“Hei.” Sapamu. Jemarimu menyentuh bahuku.
Aku menoleh. Mencoba bersikap seperti biasa. “Hai.” Jawabku
datar.
Senyummu merekah. Kau yang dulu masih terekam dengan jelas
lewat mataku. Tatapanmu yang tajam sekaligus lembut, kulit putih terbalut
seragam OSIS yang putih bersih‒seputih dan sebersih cintaku untukmu
yang hilang ditelan waktu‒hidung mancung, bibir merah muda yang tak pernah lelah
menggores senyum. Masih kau yang dulu. Masih kau yang tenang dan terlihat
dewasa. Hanya aku yang menganggapmu asing sejak itu.
“Dapet
berapa?” tanyamu. Masih dengan tersenyum. Senyum itu.. ah.. hanya membawa rasa
sakit untukku.
“Apa?
Bahasa Indonesia?” tanyaku balik.
Kau mengangguk.
“Jelek,”
aku tak niat.
Kau tertawa kecil. Seperti masih hapal dengan sikapku yang
selalu menjawab dengan kata ‘jelek’ sebelum mengatakan nilaiku. “Ya berapa?”
“Delapan
puluh delapan,” lirihku.
Kau mengangguk. “Bagus tuh,”
Aku mencibir. Sekali lagi, aku selalu berusaha bersikap
seperti biasa. Namun entah mengapa, usahaku itu justru membuat sikapku kaku.
Semoga kau tak benar merasakannya. Lagi pula, aku kan bukan siapamu. “Kamu
berapa?” tanyaku.
“Delapan
puluh sembilan,” kau menyengir.
Aku berdecak. Seolah sebal karena kau berhasil
mengalahkanmu. Kau terbahak. Barisan gigi putih yang rapi dan mata yang
menyipit mengiringi tawamu. Aku mengeluh dalam hati. Menyadari kalau senyum,
tawa, dan tatapanmu takkan pernah untukku dan takkan pernah menjadi milikku.
Dulu, setengah tahun yang lalu, selalu ada kau dan aku yang
menjadi kita. Selalu ada kau dan aku yang saling membagi cerita. Selalu ada kau
yang mendewasakan aku. Selalu ada aku yang serius mendengarkan nasihatmu. Aku
benar-benar merindukannya. Entah karena aku masih mencintaimu, atau karena aku
butuh nasihat-nasihat itu.
Kau tak akan pernah tahu perasaanku yang sesungguhnya. Kau
selalu sulit memahamiku. Atau sebenarnya kau bisa dengan mudah memahamiku. Tapi
kau pilih cuek dengan semua itu. Mungkin, kau memang biasa mengumbar kata-kata
cinta dan gombalan-gombalan sialan itu. Kau biasa menjadi Arjuna yang mengawali
perkenalan dengan manis dan mengakhirinya dengan sebotol racun yang mematikan
perasaan. Tapi tidak denganku. Aku bukan tipe sepertimu. Aku tak pernah
mengumbar kata-kata cinta ketika aku tak mencinta. Aku serius.
Kini, kau begitu sulit dijangkau. Kau sulit dipahami. Sama
sulitnya dengan memahami aksara-aksara Mesir kuno. Mungkin semua ini karena
kebodohanku. Aku yang selalu menganggapmu lebih lebih lebih dan lebih dari
sahabat. Tak mengindahkan peringatan temanku, tak mengindahkan kau yang selalu
hidup di duniamu, dunia tersulit untuk dimengerti. Tapi, hei. Coba lihat aku.
Tak bisakah kau menemukan cintaku di antara peluh atau airmata yang jatuh?
Hari ini aku disentakkan dengan keras. Aku sadar akan
perbedaan antara kau dan aku. Aku sadar, tak ada yang bisa kulakukan selain
menerima kenyataan tentang hilangnya dirimu. Bahkan meski peluh dan airmataku
berubah menjadi darah, waktu tetap tinggal diam. Ia tak akan mengembalikanmu.
Ia setuju denganmu. Setuju dengan kepergianmu. Setuju dengan caramu
menyakitiku.
Hari ini, aku berjalan dengan mantap. Berusaha menghapus
semua tentangmu. Berusaha tak ada kau di hatiku. Tak ada lagi nasihat darimu.
Tak ada lagi cerita tentang tawa kita, tentang kebahagiaan kita, tentang kita.
Semua akan kukubur dalam-dalam bersama dengan cintaku yang kian memudar. Semua
akan kuberikan pada waktu dan kubiarkan ia menelannya bulat-bulat. Dan bila kau
ingin lepas dariku, aku akan melakukannya, dengan senyum dan keikhlasan meski
sulit.
Hal tersulit dari
semua kepahitan ini adalah menganggapmu teman, dan menghapus semua bernuansa
sahabat antara kita. Kau. Aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar