Selasa, 25 Juni 2013

Setelah 241 hari

Kita bertemu juga. Akhirnya!

Aku kaget dan mendadak semua jadi bisu. Entah sekelilingku, entah hatiku, entah otakku, entah mulutku. Jantungku berkinja-kinja sejak ide untuk bertemu itu tercetus. Segalanya bercampur jadi satu. Antara rindu dan kelu yang sudah bosan menjerit, kini kau buat panas bahkan sampai mendidih. Rasa yang mulai melemah jadi membuncah, karenamu. Semua yang dulu hanya sampai pada perburuan bayang-bayang, kini menjelma jadi manusia yang nyata. Aku tak siap. Juga tak sigap. Itu membuatku jadi terlalu diam, sehingga beberapa bahan yang sudah kusiapkan jatuh dan hilang tanpa bekas. Aku jadi kikuk, dan ide-ideku diserobot sepupuku, dijadikannya topik pembicaraan denganmu.

Oke, aku bodoh. Oke, aku ceroboh. Tapi aku tidak bisa mengendalikan perasaan campur aduk ini.

Tahukah kamu? Betapa mati kutu aku ketika telinga ini menangkap sindiran-sindiranmu. Nada-nada protesmu merangkap jadi hantu, membuat lari nyaliku. Aku hanya bisa membuang muka, seakan tak paham akan maksudmu. Aku tidak mampu berhenti memaki diri sendiri saat topik-topik itu pergi tanpa permisi. Aku berusaha mengejarnya namun tak kutemukan juga. Maaf, sudah membuatmu bosan. Maaf, sudah membuat kamu jengkel tak karuan.

Kamu tidak harus memulai segalanya. Sungguh. Aku tidak akan marah ketika kamu memintaku membuka kartu, dan kamu tinggal meneruskan juga merapikannya. Tapi entah mengapa, kemarin aku jadi burung yang kehilangan kicauannya. Tatapan tajam (dan sinismu) cukup membuatku bungkam. Semua kalimat yang biasanya keluar dengan lancar jadi macet di kerongkongan.

Aku tidak bisa menjabarkan apa yang kurasakan tadi. Mungkin aku masih tercengang melihat sosokmu yang nyata dihadapanku. Maklumlah, selama ini aku hanya bisa mengejar bayanganmu dan memainkannya di anganku. Tidak banyak perubahan darimu. Sebagian besar kamu masih cocok dengan memori di otakku. Namun aku tetap terpesona. Entah mengapa.

Kuakui, aku benci yang kita sebut waktu terus berputar dan membuat pertemuan kita jadi serba singkat.  Kalau saja aku bisa jadi presiden sang waktu, aku akan memerintah dia untuk melepas jangkarnya agar mataku puas menatapmu. Sayang, aku tidak bisa. Ah, sudahlah. Setidaknya aku punya kesempatan menatapmu secara nyata. Menggenggam tanganmu secara nyata. Menyentuh punggung hangatmu secara nyata.

Aku masih mencintaimu. Dan tak pernah aku punya pikiran semua itu berubah jadi pilu sendu. Jangan menyesal karena ada aku di masalalumu, ya. Kamu boleh mengataiku tolol dan bodoh. Aku terima. Aku cukup tahu diri kalau aku memang begitu. Manusia yang membiarkan cintanya tertinggal di masalalu. Manusia yang pasrah masalalunya jadi gas beracun untuk hati juga jiwanya.

Haha, kalau kamu membaca semua ini, jangan tertawa, tolong. Simpan saja semua kegelianmu dan jangan sampai telingaku mendengarnya. Karena aku sungguh sadar akan ke-idiot-anku menulis kalimat gila ini. Tapi atas nama rindu, dengan segala nyawa yang tersisa, aku menyelipkannya di blog pribadiku.

Aku berharap kamu membacanya.

Aku tidak berharap kamu sampai terpingkal-pingkal menertawainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar