Aku terbangun kala angin
pagi menyapaku dengan sayapnya yang lembut.
Kupandang sekeliling.
Daun-daunku sudah sibuk mencari nafas kehidupan dengan bantuan kekasihku, sang
mentari.
Senyumku mengembang.
Mahkotaku seolah memanggil-manggil kaisar siang, sang mentari nan gagah itu.
Aku selalu menghabiskan waktu untuk mengagumi sumber cahaya itu. Entahlah, apa
yang ada di dalam jiwaku, sehingga aku begitu yakin menganggap matahari sebagai
kekasihku.
Sejenak, kebimbangan yang
membayangi selama ini mulai datang. Kemarin seekor kupu-kupu terbang rendah di
dekat daunku. Ia melihatku sedang mengagumi, lagi-lagi--sang raja siang itu. Ia
tertawa.
"Bodoh!" katanya
mengejek. "Sungguh malang kau, bunga matahari," lanjutnya. Aku kaget.
Ternyata makhluk cantik itu mengenalku.
"Mengapa?"
tanyaku. Aku benar tak mengerti maksutnya menertawaiku.
Bukannya menjawab, mantan
ulat itu malah memanggil seekor lebah yang hinggap di kelopak tetanggaku,
mawar.
"Apa?" tanya lebah
berdengung-dengung.
"Lihatlah bunga malang
ini," lebah itu mendekat, lalu memperhatikanku. Karena tak menemui sesuatu
yang janggal di diriku, ia menatap kupu-kupu itu, penasaran.
"Bukan, bukan itu
maksutku," jelasnya.
"Lalu?" si lebah
kembali sibuk memperhatikanku.
"Ia memandang sang raja
seolah sedang memandang kekasihnya."
Lebah tersentak sejenak,
sebelum tertawa terpingkal-pingkal.
"Bodoh!" katanya
terbang menjauh, diikuti kupu-kupu itu.
Aku makin tak mengerti.
Salahkah aku?
Salahkah aku memandang sosok
indah di sana?
Salahkah aku mengaguminya,
dia, yang entah kebetulan atau tidak namanya sama dengan namaku?
Salahkah aku
mengaharapkannya? Mencintainya?
Deretan-deretan pertanyaan
muncul, membuat cairan dalam tangkaiku seolah mendidih, meski rajawali sore
telah membentangkan sayapnya di langit.
Deretan pertanyaan itu masih
mengiringi nafasku, bahkan sampai bidadari malam terbang, sayap-sayap kegelapan
mulai membayangi, mengajak makhluk-makhluk bernyawa di bumi untuk beristirahat.
Aku juga sudah lelah. Meski
aku tak banyak bergerak hari ini. Hanya memandangi sang mentari, dan
memunculkan deretan pertanyaan untuk mengaliri tangkaiku. Dan meski aku bukan
manusia yang mengenal waktu dengan lebih baik, aku memutuskan untuk mulai
mengatupkan mataku.
Aku terlelap, sesaat sebelum
melihat sebuah peristiwa yang akan mengahancurkanku, mahkota, kelopak, tangkai,
daun, bahkan akarku. Hingga pagi, atau mungkin siang ini, aku selalu melewatkan
peristiwa itu, yang seharusnya memang tak kuketahui.
"Kau masih belum sadar
juga rupanya," si cantik mawar membuyarkan lamunanku.Aku menoleh. Pasti
ada hubungannya dengan penguasa siang itu, batinku.
"Kau terlalu
mengharapkannya, mencintainya, atau apalah itu," pemilik mahkota merah tua
itu melanjutkan kalimatnya.
"memang," sahutku
bangga. "aku hanya mencintai matahariku. Lihatlah betapa gagahnya kaisar
itu. Siang takkan berarti bila ia malas bertahta."
"Ya, ya," mawar
mengiyakan. Entah tulus entah mengejek. "Dan itu hal terbodoh yang aku
tahu. Dia matahari. Dan matahari itu kekasih sang ratu, bukan kau."
"Sang ratu?" aku
melambaikan mahkota kuningku.
"Iya." mawar
mengelus mahkotanya dengan daun geriginya. "Rembulan," ia melirikku.
"Hanya itu kekasih matahari. Ia tak mungkin memacari sosok lain."
Aku tersentak. Serasa
disambar petir di siang hari bolong.
Rembulan? Bagaimana mungkin?
Bukankah mereka tak pernah bersama?
Aku menggertak, berusaha
meyakinkan diri. Meski aku tau, sumber cahaya yang tampan itu tak pernah secara
pribadi membalas sapaanku.
Aku masih berdebat dengan
diriku sendiri hingga langit sore datang.
Baiklah, kata hatiku. Aku
tak akan tidur malam ini. Akan kubuktikan ucapan-ucapan mereka.
Entahlah, sesungguhnya bodoh
bila aku bersikeras membuktikannya. Karena itu hanya akan menghancurkanku. Tapi
rasa penasaran ini benar tak dapat kutekan. Seberapa besar pun usahaku.
Detik-detik kehancuranku pun
tiba. Aku melihat ketika sang mentari mulai turun, dan dengan gagahnya
menggandeng rembulan yang tampak cantik. Bulan itu tersenyum, sembari
mengibatkan bintang-bintang penghias malam.
Malam ini aku benar
memandang saat-saat mereka bersama.
Dadaku mulai sesak. Aku
mendapatkan jawaban dari deretan pertanyaanku selama ini.
Tangkaiku bergetar. Menahan
terpaan angin yang tiba-tiba bertiup kencang dengan suhu entah berapa.
Kubiarkan daun-daunku layu.
Kubiarkan mahkotaku jatuh. Mulai hari ini dan hari-hari berikutnya, aku
bukanlah bunga matahari yang indah. Mahkotaku tak lagi berwarna kuning cerah,
daunku tak lagi tersenyum lebar, tangkaiku tak lagi tegak. Bahkan akarku seolah
tak mampu lagi mencari air dan zat hara dari rumah para pengurai. Harapanku pun
sirna.
Angin Oktober yang bertiup
sepoi-sepoi, sang mentari yang selalu kuanggap sebagai kekasihku, bentangan
langit jingga, dan arak-arakan awan putih, adalah saksi hari terakhirku.
Aku tak lagi dikagumi
manusia. Kini aku hanyalah setangkai bunga matahari yang patah di suasana
senja...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar