Kalau boleh jujur, aku sempat punya rencana untuk
menyayangimu setelah kita dekat kembali sekitar dua puluh tiga hari yang lalu.
Akuanmu yang polos, berusaha meyakinkan aku kalau kita memang sudah kenal sejak
masa sekolah dasar benar menarik. Lucu saja buatku. Belum pernah kutemukan pria
yang kemampuan mengingatnya sehebat kamu. Caramu menyapa dan menyiapkan beragam
topik untuk kita nikmati bersama setiap harinya nyaris saja membuatku membawa
rasa. Kamu menyenangkan, dan aku mulai suka.
Medan magnet yang keberadaannya samar namun memikat telah
berkolaborasi denganmu, hingga aku mau tak mau bermutasi jadi manusia yang
punya unsur besi lebih banyak. Dan kamu tentu tahu apa yang terjadi
selanjutnya. Ya. Aku tertarik. Perlahan namun pasti, sederhana namun tak
meninggalkan makna. Dekat. Dekat. Dan nyaris saja mengetuk pintumu seperti
wanita tak tahu diri. Mestinya aku lebih ingat, lelaki sepertimu selalu punya
banyak peluang untuk bisa disebut berengsek, bahkan lebih dari itu.
Lalu tibalah saatnya, sayang. Kesempatan terbesarmu sudah
menggoda di depan mata. Mestinya aku memperbanyak doa agar kamu tetap ada di
jalan yang lurus. Tapi bisa apa aku ketika waktu berkata lain?
Kebodohanku adalah percaya semudah itu. Kelemahanku adalah
memberimu peluang sebesar itu. Kepintaran sekaligus kecerobohanmu adalah
memanfaatkan segalanya semaksimal yang kamu bisa, seakan hari tinggal hitung
jari. Hei, tanpa sadar, kolaborasi kita jadi sekece ini.
Sayang, maafkan kata-kata yang berantakan ini. Maafkan
kalimat yang tak seperti biasanya ini. Entah mengapa aku cepat merasa lelah
menatap layar. Cepat pula merasa bosan dengan segalanya; aku, kamu, kita, dan
kebodohan demi kebodohan yang sulit benar dibasmi. Lagipula, aku tak punya
cukup waktu untuk memperbaikinya.
Aku suka. Suka. Padamu. Iya, kamu. Namun semudah itu kamu
memporak-porandakan semuanya. Semudah itu kamu angkat kaki. Semudah itu kamu bilang
kalau kamu sedang asyik menonton dengan teman wanitamu. Wanita. Yang lain.
Sedang aku disini duduk sendirian menunggu kamu menjelma nyata disampingku.
Kita ada di dalam satu gedung, sayang. Tapi kamu pilih dia sekalipun janjimu
adalah bersamaku. Sesulit itukah mengakui aku ada?
Andai saja kamu tetaplah kamu yang berusaha kupahami
pelan-pelan akhir-akhir ini, mungkin segalanya akan tetap sama. Andai kamu
tetap kamu yang kukenal sebagai pria yang begitu baik dan sabar bukan main
terhadapku, mungkin segalanya tetap sama. Aku sama sekali tak tahu apa
motivasimu berubah hati, padahal aku mulai sayang. Sedikit menyesal, tentunya.
Tapi kalau itu sudah menjadi keputusanmu, aku bisa apa? Lagipula, aku sangat
mudah melupakan kalau begini caramu menyakiti.
Lalu, hipotesaku berlari pada arah yang benar. Kamu
kalangkabut. Panik begitu hebat hingga aku bisa ikut merasakan sedihmu yang
meruncing pada satu titik dan pecah dalam ledakan. Gelisah tak berarah ketika
akupun ambil keputusan untuk meninggalkanmu. Mungkin selamanya.
Dan lihatlah, sayang. Cerminmu menyampaikan padaku berapa
banyak rasa sakit yang mesti kamu terima akibat ulahmu sendiri.