Minggu, 06 Desember 2015

Abjad Terakhir

Tadi malam aku meringkuk di sudut kamar. Mengingat kamu yang tak mungkin melekat. Kamu sibuk, sedemikian sibuk, aku tahu. Kamu takkan punya cukup waktu untuk diam di kamar dengan bantal-guling lalu terjaga semalaman, memikirkan sesuatu yang selalu rumit diterjemahkan: perasaan.

Tadinya aku cuma bersandar santai di dinding. Tapi sesuatu melonjak dari dalam tubuh hingga aku refleks memeluk guling, erat-erat. Kutenggelamkan wajahku pada sintetis kapas itu. Berusaha merasa sedang memeluk lenganmu yang kokoh dan mendengarkan jantungmu. Jantung yang detaknya takkan mungkin bersatu dengan detakku. Kita tak sejalan. Dari awal jumpa hingga pisah nanti, kita tak sejalan. Seluruh khalikah raya takkan mau toleransi dengan rasaku (mungkin juga rasamu). Fiersa Besari pernah bilang kalau rasa tak pernah salah, waktulah yang punya kemungkinan bermasalah. Tapi soal kita, kupikir tak cuma waktu yang bermasalah. Tak tahu apa.

Ada banyak manusia di luar sana. Yang demikian baik, bisa membalas chat dengan cepat, punya pemikiran, lagi tampan, juga seagama. Tapi mengapa hati memilih kamu? Aku tak tahu. Barangkali kita tak pernah diijinkan tahu karena ada hal yang memang ditakdirkan untuk tetap jadi rahasia Sang Khalik.

Akhir-akhir ini, setiap bulan timbul setelah mentari terbenam, aku sering menangis. Aku ingat hari-hari yang berlalu, aku ingat kamu dan semua kejadian kecil kita yang demikian berharga buatku. Aku ingat, semakin banyak hari pergi, semakin cepat rasa harus diganti. Kamu akan sibuk menamatkan kewajibanmu sebagai wakil ketua organisasi, setelah itu kamu akan jadi anak kelas dua belas yang sibuk siap-siap menghadapi sepaket ujian. Aku akan sibuk mencari kampus, menyiapkan ini itu sebagai mahasiswa baru, melepaskan seragam sekolah yang kupakai tiap pagi selama enam hari dalam seminggu. Meninggalkan kewajiban memakai topi setiap upacara, dasi abu-abu, kaus kaki putih dan sepatu hitam dari Senin sampai Kamis, baju batik sekolah setiap Jumat dan Sabtu. Aku akan selesai dengan segala urusan sekolah dan mulai serius kuliah.

Aku lalu menangis, tersengguk-sengguk. Seolah tak sanggup lagi. Bagaimana mungkin aku ikhlas berpisah dengan kamu?

Kamu bukan proyeksi diri, aku tahu. Aku sadar diri tak mungkin punya proyeksi seindah kamu. Dan meski memilikimu pun aku tidak, aku sudah merasa gila. Hatiku kadung berlabuh di tempat yang tak seharusnya. Orang yang paham betul takkan membiarkan hal ini terjadi. Entah mengapa aku jadi tak mampu berkutik hingga segala rasa tentang kamu sampai pada fase keterlanjuran.

Kelebatanmu datang meresahkan, lalu pergi dan membuat rindu. Aku benci. Aku benci tenggelam disini. Megap-megap tak mampu mencari oksigen karena yang kumiliki adalah paru-paru dan bukan insang. Aku tidak suka mencari kamu setiap hari di sekolah. Aku tidak suka gelisah bila sehari kulewati tanpa melihat kamu. Aku tidak suka berkeliling tempat parkir dan mencari dimana motormu ada. Aku tidak suka lalu lalang di depan kelasmu cuma demi menatap dari balik pintu. Pintunya tidak bening. Pintunya bukan plastik atau kaca. Aku tidak bisa melihat kamu. Tapi aku tahu kamu ada di balik pintu itu dan cukuplah buatku. Memandangmu dari jauh demikian menenangkan. Makin dekat aku makin jadi kepingan. Terbakar. Meringkuk konyol dalam lelehan. Ah, aku benci, aku tak suka. Tapi apa daya raga kala hati dan jiwa berucap beda?

Aku kini duduk di bangku gereja, hampir di belakang. Nanti aku akan memperhatikan manusia-manusia yang sibuk menggandeng lengan kekasih mereka. Lengan yang detaknya sejajar dengan rasa. Lagi, aku merasa benci. Mereka tampak bahagia. Duduk berjajar dengan yang dicinta dalam satu tempat ibadah. Menyembah Pemilik Hidup dengan cara yang sama. Aku benci. Mengapa kita tak bisa seperti itu?

Sebentar lagi aku akan berdiri dan menyanyikan lagu pujian. Mungkin sebentar lagi kalau matahari telah terbit, kamu akan siap-siap salat Duha. Kamu akan bilang banyak hal pada Allah, entah apa itu. Hanya kamu dan Allah yang tahu. Setelah itu mungkin kamu akan belajar, atau membersihkan pondok, atau berdiskusi dengan tim organisasimu.

Dari dalam gereja, aku mengingat kamu dan kita. Aku rindu. Meski bertemu kamu belum pernah lebih dari lima belas detik. Aku rindu, sungguhan.

Selamat Hari Minggu. Jangan lupa salat tepat waktu.


Dari yang mendoakanmu dengan cara berbeda.