Aku kaget dan mendadak semua jadi bisu. Entah sekelilingku,
entah hatiku, entah otakku, entah mulutku. Jantungku berkinja-kinja sejak ide
untuk bertemu itu tercetus. Segalanya bercampur jadi satu. Antara rindu dan
kelu yang sudah bosan menjerit, kini kau buat panas bahkan sampai mendidih.
Rasa yang mulai melemah jadi membuncah, karenamu. Semua yang dulu hanya sampai
pada perburuan bayang-bayang, kini menjelma jadi manusia yang nyata. Aku tak
siap. Juga tak sigap. Itu membuatku jadi terlalu diam, sehingga beberapa bahan
yang sudah kusiapkan jatuh dan hilang tanpa bekas. Aku jadi kikuk, dan
ide-ideku diserobot sepupuku, dijadikannya topik pembicaraan denganmu.
Oke, aku bodoh. Oke, aku ceroboh. Tapi aku tidak bisa
mengendalikan perasaan campur aduk ini.
Tahukah kamu? Betapa mati kutu aku ketika telinga ini
menangkap sindiran-sindiranmu. Nada-nada protesmu merangkap jadi hantu, membuat
lari nyaliku. Aku hanya bisa membuang muka, seakan tak paham akan maksudmu. Aku
tidak mampu berhenti memaki diri sendiri saat topik-topik itu pergi tanpa
permisi. Aku berusaha mengejarnya namun tak kutemukan juga. Maaf, sudah
membuatmu bosan. Maaf, sudah membuat kamu jengkel tak karuan.
Kamu tidak harus memulai segalanya. Sungguh. Aku tidak akan
marah ketika kamu memintaku membuka kartu, dan kamu tinggal meneruskan juga
merapikannya. Tapi entah mengapa, kemarin aku jadi burung yang kehilangan
kicauannya. Tatapan tajam (dan sinismu) cukup membuatku bungkam. Semua kalimat
yang biasanya keluar dengan lancar jadi macet di kerongkongan.
Aku tidak bisa menjabarkan apa yang kurasakan tadi.
Mungkin aku masih tercengang melihat sosokmu yang nyata dihadapanku. Maklumlah,
selama ini aku hanya bisa mengejar bayanganmu dan memainkannya di anganku.
Tidak banyak perubahan darimu. Sebagian besar kamu masih cocok dengan memori di
otakku. Namun aku tetap terpesona. Entah mengapa.
Kuakui, aku benci yang kita sebut waktu terus berputar dan
membuat pertemuan kita jadi serba singkat. Kalau saja aku bisa jadi presiden sang waktu,
aku akan memerintah dia untuk melepas jangkarnya agar mataku puas menatapmu.
Sayang, aku tidak bisa. Ah, sudahlah. Setidaknya aku punya kesempatan menatapmu
secara nyata. Menggenggam tanganmu secara nyata. Menyentuh punggung hangatmu
secara nyata.
Aku masih mencintaimu. Dan tak pernah aku punya pikiran
semua itu berubah jadi pilu sendu. Jangan menyesal karena ada aku di
masalalumu, ya. Kamu boleh mengataiku tolol dan bodoh. Aku terima. Aku cukup
tahu diri kalau aku memang begitu. Manusia yang membiarkan cintanya tertinggal
di masalalu. Manusia yang pasrah masalalunya jadi gas beracun untuk hati juga
jiwanya.
Haha, kalau kamu membaca semua ini, jangan tertawa, tolong.
Simpan saja semua kegelianmu dan jangan sampai telingaku mendengarnya. Karena
aku sungguh sadar akan ke-idiot-anku menulis kalimat gila ini. Tapi atas nama
rindu, dengan segala nyawa yang tersisa, aku menyelipkannya di blog pribadiku.
Aku berharap kamu membacanya.
Aku tidak berharap kamu sampai terpingkal-pingkal menertawainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar