Bolehkah aku
merindukanmu, bintang?
Malam tampak begitu
sepi tanpamu. Lihatlah bentangan langit hitam kebiruan itu. Tak sepotongpun
terlihat indah tanpa cahayamu. Aku merasa gila. Sejak cahayamu mulai redup, dan
akhirnya, pada suatu hari,tanpa ledakan dahsyat, kau menghilang, entah kemana.
Ingatkah kau saat kita
bersama? Saat waktu member kita kesempatan untuk berbagi dalam suka dan duka.
Ingatkah kau saat kita bersama? Saat tanganmu denagn lembut mengusap airmata
yang keluar sebagai ungkapan emosiku. Sedih, senang, marah, semuanya.
Ingatkah kau saat kita bersama? Saat kau denagn begitu dewasa merangkul dan
memelukku. Memberiku rasa aman, tenang, damai.
Aku selalu
merindukanmu. Kau, dan sekian banyak hal yang bisa kau lakuka. Maka jangan heran
kalau akutak pernah siap untuk kehilanganmu. Namun karena kehendak sang kaisar
waktu, denagn sekian keterpaksaan aku harus menetapka hati ini. Berusaha
menemukan bintang selain dirimu. Berusaha mencari titik terang yang rasanya tak
pernah kulihat sejak kepergianmu.
Maafkan aku bintang.
Maafkan aku yang tak pernah bisa menepis keindahanmu, meski kau telah tiada.
Telah berjalan jauh, menuju dunia yang berbeda dengan duniaku.
:”)
Kutinggalkan begitu saja selembar kertas HVS itu. Entah,
sudah berapa surat yang kutulis pada Bintang. Tak satupun dibalasnya. Yah, aku
tahu, dia sudah tak mampu menulis. Kalaupun masih, selum tentu pancainderaku
bisa menerjemahkan bahasa dan tulisannya. Namun aku selalu berharap, sesuatu
dilakukannya untuk membalas suratku. Seperti kali ini.
L L L
Beberapa bulan lalu, duniaku begitu sempurna karena
kehadiran Bintang, sahabatku. Sebagai lelaki, Bintang adalah sahabat yang baik,
terlalu baik, malah. Dia adalah sosok berkulit putih, wajah agak bulat, lesung
di pipi kiri, bibir merah sempurna yang tipis, rambut keriting, hidung mancung,
disertai pemikiran yang sangat dewasa untuk lelaki seusianya.
Bintang adalah sahabat yang selalu ada untukku. Selalu bersedia meluangkan
waktu meski kegiatannya sangat padat.
Aku bahagia mengenalnya. Pikiranku selalu dipenuhi
bayangannya. Hatiku dibanjiri perasaan sayang padanya. Dan jiwaku, tak pernah
dalam seharipun tak berteriak memanggil namanya. Aku berharap, dia yang
kuanggap sebagai matahari di siangku dan bulan di malamku bisa selalu ada hingga
waktu kami tiba. Namun, apa yang kulukiskan tampaknya tak disetujui Sang
Pencipta untuk dijadikan kenyataan.
Bintang yang selama ini terlihat kuat ternyata mengidap
sebuah penyakit. Penyakit yang dengan cepat memakan waktu hidupnya. Saat
penyakitnya belum terlihat parah, ia tak pernah menceritakannya. Ridak padaku.
Tidak pada ayah, bunda, dan adiknya. Kami menganggap Bintang hanya kelelahan.
Kegiatan yang padat pastinya menguras tenaga, begitu pikir kami.
Semua berjalan apa adanya. Aku dan Bintang semakin dekat. Seperti ada rasa yang
“lebih dari sahabat” .
Suatu kali, Bintang mengajakku mengahbiskan malam minggu
bersama. Kami bercanda seperti biasa. Bercerita tentang beberapa momen yang
terpaksa kami lewati tanpa kebersamaan. Kami terus berceloteh sampai akhirnya
sama-sama diam karena bahan pembicaraan di otak tiba-tiba lenyap.
“Putri?”
ujar Bintang memecah keheningan.
“Hm?”
“Boleh
aku tanya?” kalimatnya membuat hatiku terasa aneh. Aku mengangguk.
“Berartikah
aku dimatamu?” tanyanya penuh harap. Aku tersenyum.
“Iya.”
Jawabku. “Kau selalu berarti. Entah dari segi mana aku melihatmu.” Bintang
tampak bahagia mendengarnya.
“Satu
lagi,” katanya. “Misal, suatu saat nanti akan tiba waktu kita jalani hidup
sendiri-sendiri, bagaimana?”
Aku kaget. Tapi kucoba untuk menjawab.
“Aku
akan kuat,” ujarku. Berat sekali mengatakan itu. Bintang tersenyum lagi. Seolah
dari senyum itu, ia merasakan sakit yang teramat sangat, namun berusaha
ditahannya.
“Putri yakin?”
“Iya.” Jawabku
mantap. “Kamu kenapa sih?” aku balik bertanya. Bintang tertawa.
“Lupakan,”
katanya sambil merangkulku. “Aku hanya bertanya,.... sayang,” bisiknya.
Bintang, kau selalu
misterius. Menit ini kau buat aku menguras otak. Dan menit selanjutnya, kau
buat aku terbang bersamamu.
Adakah itu memang sikapmu? Atau itukah caramu menyayangiku?
L L L
Aku sedang di luar ruangan saat Bintang mulai sadar dari
pingsannya. Ketika aku kembali masuk, pemilik rambut keriting itu sedang
melihat keluar jendela. Aku tersenyum. Sejenak menahan perih ini karena
sahabatku yang selalu terlihat kuat, kini sedang terbaring tak berdaya.
Mendengar suara langkah kaku, Bintang menoleh. Cahaya matanya yang lemah semakin
menambah perih ini.
“Putri,”
ucapnya lirih.
“Aku
disini,” kataku berusaha menggores senyum. “Jangan banyak gerak dulu, kamu
masih demam,” lanjutku. Kugenggam tangannya. Bintang menghela nafas. Ditatapnya
aku lekat-lekat. Namun tak bisa kupungkiri, tatapannya kali ini tak disertai
cahaya yang biasa kulihat.
“Maaf
ya,” ucapnya. Berusaha menambah volume suaranya. Aku hanya tersenyum. Menahan
airmata agar tak jatuh. “Seharusnya
aku cerita dari awal,” lanjut Bintang. Dua butir airmata jatuh. Aku tak mampu
menahannya. Melihatku menangis, Bintang jadi serba salah. Biasanya kalau aku
begini, ia langsung menghapus airmataku dengan tangannya. Yah, tangannya.
Kemudian merangkul dan memelukku. Namun kini tidak lagi. Bergerak sedikit saja
dia membutuhkan banyak tenaga. Apalagi untuk menjangkau wajahku.
Aku sudah tau penyakit Bintang. Dokter sudah menjelaskan
semuanya. Awalnya, aku tak percaya. Tapi melihat kondisi Bintang yang seperti
ini, aku harus memaksa hatiku untuk percaya bahwa Bintang memang sakit, dan
parah.
Ini sungguh berat. Tak hanya bagi Bintang, bagiku juga. Aku
dihadapkan pada sosok tubuh yang biasa kulihat dengan kekuatan, dan sekarang
terbaring lemah. Tanpa ayah, bunda, dan Melati, adiknya. Mereka sedang diluar
kota. Dan disini hanya ada aku. AKU. Gadis kecil dengan sedikit pengetahuan dan
kedewasaan.
Sementara di depan mataku ada banyak persimpangan disertai resiko dan
kesenangannya masing-masing.
Aku mulai tersadar. Kalimat yang terlontar dari mulutku
malam minggu itu harus kupertanggungjawabkan, mulai hari ini.
Ada sedikit penyesalan. Merasa bodoh karena terlalu yakin berucap tanpa
mencermati resiko.
Tapi bangga. Artinya aku bisa sedikit lebih menegrti. Tak selamanya proposalku
disetujui oleh Sang Pencipta.
“Put...ri...”
sangat lirih. Sangat. Aku nyaris tak mendengar. Bintang menghela nafas lagi.
Mulutnya komat-kamit. Aku yang baru tersadar dari lamunan langsung panik.
“Tidurlah Bintang,
jangan dipaksakan,” kukecup dahinya. Panas. Menggigil. Kuselimuti dia. Bintang
menagtupkan mata. Tersenyum, dengan perjuangan untuk tetap hidup.
Selamat bermimpi,
Bintang. Cepat sembuh ya. Agar malamku kembali terang karena cahayamu.
Suasana mulai sepi. Dan akupun pulang. Dengan doa, mohon
kesembuhan Bintang. Merangkai kisah kai, untuk
bersama seperti dulu lagi.
Aku keliru.
L L L
Pagi yang cerah ini, tepat satu tahun kepergian Bintang. Aku
berlutut di samping nisannya. Rika yang menemaniku kali ini. Aku membawa
sekeranjang bunga, dan selembar kertas HVS. Sepucuk surat yang entah keberapa,
telah kutulis untuknya.
Kubersihkan daun-daun di atas makam Bintang. Berdoa dan
menabur bunga. Aku meletakkan suratku diantara mahkota yang harum itu.
Airmataku mulai mengalir. Namun bibirku dilintasi senyum.
“Sudahlah
Putri,” ucap Rika hati-hati. Tangannya memegang pundakku. Berusaha menguatkan. “Itu
sudah lama berlalu,” lanjutnya. Aku menarik nafas.
“Ya,”
kataku. “Tangisku adalah bahagia.”
Rika memelukku.
Selamat pagi Bintang.
Bagaimana kabarmu? Aku masih merindukanmu. Maaf ya. Sepertinya butuh banyak
waktu untuk benar mengikhlaskanmu. Aku sedang berusaha, dengan segenap
kekuatanku. Semoga aku mampu.
Kukecup nisannya.
Aku akan kuat Bintang.
Aku berjanji.