Sabtu, 06 Oktober 2012

Kekasih Matahari


Aku terbangun kala angin pagi menyapaku dengan sayapnya yang lembut.
Kupandang sekeliling. Daun-daunku sudah sibuk mencari nafas kehidupan dengan bantuan kekasihku, sang mentari.

Senyumku mengembang. Mahkotaku seolah memanggil-manggil kaisar siang, sang mentari nan gagah itu. Aku selalu menghabiskan waktu untuk mengagumi sumber cahaya itu. Entahlah, apa yang ada di dalam jiwaku, sehingga aku begitu yakin menganggap matahari sebagai kekasihku.

Sejenak, kebimbangan yang membayangi selama ini mulai datang. Kemarin seekor kupu-kupu terbang rendah di dekat daunku. Ia melihatku sedang mengagumi, lagi-lagi--sang raja siang itu. Ia tertawa.
"Bodoh!" katanya mengejek. "Sungguh malang kau, bunga matahari," lanjutnya. Aku kaget. Ternyata makhluk cantik itu mengenalku.
"Mengapa?" tanyaku. Aku benar tak mengerti maksutnya menertawaiku.
Bukannya menjawab, mantan ulat itu malah memanggil seekor lebah yang hinggap di kelopak tetanggaku, mawar.
"Apa?" tanya lebah berdengung-dengung.
"Lihatlah bunga malang ini," lebah itu mendekat, lalu memperhatikanku. Karena tak menemui sesuatu yang janggal di diriku, ia menatap kupu-kupu itu, penasaran.
"Bukan, bukan itu maksutku," jelasnya.
"Lalu?" si lebah kembali sibuk memperhatikanku.
"Ia memandang sang raja seolah sedang memandang kekasihnya."
Lebah tersentak sejenak, sebelum tertawa terpingkal-pingkal.
"Bodoh!" katanya terbang menjauh, diikuti kupu-kupu itu.
Aku makin tak mengerti.

Salahkah aku?
Salahkah aku memandang sosok indah di sana?
Salahkah aku mengaguminya, dia, yang entah kebetulan atau tidak namanya sama dengan namaku?
Salahkah aku mengaharapkannya? Mencintainya?

Deretan-deretan pertanyaan muncul, membuat cairan dalam tangkaiku seolah mendidih, meski rajawali sore telah membentangkan sayapnya di langit.
Deretan pertanyaan itu masih mengiringi nafasku, bahkan sampai bidadari malam terbang, sayap-sayap kegelapan mulai membayangi, mengajak makhluk-makhluk bernyawa di bumi untuk beristirahat.
Aku juga sudah lelah. Meski aku tak banyak bergerak hari ini. Hanya memandangi sang mentari, dan memunculkan deretan pertanyaan untuk mengaliri tangkaiku. Dan meski aku bukan manusia yang mengenal waktu dengan lebih baik, aku memutuskan untuk mulai mengatupkan mataku.
Aku terlelap, sesaat sebelum melihat sebuah peristiwa yang akan mengahancurkanku, mahkota, kelopak, tangkai, daun, bahkan akarku. Hingga pagi, atau mungkin siang ini, aku selalu melewatkan peristiwa itu, yang seharusnya memang tak kuketahui.


"Kau masih belum sadar juga rupanya," si cantik mawar membuyarkan lamunanku.Aku menoleh. Pasti ada hubungannya dengan penguasa siang itu, batinku.
"Kau terlalu mengharapkannya, mencintainya, atau apalah itu," pemilik mahkota merah tua itu melanjutkan kalimatnya.
"memang," sahutku bangga. "aku hanya mencintai matahariku. Lihatlah betapa gagahnya kaisar itu. Siang takkan berarti bila ia malas bertahta."
"Ya, ya," mawar mengiyakan. Entah tulus entah mengejek. "Dan itu hal terbodoh yang aku tahu. Dia matahari. Dan matahari itu kekasih sang ratu, bukan kau."
"Sang ratu?" aku melambaikan mahkota kuningku.
"Iya." mawar mengelus mahkotanya dengan daun geriginya. "Rembulan," ia melirikku. "Hanya itu kekasih matahari. Ia tak mungkin memacari sosok lain."
Aku tersentak. Serasa disambar petir di siang hari bolong.

Rembulan? Bagaimana mungkin? Bukankah mereka tak pernah bersama?

Aku menggertak, berusaha meyakinkan diri. Meski aku tau, sumber cahaya yang tampan itu tak pernah secara pribadi membalas sapaanku.

Aku masih berdebat dengan diriku sendiri hingga langit sore datang.
Baiklah, kata hatiku. Aku tak akan tidur malam ini. Akan kubuktikan ucapan-ucapan mereka.
Entahlah, sesungguhnya bodoh bila aku bersikeras membuktikannya. Karena itu hanya akan menghancurkanku. Tapi rasa penasaran ini benar tak dapat kutekan. Seberapa besar pun usahaku.

Detik-detik kehancuranku pun tiba. Aku melihat ketika sang mentari mulai turun, dan dengan gagahnya menggandeng rembulan yang tampak cantik. Bulan itu tersenyum, sembari mengibatkan bintang-bintang penghias malam.
Malam ini aku benar memandang saat-saat mereka bersama.
Dadaku mulai sesak. Aku mendapatkan jawaban dari deretan pertanyaanku selama ini.

Tangkaiku bergetar. Menahan terpaan angin yang tiba-tiba bertiup kencang dengan suhu entah berapa.
Kubiarkan daun-daunku layu. Kubiarkan mahkotaku jatuh. Mulai hari ini dan hari-hari berikutnya, aku bukanlah bunga matahari yang indah. Mahkotaku tak lagi berwarna kuning cerah, daunku tak lagi tersenyum lebar, tangkaiku tak lagi tegak. Bahkan akarku seolah tak mampu lagi mencari air dan zat hara dari rumah para pengurai. Harapanku pun sirna.

Angin Oktober yang bertiup sepoi-sepoi, sang mentari yang selalu kuanggap sebagai kekasihku, bentangan langit jingga, dan arak-arakan awan putih, adalah saksi hari terakhirku.
Aku tak lagi dikagumi manusia. Kini aku hanyalah setangkai bunga matahari yang patah di suasana senja...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar