Rabu, 31 Oktober 2012

Tentang Rasa ini

Ini adalah puisi yang saya tulis saat saya masih duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar. Entah mengapa, tiba-tiba saja saya ingin menulisnya disini. Sedikit memalukan memang, tapi inilah hasil pemikiran saya waktu itu.

Selamat membaca :)


Aku tahu
tak ada lagi urusanku denganmu
Namun
Ijinkanlah aku
Sedikit lebih cepat mengejarmu
Dalam langkah alunanmu
melodi yang terdengar begitu indah
saat kau menjejakkan jemari kakimu itu di tanah
yang terlalu sibuk membenahi diri untuk kembali lagi di pangkuanmu..

Aku tahu
tak ada jalan yang sanggup kembalikan kisah kita
Namun
mengapa aku tak pernah bisa
sedikit menggores nama manismu itu dri hatiku
Atau
sedikit memajang rasa kesalku
saat aku bisa bertatap muka denganmu
dan melihatmu
matamu yang begitu indah
senyum lembut di bibirmu
dan raut mukamu

Terlalu cepat kau pergi dariku
meninggalkanku begitu saja
tak ada salam perpisahan darimu
atau
lambaian tangan hitammu
Yang selalu meninggalkan kesan manis untukku

Apakah semua itu karena dia?
Sosok yang sekarang bersarang di hatimu
yang mengisi hari-harimu
semenjak kau melihatnya pertama kali
Di bekas sekolahku itu?

Tidakkah kau ingin bercerita
sedikit saja tentang dia di hadapanku?
benarkah kau ingin lepas dariku
tak lagi menganggapku
bahkan memutuskan tali pertemanan kita untuk selamanya
Itukah maumu?

Aku tahu
semua ini tak ada hubungannya lagi denganmu
Namun
biarkanlah aku selalu mendekapmu
Membelaimu dalam buaian kalbu
Dan menghadirkanmu di sisiku
Saat aku harus mengambil keputusan
Saat aku di hadang masalah
Saat aku harus memilih
tetap MENCINTAIMU
atau MEMBENCIMU

Aku tahu
kau takkan lagi peduli
Namun
Bisakah kau sedikit mengerti
Perasaanku padamu
Yang selama ini nyaris tak pernah kuungkap

TENTANG RASA

Yang begitu dalam 
Dan akan kupersembahkan
Hanya UNTUKMU :")

Senin, 29 Oktober 2012

Tinggal Kenangan


Pagi datang.

Aku membuka mata dan kurasakan tak ada lagi rapalan namamu dalam doa di awal hari. Entah mengapa, bayangmu yang dulu selalu kurindukan kini terkesan asing dalam sanubari. Kau telah hilang. Kau telah pergi.
Namun, harus kuakui, seringkali aku masih memikirkanmu :”)


Aku masih ingat, saat pulang dari RS.Wirosaban, hujan turun deras dan kita berteduh bersama. Angin bertiup kencang, membuatku merinding, kedinginan. Aku meletakkan kepalaku di punggungmu, mencari-cari kehangatan. Lalu kurasakan tanganmu dengan penuh kasih bergerak merangkulku. Mengalirkan panas dari tubuhmu ke tubuhku.


Aku masih ingat, saat kita
menghadiri konser di Gereja Kumetiran. Aku terhanyut dalam alunan musik dan kurasakan tanganmu menghampiri tanganku, menggenggamnya erat, seolah tak ingin ada perpisahan di antara kita. Sangat indah.




Aku masih ingat, saat kita sempat berbeda pendapat, kau bersedia meluangkan waktu untuk menjemputku. Dalam perjalanan kita saling diam sampai akhirnya berhenti dan kau membuka pembicaraan. Kau menarik tanganku, melingkarkan tanganmu di pinggangku. Hangat. Lalu kau mendekatkan bibirmu ke telingaku dan bebisik, meminta maaf. Kau eratkan pelukan, dengan desahan penyesalan telingaku tergelitik saat kau berkata, “AKU SAYANG KAMU”.


Aku juga masih ingat, di Sabtu yang panas itu, kita bertemu untuk terakhir kalinya. Dan aku tak lagi merasakan kehangatanmu. Tak lagi melihat senyum dan tatapanmu yang indah. Bibirmu, rangkulan, dan dekapanmu seolah hilang tertelan waktu. Kau berubah. Asing. Sangat asing. Disitulah aku sadar, aku telah kehilanganmu.




Kini, kita berada di hati yang berbeda.

Meski demikian, aku masih mengenangmu. Maaf. Kau sudah terpatri terlalu dalam di hatiku.
Jadi dengan perlahan, biarlah hujan melunturkan rasa kita. Biarlah matahari melelehkan cinta kita. Biarlah angin menghapus kisah kita.

Hingga suatu saat, kita bisa melangkah dengan jalan hidup masing-masing dan mengubur semua tentang kita, kenangan kita :”)

With love,
Litha :")

Sabtu, 27 Oktober 2012

Sudah Berakhir


                “Mami, aku takut,” tangisku sambil berlari memeluk Wulan, sahabatku. Airmataku tak terbendung lagi meski aku sudah berusaha membentenginya. Diana dan Echie mengelus lenganku yang bergetar.

                “Takut kenapa?” suara Wulan yang terdengar lembut melintas di telingaku.

                “Nggak tau, aku siap buat putus, tapi aku takut,” kataku di sela-sela airmata yang meleleh.

                “Kalo kamu nggak siap, mending jangan sekarang Lith,” Echie berucap kala Wulan balas memelukku.

                “Aku siap, tapi nggak tau ngapa, aku takut,”

Tak ada yang menjawab. Hanya tangan-tangan yang penuh kasih kurasakan menyentuh ujung-ujung sarafku. Berusaha memberi semangat, kehangatan, kekuatan, dan saudara-saudaranya.
Kudengar mereka mulai melucu. Kalau saja aku tidak berselimut airmata, pasti aku sudah tertawa terpingkal-pingkal. Sayang, masih ada luapan yang meleleh dari sudut mataku.

Ya Tuhan, aku menjerit dalam hati. Aku takut. Sungguh. Apa yang harus aku lakukan?

                “Aku mau duduk,” ujarku melepas pelukan dan berjalan menuju kursi depan 9C. Echie mengikutiku.

Kusandarkan kepalaku pada tembok berwarna cokelat sendu. Seolah ingin membenturkan kepalaku sekuat mungkin dan tak pernah berurusan lagi dengan lelaki berhelm NHK putih itu.

Mulutku bergumam tak jelas. Tanganku masih bergetar. Kepala pening. Dan hati ini tak karuan rasanya.

                “Astaga, aku takut, aku takut, kayak mau ngadepin ujian skripsi aja,” bibirku bergetar. Echie hanya mampu mengulang kata penenang yang tadi. Selebihnya, hening.
Pak Sanusi dengan kaos strips berkerah berjalan menuju ke arahku. Berhenti, menengok.

                “Oh,” hanya itu yang mewakili pikirannya. Aku yang sedang mumet dengan diriku sendiri tentu tak tambah menyibukkan diri dengan apa yang Pak Sanusi lakukan.

Sekitar satu sampai dua detik setelahnya, sosok dengan celana pramuka dan kaos hitam yang kece duduk di sebelahku.
Dia tak banyak melelehkan deretan kata dari bibir merah mudanya. Dengan kesan yang lebih tenang, lebih halus, tangan yang disana terdapat dua gores sejajar, masih merah, luka baru, menghampiri tanganku yang kusatukan, tetap bertahan dengan getaran. Panik. Tegang. Takut. Entahlah.
Digenggamnya kedua tanganku. Meski bibirnya diam, bisa kurasakan ada sesuatu yang mengalir dari tangannya. Hangat. Kuat. Untuk beberapa detik aku bisa terkunci dengan keadaan itu. Sedikit melupakan ketakutanku.
Kalau saja aku tak dapat menguasai diriku, aku pastu sudah meledak di situ. Meminjam bahunya yang tampak kokoh untuk butir-butir kelelahanku. Tapi itu tak mungkin kulakukan. Aku sudah membuang bertetes-tetes airmata, dan aku tak ingin menghabiskannya hanya untuk menangisi si NHK putih.

                “Rileks,” hanya itu kata dari mulutnya yang terus berputar-putar di otakku. Aku baru sadar sekarang kalau sikapku itu lebih bodoh dari anak SD. Terlalu liar. Aku tak pernah merasa separah itu. Bahkan ketika akan menghadapi ujian yang sesungguhnya.
Tapi ini, entahlah. Sangat sulit rasanya. Meski hanya untuk mengatur nafas agar tak memburu.

Waktu bagi orang yang ketakutan itu selalu cepat. Si pemakai celana pramuka dengan kaos hitam yang kusebut kece tadi sudah dijemput. Astaga, belum ada semenit aku terkunci dalam keadaan yang tenang!
Tapi, oh, aku tak punya hak untuk menahannya.
Oke, sekarang tinggal aku dan Echie. Kami berjalan ke gerbang. Rasaku semakin tak karuan. Seperti mangga diberi kecap dan kopi saja.

Detik-detik yang berlalu semakin melaju. Cepat. Cepat.

Sampai akhirnya, suara knalpot yang kasar dan liar terpantul pada aspal dan bangunan lalu masuk ke telingaku.

Itu dia. Ya. Kaos putih yang membalut tubuhnya seolah tak dapat sedikit menetralkan bayang-bayang kelam di sekelilingnya. Mataku terpaku. Lidahku tercekat dan seakan hati ini ngilu. Detakku meloncat-loncat, seperti ingin keluar dari dada dan kabur entah kemana.

Tuhan, Tuhan, bimbing aku. Tanganku bergerak dan membuat tanda di dahi, dada, dan kedua bahuku. Salib.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan memaksa hatiku untuk siap.

Motor GL-PRO hasil garapan melaju kencang, mewakili emosi si pemegang kendali.
Kami berhenti di tempat yang cukup sepi, sebelah timur tembok B3P2KS yang penuh graffiti.
Aku turun. Dalam hati bersyukur karena sudah bisa menguasai diriku lagi.

Oke, perang dimulai.

                “Piye?” nada yang kasar meluncur.

Diam.

Tangan hitam dengan kuku yang panjang merogoh saku, mengeluarkan empat lembar foto dari dompetnya. Tiga fotoku, dan satu foto kami. Dia merogoh saku lagi. Benda dengan bentuk dasar balok dan sedikit aksen lengkung digenggamnya. Korek api.

Di sela-sela adu mulut kami, dia menyalakan korek dan membakar foto kami. Api menyebar cepat. Hitam, jadi abu, terbang. Dibawa lari angin. Sebagai ungkapan emosinya, disobeknya fotoku dengan iringan kalimat,

                “Nih, liat ya, cewek yang aku sayangi, aku cintai ======= akhirnya balasannya cuman kayak gini!” wussh, sekali lagi angin menerbangkan potongan-potongan fotoku.

Habis sudah.

Aku tak bisa berbuat banyak waktu itu. Aku mematung dengan tangan di saku jaket dan berdiri membelakangi matahari.
Dia mulai meluncurkan kata-kata buruk yang sempat mengelilingi otakku.
Lalu, dia melepas helm NHK putihnya.

                Deg.

Sebuah tindik menghiasi telinga kirinya. Aku cukup terbengong-bengong dalam hati tanpa mampu berucap.
Tangannya merogoh saku lagi. Mengeluarkan benda persegi panjang bervolume, bergambar bintang, dengan tulisan mild. Diambilnya satu isi benda itu, dijepit antara dia bibirnya dan dia menyalakan korek. Asap mulai mengepul dari mulut dan hidungnya. Aroma yang tegas menggelitik satu titik di tenggorokanku, membuatku terbatuk. Jujur, aku benci itu. Aku benci melihat bibir cokelatnya yang indah ternodai nikotin. Satu tahun lebih bersamanya, baru kali ini kulihat dia merokok, tepat di depanku.

                “Aku gondhes ya?” tatapannya yang menusuk mengenai jantungku.

                “Enggak,” kataku.

                “Ah iya, aku gondhes kok. Tenang aja, aku gondhes bukan gara-gara kamu,” disedotnya rokok berwarna putih itu.

Harus kuakui, ada sesuatu yang aneh dalam hatiku. Antara ngilu, marah, bingung, bercampur jadi satu.
Lagi-lagi pangkal lidahku tercekat kuat. Aku tak pernah melihat dia sekasar, segalak, dan seliar ini. Separah apapun jengkelnya, dia masih menyimpan selengkung senyum dan menyendengkan telinganya untukku.
Tapi tidak untuk kali ini. Tak ada lagi senyum yang bisa kulihat. Tak ada lagi tangan yang merangkulku. Tak ada lagi bibir yang dengan cinta mampir mengecupku. Tidak lagi.

Hubungan kami berakhir. Sabtu, 27 Oktober 2012 sekitar pukul 12.15 atau 12.30 siang.

Setelah rokoknya habis, dengan kasar ia mengendarai motornya dan berhenti di bawah bayangan pohon belimbing, sedikit lebih jau dari tempat bisasanya kami berpisah.
Aku menghela nafas, menahan rasa aneh dalam hati, lalu turun. Belum sempat aku mengucapkan terimakasih, kalimat kasar mencakar telingaku.

                “Makasih ya, udah bikin aku kagol!!!”

Masuk kopling satu, gas pol, hilang dari pandanganku.

Hening.

Aku berjalan pulang. Itu adalah kalimat terakhir darinya.
Selebihnya hanya dialog antara aku dan hatiku.
Tak ada lagi “kita”
Tak ada lagi “cinta”
Semua sudah berakhir.

Selasa, 23 Oktober 2012

Kepada Bintang

Bolehkah aku merindukanmu, bintang?
Malam tampak begitu sepi tanpamu. Lihatlah bentangan langit hitam kebiruan itu. Tak sepotongpun terlihat indah tanpa cahayamu. Aku merasa gila. Sejak cahayamu mulai redup, dan akhirnya, pada suatu hari,tanpa ledakan dahsyat, kau menghilang, entah kemana.
Ingatkah kau saat kita bersama? Saat waktu member kita kesempatan untuk berbagi dalam suka dan duka.
Ingatkah kau saat kita bersama? Saat tanganmu denagn lembut mengusap airmata yang keluar sebagai ungkapan emosiku. Sedih, senang, marah, semuanya.
Ingatkah kau saat kita bersama? Saat kau denagn begitu dewasa merangkul dan memelukku. Memberiku rasa aman, tenang, damai.
Aku selalu merindukanmu. Kau, dan sekian banyak hal yang bisa kau lakuka. Maka jangan heran kalau akutak pernah siap untuk kehilanganmu. Namun karena kehendak sang kaisar waktu, denagn sekian keterpaksaan aku harus menetapka hati ini. Berusaha menemukan bintang selain dirimu. Berusaha mencari titik terang yang rasanya tak pernah kulihat sejak kepergianmu.
Maafkan aku bintang. Maafkan aku yang tak pernah bisa menepis keindahanmu, meski kau telah tiada. Telah berjalan jauh, menuju dunia yang berbeda dengan duniaku.
:”)

Kutinggalkan begitu saja selembar kertas HVS itu. Entah, sudah berapa surat yang kutulis pada Bintang. Tak satupun dibalasnya. Yah, aku tahu, dia sudah tak mampu menulis. Kalaupun masih, selum tentu pancainderaku bisa menerjemahkan bahasa dan tulisannya. Namun aku selalu berharap, sesuatu dilakukannya untuk membalas suratku. Seperti kali ini.

L L L

Beberapa bulan lalu, duniaku begitu sempurna karena kehadiran Bintang, sahabatku. Sebagai lelaki, Bintang adalah sahabat yang baik, terlalu baik, malah. Dia adalah sosok berkulit putih, wajah agak bulat, lesung di pipi kiri, bibir merah sempurna yang tipis, rambut keriting, hidung mancung, disertai pemikiran yang sangat dewasa untuk lelaki seusianya.
Bintang adalah sahabat yang selalu ada untukku. Selalu bersedia meluangkan waktu meski kegiatannya sangat padat.

Aku bahagia mengenalnya. Pikiranku selalu dipenuhi bayangannya. Hatiku dibanjiri perasaan sayang padanya. Dan jiwaku, tak pernah dalam seharipun tak berteriak memanggil namanya. Aku berharap, dia yang kuanggap sebagai matahari di siangku dan bulan di malamku bisa selalu ada hingga waktu kami tiba. Namun, apa yang kulukiskan tampaknya tak disetujui Sang Pencipta untuk dijadikan kenyataan.
Bintang yang selama ini terlihat kuat ternyata mengidap sebuah penyakit. Penyakit yang dengan cepat memakan waktu hidupnya. Saat penyakitnya belum terlihat parah, ia tak pernah menceritakannya. Ridak padaku. Tidak pada ayah, bunda, dan adiknya. Kami menganggap Bintang hanya kelelahan. Kegiatan yang padat pastinya menguras tenaga, begitu pikir kami.
Semua berjalan apa adanya. Aku dan Bintang semakin dekat. Seperti ada rasa yang “lebih dari sahabat” .
Suatu kali, Bintang mengajakku mengahbiskan malam minggu bersama. Kami bercanda seperti biasa. Bercerita tentang beberapa momen yang terpaksa kami lewati tanpa kebersamaan. Kami terus berceloteh sampai akhirnya sama-sama diam karena bahan pembicaraan di otak tiba-tiba lenyap.

                “Putri?” ujar Bintang memecah keheningan.

                “Hm?”

                “Boleh aku tanya?” kalimatnya membuat hatiku terasa aneh. Aku mengangguk.

                “Berartikah aku dimatamu?” tanyanya penuh harap. Aku tersenyum.

                “Iya.” Jawabku. “Kau selalu berarti. Entah dari segi mana aku melihatmu.” Bintang tampak bahagia mendengarnya.

                “Satu lagi,” katanya. “Misal, suatu saat nanti akan tiba waktu kita jalani hidup sendiri-sendiri, bagaimana?”

Aku kaget. Tapi kucoba untuk menjawab.

                “Aku akan kuat,” ujarku. Berat sekali mengatakan itu. Bintang tersenyum lagi. Seolah dari senyum itu, ia merasakan sakit yang teramat sangat, namun berusaha ditahannya.

                “Putri yakin?”

                “Iya.” Jawabku mantap. “Kamu kenapa sih?” aku balik bertanya. Bintang tertawa.

                “Lupakan,” katanya sambil merangkulku. “Aku hanya bertanya,.... sayang,” bisiknya.

Bintang, kau selalu misterius. Menit ini kau buat aku menguras otak. Dan menit selanjutnya, kau buat aku terbang bersamamu.
Adakah itu memang sikapmu? Atau itukah caramu menyayangiku?

L L L

Aku sedang di luar ruangan saat Bintang mulai sadar dari pingsannya. Ketika aku kembali masuk, pemilik rambut keriting itu sedang melihat keluar jendela. Aku tersenyum. Sejenak menahan perih ini karena sahabatku yang selalu terlihat kuat, kini sedang terbaring tak berdaya.
Mendengar suara langkah kaku, Bintang menoleh. Cahaya matanya yang lemah semakin menambah perih ini.

                “Putri,” ucapnya lirih.

                “Aku disini,” kataku berusaha menggores senyum. “Jangan banyak gerak dulu, kamu masih demam,” lanjutku. Kugenggam tangannya. Bintang menghela nafas. Ditatapnya aku lekat-lekat. Namun tak bisa kupungkiri, tatapannya kali ini tak disertai cahaya yang biasa kulihat.

                “Maaf ya,” ucapnya. Berusaha menambah volume suaranya. Aku hanya tersenyum. Menahan airmata agar tak jatuh. “Seharusnya aku cerita dari awal,” lanjut Bintang. Dua butir airmata jatuh. Aku tak mampu menahannya. Melihatku menangis, Bintang jadi serba salah. Biasanya kalau aku begini, ia langsung menghapus airmataku dengan tangannya. Yah, tangannya. Kemudian merangkul dan memelukku. Namun kini tidak lagi. Bergerak sedikit saja dia membutuhkan banyak tenaga. Apalagi untuk menjangkau wajahku.

Aku sudah tau penyakit Bintang. Dokter sudah menjelaskan semuanya. Awalnya, aku tak percaya. Tapi melihat kondisi Bintang yang seperti ini, aku harus memaksa hatiku untuk percaya bahwa Bintang memang sakit, dan parah.

Ini sungguh berat. Tak hanya bagi Bintang, bagiku juga. Aku dihadapkan pada sosok tubuh yang biasa kulihat dengan kekuatan, dan sekarang terbaring lemah. Tanpa ayah, bunda, dan Melati, adiknya. Mereka sedang diluar kota. Dan disini hanya ada aku. AKU. Gadis kecil dengan sedikit pengetahuan dan kedewasaan.

Sementara di depan mataku ada banyak persimpangan disertai resiko dan kesenangannya masing-masing.
Aku mulai tersadar. Kalimat yang terlontar dari mulutku malam minggu itu harus kupertanggungjawabkan, mulai hari ini.

Ada sedikit penyesalan. Merasa bodoh karena terlalu yakin berucap tanpa mencermati resiko.
Tapi bangga. Artinya aku bisa sedikit lebih menegrti. Tak selamanya proposalku disetujui oleh Sang Pencipta.

                “Put...ri...” sangat lirih. Sangat. Aku nyaris tak mendengar. Bintang menghela nafas lagi. Mulutnya komat-kamit. Aku yang baru tersadar dari lamunan langsung panik.

                “Tidurlah Bintang, jangan dipaksakan,” kukecup dahinya. Panas. Menggigil. Kuselimuti dia. Bintang menagtupkan mata. Tersenyum, dengan perjuangan untuk tetap hidup.

Selamat bermimpi, Bintang. Cepat sembuh ya. Agar malamku kembali terang karena cahayamu.

Suasana mulai sepi. Dan akupun pulang. Dengan doa, mohon kesembuhan Bintang. Merangkai kisah kai, untuk  bersama seperti dulu lagi.

Aku keliru.

L L L

Pagi yang cerah ini, tepat satu tahun kepergian Bintang. Aku berlutut di samping nisannya. Rika yang menemaniku kali ini. Aku membawa sekeranjang bunga, dan selembar kertas HVS. Sepucuk surat yang entah keberapa, telah kutulis untuknya.
Kubersihkan daun-daun di atas makam Bintang. Berdoa dan menabur bunga. Aku meletakkan suratku diantara mahkota yang harum itu. Airmataku mulai mengalir. Namun bibirku dilintasi senyum.

                “Sudahlah Putri,” ucap Rika hati-hati. Tangannya memegang pundakku. Berusaha menguatkan. “Itu sudah lama berlalu,” lanjutnya. Aku menarik nafas.

                “Ya,” kataku. “Tangisku adalah bahagia.”

Rika memelukku.

Selamat pagi Bintang. Bagaimana kabarmu? Aku masih merindukanmu. Maaf ya. Sepertinya butuh banyak waktu untuk benar mengikhlaskanmu. Aku sedang berusaha, dengan segenap kekuatanku. Semoga aku mampu.

Kukecup nisannya.

Aku akan kuat Bintang. Aku berjanji.

Rabu, 17 Oktober 2012

Sekelebat Bayangan Terang


Angin berhembus sambil membawa aroma air yang seringkali kurindukan saat aku masih tinggal dalam sosok tubuh. Awan keabuan datang membayangi, seolah sedang menakut-nakuti siapapun yang melihat bayangannya. Tak selang lama, hujan pun turun begitu deras.

Aku mengusap jendela yang sangat berdebu dengan gaun putih panjangku. Tiang rumah baruku tampak tak terawat. Belukar melingkar di sana-sini, lumut hijau tua tumbuh dengan suburnya. Memang seram bagi bentuk-bentuk tubuh yang wajar. Tapi bagiku, itulah keindahan.

Petir menyambar-nyambar, kilat berkelebat cepat di langit kala kudengar suara langkah yang terburu-buru mencari tempat teduh.
Pasti sosok manusia, keluhku. Aku berjalan pelan menuju ruang tamu. Untung aku sudah tak memiliki saraf di sekujur bayangku. Kalau masih, pasti akan dingin berjalan di atas ubin yang basah karena atapnya bocor.
Aku mengeluh lagi. Manusia itu tak seorang diri. Mereka berdua. Dan yang lebih parah, satu laki-laki, satu perempuan!
Ingin rasanya aku menakut-nakuti mereka dengan wajahku yang tak karuan wujudnya. Tapi kutahan semua itu. Sisa-sisa kemanusiaanku masih ada. Tak mungkinlah aku mengusir dua manusia yang tak bersalah itu. Jadi aku hanya berdiri di samping jendela sambil mengawasi mereka.

Setelah berdiri cukup lama di terasku, mereka tampak ingin masuk. Mungkin tak kuat menahan terpaan angin. Aku buru-buru menyembunyikan bayangku. Tak ingin dua manusia itu melihatku.
Pintuku berderit ketika mereka membukanya. Aku bersimpuh di bawah tangga---masih sambil mengawasi mereka. Lagi-lagi aku mengeluh. Si laki-laki dengan sayangnya merangkul perempuan itu, dan si perempuan dengan manjanya bersandar pada bahu si lelaki. Mungkin ia memang lelah, aku berusaha berpikiran positif.
Entahlah, tiba-tiba aku ingin meminta maaf pada mereka karena tak mampu member tumpangan yang lebih layak. Hanya sebuah rumah tua berkesan seram, tak terawat, dengan belukar dan atap bocor di sana-sini.

Ketika mereka mulai terlelap, aku medekat. Kuamati wajah perempuan itu, lalu si lelaki. Aku tersentak. Dan bergegas menjauh dari mereka. Kelopak mataku mulai mengeluarkan darah. Tangan pucatku mengepal-ngepal. Mengutuki nasibku yang menyedihkan ini. Aku tak kuat lagi menahan lintasan masalaluku. Aku terduduk, pasrah, membiarkan bayangan menyakitkan itu kembali sebagai mimpi burukku.

L J L

Tahun lalu, aku adalah seorang gadis wajar, seperti yang lainnya, sedang mengalami cinta. Lelaki itu, Dean namanya. Sosok berperawakan sedang kulit sawo matang, hidung mancung, bibir yang memikat, dan rambut keriting. Tampan sekali. Aku menyayanginya, menganggapnya sebagai seorang terang dalam kegelapan yang akan menjadi masa depanku. Dean pun mengaku mencintaiku. Aku bersyukur, tak perlu bertingkah macam-macam untuk membuatnya mencintaiku.
Tau aku dan Dean tampak ber-HTS-ria, temanku Nessa memperingatkan agar aku tak membiarkan diri tenggelam terlalu dalam di lautan cinta palsunya Dean. Tapi aku tak peduli. Dean tulus kok, begitu pikirku.
Sehari berlalu setelah Dean berjanji akan menjadikanku belahan jiwanya. Sore itu, aku dipinta mama membeli beberapa novel untuk hadiah ulang tahun kakaku. Sebelum pulang, aku menyempatkan diri ke café. Disanalah sebuah peristiwa membuatku seperti ini. Gentayangan. Dengan dendam membara pada pemilik janji palsu itu.

Aku melihat Dean memasuki café yang sama denganku. Seperti biasanya, penampilannya selalu keren. Yang tidak biasa adalah sosok di sampingnya. Seorang wanita. Cantik, rambut panjang, kulit putih, dengan sepasang mata kucing bergelayut manja pada lengan kokoh Dean. Dan Dean tampaknya nyaman dengan sikap wanita itu. Spontan, sambil menahan amarah, aku mendatangi meja mereka, meminta kejelasan dari semua ini. Tanpa kuduga, Dean---yang katanya akan menaikkan jabatanku menjadi pacar itu---mengusirku. Mengaku tak pernah mengenalku. Mengatakan dengan bangga kalau wanita mata kucing itu adalah kekasihnya.

Seketika, cintaku meleleh. Aku berlari keluar sampa ke jalanan dengan deraian airmata. Rasa sakit yang teramat sangat kurasakan. Dingin malam tak lagi kupedulikan. Aku terus berlari. Tanpa melihat kanan-kiri aku menyebrangi jalan---yang katanya hatiku---sedang sepi. Aku masih terpukul atas kejadian barusan sampai terdengar suara mesin kendaraan besar dan sorotan lampu yang terang dengan kecepatan tinggi menuju ke arahku. Aku membuka mata, menoleh.

TERLAMBAT

Sebuah truk pengangkut kayu menabrakku setelah si sopir gagal mengerem laju kendaraan itu.
Aku terjatuh, bersimbah darah. Wajahku remuk. Kaki kiriku terlindas roda besar itu. Siku kananku patah. Nyawaku melayang, saat itu juga. Dendam yang membara membuat arwahku gentayangan. Sesaat setelah kematianku, seorang malaikat datang. Cahaya keperakannya yang indah membuatku teringat akan cahaya cinta palsunya Dean yang membunuhku. Malaikat itu memberiku sebentuk gaun putih panjang tanpa ornament yang sampai sekarang masih melekat pada bayang pucatku.

                “Sudah tibakah waktuku?” seruku dengan penuh harap padanya. Ia tersenyum. Senyum kesedihan, seolah ikut merasakan hancurnya hatiku. Ia tak menjawab. Hanya menunjuk arloji yang dikenakan jasadku. Aku dipeluknya dengan lengan dan sayapnya, lalu dia menghilang. Entah bagaimana nasib jasadku, tak kupikirkan. Mestinya ia telah menerima perlakuan seperti yang dialami korban kecelakaan lainnya.

Aku melayang dengan kostum baruku. Aku menoleh ketika melewati deretan etalase. Untuk pertama kalinya dalam sosok bayang pucat, aku mengeluh. Tak satupun kaca yang dapat menerjemahkan wajahku.
Ah, aku tinggal menunggu waktu, kata sisa hatiku menghibur.

Setahun sudah aku tinggal di rumah tua ini. Setahun yang lebih dari cukup bagiku untuk membiasakan diri menghuni tempat seperti ini. Setahun sudah aku menanti waktuku tiba. Setahun sudah aku berusaha mengobati rasa hancur ini.

Kuputuskan untuk menghampiri kedua manusia tadi. Mereka masih terlelap meski hujan telah reda. Aku tersenyum melihat mereka. Hatiku serasa dialiri kesejukan. Aku memaafkanmu Dean, aku memaafkanmu. Aku ikhlas jalanku seperti ini. Aku ikhlas hidupku berakhir tragis. Cintaku tak mewajibkanmu menjadi milikku, tapi cintaku mewajibkan kau untuk selalu bahagia, dengan siapapun itu.
Terimakasih Dean, telah membuatku belajar mengerti arti sesungguhnya mencintai.
Selamat tinggal Dean, baik-baiklah di dunia ini, dan bahagialah selalu. Agar di sana, di duniaku selanjutnya, aku bisa melihatmu sebagai bayangan terang dan bintangku.

Kupeluk kedua manusia itu, Dendamku telah sirna. Bayangan pucatku pecah, menghilang. Sebagai gantinya, seekor kupu-kupu putih terbang, menyongsong pelangi, jembatan menuju keabadian...

Sabtu, 06 Oktober 2012

Kekasih Matahari


Aku terbangun kala angin pagi menyapaku dengan sayapnya yang lembut.
Kupandang sekeliling. Daun-daunku sudah sibuk mencari nafas kehidupan dengan bantuan kekasihku, sang mentari.

Senyumku mengembang. Mahkotaku seolah memanggil-manggil kaisar siang, sang mentari nan gagah itu. Aku selalu menghabiskan waktu untuk mengagumi sumber cahaya itu. Entahlah, apa yang ada di dalam jiwaku, sehingga aku begitu yakin menganggap matahari sebagai kekasihku.

Sejenak, kebimbangan yang membayangi selama ini mulai datang. Kemarin seekor kupu-kupu terbang rendah di dekat daunku. Ia melihatku sedang mengagumi, lagi-lagi--sang raja siang itu. Ia tertawa.
"Bodoh!" katanya mengejek. "Sungguh malang kau, bunga matahari," lanjutnya. Aku kaget. Ternyata makhluk cantik itu mengenalku.
"Mengapa?" tanyaku. Aku benar tak mengerti maksutnya menertawaiku.
Bukannya menjawab, mantan ulat itu malah memanggil seekor lebah yang hinggap di kelopak tetanggaku, mawar.
"Apa?" tanya lebah berdengung-dengung.
"Lihatlah bunga malang ini," lebah itu mendekat, lalu memperhatikanku. Karena tak menemui sesuatu yang janggal di diriku, ia menatap kupu-kupu itu, penasaran.
"Bukan, bukan itu maksutku," jelasnya.
"Lalu?" si lebah kembali sibuk memperhatikanku.
"Ia memandang sang raja seolah sedang memandang kekasihnya."
Lebah tersentak sejenak, sebelum tertawa terpingkal-pingkal.
"Bodoh!" katanya terbang menjauh, diikuti kupu-kupu itu.
Aku makin tak mengerti.

Salahkah aku?
Salahkah aku memandang sosok indah di sana?
Salahkah aku mengaguminya, dia, yang entah kebetulan atau tidak namanya sama dengan namaku?
Salahkah aku mengaharapkannya? Mencintainya?

Deretan-deretan pertanyaan muncul, membuat cairan dalam tangkaiku seolah mendidih, meski rajawali sore telah membentangkan sayapnya di langit.
Deretan pertanyaan itu masih mengiringi nafasku, bahkan sampai bidadari malam terbang, sayap-sayap kegelapan mulai membayangi, mengajak makhluk-makhluk bernyawa di bumi untuk beristirahat.
Aku juga sudah lelah. Meski aku tak banyak bergerak hari ini. Hanya memandangi sang mentari, dan memunculkan deretan pertanyaan untuk mengaliri tangkaiku. Dan meski aku bukan manusia yang mengenal waktu dengan lebih baik, aku memutuskan untuk mulai mengatupkan mataku.
Aku terlelap, sesaat sebelum melihat sebuah peristiwa yang akan mengahancurkanku, mahkota, kelopak, tangkai, daun, bahkan akarku. Hingga pagi, atau mungkin siang ini, aku selalu melewatkan peristiwa itu, yang seharusnya memang tak kuketahui.


"Kau masih belum sadar juga rupanya," si cantik mawar membuyarkan lamunanku.Aku menoleh. Pasti ada hubungannya dengan penguasa siang itu, batinku.
"Kau terlalu mengharapkannya, mencintainya, atau apalah itu," pemilik mahkota merah tua itu melanjutkan kalimatnya.
"memang," sahutku bangga. "aku hanya mencintai matahariku. Lihatlah betapa gagahnya kaisar itu. Siang takkan berarti bila ia malas bertahta."
"Ya, ya," mawar mengiyakan. Entah tulus entah mengejek. "Dan itu hal terbodoh yang aku tahu. Dia matahari. Dan matahari itu kekasih sang ratu, bukan kau."
"Sang ratu?" aku melambaikan mahkota kuningku.
"Iya." mawar mengelus mahkotanya dengan daun geriginya. "Rembulan," ia melirikku. "Hanya itu kekasih matahari. Ia tak mungkin memacari sosok lain."
Aku tersentak. Serasa disambar petir di siang hari bolong.

Rembulan? Bagaimana mungkin? Bukankah mereka tak pernah bersama?

Aku menggertak, berusaha meyakinkan diri. Meski aku tau, sumber cahaya yang tampan itu tak pernah secara pribadi membalas sapaanku.

Aku masih berdebat dengan diriku sendiri hingga langit sore datang.
Baiklah, kata hatiku. Aku tak akan tidur malam ini. Akan kubuktikan ucapan-ucapan mereka.
Entahlah, sesungguhnya bodoh bila aku bersikeras membuktikannya. Karena itu hanya akan menghancurkanku. Tapi rasa penasaran ini benar tak dapat kutekan. Seberapa besar pun usahaku.

Detik-detik kehancuranku pun tiba. Aku melihat ketika sang mentari mulai turun, dan dengan gagahnya menggandeng rembulan yang tampak cantik. Bulan itu tersenyum, sembari mengibatkan bintang-bintang penghias malam.
Malam ini aku benar memandang saat-saat mereka bersama.
Dadaku mulai sesak. Aku mendapatkan jawaban dari deretan pertanyaanku selama ini.

Tangkaiku bergetar. Menahan terpaan angin yang tiba-tiba bertiup kencang dengan suhu entah berapa.
Kubiarkan daun-daunku layu. Kubiarkan mahkotaku jatuh. Mulai hari ini dan hari-hari berikutnya, aku bukanlah bunga matahari yang indah. Mahkotaku tak lagi berwarna kuning cerah, daunku tak lagi tersenyum lebar, tangkaiku tak lagi tegak. Bahkan akarku seolah tak mampu lagi mencari air dan zat hara dari rumah para pengurai. Harapanku pun sirna.

Angin Oktober yang bertiup sepoi-sepoi, sang mentari yang selalu kuanggap sebagai kekasihku, bentangan langit jingga, dan arak-arakan awan putih, adalah saksi hari terakhirku.
Aku tak lagi dikagumi manusia. Kini aku hanyalah setangkai bunga matahari yang patah di suasana senja...