“Mami,
aku takut,” tangisku sambil berlari memeluk Wulan, sahabatku. Airmataku tak
terbendung lagi meski aku sudah berusaha membentenginya. Diana dan Echie
mengelus lenganku yang bergetar.
“Takut
kenapa?” suara Wulan yang terdengar lembut melintas di telingaku.
“Nggak
tau, aku siap buat putus, tapi aku takut,” kataku di sela-sela airmata yang
meleleh.
“Kalo
kamu nggak siap, mending jangan sekarang Lith,” Echie berucap kala Wulan balas
memelukku.
“Aku
siap, tapi nggak tau ngapa, aku takut,”
Tak ada yang menjawab. Hanya tangan-tangan yang penuh kasih
kurasakan menyentuh ujung-ujung sarafku. Berusaha memberi semangat, kehangatan,
kekuatan, dan saudara-saudaranya.
Kudengar mereka mulai melucu. Kalau saja aku tidak berselimut airmata, pasti aku sudah tertawa terpingkal-pingkal. Sayang, masih ada luapan yang meleleh dari sudut mataku.
Kudengar mereka mulai melucu. Kalau saja aku tidak berselimut airmata, pasti aku sudah tertawa terpingkal-pingkal. Sayang, masih ada luapan yang meleleh dari sudut mataku.
Ya Tuhan, aku menjerit
dalam hati. Aku takut. Sungguh. Apa yang
harus aku lakukan?
“Aku
mau duduk,” ujarku melepas pelukan dan berjalan menuju kursi depan 9C. Echie
mengikutiku.
Kusandarkan kepalaku pada tembok berwarna cokelat sendu. Seolah ingin membenturkan kepalaku sekuat mungkin dan tak pernah berurusan lagi dengan lelaki berhelm NHK putih itu.
Mulutku bergumam tak jelas. Tanganku masih bergetar. Kepala pening. Dan hati ini tak karuan rasanya.
“Astaga,
aku takut, aku takut, kayak mau ngadepin ujian skripsi aja,” bibirku bergetar.
Echie hanya mampu mengulang kata penenang yang tadi. Selebihnya, hening.
Pak Sanusi dengan kaos strips berkerah berjalan menuju ke
arahku. Berhenti, menengok.
“Oh,”
hanya itu yang mewakili pikirannya. Aku yang sedang mumet dengan diriku sendiri tentu tak tambah menyibukkan diri dengan
apa yang Pak Sanusi lakukan.
Sekitar satu sampai dua detik setelahnya, sosok dengan
celana pramuka dan kaos hitam yang kece duduk di sebelahku.
Dia tak banyak melelehkan deretan kata dari bibir merah mudanya. Dengan kesan yang lebih tenang, lebih halus, tangan yang disana terdapat dua gores sejajar, masih merah, luka baru, menghampiri tanganku yang kusatukan, tetap bertahan dengan getaran. Panik. Tegang. Takut. Entahlah.
Digenggamnya kedua tanganku. Meski bibirnya diam, bisa kurasakan ada sesuatu yang mengalir dari tangannya. Hangat. Kuat. Untuk beberapa detik aku bisa terkunci dengan keadaan itu. Sedikit melupakan ketakutanku.
Kalau saja aku tak dapat menguasai diriku, aku pastu sudah meledak di situ. Meminjam bahunya yang tampak kokoh untuk butir-butir kelelahanku. Tapi itu tak mungkin kulakukan. Aku sudah membuang bertetes-tetes airmata, dan aku tak ingin menghabiskannya hanya untuk menangisi si NHK putih.
Dia tak banyak melelehkan deretan kata dari bibir merah mudanya. Dengan kesan yang lebih tenang, lebih halus, tangan yang disana terdapat dua gores sejajar, masih merah, luka baru, menghampiri tanganku yang kusatukan, tetap bertahan dengan getaran. Panik. Tegang. Takut. Entahlah.
Digenggamnya kedua tanganku. Meski bibirnya diam, bisa kurasakan ada sesuatu yang mengalir dari tangannya. Hangat. Kuat. Untuk beberapa detik aku bisa terkunci dengan keadaan itu. Sedikit melupakan ketakutanku.
Kalau saja aku tak dapat menguasai diriku, aku pastu sudah meledak di situ. Meminjam bahunya yang tampak kokoh untuk butir-butir kelelahanku. Tapi itu tak mungkin kulakukan. Aku sudah membuang bertetes-tetes airmata, dan aku tak ingin menghabiskannya hanya untuk menangisi si NHK putih.
“Rileks,”
hanya itu kata dari mulutnya yang terus berputar-putar di otakku. Aku baru
sadar sekarang kalau sikapku itu lebih bodoh dari anak SD. Terlalu liar. Aku tak
pernah merasa separah itu. Bahkan ketika akan menghadapi ujian yang
sesungguhnya.
Tapi ini, entahlah. Sangat sulit rasanya. Meski hanya untuk mengatur nafas agar
tak memburu.
Waktu bagi orang yang ketakutan itu selalu cepat. Si pemakai
celana pramuka dengan kaos hitam yang kusebut kece tadi sudah dijemput. Astaga,
belum ada semenit aku terkunci dalam keadaan yang tenang!
Tapi, oh, aku tak punya hak untuk menahannya.
Oke, sekarang tinggal aku dan Echie. Kami berjalan ke gerbang. Rasaku semakin tak karuan. Seperti mangga diberi kecap dan kopi saja.
