-sms-an dengan siapa. Tangan kanan berhias cincin keperakan merangkul si kekasih yang terlelap di bahu kokohnya.
Mataku tergoda juga untuk melirik isi pesan yang tertulis di layar ponselnya. Aku membacanya. Meski tak utuh, kata yang terekam cukup membuatku melotot. Berkali-kali aku mencuri pandang, berkali-kali pula mataku membaca kata yang sama.

Sayang

Itulah kata yang terulang. Aku tak habis pikir. Segera saja otakku dipenuhi tebakan-tebakan yang negatif.
Tiba-tiba si wanita bergerak. Ooh, dia sudah bangun. Secepat kilat aku kembali menatap depan. Suara kecupan dan desahan-desahan bernuansa cinta sempat juga menggelitik telingaku. Membuatku semakin bertanya-tanya. Siapa wanita itu? Siapa lelaki ini? Siapa pula orang yang ber-sms-an dengannya? Apa status mereka?
                “Permisi mbak,” suara lelaki yang keras dan dalam membuyarkan lamunanku. Aku terkejut. Kusingkirkan kaki agar mereka bisa lewat. Si wanita sempat tersenyum padaku. Aku ikut tersenyum menatap langkah mereka sembari menyimpan tanda tanya besar dalam hati.

***

Aku mondar-mandir di kamar. Menghembuskan nafas kesal, lalu melempar ponselku ke atas tempat tidur. Kugigit bibir bawahku. Bingung, curiga, khawatir, berpadu dalam hati. Semakin keras aku berpikir tentang Arvi, kekasihku. Bagaimana tidak? Sudah empat hari nomornya tak bisa dihubungi. Ini keanehan kedua yang dilakukannya. Pertama, sikapnya beberapa waktu terakhir sedikit berubah. Aku tak bisa menyebutkan perubahannya, yang kubisa adalah merasakan perubahan itu.
Aku sempat menanyakannya kepada Joe, Samuel, dan karibnya yang lain. Mereka bilang tak ada sesuatu yang salah dari Arvi. Aku malah dinasihati agar tak berpikiran aneh-aneh. Cepat kuanggukan kepala kala itu. Tapi dalam hati, aku tak mengiyakan. Dan sekarang, nomornya tak aktif. Aku tak tahu apakah kedua hal ini berhubungan satu sama lain. Hatiku bersikeras untuk menaruh curiga padanya. Apalagi ketika kejadian dalam bus kota itu kembali menjalar dalam benakku. Aku seperti punya indera keenam mendadak. Aku seperti detektif yang sedang mengumpulkan beberapa data yang cocok. Aku seperti diberi penglihatan. Percaya atau tidak, aku tak sanggup menekan pikiran-pikiran negatif itu.

                Tok! Tok! Tok!
Aku menoleh pada pintu kamarku. Siapa di luar sana?
                Tok! Tok! Tok!
Kali ini lebih keras.
                “Masuk!” ujarku. Terdengar suara kriek dan sebentuk kepala menyembul di balik pintuku.
                “Hai Dir,” senyumnya mengembang.
Aku mengangguk. Kutepuk kasurku, tanda menyuruhnya duduk di situ.
                “Lo ngapa sih? Mukak lo panas gitu?” tanyanya setelah mengamati raut wajahku yang tampak berbeda.
                “Kesel,” jawabku singkat tanpa menatapnya.
                “Kesel? Hm. Jangan bilang ini gara-gara si badung itu,”
                “Memang dia kok,”
Matanya melotot.
                “Beneran,” kataku meliriknya.
                “Ck!” dia menggelengkan kepala. “Dia ngapain lo?” tanyanya. Raut wajahnya terlihat khawatir.
                “Gue nggak di apa-apain,” aku menarik napas. “dia cuman nggak ngasih kabar, empat hari.”
Matanya melotot lagi. Aku bisa melihat raut kemarahan yang tergambar di pipinya yang memerah. “Itu namanya lo udah diapa-apain!” teriaknya. “Dia pacar lo Dir!”
                “Memang dia pacar gue,”
                “Ah lo!” dia berpaling. Berusaha menekan amarah yang bergejolak di dadanya. “Lo nggak usaha apa-apa buat hubungin dia?” nadanya sedikit melembut.
Aku menggeleng. “Nggak,”
                “Astaga Dir! Lo tu sama aja tau nggak! Lo sama begonya! Pacar lo nggak ngasih kabar empat hari, lo diem aja! Iya kalo dia nggak macem-macem, kalo dia jalan sama cewe laen gimana? Kalo dia nembak cewe laen gimana?”
                “Lisa!” teriakku gusar. “Mulut lo di jaga ya, lo nggaktau siapa Arvi!”
Kulihat wajahnya semakin memerah. Ada dorongan amarah yang menguasai hatinya. “Dira! Denger gue ya, gue tau siapa pacar lo! Gue tau latar belakangnya! Gue tau kehidupannya!”
                “Loe nggak usah nyebut-nyebut soal latar belakangnya!” tak kalah keras aku berteriak.
                “Terserah!” dia mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu. “Gue udah meringatin lo, dan lo sama begonya sama dia, jangan salahin gue kalo dia emang kaya gitu!”
Brak! Ditutupnya pintu dengan kasar.
Aku termenung. Kalimatnya masih berputar-putar di otakku. Kata-katanya seolah menyadarkanku di antara lorong-lorong waktu. Aku benar-benar merasa panas akan lontaran-lontarannya. Namun tak bisa kupungkiri, hatiku membenarkan ucapan-ucapannya. Hanya saja aku terlalu gengsi untuk mengakuinya. Aku terlalu gengsi untuk ikut mengatakan aku mencurigai Arvi.

***

bersambung ke AKU atau DIA? #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar