Rabu, 17 Oktober 2012

Sekelebat Bayangan Terang


Angin berhembus sambil membawa aroma air yang seringkali kurindukan saat aku masih tinggal dalam sosok tubuh. Awan keabuan datang membayangi, seolah sedang menakut-nakuti siapapun yang melihat bayangannya. Tak selang lama, hujan pun turun begitu deras.

Aku mengusap jendela yang sangat berdebu dengan gaun putih panjangku. Tiang rumah baruku tampak tak terawat. Belukar melingkar di sana-sini, lumut hijau tua tumbuh dengan suburnya. Memang seram bagi bentuk-bentuk tubuh yang wajar. Tapi bagiku, itulah keindahan.

Petir menyambar-nyambar, kilat berkelebat cepat di langit kala kudengar suara langkah yang terburu-buru mencari tempat teduh.
Pasti sosok manusia, keluhku. Aku berjalan pelan menuju ruang tamu. Untung aku sudah tak memiliki saraf di sekujur bayangku. Kalau masih, pasti akan dingin berjalan di atas ubin yang basah karena atapnya bocor.
Aku mengeluh lagi. Manusia itu tak seorang diri. Mereka berdua. Dan yang lebih parah, satu laki-laki, satu perempuan!
Ingin rasanya aku menakut-nakuti mereka dengan wajahku yang tak karuan wujudnya. Tapi kutahan semua itu. Sisa-sisa kemanusiaanku masih ada. Tak mungkinlah aku mengusir dua manusia yang tak bersalah itu. Jadi aku hanya berdiri di samping jendela sambil mengawasi mereka.

Setelah berdiri cukup lama di terasku, mereka tampak ingin masuk. Mungkin tak kuat menahan terpaan angin. Aku buru-buru menyembunyikan bayangku. Tak ingin dua manusia itu melihatku.
Pintuku berderit ketika mereka membukanya. Aku bersimpuh di bawah tangga---masih sambil mengawasi mereka. Lagi-lagi aku mengeluh. Si laki-laki dengan sayangnya merangkul perempuan itu, dan si perempuan dengan manjanya bersandar pada bahu si lelaki. Mungkin ia memang lelah, aku berusaha berpikiran positif.
Entahlah, tiba-tiba aku ingin meminta maaf pada mereka karena tak mampu member tumpangan yang lebih layak. Hanya sebuah rumah tua berkesan seram, tak terawat, dengan belukar dan atap bocor di sana-sini.

Ketika mereka mulai terlelap, aku medekat. Kuamati wajah perempuan itu, lalu si lelaki. Aku tersentak. Dan bergegas menjauh dari mereka. Kelopak mataku mulai mengeluarkan darah. Tangan pucatku mengepal-ngepal. Mengutuki nasibku yang menyedihkan ini. Aku tak kuat lagi menahan lintasan masalaluku. Aku terduduk, pasrah, membiarkan bayangan menyakitkan itu kembali sebagai mimpi burukku.

L J L

Tahun lalu, aku adalah seorang gadis wajar, seperti yang lainnya, sedang mengalami cinta. Lelaki itu, Dean namanya. Sosok berperawakan sedang kulit sawo matang, hidung mancung, bibir yang memikat, dan rambut keriting. Tampan sekali. Aku menyayanginya, menganggapnya sebagai seorang terang dalam kegelapan yang akan menjadi masa depanku. Dean pun mengaku mencintaiku. Aku bersyukur, tak perlu bertingkah macam-macam untuk membuatnya mencintaiku.
Tau aku dan Dean tampak ber-HTS-ria, temanku Nessa memperingatkan agar aku tak membiarkan diri tenggelam terlalu dalam di lautan cinta palsunya Dean. Tapi aku tak peduli. Dean tulus kok, begitu pikirku.
Sehari berlalu setelah Dean berjanji akan menjadikanku belahan jiwanya. Sore itu, aku dipinta mama membeli beberapa novel untuk hadiah ulang tahun kakaku. Sebelum pulang, aku menyempatkan diri ke café. Disanalah sebuah peristiwa membuatku seperti ini. Gentayangan. Dengan dendam membara pada pemilik janji palsu itu.

Aku melihat Dean memasuki café yang sama denganku. Seperti biasanya, penampilannya selalu keren. Yang tidak biasa adalah sosok di sampingnya. Seorang wanita. Cantik, rambut panjang, kulit putih, dengan sepasang mata kucing bergelayut manja pada lengan kokoh Dean. Dan Dean tampaknya nyaman dengan sikap wanita itu. Spontan, sambil menahan amarah, aku mendatangi meja mereka, meminta kejelasan dari semua ini. Tanpa kuduga, Dean---yang katanya akan menaikkan jabatanku menjadi pacar itu---mengusirku. Mengaku tak pernah mengenalku. Mengatakan dengan bangga kalau wanita mata kucing itu adalah kekasihnya.

Seketika, cintaku meleleh. Aku berlari keluar sampa ke jalanan dengan deraian airmata. Rasa sakit yang teramat sangat kurasakan. Dingin malam tak lagi kupedulikan. Aku terus berlari. Tanpa melihat kanan-kiri aku menyebrangi jalan---yang katanya hatiku---sedang sepi. Aku masih terpukul atas kejadian barusan sampai terdengar suara mesin kendaraan besar dan sorotan lampu yang terang dengan kecepatan tinggi menuju ke arahku. Aku membuka mata, menoleh.

TERLAMBAT

Sebuah truk pengangkut kayu menabrakku setelah si sopir gagal mengerem laju kendaraan itu.
Aku terjatuh, bersimbah darah. Wajahku remuk. Kaki kiriku terlindas roda besar itu. Siku kananku patah. Nyawaku melayang, saat itu juga. Dendam yang membara membuat arwahku gentayangan. Sesaat setelah kematianku, seorang malaikat datang. Cahaya keperakannya yang indah membuatku teringat akan cahaya cinta palsunya Dean yang membunuhku. Malaikat itu memberiku sebentuk gaun putih panjang tanpa ornament yang sampai sekarang masih melekat pada bayang pucatku.

                “Sudah tibakah waktuku?” seruku dengan penuh harap padanya. Ia tersenyum. Senyum kesedihan, seolah ikut merasakan hancurnya hatiku. Ia tak menjawab. Hanya menunjuk arloji yang dikenakan jasadku. Aku dipeluknya dengan lengan dan sayapnya, lalu dia menghilang. Entah bagaimana nasib jasadku, tak kupikirkan. Mestinya ia telah menerima perlakuan seperti yang dialami korban kecelakaan lainnya.

Aku melayang dengan kostum baruku. Aku menoleh ketika melewati deretan etalase. Untuk pertama kalinya dalam sosok bayang pucat, aku mengeluh. Tak satupun kaca yang dapat menerjemahkan wajahku.
Ah, aku tinggal menunggu waktu, kata sisa hatiku menghibur.

Setahun sudah aku tinggal di rumah tua ini. Setahun yang lebih dari cukup bagiku untuk membiasakan diri menghuni tempat seperti ini. Setahun sudah aku menanti waktuku tiba. Setahun sudah aku berusaha mengobati rasa hancur ini.

Kuputuskan untuk menghampiri kedua manusia tadi. Mereka masih terlelap meski hujan telah reda. Aku tersenyum melihat mereka. Hatiku serasa dialiri kesejukan. Aku memaafkanmu Dean, aku memaafkanmu. Aku ikhlas jalanku seperti ini. Aku ikhlas hidupku berakhir tragis. Cintaku tak mewajibkanmu menjadi milikku, tapi cintaku mewajibkan kau untuk selalu bahagia, dengan siapapun itu.
Terimakasih Dean, telah membuatku belajar mengerti arti sesungguhnya mencintai.
Selamat tinggal Dean, baik-baiklah di dunia ini, dan bahagialah selalu. Agar di sana, di duniaku selanjutnya, aku bisa melihatmu sebagai bayangan terang dan bintangku.

Kupeluk kedua manusia itu, Dendamku telah sirna. Bayangan pucatku pecah, menghilang. Sebagai gantinya, seekor kupu-kupu putih terbang, menyongsong pelangi, jembatan menuju keabadian...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar