Entah
bagaimana semua ini bermula, tiba-tiba saja aku merindukanmu. Aku merindukan
kamu, dengan segala macam kelebihan, juga kekuranganmu. Aku merindukan kalian,
yang dengan keikhlasan mau saling menerima apa adanya. Mau saling mengerti, mau
saling menanggung rasa sakit bersama. Mau saling menopang, saling menguatkan,
saling memberi kesempatan untuk bisa bahagia. Sayang, aku baru sadar akan
berartinya kalian dan semua kesempatan yang bisa kita lewati bersama, dengan
senyum juga airmata, ketika saat-saat indah itu sudah bergeser jadi masalalu.
Kini
aku heran, kemana hati yang bisa digunakan untuk menghargai saat-saat
kebersamaan kita? Seakan kala kita masih diberi kesempatan untuk bisa bersama,
hati tertinggal. Hingga kata terlambat cukup pantas menegur kita.
Sekarang
semua tak seindah dulu. Maaf, bukannya aku telah berubah jadi manusia yang
benci pada perubahan. Maaf, bukannya aku telah menjelma jadi wanita yang
menghindari jalan menuju masa depan. Aku mencintai masa depan, dan aku paham
benar, untuk sampai pada masa depan, manusia harus melewati anak-anak tangga
yang jelas-jelas tidak selalu mulus, juga tidak selalu mudah dijadikan pijakan.
Mungkin,
aku terlalu lelah dengan dunia yang kini harus selalu kuhadiri. Mungkin, aku
lelah dengan banyak hal yang butuh perjuangan lebih dari biasanya. Aku lelah,
ketika kusadari manusia-manusia yang diijinkan ada di labirin yang sama denganku
punya sifat egois, sifat mementingkan kemauan hatinya sendiri. Aku tidak suka
ketika manusia-manusia yang lorong waktunya berada satu jalur denganku
mempergunakan keberadaan mereka untuk menjatuhkan manusia lain yang dirasa
setingkat lebih rendah dari mereka. Aku bosan, ketika telingaku harus menangkap
kalimat-kalimat sindiran dan ejekan yang memuaskan kaum mereka. Aku benci
ketika harus ada hati yang dikorbankan demi bahagianya sisi jahat mereka.
Aku tidak
bermaksud membanding-bandingkan. Aku tidak bermaksud menghakimi. Aku sadar
benar hidupku juga tidak sempurna. Tapi semua ini melelahkan, sahabat. Duniaku sungguh
berbeda 180 derajat tanpa kalian. Aku merindukan saat kita mau melengserkan keinginan
pribadi demi terciptanya kebahagiaan bersama. Kini semua jadi terlalu sulit
untuk diwujudkan. Dan aku belajar satu hal dari perubahan yang menggerogoti
semangat ini: umur tidak menjamin kedewasaan.
Aku merindukan
kalian dan saat-saat untuk kita, sungguh. Adakah kalian merasakan hal yang sama
denganku? Atau mungkin di luar sana, kalian sudah mendapatkan banyak hal yang
jauh lebih baik. Mungkin setelah perpisahan kita, kalian diijinkan berada dalam
dunia yang menyenangkan. Mungkin.
Ah,
sahabat, untuk kalian yang bisa menggores senyum lebih lebar, ingatlah, ada
manusia yang merindukan kalian disini. Yang hatinya masih bertahan dengan
ukiran-ukiran nama kalian, dengan kenangan-kenangan bersama kalian.
Dan,
meskipun lorong waktu juga lorong hidup kita sudah berbeda, sekalipun kita
harus berkarya di labirin kita masing-masing, aku ingin kita masih saling
menguatkan satu sama lain. Masih saling berkomunikasi, menopang, dan
menyemangati. Seperti keluarga, seperti kita yang dulu ada untuk berbagi dalam
suka, duka, pedih, perih, tawa bahagia, juga airmata.
―Teriring doa dari manusia yang
rindu melepas lelah di bahu kalian.