Angin berhembus sambil membawa aroma air yang seringkali
kurindukan saat aku masih tinggal dalam sosok tubuh. Awan keabuan datang
membayangi, seolah sedang menakut-nakuti siapapun yang melihat bayangannya. Tak
selang lama, hujan pun turun begitu deras.
Aku mengusap jendela yang sangat berdebu dengan gaun putih
panjangku. Tiang rumah baruku tampak tak terawat. Belukar melingkar di
sana-sini, lumut hijau tua tumbuh dengan suburnya. Memang seram bagi
bentuk-bentuk tubuh yang wajar. Tapi bagiku, itulah keindahan.
Petir menyambar-nyambar, kilat berkelebat cepat di langit
kala kudengar suara langkah yang terburu-buru mencari tempat teduh.
Pasti sosok manusia, keluhku. Aku berjalan pelan menuju ruang tamu. Untung aku
sudah tak memiliki saraf di sekujur bayangku. Kalau masih, pasti akan dingin
berjalan di atas ubin yang basah karena atapnya bocor.
Aku mengeluh lagi. Manusia itu tak seorang diri. Mereka
berdua. Dan yang lebih parah, satu laki-laki, satu perempuan!
Ingin rasanya aku menakut-nakuti mereka dengan wajahku yang tak karuan
wujudnya. Tapi kutahan semua itu. Sisa-sisa kemanusiaanku masih ada. Tak
mungkinlah aku mengusir dua manusia yang tak bersalah itu. Jadi aku hanya
berdiri di samping jendela sambil mengawasi mereka.
Setelah berdiri cukup lama di terasku, mereka tampak ingin
masuk. Mungkin tak kuat menahan terpaan angin. Aku buru-buru menyembunyikan
bayangku. Tak ingin dua manusia itu melihatku.
Pintuku berderit ketika mereka membukanya. Aku bersimpuh di bawah
tangga---masih sambil mengawasi mereka. Lagi-lagi aku mengeluh. Si laki-laki
dengan sayangnya merangkul perempuan itu, dan si perempuan dengan manjanya
bersandar pada bahu si lelaki. Mungkin ia memang lelah, aku berusaha berpikiran
positif.
Entahlah, tiba-tiba aku ingin meminta maaf pada mereka
karena tak mampu member tumpangan yang lebih layak. Hanya sebuah rumah tua
berkesan seram, tak terawat, dengan belukar dan atap bocor di sana-sini.
Ketika mereka mulai terlelap, aku medekat. Kuamati wajah
perempuan itu, lalu si lelaki. Aku tersentak. Dan bergegas menjauh dari mereka.
Kelopak mataku mulai mengeluarkan darah. Tangan pucatku mengepal-ngepal.
Mengutuki nasibku yang menyedihkan ini. Aku tak kuat lagi menahan lintasan
masalaluku. Aku terduduk, pasrah, membiarkan bayangan menyakitkan itu kembali
sebagai mimpi burukku.
L J L
Tahun lalu, aku adalah seorang gadis wajar, seperti yang
lainnya, sedang mengalami cinta. Lelaki itu, Dean namanya. Sosok berperawakan
sedang kulit sawo matang, hidung mancung, bibir yang memikat, dan rambut
keriting. Tampan sekali. Aku menyayanginya, menganggapnya sebagai seorang terang
dalam kegelapan yang akan menjadi masa depanku. Dean pun mengaku mencintaiku.
Aku bersyukur, tak perlu bertingkah macam-macam untuk membuatnya mencintaiku.
Tau aku dan Dean tampak ber-HTS-ria, temanku Nessa memperingatkan agar aku tak
membiarkan diri tenggelam terlalu dalam di lautan cinta palsunya Dean. Tapi aku
tak peduli. Dean tulus kok, begitu pikirku.
Sehari berlalu setelah Dean berjanji akan menjadikanku
belahan jiwanya. Sore itu, aku dipinta mama membeli beberapa novel untuk hadiah
ulang tahun kakaku. Sebelum pulang, aku menyempatkan diri ke café. Disanalah
sebuah peristiwa membuatku seperti ini. Gentayangan. Dengan dendam membara pada
pemilik janji palsu itu.
Aku melihat Dean memasuki café yang sama denganku. Seperti
biasanya, penampilannya selalu keren. Yang tidak biasa adalah sosok di
sampingnya. Seorang wanita. Cantik, rambut panjang, kulit putih, dengan
sepasang mata kucing bergelayut manja pada lengan kokoh Dean. Dan Dean
tampaknya nyaman dengan sikap wanita itu. Spontan, sambil menahan amarah, aku
mendatangi meja mereka, meminta kejelasan dari semua ini. Tanpa kuduga,
Dean---yang katanya akan menaikkan jabatanku menjadi pacar itu---mengusirku.
Mengaku tak pernah mengenalku. Mengatakan dengan bangga kalau wanita mata
kucing itu adalah kekasihnya.
Seketika, cintaku meleleh. Aku berlari keluar sampa ke
jalanan dengan deraian airmata. Rasa sakit yang teramat sangat kurasakan.
Dingin malam tak lagi kupedulikan. Aku terus berlari. Tanpa melihat kanan-kiri
aku menyebrangi jalan---yang katanya hatiku---sedang sepi. Aku masih terpukul
atas kejadian barusan sampai terdengar suara mesin kendaraan besar dan sorotan
lampu yang terang dengan kecepatan tinggi menuju ke arahku. Aku membuka mata, menoleh.
TERLAMBAT
Sebuah truk pengangkut kayu menabrakku setelah si sopir
gagal mengerem laju kendaraan itu.
Aku terjatuh, bersimbah darah. Wajahku remuk. Kaki kiriku terlindas roda besar
itu. Siku kananku patah. Nyawaku melayang, saat itu juga. Dendam yang membara
membuat arwahku gentayangan. Sesaat setelah kematianku, seorang malaikat datang.
Cahaya keperakannya yang indah membuatku teringat akan cahaya cinta palsunya
Dean yang membunuhku. Malaikat itu memberiku sebentuk gaun putih panjang tanpa ornament
yang sampai sekarang masih melekat pada bayang pucatku.
“Sudah
tibakah waktuku?” seruku dengan penuh harap padanya. Ia tersenyum. Senyum
kesedihan, seolah ikut merasakan hancurnya hatiku. Ia tak menjawab. Hanya
menunjuk arloji yang dikenakan jasadku. Aku dipeluknya dengan lengan dan
sayapnya, lalu dia menghilang. Entah bagaimana nasib jasadku, tak kupikirkan.
Mestinya ia telah menerima perlakuan seperti yang dialami korban kecelakaan
lainnya.
Aku melayang dengan kostum baruku. Aku menoleh ketika
melewati deretan etalase. Untuk pertama kalinya dalam sosok bayang pucat, aku
mengeluh. Tak satupun kaca yang dapat menerjemahkan wajahku.
Ah, aku tinggal menunggu waktu, kata sisa hatiku menghibur.
Setahun sudah aku tinggal di rumah tua ini. Setahun yang
lebih dari cukup bagiku untuk membiasakan diri menghuni tempat seperti ini.
Setahun sudah aku menanti waktuku tiba. Setahun sudah aku berusaha mengobati
rasa hancur ini.
Kuputuskan untuk menghampiri kedua manusia tadi. Mereka
masih terlelap meski hujan telah reda. Aku tersenyum melihat mereka. Hatiku
serasa dialiri kesejukan. Aku memaafkanmu Dean, aku memaafkanmu. Aku ikhlas
jalanku seperti ini. Aku ikhlas hidupku berakhir tragis. Cintaku tak
mewajibkanmu menjadi milikku, tapi cintaku mewajibkan kau untuk selalu bahagia,
dengan siapapun itu.
Terimakasih Dean, telah membuatku belajar mengerti arti sesungguhnya mencintai.
Selamat tinggal Dean, baik-baiklah di dunia ini, dan bahagialah selalu. Agar di
sana, di duniaku selanjutnya, aku bisa melihatmu sebagai bayangan terang dan
bintangku.
Kupeluk kedua manusia itu, Dendamku telah sirna. Bayangan
pucatku pecah, menghilang. Sebagai gantinya, seekor kupu-kupu putih terbang,
menyongsong pelangi, jembatan menuju keabadian...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar