Kamis, 27 Juni 2013

(mungkin) Ini yang Terakhir

Hey, Arjuna. Kamu tidak berubah ya? Masih saja menyempatkan diri menghipnotis kaum hawa. Haha.

Baiklah, mungkin hari ini adalah hari terakhir kita bisa saling tatap. Hari terakhir kita bisa saling melempar senyum dan tertawa bersama. Suatu saat nanti, ketika tahun demi tahun mulai berjajar dan menjadi sejarah bagi hidup kita, aku akan merindukanmu. Mungkin aku akan rindu punya teman yang superkece dan PHP seperti kamu. Aku akan rindu senyum mata sipit, hidung besar, rambut keriting, juga bibir tebal merahmudamu. Haha. Sesungguhnya, aku benci perpisahan. Tapi kalau memang harus begitu, apa boleh buat? Bukankah hidup kita hanya diisi dengan pertemuan dan perpisahan? Peribahasa pun berkata demikian.

Tadinya aku tidak pernah punya pikiran akan dapat tatapan dan senyummu yang dulu sering kamu umbar di depanku. Senyum yang sempat membuat resah, senyum yang sempat menjelma jadi galau gundah. Aku tidak punya misi untuk membuat matamu mengarah padaku. Aku hanya duduk santai sembari menikmati penampilanmu di atas panggung. Sesekali jari menjentik-jentik, dan kaki ini mengikuti irama drummu. Aku menikmati gayamu diatas panggung, mencoba untuk tidak terhipnotis dengan kekeceanmu. Tiba-tiba, tanpa kusangka, bola matamu mengarah ke balkon. Dan disanalah aku. Dengan polosnya tersenyum kepadamu, seperti hanya aku yang menontonmu saat itu. Hahaha. Semoga saja tidak ada yang mengarahkan pandangan padaku saat kita saling meringis tadi.

Hari ini, satu tahun lalu, aku juga menikmati penampilanmu diatas panggung. Setelah kamu selesai membius kaum hawa dengan kekeceanmu, kita duduk berjajar, sama-sama menikmati manusia lain yang kebagian jadi pengisi acara. Kita tertawa bersama. Jadi komentator bersama. Dan disanalah aku mulai masuk perangkapmu. Di sanalah aku mulai buta, mulai terpesona. Haha, sudahlah, itu masalalu bukan? Aku tidak ingin membahasnya sampai pada kejadian yang menyakitkan.

Kita akan berpisah, mulai hari ini. Kita akan serius pada perjuangan kita masing-masing: mencari sekolah lanjutan untuk masa depan kita. Kita akan menemukan dunia baru, kita akan punya pandangan baru. Aku ingin mengucapkan terimakasih karena kamu sudah pernah mengisi hari-hariku. Sudah pernah menyakitiku dan mengajariku untuk tidak terlalu percaya pada manusia yang kelihatan baik. Terimakasih, sudah membuatku jadi setahap selangkah lebih dewasa.

Arjuna, aku akan mengingatmu sebagai teman yang baik juga jahat. Playboy dan PHP juga menyenangkan. Terlihat dewasa, tapi sebenarnya hanya pandai bermain kata :”)

Sampai ketemu lagi, satu hari nanti :”)

Selasa, 25 Juni 2013

Setelah 241 hari

Kita bertemu juga. Akhirnya!

Aku kaget dan mendadak semua jadi bisu. Entah sekelilingku, entah hatiku, entah otakku, entah mulutku. Jantungku berkinja-kinja sejak ide untuk bertemu itu tercetus. Segalanya bercampur jadi satu. Antara rindu dan kelu yang sudah bosan menjerit, kini kau buat panas bahkan sampai mendidih. Rasa yang mulai melemah jadi membuncah, karenamu. Semua yang dulu hanya sampai pada perburuan bayang-bayang, kini menjelma jadi manusia yang nyata. Aku tak siap. Juga tak sigap. Itu membuatku jadi terlalu diam, sehingga beberapa bahan yang sudah kusiapkan jatuh dan hilang tanpa bekas. Aku jadi kikuk, dan ide-ideku diserobot sepupuku, dijadikannya topik pembicaraan denganmu.

Oke, aku bodoh. Oke, aku ceroboh. Tapi aku tidak bisa mengendalikan perasaan campur aduk ini.

Tahukah kamu? Betapa mati kutu aku ketika telinga ini menangkap sindiran-sindiranmu. Nada-nada protesmu merangkap jadi hantu, membuat lari nyaliku. Aku hanya bisa membuang muka, seakan tak paham akan maksudmu. Aku tidak mampu berhenti memaki diri sendiri saat topik-topik itu pergi tanpa permisi. Aku berusaha mengejarnya namun tak kutemukan juga. Maaf, sudah membuatmu bosan. Maaf, sudah membuat kamu jengkel tak karuan.

Kamu tidak harus memulai segalanya. Sungguh. Aku tidak akan marah ketika kamu memintaku membuka kartu, dan kamu tinggal meneruskan juga merapikannya. Tapi entah mengapa, kemarin aku jadi burung yang kehilangan kicauannya. Tatapan tajam (dan sinismu) cukup membuatku bungkam. Semua kalimat yang biasanya keluar dengan lancar jadi macet di kerongkongan.

Aku tidak bisa menjabarkan apa yang kurasakan tadi. Mungkin aku masih tercengang melihat sosokmu yang nyata dihadapanku. Maklumlah, selama ini aku hanya bisa mengejar bayanganmu dan memainkannya di anganku. Tidak banyak perubahan darimu. Sebagian besar kamu masih cocok dengan memori di otakku. Namun aku tetap terpesona. Entah mengapa.

Kuakui, aku benci yang kita sebut waktu terus berputar dan membuat pertemuan kita jadi serba singkat.  Kalau saja aku bisa jadi presiden sang waktu, aku akan memerintah dia untuk melepas jangkarnya agar mataku puas menatapmu. Sayang, aku tidak bisa. Ah, sudahlah. Setidaknya aku punya kesempatan menatapmu secara nyata. Menggenggam tanganmu secara nyata. Menyentuh punggung hangatmu secara nyata.

Aku masih mencintaimu. Dan tak pernah aku punya pikiran semua itu berubah jadi pilu sendu. Jangan menyesal karena ada aku di masalalumu, ya. Kamu boleh mengataiku tolol dan bodoh. Aku terima. Aku cukup tahu diri kalau aku memang begitu. Manusia yang membiarkan cintanya tertinggal di masalalu. Manusia yang pasrah masalalunya jadi gas beracun untuk hati juga jiwanya.

Haha, kalau kamu membaca semua ini, jangan tertawa, tolong. Simpan saja semua kegelianmu dan jangan sampai telingaku mendengarnya. Karena aku sungguh sadar akan ke-idiot-anku menulis kalimat gila ini. Tapi atas nama rindu, dengan segala nyawa yang tersisa, aku menyelipkannya di blog pribadiku.

Aku berharap kamu membacanya.

Aku tidak berharap kamu sampai terpingkal-pingkal menertawainya.

Senin, 17 Juni 2013

Kamu bisa membuatku...



Untuk kamu, pengendali mood ku. Untuk kamu, yang amat sangat sulit untuk ditebak.

Aku tak menyangka kamu jadi sesensitif ini. Semula kupikir kamu sama sekali tidak berubah. Tapi hari ini, aku dibuat tersentak oleh tulisan-tulisanmu. Lebih cuek. Nada-nada keras. Kemuakan yang amat sangat. Semua kriteria itu nyaris ada di setiap tweetmu. Sikap ogah-ogahanmu menjalar dan merenggut nyali yang sudah setengah jadi. Kau buat aku takut lagi. Kau buat aku ragu lagi.

Ada apa dengan kamu? Apa karena aku tidak bisa menemanimu sehari penuh di jejaring sosial, kamu jadi seperti ini?

Sayang, kamu seperti tidak tahu. Dalam sehari aku punya banyak tugas dan hal-hal lain untuk kukerjakan. Kegiatanku bukan hanya menemanimu seharian di twitter. Bukankah semua orang juga begitu? Hanya saja mereka (dan kamu) punya fasilitas lebih yang bisa membuat kalian setia di jejaring sosial.

Satu hal yang sesungguhnya aku benci untuk mengakui, tapi aku juga tidak ingin munafik. Kamu adalah manusia yang bisa mengendalikan mood ku. Dengan tulisanmu, dengan sikapmu, kamu bisa membuat mood ku jadi baik, juga bisa menurunkannya jadi lebih dari jelek. Kamu membuatku kelu, kamu membuatku candu, kamu membuatku memburu, kamu membuatku selalu rindu. 

Hah, dengan kata apa kamu harus kudeskripsikan? Kamu terlalu rumit untuk dijelaskan. Terlalu berat untuk terus dipikirkan. Juga terlalu indah untuk diabaikan.

Itulah kamu. Membingungkan tapi membuat rasaku jadi menggebu. Kamu melenyapkan semua logikaku, lalu pegang kendali atas perasaanku. Seperti psikopat. Psikopat cinta. Jahat, memabukkan, tapi jadi terlalu penting untuk dilupakan.

Terimakasih telah membuat otakku nyaris pecah dan berantakan karena memikirkanmu. Terimakasih telah membuatku nyaris gila dan hilang akal karena selalu salah menebak sikapmu. Terimakasih telah membuatku kelelahan dan kebingungan.

Aku sayang kamu. 

Karena kamu bisa mengendalikan hatiku dan membuat darahku berpacu.

Jumat, 14 Juni 2013

Apa yang kita perjuangkan tidak sia-sia?



Apa yang kita perjuangkan tidak sia-sia?
Karena selama ini kita hanya mengejar bayang-bayang
Menariknya, menggenggamnya, mencumbuinya
Seakan berharap kepekatan itu menjelma jadi manusia yang kita rindukan

Apa yang kita perjuangkan itu tidak sia-sia?
Karena banyak mata menertawakan kita
Mengejek kita yang bertahan dalam mimpi
Terpingkal-pingkal seolah kita ini dua manusia yang tidak kenal dunia nyata

Apa yang kita perjuangkan tidak sia-sia?
Melihat disana, diluar yang kita perjuangkan ada kebahagiaan
Bertumpuk-tumpuk melambai menyapa kita
Menawarkan berbagai rasa yang mungkin bisa mengobati luka kita

Apa yang kita perjuangkan tidak sia-sia?
Sekalipun seluruh waktu kita habis hanya untuk diam dan menunggu
Semua mimpi kita remuk dilindas roda kehidupan tanpa belas kasihan
Segala senyum dan tawa kita hilang ditelan waktu

Aku takut, sayang
Aku takut
Apa benar semua yang kita perjuangkan tidak sia-sia?

Kamis, 13 Juni 2013

Apa Kita Masih Punya Kesempatan?

Aku bukan tuhan, sayang. Juga bukan malaikat. Kamu tentu tahu itu. Aku manusia biasa, sama seperti kamu. Aku tidak punya hak untuk mengatur hidupku sendiri. Aku tidak boleh tahu hal apa yang akan terjadi setelah ini. Jangankan hari esok, satu jam yang akan datang saja aku tidak tahu.

Jujur saja, aku tidak berhenti mempertanyakan semuanya pada Tuhan. Aku masih mengirim tanda tanya besar pada-Nya tentang kita. Tentang semua hal yang Dia ijinkan terjadi dalam hidup kita. Hal-hal yang membuat kita bahagia, kecewa, marah, sedih, semuanya.

Sayang, seperti yang kita ketahui, cinta manusia memang tidak sempurna. Karena yang sempurna hanya milik Dia, Tuhan yang mengijinkan kita ada dalam waktu yang sama. Aku tidak protes akan ketidaksempurnaan cinta kita, sayang. Aku hanya belum paham. Aku belum mampu mengerti mengapa harus sedemikian sakit yang kita rasakan. Mengapa deraan itu datang, ketika kita mulai mantap dengan pilihan kita? Mengapa perpisahan itu muncul, saat kita sudah selesai merangkai mimpi dan harapan-harapan kita?

Kalau ditanya, tentu aku tidak ingin semua ini terjadi. Siapa yang rela kebahagiaannya diambil secara paksa? Hanya manusia bodoh yang benar mengikhlaskannya. Kadang aku berpikir, apa benar kita masih diberi kesempatan untuk bersama lagi? Apa iya, kita masih punya cukup waktu untuk memungut mimpi-mimpi kita yang berserakan, lalu menyusunnya dengan hati-hati, seperti yang dulu kita lakukan?

Aku selalu berharap semua yang kita sebut bahagia bisa kembali, dan kita bisa merasakannya lagi. Tapi aku takut, sayang. Aku takut semua itu takkan terwujud karena kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama.

Sayang, mungkin yang kupertanyakan dan kutakutkan juga yang kau pertanyakan dan kau takutkan.

Senin, 10 Juni 2013

Adakah Kamu Berharap yang Sama?


Kita sudah berpisah sekian lama, sayang. Dan masing-masing dari kita seolah menolak untuk berpindah ke lain hati. Kamu masih saja sendiri. Begitu pula denganku. Entah apa yang mendasari kesendirianmu. Dariku, aku masih mencintaimu hingga aku tak sanggup menghapus semua hal berbau dirimu. Aku masih memikirkanmu dan mendoakanmu setiap hari, seperti kau masih terikat suatu hubungan denganku.

Kita sempat saling diam beberapa bulan. Serius pada jalan hidup masing-masing dan berusaha menepis semua keindahan yang pernah kita rasakan. Sampai pada suatu waktu, aku tidak tahan lagi untuk hidup dalam kepura-puraan. Aku tidak bisa bertahan dalam kebohongan. Aku tidak bisa bohong pada semua orang juga diriku sendiri, kalau aku masih menyimpan perasaan yang sama untukmu.

Aku mulai jujur di jejaring sosial. Aku mulai mengungkapkan rasa apa yang ada di dalam hati ini, dan seberapa keras perjuanganku untuk mempertahankan semua itu. Aku mulai rajin menuliskannya sekalipun aku tidak berani berharap kamu akan membaca lalu membalasnya. Tapi justru itulah yang terjadi. Kamu mulai me-retweetnya. Kamu mulai menulis tweet yang sedikit menyentil perasaanku.

Jujur, aku senang. Respon sederhana itu seakan membuat harapanku menebal dan aku tidak mampu menyembunyikan bahagia ini. Kamu juga ikhlas datang jauh-jauh ke rumah temanku demi menitipkan kado ulang tahun yang sudah kamu siapkan untukku. Suatu hal yang tidak kuduga sama sekali. Namun terkadang, aku bertanya-tanya mengapa kamu masih saja jual mahal di depanku. Masih selalu menjawab pertanyaanku sesingkat mungkin. Seperti menggambarkan kemuakan yang amat sangat.

Maka, buatlah aku paham dengan caramu, sayang. Buatlah aku berhenti menggores tanda tanya besar di dalam hati. Buatlah aku berhenti memusingkan sikap acuh tak acuhmu. Buatlah aku berhenti menebak-nebak perasaanmu.

Aku ingin kita seperti dulu lagi, sayang. Berbagi sedih dan senang bersama. Menghabiskan waktu bersama. Bercanda bersama. Tertawa bersama. Dan merangkai impian kita bersama. Aku sungguh berharap saat-saat indah itu kembali lagi, sayang. Meski kamu masih tetap memilih acuh tak acuh denganku.

Aku merindukanmu, sayang. Aku merindukanmu. Tak peduli apa responmu.

Minggu, 09 Juni 2013

Andai Aku Mampu

Aku bukan siapamu. Aku tak punya hak untuk mencemburui kedekatanmu dengan wanita lain. Aku tak diperbolehkan protes saat kamu tidak meresponku dengan baik. Tapi aku sendiri juga tak mampu mendinginkan hati ketika kulihat wall facebookmu dipenuhi tulisan-tulisan wanita lain. Atau ketika kamu mengacuhkanku. Aku sendiri juga tak paham, penyakit apa yang sedang melanda hatiku.

Aku selalu dibuat pusing dengan sikapmu yang tak tertebak itu. Kamu masih sama dengan kamu yang dulu. Misterius dan penuh kejutan. Dua hal itu yang kurasa mampu membuatku mati-matian mempertahankan perasaan ini kepadamu. Bagaimana tidak? Di satu sisi, kamu membuatku galau dengan respon cuekmu. Tapi di sisi lain, kamu menciptakan atmosfir bahagia yang belum tentu pria lain bisa mewujudkannya.

Lantas, aku yang harus kulakukan, sayang? Aku bingung disini dan kamu tetap tak peduli dihadapanku.

Aku ingin berjuang. Tapi aku takut. Aku takut kalau perjuanganku adalah sesuatu yang salah dan akan membuatku jauh lebih terpuruk lagi. Aku tidak bisa membayangkan rasanya kelelahan sekaligus kehilangan. Maka aku bersikeras bertahan dalam ketidakjelasan sikapmu ini. Bodoh, memang. Tapi aku punya hak apa?

Hah, seandainya aku mampu membuatmu kembali, sayang. Seandainya hatiku lebih kuat dari yang kumiliki. Seandainya aku bisa mendapat kesempatan kedua tanpa perlu mengorbankan bahagiaku terlalu banyak. Seandainya, seandainya.

Ini doaku, sayang: berharap kamu akan kembali. Berharap kamu bisa kugapai lagi. Meski hanya dalam mimpi :”