Tapi, oh, aku tak punya hak untuk menahannya.
Oke, sekarang tinggal aku dan Echie. Kami berjalan ke gerbang. Rasaku semakin tak karuan. Seperti mangga diberi kecap dan kopi saja.
Detik-detik yang berlalu semakin melaju. Cepat. Cepat.
Sampai akhirnya, suara knalpot yang kasar dan liar terpantul pada aspal dan bangunan lalu masuk ke telingaku.
Itu dia. Ya. Kaos putih yang membalut tubuhnya seolah tak
dapat sedikit menetralkan bayang-bayang kelam di sekelilingnya. Mataku terpaku.
Lidahku tercekat dan seakan hati ini ngilu. Detakku meloncat-loncat, seperti
ingin keluar dari dada dan kabur entah kemana.
Tuhan, Tuhan, bimbing aku.
Tanganku bergerak dan membuat tanda di dahi, dada, dan kedua bahuku. Salib.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan memaksa hatiku untuk siap.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan memaksa hatiku untuk siap.
Motor GL-PRO hasil garapan melaju kencang, mewakili emosi si
pemegang kendali.
Kami berhenti di tempat yang cukup sepi, sebelah timur tembok B3P2KS yang penuh graffiti.
Aku turun. Dalam hati bersyukur karena sudah bisa menguasai diriku lagi.
Kami berhenti di tempat yang cukup sepi, sebelah timur tembok B3P2KS yang penuh graffiti.
Aku turun. Dalam hati bersyukur karena sudah bisa menguasai diriku lagi.
Oke, perang dimulai.
“Piye?”
nada yang kasar meluncur.
Diam.
Tangan hitam dengan kuku yang panjang merogoh saku, mengeluarkan
empat lembar foto dari dompetnya. Tiga fotoku, dan satu foto kami. Dia merogoh
saku lagi. Benda dengan bentuk dasar balok dan sedikit aksen lengkung
digenggamnya. Korek api.
Di sela-sela adu mulut kami, dia menyalakan korek dan
membakar foto kami. Api menyebar cepat. Hitam, jadi abu, terbang. Dibawa lari
angin. Sebagai ungkapan emosinya, disobeknya fotoku dengan iringan kalimat,
“Nih,
liat ya, cewek yang aku sayangi, aku cintai ======= akhirnya balasannya cuman kayak
gini!” wussh, sekali lagi angin menerbangkan potongan-potongan fotoku.
Habis sudah.
Aku tak bisa berbuat banyak waktu itu. Aku mematung dengan
tangan di saku jaket dan berdiri membelakangi matahari.
Dia mulai meluncurkan kata-kata buruk yang sempat mengelilingi otakku.
Lalu, dia melepas helm NHK putihnya.
Dia mulai meluncurkan kata-kata buruk yang sempat mengelilingi otakku.
Lalu, dia melepas helm NHK putihnya.
Deg.
Sebuah tindik menghiasi telinga kirinya. Aku cukup
terbengong-bengong dalam hati tanpa mampu berucap.
Tangannya merogoh saku lagi. Mengeluarkan benda persegi
panjang bervolume, bergambar bintang, dengan tulisan mild. Diambilnya satu isi benda itu, dijepit antara dia bibirnya
dan dia menyalakan korek. Asap mulai mengepul dari mulut dan hidungnya. Aroma
yang tegas menggelitik satu titik di tenggorokanku, membuatku terbatuk. Jujur,
aku benci itu. Aku benci melihat bibir cokelatnya yang indah ternodai nikotin.
Satu tahun lebih bersamanya, baru kali ini kulihat dia merokok, tepat di
depanku.
“Aku
gondhes ya?” tatapannya yang menusuk mengenai jantungku.
“Enggak,”
kataku.
“Ah
iya, aku gondhes kok. Tenang aja, aku gondhes bukan gara-gara kamu,” disedotnya
rokok berwarna putih itu.
Harus kuakui, ada sesuatu yang aneh dalam hatiku. Antara
ngilu, marah, bingung, bercampur jadi satu.
Lagi-lagi pangkal lidahku tercekat kuat. Aku tak pernah melihat
dia sekasar, segalak, dan seliar ini. Separah apapun jengkelnya, dia masih
menyimpan selengkung senyum dan menyendengkan telinganya untukku.
Tapi tidak untuk kali ini. Tak ada lagi senyum yang bisa
kulihat. Tak ada lagi tangan yang merangkulku. Tak ada lagi bibir yang dengan
cinta mampir mengecupku. Tidak lagi.
Hubungan kami berakhir. Sabtu, 27 Oktober 2012 sekitar pukul
12.15 atau 12.30 siang.
Setelah rokoknya habis, dengan kasar ia mengendarai motornya
dan berhenti di bawah bayangan pohon belimbing, sedikit lebih jau dari tempat
bisasanya kami berpisah.
Aku menghela nafas, menahan rasa aneh dalam hati, lalu
turun. Belum sempat aku mengucapkan terimakasih, kalimat kasar mencakar
telingaku.
“Makasih
ya, udah bikin aku kagol!!!”
Masuk kopling satu, gas pol, hilang dari pandanganku.
Hening.
Hening.
Aku berjalan pulang. Itu adalah kalimat terakhir darinya.
Selebihnya hanya dialog antara aku dan hatiku.
Selebihnya hanya dialog antara aku dan hatiku.
Tak ada lagi “kita”
Tak ada lagi “cinta”
Semua sudah berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar