Senin, 24 Desember 2012

Gabriel


Novel itu kubaca, sudah. Deretan-deretan kalimat selesai berjalan di depan mataku. Lagi-lagi entah. Ada sebersit rasa rindu kepadamu, Gabriel, yang diceritakan di sana menjadi pria gigantisme. Kelembutan, keramahan, ketenangan, dan ke-ke-ke yang lain seperti cocok dengan sikapmu yang sebenarnya. Rasanya, aku menjadi Bianca dalam dunia nyata. Kekagumannya kepada Gabriel, yang disebut-sebut sebagai malaikat pembawa kabar baik, sama seperti kekagumanku padamu. Kerinduannya pada Gabriel, yang punya leher jenjang dan tubuh nyaris dua meter, sama seperti rinduku padamu.

Rindu itu menjulang setinggi Merapi dan sederas banjiran sungai Code. Setiap kali nama Gabriel tercetak di sana, otakku kembali memutar bayanganmu. Kamu. Kamu.

Aku tidak mengenal magnet apa yang melekat padamu. Sungguh. Ada apa dibalik tatapan manismu, senyuman magismu, dan sentuhan halusmu, aku tidak tahu. Meski demikian, tiap kali ada pemberitahuan mengenai hal-hal yang berbau dirimu, mataku selalu tak sabar untuk melaporkan pada otak agar dia menerjemahkan. Hatiku selalu tak sabar untuk memahami semuanya.

Ah, kamu. Seorang aku selalu terlalu lemot untuk benar menyadari arti hadirmu. Seorang aku masih terlalu bodoh untuk mengerti setetes embun kebahagiaan di balik goresan senyummu.

Namun manusia pasti punya kelebihan bukan? Aku pun begitu. Selembar rasa di antara rak-rak jiwa, sepotong hati di antara kepingan airmata kusimpan dengan diam untukmu, dan itulah kelebihanku.
Adakah diantara rindu dalam hati yang mencuat ke berbagai arah, kamu alamatkan kepadaku? :”)

Salam rindu setinggi Merapi dan sederas aliran Sungai Code dari masalalumu,
-Litha-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar