Tadi malam aku meringkuk di sudut
kamar. Mengingat kamu yang tak mungkin melekat. Kamu sibuk, sedemikian sibuk,
aku tahu. Kamu takkan punya cukup waktu untuk diam di kamar dengan
bantal-guling lalu terjaga semalaman, memikirkan sesuatu yang selalu rumit
diterjemahkan: perasaan.
Tadinya aku cuma bersandar santai
di dinding. Tapi sesuatu melonjak dari dalam tubuh hingga aku refleks memeluk
guling, erat-erat. Kutenggelamkan wajahku pada sintetis kapas itu. Berusaha
merasa sedang memeluk lenganmu yang kokoh dan mendengarkan jantungmu. Jantung
yang detaknya takkan mungkin bersatu dengan detakku. Kita tak sejalan. Dari
awal jumpa hingga pisah nanti, kita tak sejalan. Seluruh khalikah raya takkan
mau toleransi dengan rasaku (mungkin juga rasamu). Fiersa Besari pernah bilang
kalau rasa tak pernah salah, waktulah yang punya kemungkinan bermasalah. Tapi
soal kita, kupikir tak cuma waktu yang bermasalah. Tak tahu apa.
Ada banyak manusia di luar sana.
Yang demikian baik, bisa membalas chat
dengan cepat, punya pemikiran, lagi tampan, juga seagama. Tapi mengapa hati
memilih kamu? Aku tak tahu. Barangkali kita tak pernah diijinkan tahu karena
ada hal yang memang ditakdirkan untuk tetap jadi rahasia Sang Khalik.
Akhir-akhir ini, setiap bulan
timbul setelah mentari terbenam, aku sering menangis. Aku ingat hari-hari yang
berlalu, aku ingat kamu dan semua kejadian kecil kita yang demikian berharga
buatku. Aku ingat, semakin banyak hari pergi, semakin cepat rasa harus diganti.
Kamu akan sibuk menamatkan kewajibanmu sebagai wakil ketua organisasi, setelah
itu kamu akan jadi anak kelas dua belas yang sibuk siap-siap menghadapi sepaket
ujian. Aku akan sibuk mencari kampus, menyiapkan ini itu sebagai mahasiswa
baru, melepaskan seragam sekolah yang kupakai tiap pagi selama enam hari dalam
seminggu. Meninggalkan kewajiban memakai topi setiap upacara, dasi abu-abu,
kaus kaki putih dan sepatu hitam dari Senin sampai Kamis, baju batik sekolah
setiap Jumat dan Sabtu. Aku akan selesai dengan segala urusan sekolah dan mulai
serius kuliah.
Aku lalu menangis,
tersengguk-sengguk. Seolah tak sanggup lagi. Bagaimana mungkin aku ikhlas
berpisah dengan kamu?
Kamu bukan proyeksi diri, aku
tahu. Aku sadar diri tak mungkin punya proyeksi seindah kamu. Dan meski
memilikimu pun aku tidak, aku sudah merasa gila. Hatiku kadung berlabuh di
tempat yang tak seharusnya. Orang yang paham betul takkan membiarkan hal ini
terjadi. Entah mengapa aku jadi tak mampu berkutik hingga segala rasa tentang
kamu sampai pada fase keterlanjuran.
Kelebatanmu datang meresahkan,
lalu pergi dan membuat rindu. Aku benci. Aku benci tenggelam disini.
Megap-megap tak mampu mencari oksigen karena yang kumiliki adalah paru-paru dan
bukan insang. Aku tidak suka mencari kamu setiap hari di sekolah. Aku tidak
suka gelisah bila sehari kulewati tanpa melihat kamu. Aku tidak suka berkeliling
tempat parkir dan mencari dimana motormu ada. Aku tidak suka lalu lalang di
depan kelasmu cuma demi menatap dari balik pintu. Pintunya tidak bening.
Pintunya bukan plastik atau kaca. Aku tidak bisa melihat kamu. Tapi aku tahu
kamu ada di balik pintu itu dan cukuplah buatku. Memandangmu dari jauh demikian
menenangkan. Makin dekat aku makin jadi kepingan. Terbakar. Meringkuk konyol
dalam lelehan. Ah, aku benci, aku tak suka. Tapi apa daya raga kala hati dan
jiwa berucap beda?
Aku kini duduk di bangku gereja,
hampir di belakang. Nanti aku akan memperhatikan manusia-manusia yang sibuk
menggandeng lengan kekasih mereka. Lengan yang detaknya sejajar dengan rasa.
Lagi, aku merasa benci. Mereka tampak bahagia. Duduk berjajar dengan yang
dicinta dalam satu tempat ibadah. Menyembah Pemilik Hidup dengan cara yang
sama. Aku benci. Mengapa kita tak bisa seperti itu?
Sebentar lagi aku akan berdiri
dan menyanyikan lagu pujian. Mungkin sebentar lagi kalau matahari telah terbit,
kamu akan siap-siap salat Duha. Kamu akan bilang banyak hal pada Allah, entah
apa itu. Hanya kamu dan Allah yang tahu. Setelah itu mungkin kamu akan belajar,
atau membersihkan pondok, atau berdiskusi dengan tim organisasimu.
Dari dalam gereja, aku mengingat
kamu dan kita. Aku rindu. Meski bertemu kamu belum pernah lebih dari lima belas
detik. Aku rindu, sungguhan.
Selamat Hari Minggu. Jangan lupa
salat tepat waktu.
Dari yang mendoakanmu dengan cara
berbeda.